Kamis, 11 Juli 2019

Ekonomi Masih Susah Beranjak


Tahun ini terbukti menjadi periode yang berat bagi perekonomian. Berbagai indikator ekonomi susah beranjak dari level pelemahannya hingga memasuki akhir 2018 ini.


Sejak memasuki hari pertama di tahun 2018, pemerintah sudah dilanda was-was karena dihantui oleh pengalaman krisis yang selalu berputar dalam kurun 10 tahunan yang dimulai sejak 1998. Beberapa analisis mengatakan bahwa kewaspadaan harus selalu dijaga karena tidak menutup kemungkinan yang dikhawatirkan itu akan terjadi.
Setelah pertumbuhan ekonomi kembali jalan di tempat di 2017, kondisi global masih mengancam karena pengetatan moneter di negara-negara maju berlanjut, ditambah dengan perang dagang AS-China yang kian menghangat. Di dalam negeri perlambatan pertumbuhan disertai dengan anomali dari sisi produksi berupa penurunan kinerja sektor riil dan juga penurunan daya beli masyarakat. Ditambah lagi dengan tantangan pengelolaan fiskal di tengah tahun politik.
Benar saja, menjelang hari-hari terakhir di tahun ini, beberapa indikator ekonomi masih terlihat belum menunjukkan perbaikan. Pertumbuhan ekonomi tentu yang pertama menjadi sorotan karena sudah hampir di ujung periode pemerintahan Presiden Joko Widodo, target pertumbuhan selama masa kekuasaannya belum sekali pun pernah tercapai.
Di tahun pertama berkantor di Istana Negara, pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla sudah mengalami kegagalan mencapai target pertumbuhan ketika ekonomi hanya naik sebesar 5,1 persen, padahal targetnya adalah 5,5 persen. Tahun kedua tak berbeda, ketika pertumbuhan ekonomi ditargetkan mencapai 5,7 persen, realisasinya hanya mencapai 4,79 persen. Dua tahun berikutnya kondisi tidak berubah. Ekonomi 2016 dan 2017 ditargetkan sama-sama mencapai 5,2 persen namun di akhir tahun masing-masing hanya mencapai 5,0 dan 5,07 persen.
Pada 2018, terutama di kuartal kedua, harapan seketika membuncah sewaktu angka pertumbuhan mencapai 5,27 persen, tertinggi di masa Jokowi. Banyak pihak menilai ini adalah pencapaian mengejutkan dari pemerintahan di tengah lesunya sektor riil belakangan ini. Target pertumbuhan tahun ini dipatok sebesar 5,4 persen. “Pertumbuhan ini cukup bagus. Dan pendorong utamanya karena di triwulan kedua ini ada momen Ramadan dan Lebaran,” kata Kepala Badan Pusat Statistik Suhariyanto. “Memang ini cukup bagus, namun kalau di 2018 ditargetkan sebesar 5,4 persen, ini masih belum capai target.”
Pemerintah mendaku bahwa pencapaian ini adalah hasil dari adanya kenaikan permintaan dalam negeri di saat target pertumbuhan pada kuartal kedua 2018 yang ditetapkan hanya sebesar 5,16-5,17 persen. “Ini hasil domestic demand yang kuat," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.

Kuarto Defisit
Hal lain yang menjadi sorotan tahun ini adalah defisit pada neraca transaksi berjalan. Fluktuasi nilai tukar rupiah yang cenderung ke arah pelemahan sepanjang tahun ini tidak bisa dilepaskan dari masih defisitnya transaksi berjalan (current account defisit). Ironisnya, tahun ini ekonomi Indonesia mengalami apa yang dinamakan kuarto defisit.
Keempat defisit tersebut adalah defisit neraca pembayaran, neraca transaksi berjalan, defisit keseimbangan primer, dan defisit anggaran negara. Semua defisit tersebut telah menyebabkan permintaan terhadap dollar AS meningkat. Di sisi lain, mesin pencetak dollar AS milik Indonesia yaitu ekspor masih belum optimal. Pemerintah dengan melihat kondisi itu harus bergegas mengatasi empat defisit tersebut agar rupiah tak tersungkur lebih dalam.
Hingga kuartal ketiga, Bank Indonesia mencatat Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) mengalami defisit sebesar 4,4 miliar dollar AS, naik dari periode sebelumnya yang sebesar 4,3 miliar dollar AS.
Berdasarkan laporan yang sama, defisit ini disebabkan defisit transaksi berjalan (CAD) yang meningkat tidak dapat dibiayai oleh surplus transaksi modal dan finansial (TMF). Sementara CAD di waktu yang sama melebar menjadi 8,8 miliar dollar AS atau melewati batas aman ke level 3,37 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Padahal, di kuartal sebelumnya CAD sebesar 8 miliar dollar AS atau sebesar 3 persen.
Melebarnya CAD ini disebabkan oleh penurunan kinerja neraca perdagangan barang, khususnya karena meningkatnya defisit neraca perdagangan migas. Sementara, peningkatan surplus neraca perdagangan barang nonmigas masih relatif terbatas.
"Peningkatan defisit neraca perdagangan migas terjadi seiring dengan meningkatnya impor minyak di tengah naiknya harga minyak dunia," ujar Direktur Eksekutif BI Agusman dalam keterangan resmi BI.
                Sementara itu keseimbangan primer akan sangat bergantung kepada kebijakan defisit anggaran negara. Keseimbangan primer adalah jumlah penerimaan negara dikurangi belanja, di luar pembayaran bunga utang.
                Saat ini defisit anggaran negara masih di kisaran 2 persen dan hal itu menjadikan defisit keseimbangan primernya berada di angka Rp80 triliun. Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Askolani mengatakan, pihaknya mengarahkan defisit APBN 2018 akan turun dari target menjadi di bawah 2 persen. Dengan demikian, diperkirakan defisit keseimbangan primer menjadi Rp64 triliun bahkan mencapai Rp20 triliun.
                Pengelolaan anggaran memang menjadi salah satu isu yang digarisbawahi oleh banyak pihak karena lebih banyak porsi pengeluaran yang dinilai tidak produktif. Bahkan ekonom senior, Didik J Rachbini menilai Rancangan Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (RAPBN) 2019 agak boros. Salah satu indikator yang dapat dilihat adalah naiknya porsi belanja gaji pegawai negeri sipil (PNS). “Di sisi belanja ada pemborosan. Sebagian besar untuk bayar utang dan bayar gaji. Studi kami, belanja ini untuk urusan rutin saja," kata dia dalam sebuah diskusi.
Selain itu, salah studi atau kajian yang dilakukan pihaknya menemukan bahwa sekitar 80 hingga 90 persen dari belanja daerah digunakan untuk pengeluaran rutin pegawai seperti gaji dan sebagainya. “Belanja daerah 80-90 persen, habis untuk anggaran rutin, sehingga untuk pembangunan tidak bisa didukung oleh anggaran ini," kata dia.

Kurs Rupiah
Salah satu indikator yang menjadi acuan penting yaitu kurs juga belum memberikan kenyamanan bagi pelaku ekonomi. Fluktuasi kurs yang terlalu sering dan melebar menjadikan ganjalan pelaku bisnis untuk mengelola usahanya.
Nilai tukar rupiah bahkan sempat ke posisi tergentingnya tahun ini. Tepatnya pada awal awal September, posisi nilai tukar rupiah menurut Bloomberg, sudah menembus Rp14.900 per dollar AS. Nilai itu lebih parah dari awal Januari tahun ini yang masih di level Rp13.542 per dollar AS dan pada Juli yang berada di kisaran Rp14.418 per dollar AS. Artinya telah terjadi depresiasi rupiah terhadap dollar AS sebesar hampir 10 persen sepanjang tahun ini (year to date).
                Nilai tukar rupiah berada dalam posisi terendahnya sejak Juli 1998, setelah krisis keuangan melanda Asia dan meluluhlantakkan ekonomi Indonesia. Hal ini sempat menjadi alarm peringatan dan membuat pemerintah semakin was-was. Risiko pelemahan rupiah sejatinya tetap sama seperti dua puluh tahun lalu yaitu akan menghantam sektor riil, pengusaha dan juga pemerintah dalam hal pembayaran utang yang jatuh tempo. “Risiko yang dihadapi tentu berhubungan dengan utang. Selisih kurs yang ditanggung pemerintah muncul saat pembayaran kewajiban jatuh tempo utang,” kata peneliti Indef Bhima Yudhistira Adhinegara.
                Berdasarkan data Bank Indonesia, kewajiban pembayaran utang luar negeri pemerintah yang jatuh tempo di 2018 mencapai 9,1 miliar dollar AS yang terbagi menjadi 5,2 miliar dollar AS pokok dan 3,8 miliar dollar AS kewajiban bunganya.
Jika menggunakan kurs 13.400 sesuai APBN maka pemerintah wajib membayar Rp121,9 triliun. Sementara dengan kurs misalnya saja ada di kisaran Rp14.700 beban pembayaran menjadi Rp133,7 triliun. “Jadi kalau tidak dikendalikan (rupiah) selisih pembengkakan akibat selisih kurs sebesar Rp 11,8 triliun. Uang Rp 11,8 triliun setara 20 persen dari alokasi dana desa. Seharusnya bisa dibuat belanja produktif tapi malah habis untk bayar selisih kurs. Itu kerugian bagi APBN," kata Bhima.
                Akan tetapi, lambat laun, kurs rupiah atas dollar AS kembali menguat dan pada awal Desember sempat menyentuh Rp14.410 seperti posisinya pada Juli.

 (dipublikasikan Nov-Des 2018)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar