Keinginan untuk go
digital bagi bank daerah sejatinya didorong oleh keterpaksaan karena hampir
seluruh pelaku industri sudah melaksanakannya. Meski demikian, terdapat
kemungkina bahwa strategi itu hanya dilaksanakan sekadar nice to have.
Bank Pembangunan Daerah, adalah bank milik pemerintah daerah
yang didirikan untuk tujuan khusus. Akan tetapi, bank-bank yang saat ini
rata-rata berumur di atas 50 tahun, diharuskan bertarung di arena yang sama
dengan bank umum dan bank asing yang punya kekuatan modal lebih besar.
Seperti yang terjadi ketika
tsunami teknologi digital melanda industri perbankan dan Bank Pembangunan
Daerah (BPD) mau tidak mau ikut terbawa gelombangnya. Pengelola bank daerah
harus berpikir lebih keras dibandingkan bank-bank pesaing di industri karena
modal mereka yang lebih kecil. Belum lagi jika dikaitkan dengan tantangan
lainnya yaitu persoalan sumber daya manusia dan dukungan pemegang saham, yang
membuat beban BPD semakin berat.
Oleh karena itu, tidaklah
mengherankan jika BPD terkesan menjadi ‘rombongan bagian belakang’ yang
mengadopsi dan membangun infrastruktur teknologi digital untuk melengkapi
layanan perbankan. BPD memang boleh dibilang kerap kali baru mengikuti sebuah
perkembangan baru ketika bank-bank umum lain sudah melakukannya.
Krisna Wijaya, praktisi dan
pengamat perbankan mengatakan bahwa dalam gelombang layanan digital yang
mewabah beberapa tahun belakangan ini, BPD mau tidak mau harus ikut arus
tersebut. Akan tetapi, sayangnya strategi itu tampaknya tidak bisa dilakukan
maksimal dengan segala keterbatasan yang dimiliki oleh BPD. “Teknologi digital
bagi BPD itu nice to have, pokoknya
asal ada layanan digital supaya nasabah tidak pindah,” kata dia, kepada Stabilitas.
Dalam hal mengadopsi layanan
digital, BPD memang menghadapi kondisi dilematis. Menurut Krisna, secara alami
BPD akan sulit sekali bersaing dengan bank-bank umum atau bank asing yang
notabene memiliki keleluasaan secara permodalan dan juga pengambilan keputusan.
Akan tetapi, jika tak menyesuaikan diri dalam gelombang digital dengan alasan
tak punya uang, maka BPD akan menghadapi risiko ditinggal nasabah. “Tapi jangan
juga beralasan tidak mau go digital karena tidak punya uang,” kata Krisna.
Namun
begitu, BPD tampaknya tidak mau terkesan tidak mampu atau enggan untuk
melengkapi dirinya dengan layanan digital. Sudah sejak jauh-jauh hari tepatnya
ketika banyak bank umum mulai memperkenalkan layanan perbankan berbasis
teknologi informasi, BPD sudah bertekad untuk ikut dalam gelombang tersebut.
Ketua Umum Asbanda yang juga
Direktur Utama Bank DKI, Kresno Sediarsi mengatakan, sejalan dengan
perkembangan tenologi informasi saat ini, industri perbankan juga tidak bisa
melepaskan diri dari TI dan menunjang kegiatan usahanya. Perkembangan digital
yang ditandai dengan munculnya banyak perusahaan financial technology (fintech) yang dianggap mengancam keberadaan
bisnis bank dinilai sebagai alarm buat BPD.
“Kehadiran fintech ini sudah
seharusnya menjadi wake up call bagi
BPD untuk kemudian bangun dan menangkapnya sebagai peluang. Bagaimana pun tren
jasa keuangan berbasis teknologi ini, tentu tak bisa kita hindari. Karena itu
kita harus siap masuk ke dalamnya,” ungkap Kresno.
BPD, kata dia, memiliki peran
yang sangat strategis dalam rangka mempercepat pertumbuhan perekonomian dan
pembangunan di daerah. Hal ini sejalan dengan tugas Pokok BPD yaitu
mengembangkan perekonomian dan menggerakkan pembangunan daerah.
Seluruh BPD yang kini berjumlah
26, berfungsi sebagai pendorong terciptanya tingkat pertumbuhan perekonomian
dan pembangunan di daerahnya masing-masing, agar taraf hidup masyarakatnya
meningkat. Selain itu, BPD juga menjadi pemegang kas daerah dan atau sebagai
pengelola keuangan daerah, dan sebagai salah satu sumber pendapatan asli bagi
daerah.
Pernyataan Asbanda itu diperkuat
oleh hasil survey yang dilakukan PwC, konsultan global ekonomi dan keuang
terkemuka, yang dipublikasikan Juli 2018. Menurut Chairil Tarunajaya, Pemimpin
Konsultan Teknologi dan Risiko PwC Indonesia, mereka melihat perbedaan yang
besar antara bagaimana bank-bank besar dan bank-bank BUMN memandang strategi
digital dibandingkan dengan bank-bank lainnya.
Menurut survei hanya 38 persen
bank-bank BUMN dan 44 persen dari bank-bank Buku 4 telah memasukkan strategi
digital sebagai bagian dari strategi perusahaannya. Sementara untuk BPD angka
itu mencapai 100 persen. “Hal ini mungkin merupakan indikasi bahwa bank-bank
besar telah memulai perjalanan menuju transformasi digital; namun masih ada
tantangan-tantangan dalam mengembangkan pandangan yang sama tentang strategi
digital di bank-bank ini,” terang dia dalam publikasi.
Berdasarkan riset yang sama dikatakan
bahwa sampai saat ini teknologi BPD memang relatif maih tertinggal dibandingkan
bank-bank negara, bank asing, atau bank lain yang masuk dalam BUKU 4. Hal itu
diakui oleh eks pejabat Otoritas Jasa Keuangan, Edy Setiadi. “Untuk kualitas
fintech atau ekonomi digital di BPD sesuai dengan survey PwC masih di bawah
kualitas bank umum. Namun tentunya tidak semua BPD tidak memiliki kompetitif di
bidang fintech,” kata mantan Advisor Senior pada Strategic Committee dan Pusat
Riset OJK.
Menurut dia, dalam program
transformasi BPD khususnya dalam fase fondasi sejatinya sudah disebutkan
perlunya dilakukan sinergi antar BPD dalam membangun teknologi informasi.
“Namun kembali bahwa BPD yang kuatlah yang akhirnya merespons cepat menggunakan
fintech,” kata dia kepada Stabilitas.
Dipaksa Regulasi
Selain karena persaingan,
dorongan untuk mengadopsi teknologi digital bagi BPD juga muncul dari munculnya
aturan dari pemerintah untuk mengimplementasikan transaksi non tunai. April
tahun lalu, Kementerian Dalam Negeri menerbitkan Surat Surat Edaran (SE) Menteri Dalam Negeri Nomor
910/1866/SJ Tentang Implementasi Transaksi Non Tunai. Regulasi tersebut tentu
menjadi cambuk penggerak agar BPD sebagai pengelola dana daerah segera
mempersiapkan infrastruktur teknologi untuk menerapkan hal itu.
Aturan
yang sejatinya dimulai sejak Januari 2018 sejatinya belum bisa
diimplementasikan sepenuhnya oleh seluruh BPD. Pasalnya hanya sebagian bank
daerah saja yang sudah bisa menerapkan aturan transaksi non tunai, seperti Bank
DKI dan Bank Jabar Banten.
Karena
itulah banyak BPD yang akhirnya bergegas untuk membangun infrastruktur IT demi
tidak kehilangan bisnis mengelola dana-dana pemerintah daerah. Untuk
mewujudkannya BPD kemudian menggelar strategi untuk menggandeng pihak lain
maupun perusahaan-perusahaan teknologi informasi.
Salah
satu yang bergerak cepat adalah Bank Nagari. Bank milik pemerintah Sumatra
Barat itu mengaku bahwa transformasi di bidang IT termasuk menjadi prioritas
banknya tahun ini, selain budaya kerja dan layanan. Transformasi IT, yang
dilakukan adalah memperbarui teknologi yang lama ke digital banking. “Kami sudah menjalin kerja sama dengan bank-bank
besar, seperti bank BUMN untuk membuat beberapa fitur baru. Kemudian juga ada
produk-produk baru itu yang bekerjasama dengan salah satu perusahaan financial technolgy atau fintech. Prakarsanya sudah ada, jadi nanti
kami coba,” kata Deddy Ihsan Direktur
Utama Bank Nagari.
Menurut dia, maraknya kemunculan
beberapa perusahaan fintech dianggap bukanlah sebauah ancaman bagi Bank Nagari.
Masalah keamanan masih menjadi keunggulan utama dari bank dan itu diakui oleh pasar. “Kalau yang fintech, saya
rasa dia nggak akan besar untuk
lending-nya karena dia unsecure dan nggak ada agunannya. Kemudian, fintech yang
kecil-kecil itu lama-lama akan tersisih, karena ‘dimakan’ fintech-fintech
besar,” kata Deddy.
Bank Nagari saat ini sudah melengkapi
layananan mobile banking-nya dan
melanjutkan dengan membangun sistem teknologi yang bisa provide layanan secara digital selama 24 jam. Dalam teknologi yang
kerap disebut 724 itu, pembangunannya tinggal menyisakan tahap terkhir. “Dan
tinggal sesi terakhir yang istilahnya mock and run nya. Setelah itu kita go live. 724 kita completly, di situ menyerap juga soal pencucian uang, data warehouse kita sediakan dalam kapasitas
besar untuk semua kebutuhan. Baik untuk kebutuhan intenal maupun regulator,”
jelas Deddy.
Terkait soal kewajiban implementasi
transaksi non tunai, Bank Nagari mengaku sudah siap karena ketika diwajibkan
pada Januari 2018, mereka sudah siap sejak Oktober. “Kami sudah launching produknya di Oktober 2017 dan
itu murni teknologi kami sendiri. Kami tidak berkolaborasi dengan bank-bank
lain yang sudah punya teknologi yang katanya handal. Tapi kami meyakini
teknologi kami handal juga,” kata Deddy.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar