Tahun 2019 seharusnya
bisa menjadi akhir dari masa-masa pelambanan ekonomi yang mendera ekonomi
sepanjang empat tahun belakang. Akan tetapi tampaknya pelaku industri keuangan
harus lebih lama menahan sabar melihat perlambatan ekonomi.
Apa yang akan Anda
lakukan ketika mengetahui bahwa esok hari cuaca diprediksi akan cenderung mendung,
berkabut, dan kemungkinan akan turun hujan lebat? Payung atau jas hujan tentu
harus segera dipersiapkan, atau keputusan untuk tetap di rumah bisa menjadi
pilihan.
Sepertinya itulah yang sedang dialami oleh industri keuangan, utamanya sektor
perbankan di Indonesia. Dari sekian banyak prediksi yang sudah diterbitkan oleh
lembaga-lembaga riset independen bahkan oleh riset internal perbankan sendiri,
hampir seluruhnya mengingatkan bahwa kondisi tahun 2019 tidak akan lebih ringan
dari sebelumnya.
Isu utama yang jadi pusat perhatian tidak berbeda jauh dengan yang menimpa
perekonomian pada 2018, terutama soal faktor eksternal. Menurut Anton Gunawan,
Chief Economist Bank Mandiri, faktor global yang akan mempengaruhi perekonomian
adalah masih berlangsungnya ketidakpastian geopolitik. “ Setidaknya ada tiga
ketidakpastian geopolitik. Pertama
soal dampak dari Trumponomics, kedua
soal kebijakan moneter AS yang akan dinormalisasi, dan ketiga soal perkembangan ekonomi China,” kata dia dalam paparannya
dalam sebuah diskusi.
Mengenai kebijakan ekonomi dari Presiden AS Donlad Trump dalam kaitannya
dengan perang dagang melawan China, kata Anton, akan membuat dana-dana
berdenominasi dollar AS kembali ke Negeri Paman Sam itu. “Presiden Trump
menerbitkan tambahan daftar tarif baru dalam kaitannya dengan perang dagang
dengan China. Dollar AS akan menguat karena stimulus fiskal akan mendorong
pertumbuhan AS, dan membuat dana-dana global kembali ke AS,” jelas dia.
Menyangkut normalisasi yang tengah terjadi pada kebijakan moneter AS, banyak
analis memprediksi bahwa tahun ini akan ada tiga kali lagi kenaikan suku bunga
The Fed Fund Rate dan satu lagi di tahun 2020 yang akan membuat suku bunga
menyentuh level 3,5 persen. Menurut Anton, neraca bank sentral AS itu akan
menyusut dari 4,5 triliun dollar AS menjadi hanya 2,5 triliun sampai 3 triliun
dollar AS.
Apa yang akan dan sedang dilakukan otoritas moneter AS tentu akan akan
mempengaruhi kebijakan di bank sentral Eropa dan Bank Sentral Jepang. Hal ini
tentu juga akan mempengaruhi bank-bank sentral dunia secara keseluruhan.
Mengenai ekonomi China, Anton mengatakan bahwa pertumbuhannya akan melambat
dari 6,9 persen menjadi 6,6 persen tahun ini dan 6,4 persen tahun 2019. Mata
uang yuan, akan melemah dikarenakan kebijakan devaluasi dalam kaitannya dengan
konflik perdagangan melawan AS. Hal itu akan membuat pemerintah China
menegluarkan stimulus fiskal yang lebih agresif dari sebelumnya, yang akan
menambah level utang lebih besar.
“Pengetatan kebijakan moneter global dan persaingan dagang yang makin
sengit antara AS dan China akan mebuat pertumbuhan ekonomi global melamban.
Sementara pertumbuhan ekonomi Indonesia sangat tergantung pada prospek dari
harga-harga komoditas. Sehingga GDP 2019 diprediksi akan lebih rendah dari
2018, dimana hanya mencapai 5,11 sedangkan 2018 diperkirakan mencapai 5,16,”
jelas Anton.
Sebelumnya Bank Mandiri memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia 2019 akan
mencapai 5,5 persen yang kemudian direvisi menjadi hanya 5,1 persen.
Angka pertumbuhan ekonomi memang akan menjadi sumbu dari semua prediksi
bisnis di sektor keuangan. dan pertumbuhan ekonomi Indonesia, setidaknya dalam
empat tahun terakhir, belum menjadi faktor yang mendorong optimisme pelaku
industri.
Bahkan banyak lembaga ekonomi yang akhirnya memangkas angka prediksi
pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun
2019. Fitch Ratings misalnya yang memangkas proyeksi laju ekonomi dari 5,1
persen menjadi 5 persen.
Kondisi tersebut terjadi karena kondisi finansial yang ketat. Utamanya
didorong oleh laju investasi yang melambat. "Biaya pembiayaan yang lebih
tinggi, ditambah langkah pemerintah yang mengekang laju impor yang tinggi
diperkirakan akan meningkatkan pengeluaran modal," jelas Fitch dalam
laporan tertulisnya.
Risiko Perbankan
Di sisi industri keuangan, meski begitu, nada optimis masih bisa digaungkan
oleh lembaga-lembaga riset di tengah perekonomian global yang menantang. Moody's
Investors Service dalam proyeksi 2019 menyatakan bahwa bank-bank Asia Pasifik
(APAC) masih relatif stabil tahun depan. Namun, kondisi dan beban operasional
perbankan di kawasan ini dinilai bakal lebih menantang dari tahun 2019.
Melansir analisis yang dirilis, Moody's mengungkapkan bahwa prospek untuk
bank di Asia Pasifik masih stabil paling tidak sampai 12 bulan ke depan. Secara
khusus, Moody's mengatkaan bahwa modal, biaya pencadangan, laba bank-bank di
APAC masih cukup untuk mengantisipasi potensi kerugian. Ditambah dari sisi
pendanaan atau likuiditas sejumlah perbankan, sejauh ini masih tetap stabil.
"Pandangan kami, bahwa dukungan pemerintah untuk bank akan tetap kuat,
dan bahwa biaya untuk membayar dana untuk penyelamatan bank tidak akan
diperlukan. Meskipun, Hong Kong tetap dalam pengecualian dalam hal ini," kata
Eugene Tarzimanov, Wakil Presiden dan Pejabat Kredit Senior Moody's.
Bank Indonesia lebih optimis lagi. Bank sentral memproyeksikan memproyeksikan
pertumbuhan kredit pada 2019 mencapai 10-12 persen, sementara pertumbuhan DPK
perbankan mencapai 8 persen-10 persen dengan kecukupan likuiditas yang terjaga.
Prediksi itu segendang sepenarian dengan Otoritas Jasa Keuangan, bedanya
lembaga ini memprediksi pertumbuhan simpanan perbankan di kisaran 7-9 persen. Deputi
Komisioner Pengaturan dan Pengawasan Terintegrasi OJK Yohanes Santoso Wibowo
mengatakan bahwa faktor yang dominan mempengaruhi kinerja industri keuangan
adalah faktor eksternal yaitu normalisasi kebijakan moneter AS dan dan perang
dagang AS-China yang belum menemukan titik surutnya. “Kami akan terus
menghitung asumsi makro untuk memetakan arah industri keuangan nasional tahun
depan. Kemenkeu juga sudah menyebutkan penurunan proyeksi dari asumsi APBN yang
di pasang 5,3 persen. Jadi, kami juga sejalan menurunkan,” ujar Yohanes.
Risiko
Fiskal Meningkat
Di sisi lain, lembaga riset ekonomi Center of Reform on Economics (CORE)
Indonesia mengingatkan akan adanya risiko fiskal yang meningkat. Sejatinya harus diakui kinerja penerimaan dan belanja pemerintah tahun ini sebenarnya lebih
baik dibanding tahun 2017, terlihat dari realisasi belanja maupun penerimaan
yang mengalami perbaikan signifikan.
Realisasi belanja
Pemerintah sampai dengan November tahun ini meningkat 11 persen, atau lebih
tinggi dibanding tahun lalu yang mencapai 7 persen. Pertumbuhan realisasi
belanja negara juga ditunjang oleh meningkatnya realisasi penerimaan
perpajakan. Hingga November 2018 pertumbuhan penerimaan perpajakan mencapai 15
persen, meski pada saat yang sama pertumbuhan ekonomi hanya tumbuh 5,17 persen.
Namun demikian, menurut Menurut Piter Abdullah Redjalam Direktur Riset CORE
Indonesia, walaupun realisasi belanja dan penerimaan APBN
secara umum membaik, risiko pembiayaan fiskal pada tahun 2018 juga cenderung
makin tinggi.
Pasalnya,
peningkatan suku bunga acuan sebanyak empat kali oleh The Fed yang menekan
nilai tukar rupiah tahun ini telah mengakibatkan peningkatan pembiayaan utang.
“Total utang pemerintah pusat sampai dengan November 2018 mencapai Rp 4.395
triliun, atau meningkat 12 persen dibandingkan tahun lalu yang mencapai Rp
3.928 triliun,” ungkap Piter.
Utang yang terus
meningkat melalui penerbitan obligasi pemerintah ini yang menurut Faisal Basri,
membantu menguatnya nilai tukar mata uang rupiah untuk sementara waktu beberapa
waktu lalu. Menurut dia, rupiah menguat karena aliran modal yang masuk ke
Indonesia. Diantaranya melaluai investasi langsung, portofolio dan investasi
lainnya. Sejak 2014, kata Faisal, investasi di portofolio (pembelian aset-aset
finansial seperti saham, surat utang atau commercial papers) selalu lebih besar
ketimbang investasi langsung (FDI).
Namun, aliran
modal yang masuk dari portfolio investment tidak bisa dikendalikan masuk dan
keluarnya. Seperti pada medio 2018, banyak aliran modal yang lari dari
Indonesia karena kondisi perekonomian global. “Jadi saat pemerintah rajin tarik
utang melalui obligasi, berlomba dengan bank menarik dana masyarakat dengan
menaikan bunga simpanan dengan penawaran bunga yang tinggi. Ini juga jadi
risiko, sebagai dampak dari pengetatan moneter,” katanya.
Nah, risiko-risiko tersebut bisa dianggap sebagai
pertanda bahwa cuaca ekonomi masih akan suram. Jadi sebaiknya pelaku industri
keuangan menyiapkan jas hujan, atau minimal payung, agar tidak sakit.
Proyeksi Pertumbuhan 2019
Lembaga Sebelumnya Revisi
Bank Mandiri 5,5 5,1
Fitch Ratings 5,1 5,0
Bank Dunia 5,3 5,2
Bank Indonesia 5,1-5,5 revisi ke bawah
OJK 5,3 5,2
IMF 5,3 5,1
(dipublikasikan Des 2018-Jan 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar