Jumat, 12 Juli 2019

E-Commerce yang Menggores Luka


Maraknya pola perdagangan dengan menggunakan jalur daring tidak lantas membuat perekonomian Indonesia beroleh manfaat. Hal itu setidaknya terlihat dari meningkatnya impor barang konsumsi yang pada akhirnya memperlebar defisit neraca perdagangan.


Akhir 90-an, bahkan di awal milenium ini, ketika Internet mulai dikenal, belum ada perubahan mencolok dalam praktik jual beli di masyarakat Indonesia. Namun nyaris dua dekade berlalu, internet mengguncang cara berdagang yang biasa berlaku di Tanah Air.
                Beberapa tahun belakangan, hampir semua komoditas dan kebutuhan pokok bisa dijualbelikan melalui internet, yang mana praktik tersebut biasa disebut perdagangan elektronik (electronic commerce/ e-commerce). Bahkan kini dengan perkembangan teknologi digital yang marak, praktik perdagangan dalam jaringan (daring) atau online tersebut menjadi hal yang lumrah.
Maraknya e-commerce ini kemudian melahirkan dan menyuburkan marketplace, istilah untuk menjelaskan sebuah website atau aplikasi online yang memfasilitasi proses jual beli dari berbagai toko atau lapak. Online marketplace memiliki konsep yang kurang lebih sama dengan pasar tradisional dimana ada penjual yang menjual barang, namun pembeli tidak berhadapan fisik secara langsung melainkan melalui Intenet. Sistem pembayarannya pun lebih banyak dilakukan melalu transfer, alih-alih tunai.
                Nama-nama seperti Bukalapak, Tokopedia, Lazada, Shopee, dan JD.ID sudah sangat familiar bagi masyarakat dan aplikasinya lazim berada dalam smartphone mereka. Meningkatnya penggunaan ponsel pintar memang makin menyuburkan penggunaan aplikasi marketplace tersebut, yang pada akhirnya mendongkrak transaksi e-commerce.
Transaksi lewat e-commerce pada 2017 diperkirakan mencapai Rp80  triliun hingga 100 triliun. Jumlah tersebut memang belum angka resmi karena belum ada institusi resmi yang mencatat transaksi-transaksi jual beli online.
Sekilas, maraknya perdagangan online memberikan gambaran bahwa ekonomi Indonesia dalam kondisi –setidaknya berjalan ke arah– yang menggembirakan. Akan tetapi yang tampak dalam gambar besarnya tidak seindah itu. Maraknya jual beli daring setidaknya telah membuat luka bagi perekonomian Indonesia. Luka pertama bisa dilihat dari dampaknya pada perdagangan internasional.
Selama bertahun-tahun perdagangan elektronik berlangsung di Indonesia, dampaknya pada kualitas ekonomi tidak tampak juga. Setidaknya jika dilihat dari sisi ekspor-impor. Berdasarkan catatan Kementerian Perindustrian, barang-barang yang diperjualbelikan di Indonesia khususnya melalui marketplace, hampir 90 persen adalah produk impor. Artinya minim sekali barang-barang yang dijual  itu diproduksi di dalam negeri.
Hal itu tentu menjadi sinyal bahwa maraknya praktik e-commerce tidak berbanding dengan peningkatan sektor usaha terutama di lini bisnis mikro, kecil, dan menengah. Dengan kondisi itu maka dapat dikatakan bahwa dampaknya pada pertumbuhan ekonomi yang berkualitas pun sangat minim.
Melihat hal tersebut, Direktur Jenderal Industri Kecil dan Menengah, Kementerian Perindustrian Gati Wibawaningsih berjanji akan mendorong sejumlah marketplace agar proporsi produk lokal, terutama produk industri kecil dan menengah, bisa meningkat.
Menurut data dari Sensus Ekonomi 2016, Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan industri e-commerce Indonesia telah tumbuh 17 persen dalam dalam sepuluh tahun terakhir. Bahkan, pertumbuhan itu disebut-sebut sebagai yang tertinggi di dunia. Sementara nilai transaksi e-commerce 2018 ini diprediksi akan mencapai Rp144 triliun.
Praktik impor juga membawa dampak buruk pada nilai tukar karena memaksa pelaku ekonomi untuk terus menerus bergantung kepada mata uang asing terutama dollar AS, yang membuat kurs rupiah terombang-ambing. Sepanjang tahun ini, nilai tukar rupiah masih bertengger di level Rp14.000 sampai 15.000 per dollar AS. Sehubungan dengan hal tersebut, pemerintah akan melakukan seleksi ketat terhadap 900 komoditas impor yang masuk ke Indonesia.
Apa yang diungkapkan oleh pemerintah senada dengan data yang dimiliki lembaga riset terkemuka Indef. Menurut salah seorang penelitinya, Bhima Yudhistira Adhinegara, hanya 6-7 persen dari keseluruhan produk yang beredar di pasar-pasar elektronik ini berasal dari pengusaha lokal. “Spending investasi start up e-commerce yang cukup besar membuat secara tidak langsung marketplace mempromosikan produk-produk impor ketimbang produk-produk dalam negeri,” kata dia. “Perkembangan e-commerce berkorelasi  dengan naiknya impor barang konsumsi.”
Sementara itu produk-produk lokal yang diproduksi oleh pengusaha mikro kecil dan menengah yang sudah masuk e-commerce, didominasi oleh pelaku usaha yang baru saja memasuki industri. Di sisi lain, tambah Bhima, pelaku UMKM di sektor pertanian, peternakan, kehutanan (fresh food product) kebanyakan belum masuk platform e-commerce.
Luka lain akibat maraknya e-commerce yang belakangan ini mulai mewujud adalah makin melebarnya defisit neraca perdagangan. Sebagaimana disebutkan oleh BPS bahwa defisit neraca dagang sepanjang 2018 mencapai  8,57 miliar dollar AS, yang merupakan defisit terbesar sepanjang sejarah perekonomian Indonesia sejak merdeka.
Memang penyebab melebarnya defisit bukan semata-mata dipicu oleh melonjaknya impor dari barang-barang yang dijual lewat daring yang belakangan memang marak. Meski begitu perkembangan jual beli daring harus menjadi perhatian tersendiri dari pemerintah karena bisa menimbulkan kekhawatiran.
Faisal Basri, ekonom Universitas Indonesia mengatakan, keberadaan e-commerce mendorong minat investor asing untuk menaruh dananya di Indonesia. Tetapi  lanjut dia, hal tersebut akan meningkatkan impor Indonesia.
Impor yang meningkat pada akhirnya akan memicu defisit neraca perdagangan Indonesia. Karena seperti yang selama ini dilihat Faisal, sebagian besar yang diperjualbelikan dalam transaksi e-commerce adalah barang-barang impor. “Era digital telah mengubah aspek kehidupan, pola produksi, pola transaksi, dan gaya hidup,” katanya.
Terlebih, kondisi tersebut juga berdampak negatif pada produk-produk dalam negeri yang diproduksi oleh pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Hal ini juga tercermin dari mulai melemahnya pertumbuhan kredit di sektor tersebut. Berdasarkan catatan Bank Indonesia, kredit UMKM sampai Desember 2018 tercatat tumbuh 9,9 persen. Sedangkan pertumbuhan kredit secara total mencapai 11,7 persen dan sektor korporasi naik sebesar 13,4 persen. BI melihat angka pertumbuhan kredit UMKM disebabkan oleh perlambatan kredit modal kerja UMKM yang diimbangi dengan peningkatan kredit investasi
"Di era digital ini, kemudian transaksi semakin marak, PPN (Pajak Pertambahan Nilai) naik, tetapi yang diperdagangkan semakin banyak barang dan jasa yang impor. Maka dari itu jika sektor produksinya tak dibenahi, maka basis pajak jangka panjang kurang kokoh," ucapnya.


Masalah Pajak
Sebelum tahun 2018, praktik jual beli daring yang makin merebak tidak memberikan dampak signifikan ke dalam pendapatan negara. Pasalnya, meskipun angka perdagangan bisa mencapai Rp100 triliun, pemerintah tidak bisa menarik pajak dari transaksi tersebut. Setidaknya hingga triwulan pertama tahun lalu.
Mengetahui begitu besarnya uang yang beredar di industri tersebut akhirnya pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan No 210/PMK.010/2018 Tentang Perlakuan Perpajakan untuk E-Commerce. Salah satu yang diatur dalam aturan ini adalah kewajiban pedagang dan penyedia jasa yang berjualan melalui platform marketplace untuk memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak ( NPWP) dan memberitahukannya kepada pihak penyedia platform marketplace.
Jika belum memiliki NPWP, dapat memilih opsi mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP atau memberitahukan Nomor Induk Kependudukan (NIK) kepada penyedia platform marketplace. Pedagang daring juga harus melaksanakan kewajiban terkait PPh sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Ini termasuk membayar pajak final dengan tarif 0,5 persen dari omzet dalam hal omzet tidak melebihi Rp 4,8 miliar dalam setahun.
Aturan yang telah dirilis pemerintah tersebut setidaknya bisa sedikit mengobati luka yang diakibatkan goresan perkembangan e-commerce. Atau setidaknya pemerintah bisa memiliki modal tambahan untuk mengobat luka tersebut.

(dipublikasikan Jan-Feb 2019)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar