Tahun ini terbukti menjadi periode yang berat bagi
perekonomian. Berbagai indikator ekonomi susah beranjak dari level pelemahannya
hingga memasuki akhir 2018 ini.
Sejak memasuki hari pertama di tahun 2018, pemerintah sudah
dilanda was-was karena dihantui oleh pengalaman krisis yang selalu berputar
dalam kurun 10 tahunan yang dimulai sejak 1998. Beberapa analisis mengatakan
bahwa kewaspadaan harus selalu dijaga karena tidak menutup kemungkinan yang
dikhawatirkan itu akan terjadi.
Setelah pertumbuhan ekonomi
kembali jalan di tempat di 2017, kondisi global masih mengancam karena
pengetatan moneter di negara-negara maju berlanjut, ditambah dengan perang
dagang AS-China yang kian menghangat. Di dalam negeri perlambatan pertumbuhan
disertai dengan anomali dari sisi produksi berupa penurunan kinerja sektor riil
dan juga penurunan daya beli masyarakat. Ditambah lagi dengan tantangan pengelolaan
fiskal di tengah tahun politik.
Benar saja, menjelang hari-hari
terakhir di tahun ini, beberapa indikator ekonomi masih terlihat belum
menunjukkan perbaikan. Pertumbuhan ekonomi tentu yang pertama menjadi sorotan
karena sudah hampir di ujung periode pemerintahan Presiden Joko Widodo, target
pertumbuhan selama masa kekuasaannya belum sekali pun pernah tercapai.
Di tahun pertama berkantor di
Istana Negara, pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla sudah mengalami kegagalan
mencapai target pertumbuhan ketika ekonomi hanya naik sebesar 5,1 persen,
padahal targetnya adalah 5,5 persen. Tahun kedua tak berbeda, ketika
pertumbuhan ekonomi ditargetkan mencapai 5,7 persen, realisasinya hanya
mencapai 4,79 persen. Dua tahun berikutnya kondisi tidak berubah. Ekonomi 2016
dan 2017 ditargetkan sama-sama mencapai 5,2 persen namun di akhir tahun
masing-masing hanya mencapai 5,0 dan 5,07 persen.
Pada 2018, terutama di kuartal
kedua, harapan seketika membuncah sewaktu angka pertumbuhan mencapai 5,27
persen, tertinggi di masa Jokowi. Banyak pihak menilai ini adalah pencapaian
mengejutkan dari pemerintahan di tengah lesunya sektor riil belakangan ini.
Target pertumbuhan tahun ini dipatok sebesar 5,4 persen. “Pertumbuhan ini cukup
bagus. Dan pendorong utamanya karena di triwulan kedua ini ada momen Ramadan
dan Lebaran,” kata Kepala Badan Pusat Statistik Suhariyanto. “Memang ini cukup
bagus, namun kalau di 2018 ditargetkan sebesar 5,4 persen, ini masih belum
capai target.”
Pemerintah mendaku bahwa
pencapaian ini adalah hasil dari adanya kenaikan permintaan dalam negeri di
saat target pertumbuhan pada kuartal kedua 2018 yang ditetapkan hanya sebesar
5,16-5,17 persen. “Ini hasil domestic
demand yang kuat," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
Kuarto Defisit
Hal lain yang menjadi sorotan
tahun ini adalah defisit pada neraca transaksi berjalan. Fluktuasi nilai tukar
rupiah yang cenderung ke arah pelemahan sepanjang tahun ini tidak bisa
dilepaskan dari masih defisitnya transaksi berjalan (current account defisit). Ironisnya, tahun ini ekonomi Indonesia
mengalami apa yang dinamakan kuarto defisit.
Keempat defisit tersebut adalah
defisit neraca pembayaran, neraca transaksi berjalan, defisit keseimbangan
primer, dan defisit anggaran negara. Semua defisit tersebut telah menyebabkan
permintaan terhadap dollar AS meningkat. Di sisi lain, mesin pencetak dollar AS
milik Indonesia yaitu ekspor masih belum optimal. Pemerintah dengan melihat
kondisi itu harus bergegas mengatasi empat defisit tersebut agar rupiah tak
tersungkur lebih dalam.
Hingga kuartal ketiga, Bank
Indonesia mencatat Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) mengalami defisit sebesar
4,4 miliar dollar AS, naik dari periode sebelumnya yang sebesar 4,3 miliar
dollar AS.
Berdasarkan laporan yang sama,
defisit ini disebabkan defisit transaksi berjalan (CAD) yang meningkat tidak
dapat dibiayai oleh surplus transaksi modal dan finansial (TMF). Sementara CAD
di waktu yang sama melebar menjadi 8,8 miliar dollar AS atau melewati batas
aman ke level 3,37 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Padahal, di
kuartal sebelumnya CAD sebesar 8 miliar dollar AS atau sebesar 3 persen.
Melebarnya CAD ini disebabkan
oleh penurunan kinerja neraca perdagangan barang, khususnya karena meningkatnya
defisit neraca perdagangan migas. Sementara, peningkatan surplus neraca
perdagangan barang nonmigas masih relatif terbatas.
"Peningkatan defisit neraca
perdagangan migas terjadi seiring dengan meningkatnya impor minyak di tengah
naiknya harga minyak dunia," ujar Direktur Eksekutif BI Agusman dalam
keterangan resmi BI.
Sementara
itu keseimbangan primer akan sangat bergantung kepada kebijakan defisit
anggaran negara. Keseimbangan primer adalah jumlah penerimaan negara dikurangi
belanja, di luar pembayaran bunga utang.
Saat
ini defisit anggaran negara masih di kisaran 2 persen dan hal itu menjadikan
defisit keseimbangan primernya berada di angka Rp80 triliun. Direktur Jenderal
Anggaran Kementerian Keuangan Askolani mengatakan, pihaknya mengarahkan defisit
APBN 2018 akan turun dari target menjadi di bawah 2 persen. Dengan demikian,
diperkirakan defisit keseimbangan primer menjadi Rp64 triliun bahkan mencapai
Rp20 triliun.
Pengelolaan
anggaran memang menjadi salah satu isu yang digarisbawahi oleh banyak pihak
karena lebih banyak porsi pengeluaran yang dinilai tidak produktif. Bahkan
ekonom senior, Didik J Rachbini menilai Rancangan Anggaran Penerimaan dan
Belanja Negara (RAPBN) 2019 agak boros. Salah satu indikator yang dapat dilihat
adalah naiknya porsi belanja gaji pegawai negeri sipil (PNS). “Di sisi belanja
ada pemborosan. Sebagian besar untuk bayar utang dan bayar gaji. Studi kami,
belanja ini untuk urusan rutin saja," kata dia dalam sebuah diskusi.
Selain itu, salah studi atau
kajian yang dilakukan pihaknya menemukan bahwa sekitar 80 hingga 90 persen dari
belanja daerah digunakan untuk pengeluaran rutin pegawai seperti gaji dan
sebagainya. “Belanja daerah 80-90 persen, habis untuk anggaran rutin, sehingga
untuk pembangunan tidak bisa didukung oleh anggaran ini," kata dia.
Kurs Rupiah
Salah satu indikator yang menjadi
acuan penting yaitu kurs juga belum memberikan kenyamanan bagi pelaku ekonomi.
Fluktuasi kurs yang terlalu sering dan melebar menjadikan ganjalan pelaku
bisnis untuk mengelola usahanya.
Nilai tukar rupiah bahkan sempat
ke posisi tergentingnya tahun ini. Tepatnya pada awal awal September, posisi
nilai tukar rupiah menurut Bloomberg, sudah menembus Rp14.900 per dollar AS.
Nilai itu lebih parah dari awal Januari tahun ini yang masih di level Rp13.542
per dollar AS dan pada Juli yang berada di kisaran Rp14.418 per dollar AS.
Artinya telah terjadi depresiasi rupiah terhadap dollar AS sebesar hampir 10
persen sepanjang tahun ini (year to date).
Nilai
tukar rupiah berada dalam posisi terendahnya sejak Juli 1998, setelah krisis
keuangan melanda Asia dan meluluhlantakkan ekonomi Indonesia. Hal ini sempat
menjadi alarm peringatan dan membuat pemerintah semakin was-was. Risiko
pelemahan rupiah sejatinya tetap sama seperti dua puluh tahun lalu yaitu akan
menghantam sektor riil, pengusaha dan juga pemerintah dalam hal pembayaran
utang yang jatuh tempo. “Risiko yang dihadapi tentu berhubungan dengan utang.
Selisih kurs yang ditanggung pemerintah muncul saat pembayaran kewajiban jatuh
tempo utang,” kata peneliti Indef Bhima Yudhistira Adhinegara.
Berdasarkan
data Bank Indonesia, kewajiban pembayaran utang luar negeri pemerintah yang
jatuh tempo di 2018 mencapai 9,1 miliar dollar AS yang terbagi menjadi 5,2
miliar dollar AS pokok dan 3,8 miliar dollar AS kewajiban bunganya.
Jika menggunakan kurs 13.400 sesuai APBN maka pemerintah
wajib membayar Rp121,9 triliun. Sementara dengan kurs misalnya saja ada di
kisaran Rp14.700 beban pembayaran menjadi Rp133,7 triliun. “Jadi kalau tidak
dikendalikan (rupiah) selisih pembengkakan akibat selisih kurs sebesar Rp 11,8
triliun. Uang Rp 11,8 triliun setara 20 persen dari alokasi dana desa.
Seharusnya bisa dibuat belanja produktif tapi malah habis untk bayar selisih
kurs. Itu kerugian bagi APBN," kata Bhima.
Akan
tetapi, lambat laun, kurs rupiah atas dollar AS kembali menguat dan pada awal
Desember sempat menyentuh Rp14.410 seperti posisinya pada Juli.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar