Industri keuangan non bank masih belum menempati posisi se-krusial
sektor perbankan meskipun perannya pada perekonomian tidak bisa dianggap remeh.
Diperlukan insentif kebijakan yang penting untuk meningkatkan level sektor ini
agar setara dengan perbankan.
Berbicara tentang industri jasa keuangan, di Indonesia, tentu
harus membahas sektor perbankan. Perannya yang begitu dominan –menguasai 70
persen aset di industri keuangan– membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia begitu bergantung
pada sektor ini.
Namun demikian kondisi itu justru
dinilai tidak ideal, jika berkaca pada yang terjadi di perekonomian
negara-negara maju dan sudah lebih dulu berkembang. Di negara semisal, Jepang,
Amerika Serikat dan kawasan Eropa, atau negara-negara jiran yang industri
keuangannya sudah maju seperti Singapura atau Malaysia, justru sektor non bank
yang mendominasi perekonomian.
Penyakit bawaan yang dimiliki
perbankan berupa kesenjangan tenor dana simpanan dan pembiayaan atau biasa
disebut mismatch, membuat bank-bank
tidak bisa leluasa membiayai proyek-proyek jangka panjang. Hampir 90 persen
likuiditas di perbankan disokong oleh dana jangka pendek dengan tenor paling
lama enam bulan berupa deposito. Di sisi lain, bank banyak melakukan pembiayaan
melalui penyaluran kredit dengan tenor panjang, lebih dari setahun bahkan
sampai 15 tahun.
Di sinilah sejatinya, sektor
industri keuangan non bank (IKNB) bisa mengambil peran. Dari anggota IKNB di
Indonesia yang terdiri dari bisnis asuransi, dana pensiun, lembaga keuangan
khusus, lembaga pembiayaan, boleh
dibilang hanya sektor terakhir yang tidak memiliki potensi membiayai bisnis jangka
panjang.
Sebaliknya tiga sektor sisanya
memiliki potensi besar untuk menggerakkan ekonomi dengan membiayai
sektor-sektor usaha tersebut. Sebut saja industri asuransi. Hingga Juli 2018, dari
total aset industri keuangan sekitar
Rp9.500 triliun, sepertiganya dimiliki oleh industri non bank. Dari jumlah itu
hampir 70 persennya disumbang sektor asuransi yaitu sebesar Rp1.205,5 triliun. Sementara
itu, aset industri dana pensiun sebesar Rp266 triliun, lembaga keuangan khusus
Rp218 triliun, lembaga pembiayaan mencapai Rp580 triliun.
Potensi besar itu diakui oleh Edy
Setiady, Staf Ahli Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI). Menurut
mantan pejabat pengawas industri keuangan ini, meski secara total dana dari
pelaku bisnis IKNB belum sebesar perbankan namun sifat dananya yang berjangka
panjang khususnya akan menjadikannya bermanfaat bagi pembangunan. “Dana-dana di
asuransi jiwa dan dana pensiun membuatnya bisa diinvestadikan di proyek-proyek
dan bisnis-bisnis yang memang perlu tenor panjang,” kata dia.
Eks Deputi Komisioner IKNB
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) itu juga menambahkan bahwa dilihat dari sisi
aturan, industri non bank juga sudah didorong untuk meningkatkan perannya dalam
perekonomian. Peraturan OJK No 01/POJK.05/2016 menegaskan bahwa lembaga jasa
non bank diwajibkan menempatkan dananya pada surat berharga negara (SBN).
Industri asuransi diminta untuk
menaruh duitnya di SBN minimal 30 persen untuk asuransi jiwa, 20 persen untuk
asuransi umum dari seluruh investasi perusahaan. Lembaga penjaminan diharuskan
untuk menempatkan dana investasinya 20 persen. Sementara untuk dana pensiun,
dana investasi yang harus ditempatkan di SBN minimal 30 persen.
Khusus untuk BPJS
Ketenagakerjaan, dana investasi yang harus ditempatkan di SBN minimal 50 persen
dari dana jaminan sosial Ketenagakerjaan, minimal 30 persen. Untuk BPJS
Kesehatan dana yang harus ditempatkan di SBN paling rendah 30 persen dari
seluruh jumlah investasinya.
Masih Minim
Perihal peran industri non bank
yang begitu penting tentu diakui juga oleh pelaku bisnis di sektor ini. Bahkan
Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia, Togar Pasaribu mengatakan
industri asuransi jiwa dan dana pensiun, merupakan salah dua penggerak
perekonomian utama mengingat keduanya mengelola dana-dana besar yang bersifat
jangka panjang.
Kondisi tersebut seharusnya bisa
dioptimalkan oleh ekonomi Indonesia yang saat ini tengah menggenjot
proyek-proyek infrastruktur berjangka panjang. Selain itu, dua sektor non bank
ini juga relatif lebih aman dari kebangkrutan dan menjadi masalah untuk
pengelola negara. “Sangat amat jarang saya mendengar pemerintah suatu negara
mem-bail out IKNB. Kalau bank,
banyak,” kata Togar.
Meski mendapatkan tempat sepadan
di luar negeri, di Indonesia IKNB tampaknya masih dipandang sebelah mata. Di
satu sisi, masyarakat masih banyak yang awam pada industri ini ketimbang pengetahuan
mereka kepada perbankan. Di lain sisi, perhatian otoritas jika terasa lebih
sedikit ketimbang concern yang
diberikan kepada perbankan.
Berdasarkan data OJK, pemahaman
publik mengenai lembaga-lembaga dan juga produk-produk keuangan non bank, memang
masih minim. Ketika melakukan survey indeks literasi keuangan tahun 2017,
angkanya untuk industri asuransi baru mencapai 15,8 persen dan tingkat
penggunaan sebesar 12,1 persen.
Data tersebut menggambarkan
bahwa, dari 100 orang Indonesia, baru sekitar 15-16 orang yang memahami lembaga
jasa keuangan asuransi dan hanya sekitar 12 orang yang sudah menggunakan produk
ini. Untuk sektor pembiayaan angkanya sebesar 13,05 persen dan pegadaian 17,82
persen. Angka tersebut tentu masih kalah dengan indeks literasi perbankan yang
sudah mencapai 28,94 persen.
Menurut Togar, untuk meningkatkan
penetrasi asuransi jiwa kepada masyarakat dan meningkatkan peran asuransi jiwa
dalam pembangunan, pihaknya mengusulkan adanya insentif pajak bagi industri
asuransi jiwa. “Bukan untuk perusahaan asuransi jiwa, namun kepada masyarakat
pemegang polis asuransi jiwa. Konsepnya, sebagian (beberapa persen) premi yang
dibayarkan dimasukan dalam penghasilan tidak kena pajak, sehingga mengurangi
pajak penghasilan si pemegang polis,” jelas dia.
Apabila insentif tersebut
diwujudkan, maka pelaku industri berkeyakinan akan banyak masyarakat membeli
polis asuransi jiwa sehingga akan terkumpul dana kelolaan investasi yang besar.
Selanjutnya, seiring dengan aturan yang ada nantinya akan makin banyak perusahaan
asuransi jiwa yang menempatkan investasinya di pasar modal. Dana investasi ini
pada akhirnya dapat digunakan pemerintah untuk menjalankan program-program
pembangunan.
Sementara itu Ketua Dewan
Asuransi Indonesia Dewan Asuransi Indonesia Dadang Sukresna juga mengakui bahwa
penetrasi asuransi di Indonesia masih minim. Saat ini penetrasi industri
tersenut baru sekitar 7 persen, jumlah ini terbilang masih sangat kecil
dibandingkan populasi Indonesia yang mencapai lebih dari 265 juta jiwa. “Dari jumlah penduduk yang begitu besar,
tentunya kenaikan penetrasi 1 persen saja akan terlihat peningkatan yang cukup
besar dari sisi jumlah orang yang memahami pentingnya berasuransi," kata
dia, pada acara Insurance Day 2018.
Masih rendahnya peminat asuransi juga
ditengarai disebabkan beberapa hal, di antaranya masih kecilnya pendapatan per
kapita masyarakat hingga belum dianggapnya asuransi sebagai kebutuhan pokok.
OJK bukannya tidak mengetahui hal tersebut. Menurut Edy Setiadi, OJK telah mendorong
pelaku industri asuransi untuk melakukan sosialisasi kepada masyarakat terkait
pentingnya asuransi. Penetrasi juga dapat ditingkatkan dengan memperluas produk
kepada kelompok masyarakat yang selama ini belum tersentuh asuransi.
“Sejak
OJK berdiri telah lebih dari seratus aturan disusun OJK dengan benchmark ke aturan bank. Memang
asuransi merupakan sektor yang lebih siap untuk berkontribusi di dalam
pembangunan nasional karena secara aturan lebih siap,” kata Edy.
Namun
demikian, dia mengakui bahwa aturan asuransi khususnya dan IKNB pada umumnya
memang masih kalah lengkap dengan perbankan karena lembaga itu menyimpan dan
menarik dana masyarakat. “Aturan perbankan lebih lengkap karena mengacu ke
standar internasional dan sudah lama dan selalu cepat direvisi sementara untuk IKNB
yang telah benar benar menerapkan aturan internasional adalah asuransi,” tambah
Edy.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar