Jumat, 12 Juli 2019

Membidik Milestone Baru



 Industri syariah sudah lama berharap hadirnya milestone baru. Namun sejatinya hal itu tidak ditunggu, tetapi diciptakan.

Setiap usaha yang diniatkan untuk berkembang, selalu membutuhkan batu pijakan yang menjadi pertanda bahwa prosesnya berada dalam jalur yang benar. Lazimnya tidak hanya satu batu pijakan –atau biasa disebut milestone –yang  dibutuhkan, tapi beberapa. Hal itu untuk memastikan bahwa perkembangan itu menuju sebuah kemajuan.
                Bank syariah pun  demikian. Ketika pertama diletupkan lewat sebuah ghirrah keislaman di era akhir 80-an, pada 1991 berdiri sebuah bank yang melandaskan semua operasional bisnisnya dengan nilai-nilai keislaman. Setelah itu optimisme yang melangit akan berkembangnya iB di Indonesia pun muncul. Wajar saja, dengan penduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia diyakini bisa dengan mudah mendongkrak performa bisnisnya dan menjadi pemimpin pasar dalam praktik perbankan syariah.
                Namun demikian, otoritas nampaknya lamban menanggapi semangat publik yang muncul yang menginginkan dukungan ekosistem yang layak agar perbankan syariah –juga keuangan syariah – bisa berkembang  pesat. Setelah tujuh tahun Bank Muamalat, bank syariah pertama di Indonesia, berdiri, pemerintah baru bergerak. Tepatnya pada 10 November 1998, pemerintah mengamendemen Undang-Undang Perbankan, menjadi UU No. 10 tahun 1998 mengantikan UU perbankan sebelumnya. Bank umum konvensional boleh membuka cabang khusus yang melakukan kegiatan berdasarkan prinsip syariah yang menjadi awal berlakunya dual banking system di Indonesia.
                Setelah itu dukungan-dukungan lain mulai berkelindan. Didirikannya Dewan Syariah Nasional, mulai terbitnya fatwa-fatwa dari dewan itu, hingga dibentuknya biro (yang kemudian menjadi direktorat) perbankan syariah di Bank Indonesia menjadi fakta-fakta yang hadir setahun-dua tahun berikutnya.
                 Akan tetapi, upaya-upaya itu dan beragam dukungan lainnya masih belum mampu mempertemukan apa yang menjadi potensi perbankan syariah di Indonesia dengan apa yang diharapkan. Pada akhirnya, setelah 30 tahun berjalan, potensi-potensi yang selalu disebut-sebut dan disematkan kepada Indonesia, masih tetap menjadi potensi.
                Kondisi itu tidak bisa dilepaskan dari batu sandungan yang kerap menjadi momok bagi pertumbuhan perbankan syariah di Indonesia. Salah satu yang oleh para pengamat dan ahli ekonomi syariah dinilai menjadi penghambat adalah pemahaman yang masih rendah dari masyarakat mengenai perbankan syariah.
                Selain itu juga masih adanya keyakinan di sebagian umat muslim seputar haramnya bunga bank. Keyakinan itu disebabkan masih adanya ikhtilaf (perbedaan pendapat) ulama di seputar masalah itu juga. Oleh karena itu sosialisasi pelaku-pelaku perbankan syariah menjadi tidak mudah yang pada akhirnya membuat minat umat Islam untuk berbank syariah menjadi tidak terdongkrak.
                Menurut Ikhwan Abidin, pengamat keuangan syariah, sosialisasi juga mendapat tantangan ketika ormas Islam atau ulama yang disegani, masih enggan berbicara tentang haramnya bunga bank. Bahkan sebagian ada yang memang menganggap enteng persoalan tersebut dan sebagian lainnya merasa sudah cukup nyaman dan mapan dengan kondisi lembaga keuangan yang berbasis riba ini.
                Kendala lain yang menghambat perkembangan bank syariah adalah soal terbatasnya Sumber Daya Insani (SDI). Saat ini, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa SDI bank syariah pada umumnya adalah tenaga karbitan.
Bank syariah ketika hadir memang terkesan instan dan tiba-tiba, artinya ekosistem penyediaan pegawainya belum selengkap bank konvensional. Oleh karena itu banyak dari pegawai-pegawai bank syariah yang diambil dari bank konvensional, terutama untuk manajemen level menengah ke atas.
Diperlukan pemecahan persoalan dalam jangka pendek dengan cara memberikan pelatihan, worshop atau kursus. Sayangnya lembaga penyedia pelatihan semacam ini masih  sangat jarang seperti Batasa Tazkia, ICDIF-LPPI, Karim Consulting, Muamalat Insitute,  SEBI dan lain-lain.
               
Milestone Baru
                Oleh karena itu masyarakat terus mengharapkan adanya dorongan baru bank syariah agar bisa menciptakan milestone baru agar perkembangan yang ada benar-benar menuju kepada kemajuan. Harapan itu sedikit berpendar ketika Undang-Undang No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah memberikan tuahnya.
                Dalam undang-undang itu singkatnya disebutkan paling lambat pada 2023, semua bank yang masih memiliki unit usaha syariah diharuskan melepaskan unitnya itu untuk menjadi bank umum syariah tersendiri. Atau bahkan bank induknya sendiri yang memilik unit syariah yang mengonversi seluruh layananannya kepada syariah.
                Meski masih sekitar empat tahun lagi, animo publik terutama para pelaku perbankan syariah diperkirakan sudah akan muncul tahun ini. Pasalnya menjelang tahun yang ditentukan itu, manajemen bank harus mempersiapkan lembaganya jauh sebelumnya. Berkaca dari pengalaman Bank NTB dan Bank Aceh yang sudah mengonversi layanan perbankannya menjadi syariah, dibutuhkan waktu setidaknya tiga tahun, mulai dari persetujuan pemegang saham, persiapan sistem dan prosedur internal, sosialisasi hingga peresmiannya.
                Krusialnya tahun ini bagi perbankan syariah juga disebabkan oleh langkah-langkah strategis Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang akan dilakukan tahun ini. Di antaranya adalah peningkatan kapasitas kelembagaan, sumber daya manusia (SDM), dan teknologi informasi (TI) industri perbankan syariah. Juga peningkatan ketersediaan produk dan layanan perbankan syariah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Serta peningkatan inklusi produk perbankan syariah melalui sosialisasi dan literasi masyarakat.
                
(dipublikasikan Mei-Juni 2019)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar