Setiap usaha yang diniatkan untuk berkembang, selalu
membutuhkan batu pijakan yang menjadi pertanda bahwa prosesnya berada dalam
jalur yang benar. Lazimnya tidak hanya satu batu pijakan –atau biasa disebut
milestone –yang dibutuhkan, tapi
beberapa. Hal itu untuk memastikan bahwa perkembangan itu menuju sebuah
kemajuan.
Bank
syariah pun demikian. Ketika pertama diletupkan
lewat sebuah ghirrah keislaman di era
akhir 80-an, pada 1991 berdiri sebuah bank yang melandaskan semua operasional
bisnisnya dengan nilai-nilai keislaman. Setelah itu optimisme yang melangit
akan berkembangnya iB di Indonesia pun muncul. Wajar saja, dengan penduduk
muslim terbesar di dunia, Indonesia diyakini bisa dengan mudah mendongkrak
performa bisnisnya dan menjadi pemimpin pasar dalam praktik perbankan syariah.
Namun
demikian, otoritas nampaknya lamban menanggapi semangat publik yang muncul yang
menginginkan dukungan ekosistem yang layak agar perbankan syariah –juga
keuangan syariah – bisa berkembang pesat.
Setelah tujuh tahun Bank Muamalat, bank syariah pertama di Indonesia, berdiri,
pemerintah baru bergerak. Tepatnya pada 10 November 1998, pemerintah mengamendemen
Undang-Undang Perbankan, menjadi UU No. 10 tahun 1998 mengantikan UU perbankan
sebelumnya. Bank umum konvensional boleh membuka cabang khusus yang melakukan
kegiatan berdasarkan prinsip syariah yang menjadi awal berlakunya dual banking system di Indonesia.
Setelah
itu dukungan-dukungan lain mulai berkelindan. Didirikannya Dewan Syariah Nasional,
mulai terbitnya fatwa-fatwa dari dewan itu, hingga dibentuknya biro (yang
kemudian menjadi direktorat) perbankan syariah di Bank Indonesia menjadi
fakta-fakta yang hadir setahun-dua tahun berikutnya.
Akan tetapi, upaya-upaya itu dan beragam
dukungan lainnya masih belum mampu mempertemukan apa yang menjadi potensi
perbankan syariah di Indonesia dengan apa yang diharapkan. Pada akhirnya,
setelah 30 tahun berjalan, potensi-potensi yang selalu disebut-sebut dan
disematkan kepada Indonesia, masih tetap menjadi potensi.
Kondisi
itu tidak bisa dilepaskan dari batu sandungan yang kerap menjadi momok bagi
pertumbuhan perbankan syariah di Indonesia. Salah satu yang oleh para pengamat
dan ahli ekonomi syariah dinilai menjadi penghambat adalah pemahaman yang masih
rendah dari masyarakat mengenai perbankan syariah.
Selain
itu juga masih adanya keyakinan di sebagian umat muslim seputar haramnya bunga
bank. Keyakinan itu disebabkan masih adanya ikhtilaf (perbedaan pendapat) ulama
di seputar masalah itu juga. Oleh karena itu sosialisasi pelaku-pelaku
perbankan syariah menjadi tidak mudah yang pada akhirnya membuat minat umat
Islam untuk berbank syariah menjadi tidak terdongkrak.
Menurut
Ikhwan Abidin, pengamat keuangan syariah, sosialisasi juga mendapat
tantangan ketika ormas Islam atau ulama yang disegani, masih enggan berbicara
tentang haramnya bunga bank. Bahkan sebagian ada yang memang menganggap enteng
persoalan tersebut dan sebagian lainnya merasa sudah cukup nyaman dan mapan
dengan kondisi lembaga keuangan yang berbasis riba ini.
Kendala
lain yang menghambat perkembangan bank syariah adalah soal terbatasnya Sumber
Daya Insani (SDI). Saat ini, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa SDI bank
syariah pada umumnya adalah tenaga karbitan.
Bank syariah ketika hadir memang
terkesan instan dan tiba-tiba, artinya ekosistem penyediaan pegawainya belum
selengkap bank konvensional. Oleh karena itu banyak dari pegawai-pegawai bank
syariah yang diambil dari bank konvensional, terutama untuk manajemen level
menengah ke atas.
Diperlukan pemecahan persoalan
dalam jangka pendek dengan cara memberikan pelatihan, worshop atau kursus. Sayangnya lembaga penyedia pelatihan semacam
ini masih sangat jarang seperti Batasa
Tazkia, ICDIF-LPPI, Karim Consulting, Muamalat Insitute, SEBI dan lain-lain.
Milestone Baru
Oleh
karena itu masyarakat terus mengharapkan adanya dorongan baru bank syariah agar
bisa menciptakan milestone baru agar perkembangan yang ada benar-benar menuju
kepada kemajuan. Harapan itu sedikit berpendar ketika Undang-Undang No. 21
tahun 2008 tentang Perbankan Syariah memberikan tuahnya.
Dalam
undang-undang itu singkatnya disebutkan paling lambat pada 2023, semua bank
yang masih memiliki unit usaha syariah diharuskan melepaskan unitnya itu untuk
menjadi bank umum syariah tersendiri. Atau bahkan bank induknya sendiri yang
memilik unit syariah yang mengonversi seluruh layananannya kepada syariah.
Meski
masih sekitar empat tahun lagi, animo publik terutama para pelaku perbankan
syariah diperkirakan sudah akan muncul tahun ini. Pasalnya menjelang tahun yang
ditentukan itu, manajemen bank harus mempersiapkan lembaganya jauh sebelumnya.
Berkaca dari pengalaman Bank NTB dan Bank Aceh yang sudah mengonversi layanan
perbankannya menjadi syariah, dibutuhkan waktu setidaknya tiga tahun, mulai
dari persetujuan pemegang saham, persiapan sistem dan prosedur internal,
sosialisasi hingga peresmiannya.
Krusialnya
tahun ini bagi perbankan syariah juga disebabkan oleh langkah-langkah strategis
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang akan dilakukan tahun ini. Di antaranya adalah
peningkatan kapasitas kelembagaan, sumber daya manusia (SDM), dan teknologi
informasi (TI) industri perbankan syariah. Juga peningkatan ketersediaan produk
dan layanan perbankan syariah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Serta peningkatan
inklusi produk perbankan syariah melalui sosialisasi dan literasi masyarakat.
(dipublikasikan Mei-Juni 2019)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar