Maraknya pola perdagangan dengan menggunakan jalur daring
tidak lantas membuat perekonomian Indonesia beroleh manfaat. Hal itu setidaknya
terlihat dari meningkatnya impor barang konsumsi yang pada akhirnya memperlebar
defisit neraca perdagangan.
Akhir 90-an, bahkan di awal milenium ini, ketika Internet
mulai dikenal, belum ada perubahan mencolok dalam praktik jual beli di
masyarakat Indonesia. Namun nyaris dua dekade berlalu, internet mengguncang
cara berdagang yang biasa berlaku di Tanah Air.
Beberapa
tahun belakangan, hampir semua komoditas dan kebutuhan pokok bisa dijualbelikan
melalui internet, yang mana praktik tersebut biasa disebut perdagangan
elektronik (electronic commerce/
e-commerce). Bahkan kini dengan perkembangan teknologi digital yang marak,
praktik perdagangan dalam jaringan (daring) atau online tersebut menjadi hal yang lumrah.
Maraknya e-commerce ini kemudian melahirkan dan menyuburkan marketplace, istilah untuk menjelaskan sebuah
website atau aplikasi online yang memfasilitasi proses jual
beli dari berbagai toko atau lapak. Online
marketplace memiliki konsep yang
kurang lebih sama dengan pasar tradisional dimana ada penjual yang menjual
barang, namun pembeli tidak berhadapan fisik secara langsung melainkan melalui
Intenet. Sistem pembayarannya pun lebih banyak dilakukan melalu transfer,
alih-alih tunai.
Nama-nama
seperti Bukalapak, Tokopedia, Lazada, Shopee, dan JD.ID sudah sangat familiar bagi
masyarakat dan aplikasinya lazim berada dalam smartphone mereka. Meningkatnya penggunaan ponsel pintar memang makin
menyuburkan penggunaan aplikasi marketplace
tersebut, yang pada akhirnya mendongkrak transaksi e-commerce.
Transaksi lewat e-commerce pada 2017 diperkirakan
mencapai Rp80 triliun hingga 100
triliun. Jumlah tersebut memang belum angka resmi karena belum ada institusi
resmi yang mencatat transaksi-transaksi jual beli online.
Sekilas, maraknya perdagangan online memberikan gambaran bahwa ekonomi
Indonesia dalam kondisi –setidaknya berjalan ke arah– yang menggembirakan. Akan
tetapi yang tampak dalam gambar besarnya tidak seindah itu. Maraknya jual beli daring
setidaknya telah membuat luka bagi perekonomian Indonesia. Luka pertama bisa
dilihat dari dampaknya pada perdagangan internasional.
Selama bertahun-tahun perdagangan
elektronik berlangsung di Indonesia, dampaknya pada kualitas ekonomi tidak
tampak juga. Setidaknya jika dilihat dari sisi ekspor-impor. Berdasarkan
catatan Kementerian Perindustrian, barang-barang yang diperjualbelikan di
Indonesia khususnya melalui marketplace,
hampir 90 persen adalah produk impor. Artinya minim sekali barang-barang yang
dijual itu diproduksi di dalam negeri.
Hal itu tentu menjadi sinyal
bahwa maraknya praktik e-commerce
tidak berbanding dengan peningkatan sektor usaha terutama di lini bisnis mikro,
kecil, dan menengah. Dengan kondisi itu maka dapat dikatakan bahwa dampaknya
pada pertumbuhan ekonomi yang berkualitas pun sangat minim.
Melihat hal tersebut, Direktur
Jenderal Industri Kecil dan Menengah, Kementerian Perindustrian Gati
Wibawaningsih berjanji akan mendorong sejumlah marketplace agar proporsi produk lokal, terutama produk industri
kecil dan menengah, bisa meningkat.
Menurut data dari Sensus Ekonomi
2016, Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan industri e-commerce Indonesia telah tumbuh 17 persen dalam dalam sepuluh
tahun terakhir. Bahkan, pertumbuhan itu disebut-sebut sebagai yang tertinggi di
dunia. Sementara nilai transaksi e-commerce
2018 ini diprediksi akan mencapai Rp144 triliun.
Praktik impor juga membawa dampak
buruk pada nilai tukar karena memaksa pelaku ekonomi untuk terus menerus
bergantung kepada mata uang asing terutama dollar AS, yang membuat kurs rupiah
terombang-ambing. Sepanjang tahun ini, nilai tukar rupiah masih bertengger di
level Rp14.000 sampai 15.000 per dollar AS. Sehubungan dengan hal tersebut,
pemerintah akan melakukan seleksi ketat terhadap 900 komoditas impor yang masuk
ke Indonesia.
Apa yang diungkapkan oleh
pemerintah senada dengan data yang dimiliki lembaga riset terkemuka Indef.
Menurut salah seorang penelitinya, Bhima Yudhistira Adhinegara, hanya 6-7
persen dari keseluruhan produk yang beredar di pasar-pasar elektronik ini
berasal dari pengusaha lokal. “Spending
investasi start up e-commerce yang
cukup besar membuat secara tidak langsung marketplace
mempromosikan produk-produk impor ketimbang produk-produk dalam negeri,” kata
dia. “Perkembangan e-commerce
berkorelasi dengan naiknya impor barang
konsumsi.”
Sementara itu produk-produk lokal
yang diproduksi oleh pengusaha mikro kecil dan menengah yang sudah masuk e-commerce, didominasi oleh pelaku usaha
yang baru saja memasuki industri. Di sisi lain, tambah Bhima, pelaku UMKM di
sektor pertanian, peternakan, kehutanan (fresh
food product) kebanyakan belum masuk platform
e-commerce.
Luka lain akibat maraknya e-commerce yang belakangan ini mulai
mewujud adalah makin melebarnya defisit neraca perdagangan. Sebagaimana
disebutkan oleh BPS bahwa defisit neraca dagang sepanjang 2018 mencapai 8,57 miliar dollar AS, yang merupakan defisit
terbesar sepanjang sejarah perekonomian Indonesia sejak merdeka.
Memang penyebab melebarnya
defisit bukan semata-mata dipicu oleh melonjaknya impor dari barang-barang yang
dijual lewat daring yang belakangan
memang marak. Meski begitu perkembangan jual beli daring harus menjadi
perhatian tersendiri dari pemerintah karena bisa menimbulkan kekhawatiran.
Faisal Basri, ekonom Universitas
Indonesia mengatakan, keberadaan e-commerce
mendorong minat investor asing untuk menaruh dananya di Indonesia. Tetapi lanjut dia, hal tersebut akan meningkatkan
impor Indonesia.
Impor yang meningkat pada
akhirnya akan memicu defisit neraca perdagangan Indonesia. Karena seperti yang
selama ini dilihat Faisal, sebagian besar yang diperjualbelikan dalam transaksi
e-commerce adalah barang-barang
impor. “Era digital telah mengubah aspek kehidupan, pola produksi, pola
transaksi, dan gaya hidup,” katanya.
Terlebih, kondisi tersebut juga
berdampak negatif pada produk-produk dalam negeri yang diproduksi oleh pelaku
usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Hal ini juga tercermin dari mulai
melemahnya pertumbuhan kredit di sektor tersebut. Berdasarkan catatan Bank
Indonesia, kredit UMKM sampai Desember 2018 tercatat tumbuh 9,9 persen. Sedangkan
pertumbuhan kredit secara total mencapai 11,7 persen dan sektor korporasi naik
sebesar 13,4 persen. BI melihat angka pertumbuhan kredit UMKM disebabkan oleh
perlambatan kredit modal kerja UMKM yang diimbangi dengan peningkatan kredit
investasi
"Di era digital ini,
kemudian transaksi semakin marak, PPN (Pajak Pertambahan Nilai) naik, tetapi
yang diperdagangkan semakin banyak barang dan jasa yang impor. Maka dari itu
jika sektor produksinya tak dibenahi, maka basis pajak jangka panjang kurang
kokoh," ucapnya.
Masalah Pajak
Sebelum tahun
2018, praktik jual beli daring yang makin merebak tidak memberikan dampak
signifikan ke dalam pendapatan negara. Pasalnya, meskipun angka perdagangan
bisa mencapai Rp100 triliun, pemerintah tidak bisa menarik pajak dari transaksi
tersebut. Setidaknya hingga triwulan pertama tahun lalu.
Mengetahui
begitu besarnya uang yang beredar di industri tersebut akhirnya pemerintah
menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan No 210/PMK.010/2018 Tentang Perlakuan
Perpajakan untuk E-Commerce. Salah
satu yang diatur dalam aturan ini adalah kewajiban pedagang dan penyedia jasa
yang berjualan melalui platform
marketplace untuk memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak ( NPWP) dan
memberitahukannya kepada pihak penyedia platform
marketplace.
Jika belum
memiliki NPWP, dapat memilih opsi mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP atau
memberitahukan Nomor Induk Kependudukan (NIK) kepada penyedia platform marketplace. Pedagang daring
juga harus melaksanakan kewajiban terkait PPh sesuai dengan ketentuan yang
berlaku. Ini termasuk membayar pajak final dengan tarif 0,5 persen dari omzet
dalam hal omzet tidak melebihi Rp 4,8 miliar dalam setahun.
Aturan yang
telah dirilis pemerintah tersebut setidaknya bisa sedikit mengobati luka yang
diakibatkan goresan perkembangan e-commerce.
Atau setidaknya pemerintah bisa memiliki modal tambahan untuk mengobat luka
tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar