Kamis, 11 Juli 2019

Antara "Wake up Call" dan "Nice to Have"


Keinginan untuk go digital bagi bank daerah sejatinya didorong oleh keterpaksaan karena hampir seluruh pelaku industri sudah melaksanakannya. Meski demikian, terdapat kemungkina bahwa strategi itu hanya dilaksanakan sekadar nice to have.


Bank Pembangunan Daerah, adalah bank milik pemerintah daerah yang didirikan untuk tujuan khusus. Akan tetapi, bank-bank yang saat ini rata-rata berumur di atas 50 tahun, diharuskan bertarung di arena yang sama dengan bank umum dan bank asing yang punya kekuatan modal lebih besar.
Seperti yang terjadi ketika tsunami teknologi digital melanda industri perbankan dan Bank Pembangunan Daerah (BPD) mau tidak mau ikut terbawa gelombangnya. Pengelola bank daerah harus berpikir lebih keras dibandingkan bank-bank pesaing di industri karena modal mereka yang lebih kecil. Belum lagi jika dikaitkan dengan tantangan lainnya yaitu persoalan sumber daya manusia dan dukungan pemegang saham, yang membuat beban BPD semakin berat.
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika BPD terkesan menjadi ‘rombongan bagian belakang’ yang mengadopsi dan membangun infrastruktur teknologi digital untuk melengkapi layanan perbankan. BPD memang boleh dibilang kerap kali baru mengikuti sebuah perkembangan baru ketika bank-bank umum lain sudah melakukannya.
Krisna Wijaya, praktisi dan pengamat perbankan mengatakan bahwa dalam gelombang layanan digital yang mewabah beberapa tahun belakangan ini, BPD mau tidak mau harus ikut arus tersebut. Akan tetapi, sayangnya strategi itu tampaknya tidak bisa dilakukan maksimal dengan segala keterbatasan yang dimiliki oleh BPD. “Teknologi digital bagi BPD itu nice to have, pokoknya asal ada layanan digital supaya nasabah tidak pindah,” kata dia, kepada Stabilitas.
Dalam hal mengadopsi layanan digital, BPD memang menghadapi kondisi dilematis. Menurut Krisna, secara alami BPD akan sulit sekali bersaing dengan bank-bank umum atau bank asing yang notabene memiliki keleluasaan secara permodalan dan juga pengambilan keputusan. Akan tetapi, jika tak menyesuaikan diri dalam gelombang digital dengan alasan tak punya uang, maka BPD akan menghadapi risiko ditinggal nasabah. “Tapi jangan juga beralasan tidak mau go digital karena tidak punya uang,” kata Krisna.
                Namun begitu, BPD tampaknya tidak mau terkesan tidak mampu atau enggan untuk melengkapi dirinya dengan layanan digital. Sudah sejak jauh-jauh hari tepatnya ketika banyak bank umum mulai memperkenalkan layanan perbankan berbasis teknologi informasi, BPD sudah bertekad untuk ikut dalam gelombang tersebut.
Ketua Umum Asbanda yang juga Direktur Utama Bank DKI, Kresno Sediarsi mengatakan, sejalan dengan perkembangan tenologi informasi saat ini, industri perbankan juga tidak bisa melepaskan diri dari TI dan menunjang kegiatan usahanya. Perkembangan digital yang ditandai dengan munculnya banyak perusahaan financial technology (fintech) yang dianggap mengancam keberadaan bisnis bank dinilai sebagai alarm buat BPD.
“Kehadiran fintech ini sudah seharusnya menjadi wake up call bagi BPD untuk kemudian bangun dan menangkapnya sebagai peluang. Bagaimana pun tren jasa keuangan berbasis teknologi ini, tentu tak bisa kita hindari. Karena itu kita harus siap masuk ke dalamnya,” ungkap Kresno.
BPD, kata dia, memiliki peran yang sangat strategis dalam rangka mempercepat pertumbuhan perekonomian dan pembangunan di daerah. Hal ini sejalan dengan tugas Pokok BPD yaitu mengembangkan perekonomian dan menggerakkan pembangunan daerah.
Seluruh BPD yang kini berjumlah 26, berfungsi sebagai pendorong terciptanya tingkat pertumbuhan perekonomian dan pembangunan di daerahnya masing-masing, agar taraf hidup masyarakatnya meningkat. Selain itu, BPD juga menjadi pemegang kas daerah dan atau sebagai pengelola keuangan daerah, dan sebagai salah satu sumber pendapatan asli bagi daerah.
Pernyataan Asbanda itu diperkuat oleh hasil survey yang dilakukan PwC, konsultan global ekonomi dan keuang terkemuka, yang dipublikasikan Juli 2018. Menurut Chairil Tarunajaya, Pemimpin Konsultan Teknologi dan Risiko PwC Indonesia, mereka melihat perbedaan yang besar antara bagaimana bank-bank besar dan bank-bank BUMN memandang strategi digital dibandingkan dengan bank-bank lainnya.
Menurut survei hanya 38 persen bank-bank BUMN dan 44 persen dari bank-bank Buku 4 telah memasukkan strategi digital sebagai bagian dari strategi perusahaannya. Sementara untuk BPD angka itu mencapai 100 persen. “Hal ini mungkin merupakan indikasi bahwa bank-bank besar telah memulai perjalanan menuju transformasi digital; namun masih ada tantangan-tantangan dalam mengembangkan pandangan yang sama tentang strategi digital di bank-bank ini,” terang dia dalam publikasi.
Berdasarkan riset yang sama dikatakan bahwa sampai saat ini teknologi BPD memang relatif maih tertinggal dibandingkan bank-bank negara, bank asing, atau bank lain yang masuk dalam BUKU 4. Hal itu diakui oleh eks pejabat Otoritas Jasa Keuangan, Edy Setiadi. “Untuk kualitas fintech atau ekonomi digital di BPD sesuai dengan survey PwC masih di bawah kualitas bank umum. Namun tentunya tidak semua BPD tidak memiliki kompetitif di bidang fintech,” kata mantan Advisor Senior pada Strategic Committee dan Pusat Riset OJK.
Menurut dia, dalam program transformasi BPD khususnya dalam fase fondasi sejatinya sudah disebutkan perlunya dilakukan sinergi antar BPD dalam membangun teknologi informasi. “Namun kembali bahwa BPD yang kuatlah yang akhirnya merespons cepat menggunakan fintech,” kata dia kepada Stabilitas.

Dipaksa Regulasi             
Selain karena persaingan, dorongan untuk mengadopsi teknologi digital bagi BPD juga muncul dari munculnya aturan dari pemerintah untuk mengimplementasikan transaksi non tunai. April tahun lalu, Kementerian Dalam Negeri menerbitkan Surat  Surat Edaran (SE) Menteri Dalam Negeri Nomor 910/1866/SJ Tentang Implementasi Transaksi Non Tunai. Regulasi tersebut tentu menjadi cambuk penggerak agar BPD sebagai pengelola dana daerah segera mempersiapkan infrastruktur teknologi untuk menerapkan hal itu.
                Aturan yang sejatinya dimulai sejak Januari 2018 sejatinya belum bisa diimplementasikan sepenuhnya oleh seluruh BPD. Pasalnya hanya sebagian bank daerah saja yang sudah bisa menerapkan aturan transaksi non tunai, seperti Bank DKI dan Bank Jabar Banten.
                Karena itulah banyak BPD yang akhirnya bergegas untuk membangun infrastruktur IT demi tidak kehilangan bisnis mengelola dana-dana pemerintah daerah. Untuk mewujudkannya BPD kemudian menggelar strategi untuk menggandeng pihak lain maupun perusahaan-perusahaan teknologi informasi.
                Salah satu yang bergerak cepat adalah Bank Nagari. Bank milik pemerintah Sumatra Barat itu mengaku bahwa transformasi di bidang IT termasuk menjadi prioritas banknya tahun ini, selain budaya kerja dan layanan. Transformasi IT, yang dilakukan adalah memperbarui teknologi yang lama ke digital banking. “Kami sudah menjalin kerja sama dengan bank-bank besar, seperti bank BUMN untuk membuat beberapa fitur baru. Kemudian juga ada produk-produk baru itu yang bekerjasama dengan salah satu  perusahaan financial technolgy atau fintech. Prakarsanya sudah ada, jadi nanti kami coba,” kata  Deddy Ihsan Direktur Utama Bank Nagari.
Menurut dia, maraknya kemunculan beberapa perusahaan fintech dianggap bukanlah sebauah ancaman bagi Bank Nagari. Masalah keamanan masih menjadi keunggulan utama dari bank dan itu  diakui oleh pasar. “Kalau yang fintech, saya rasa dia nggak akan besar untuk lending-nya karena dia unsecure dan nggak ada agunannya. Kemudian, fintech yang kecil-kecil itu lama-lama akan tersisih, karena ‘dimakan’ fintech-fintech besar,” kata Deddy.
 Bank Nagari saat ini sudah melengkapi layananan mobile banking-nya dan melanjutkan dengan membangun sistem teknologi yang bisa provide layanan secara digital selama 24 jam. Dalam teknologi yang kerap disebut 724 itu, pembangunannya tinggal menyisakan tahap terkhir. “Dan tinggal sesi terakhir yang istilahnya mock and run nya. Setelah itu kita go live. 724 kita completly, di situ menyerap juga soal pencucian uang, data warehouse kita sediakan dalam kapasitas besar untuk semua kebutuhan. Baik untuk kebutuhan intenal maupun regulator,” jelas Deddy.
Terkait soal kewajiban implementasi transaksi non tunai, Bank Nagari mengaku sudah siap karena ketika diwajibkan pada Januari 2018, mereka sudah siap sejak Oktober. “Kami sudah launching produknya di Oktober 2017 dan itu murni teknologi kami sendiri. Kami tidak berkolaborasi dengan bank-bank lain yang sudah punya teknologi yang katanya handal. Tapi kami meyakini teknologi kami handal juga,” kata Deddy.
               
(dipublikasikan Sept-Okt 2018)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar