Kamis, 11 Juli 2019

Mendongkrak Kinerja 'Anak Tiri'


Industri keuangan non bank masih belum menempati posisi se-krusial sektor perbankan meskipun perannya pada perekonomian tidak bisa dianggap remeh. Diperlukan insentif kebijakan yang penting untuk meningkatkan level sektor ini agar setara dengan perbankan.


Berbicara tentang industri jasa keuangan, di Indonesia, tentu harus membahas sektor perbankan. Perannya yang begitu dominan –menguasai 70 persen aset di industri keuangan– membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia begitu bergantung pada sektor ini.
Namun demikian kondisi itu justru dinilai tidak ideal, jika berkaca pada yang terjadi di perekonomian negara-negara maju dan sudah lebih dulu berkembang. Di negara semisal, Jepang, Amerika Serikat dan kawasan Eropa, atau negara-negara jiran yang industri keuangannya sudah maju seperti Singapura atau Malaysia, justru sektor non bank yang mendominasi perekonomian.
Penyakit bawaan yang dimiliki perbankan berupa kesenjangan tenor dana simpanan dan pembiayaan atau biasa disebut mismatch, membuat bank-bank tidak bisa leluasa membiayai proyek-proyek jangka panjang. Hampir 90 persen likuiditas di perbankan disokong oleh dana jangka pendek dengan tenor paling lama enam bulan berupa deposito. Di sisi lain, bank banyak melakukan pembiayaan melalui penyaluran kredit dengan tenor panjang, lebih dari setahun bahkan sampai 15 tahun.
Di sinilah sejatinya, sektor industri keuangan non bank (IKNB) bisa mengambil peran. Dari anggota IKNB di Indonesia yang terdiri dari bisnis asuransi, dana pensiun, lembaga keuangan khusus, lembaga pembiayaan, boleh dibilang hanya sektor terakhir yang tidak memiliki potensi membiayai bisnis jangka panjang.
Sebaliknya tiga sektor sisanya memiliki potensi besar untuk menggerakkan ekonomi dengan membiayai sektor-sektor usaha tersebut. Sebut saja industri asuransi. Hingga Juli 2018, dari  total aset industri keuangan sekitar Rp9.500 triliun, sepertiganya dimiliki oleh industri non bank. Dari jumlah itu hampir 70 persennya disumbang sektor asuransi yaitu sebesar Rp1.205,5 triliun. Sementara itu, aset industri dana pensiun sebesar Rp266 triliun, lembaga keuangan khusus Rp218 triliun, lembaga pembiayaan mencapai Rp580 triliun.
Potensi besar itu diakui oleh Edy Setiady, Staf Ahli Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI). Menurut mantan pejabat pengawas industri keuangan ini, meski secara total dana dari pelaku bisnis IKNB belum sebesar perbankan namun sifat dananya yang berjangka panjang khususnya akan menjadikannya bermanfaat bagi pembangunan. “Dana-dana di asuransi jiwa dan dana pensiun membuatnya bisa diinvestadikan di proyek-proyek dan bisnis-bisnis yang memang perlu tenor panjang,” kata dia.
Eks Deputi Komisioner IKNB Otoritas Jasa Keuangan (OJK) itu juga menambahkan bahwa dilihat dari sisi aturan, industri non bank juga sudah didorong untuk meningkatkan perannya dalam perekonomian. Peraturan OJK No 01/POJK.05/2016 menegaskan bahwa lembaga jasa non bank diwajibkan menempatkan dananya pada surat berharga negara (SBN).
Industri asuransi diminta untuk menaruh duitnya di SBN minimal 30 persen untuk asuransi jiwa, 20 persen untuk asuransi umum dari seluruh investasi perusahaan. Lembaga penjaminan diharuskan untuk menempatkan dana investasinya 20 persen. Sementara untuk dana pensiun, dana investasi yang harus ditempatkan di SBN minimal 30 persen.
Khusus untuk BPJS Ketenagakerjaan, dana investasi yang harus ditempatkan di SBN minimal 50 persen dari dana jaminan sosial Ketenagakerjaan, minimal 30 persen. Untuk BPJS Kesehatan dana yang harus ditempatkan di SBN paling rendah 30 persen dari seluruh jumlah investasinya.

Masih Minim
Perihal peran industri non bank yang begitu penting tentu diakui juga oleh pelaku bisnis di sektor ini. Bahkan Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia, Togar Pasaribu mengatakan industri asuransi jiwa dan dana pensiun, merupakan salah dua penggerak perekonomian utama mengingat keduanya mengelola dana-dana besar yang bersifat jangka panjang.
Kondisi tersebut seharusnya bisa dioptimalkan oleh ekonomi Indonesia yang saat ini tengah menggenjot proyek-proyek infrastruktur berjangka panjang. Selain itu, dua sektor non bank ini juga relatif lebih aman dari kebangkrutan dan menjadi masalah untuk pengelola negara. “Sangat amat jarang saya mendengar pemerintah suatu negara mem-bail out IKNB. Kalau bank, banyak,” kata Togar.
Meski mendapatkan tempat sepadan di luar negeri, di Indonesia IKNB tampaknya masih dipandang sebelah mata. Di satu sisi, masyarakat masih banyak yang awam pada industri ini ketimbang pengetahuan mereka kepada perbankan. Di lain sisi, perhatian otoritas jika terasa lebih sedikit ketimbang concern yang diberikan kepada perbankan.
Berdasarkan data OJK, pemahaman publik mengenai lembaga-lembaga dan juga produk-produk keuangan non bank, memang masih minim. Ketika melakukan survey indeks literasi keuangan tahun 2017, angkanya untuk industri asuransi baru mencapai 15,8 persen dan tingkat penggunaan sebesar 12,1 persen.
Data tersebut menggambarkan bahwa, dari 100 orang Indonesia, baru sekitar 15-16 orang yang memahami lembaga jasa keuangan asuransi dan hanya sekitar 12 orang yang sudah menggunakan produk ini. Untuk sektor pembiayaan angkanya sebesar 13,05 persen dan pegadaian 17,82 persen. Angka tersebut tentu masih kalah dengan indeks literasi perbankan yang sudah mencapai 28,94 persen.
Menurut Togar, untuk meningkatkan penetrasi asuransi jiwa kepada masyarakat dan meningkatkan peran asuransi jiwa dalam pembangunan, pihaknya mengusulkan adanya insentif pajak bagi industri asuransi jiwa. “Bukan untuk perusahaan asuransi jiwa, namun kepada masyarakat pemegang polis asuransi jiwa. Konsepnya, sebagian (beberapa persen) premi yang dibayarkan dimasukan dalam penghasilan tidak kena pajak, sehingga mengurangi pajak penghasilan si pemegang polis,” jelas dia.
Apabila insentif tersebut diwujudkan, maka pelaku industri berkeyakinan akan banyak masyarakat membeli polis asuransi jiwa sehingga akan terkumpul dana kelolaan investasi yang besar. Selanjutnya, seiring dengan aturan yang ada nantinya akan makin banyak perusahaan asuransi jiwa yang menempatkan investasinya di pasar modal. Dana investasi ini pada akhirnya dapat digunakan pemerintah untuk menjalankan program-program pembangunan.
Sementara itu Ketua Dewan Asuransi Indonesia Dewan Asuransi Indonesia Dadang Sukresna juga mengakui bahwa penetrasi asuransi di Indonesia masih minim. Saat ini penetrasi industri tersenut baru sekitar 7 persen, jumlah ini terbilang masih sangat kecil dibandingkan populasi Indonesia yang mencapai lebih dari 265 juta jiwa.  “Dari jumlah penduduk yang begitu besar, tentunya kenaikan penetrasi 1 persen saja akan terlihat peningkatan yang cukup besar dari sisi jumlah orang yang memahami pentingnya berasuransi," kata dia, pada acara Insurance Day 2018.
Masih rendahnya peminat asuransi juga ditengarai disebabkan beberapa hal, di antaranya masih kecilnya pendapatan per kapita masyarakat hingga belum dianggapnya asuransi sebagai kebutuhan pokok. OJK bukannya tidak mengetahui hal tersebut. Menurut Edy Setiadi, OJK telah mendorong pelaku industri asuransi untuk melakukan sosialisasi kepada masyarakat terkait pentingnya asuransi. Penetrasi juga dapat ditingkatkan dengan memperluas produk kepada kelompok masyarakat yang selama ini belum tersentuh asuransi.
                “Sejak OJK berdiri telah lebih dari seratus aturan disusun OJK dengan benchmark ke aturan bank. Memang asuransi merupakan sektor yang lebih siap untuk berkontribusi di dalam pembangunan nasional karena secara aturan lebih siap,” kata Edy.
                Namun demikian, dia mengakui bahwa aturan asuransi khususnya dan IKNB pada umumnya memang masih kalah lengkap dengan perbankan karena lembaga itu menyimpan dan menarik dana masyarakat. “Aturan perbankan lebih lengkap karena mengacu ke standar internasional dan sudah lama dan selalu cepat direvisi sementara untuk IKNB yang telah benar benar menerapkan aturan internasional adalah asuransi,” tambah Edy.

(dipublikasikan Okt-Nov 2018)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar