Bank sentral dan otoritas keuangan bukannya tidak
menginginkan layanan keuangan berbasis teknologi digital berkembang pesat.
Namun demikian, regulator lebih mengedepankan stabilitas dan memilih
menghindari risiko.
Dua dasawarsa terakhir ini, dunia telah menyaksikan
perkembangan teknologi yang sangat pesat yang mengubah kehidupan hampir semua
orang di dalamnya. Mulai dari kemunculan internet sampai berkembangnya layanan
digital telah mengubah cara orang dalam memenuhi kebutuhan hidup.
Kini, dari memanggil taksi, beli
makanan, nonton film, dokter sampai layanan keuangan, semuanya sudah bisa
dilakukan dengan satu ketukan di layar. Dan tampaknya masyarakat yang menjadi
pengguna utama layanan digital tidak butuh lama untuk menyesuaikan diri dengan
perkembangan itu, meski ada sedikit onak dan duri.
Akan tetap, hal yang berbeda
terjadi pada otoritas dan pemerintah ketika harus menyesuaikan diri dengan
perkembangan digital. Hal itu terungkap dari sebuah laporan Bank Dunia, Ekonomi Digital di Asia Tenggara -
Memperkuat Fondasi untuk Pertumbuhan Masa Depan. Laporan itu menganalisis
peluang dan tantangan yang dihadapi kawasan untuk meningkatkan pengembangan
digital, dan untuk memastikan dividen ekonomi dan sosial dari teknologi dapat
menjangkau semua orang.
“Negara-negara Asia Tenggara
telah membuat kemajuan signifikan dalam sektor digital, ”kata Boutheina
Guermazi, Direktur Bank Dunia untuk Pengembangan Digital. “Tetapi meskipun
masyarakat telah menerima layanan digital, adopsi oleh bisnis dan pemerintah
umumnya lebih lambat. Kemacetan regulasi dan kurangnya kepercayaan pada
transaksi elektronik menghambat pertumbuhan sistem digital. Penelitian inovatif
ini dapat membantu negara-negara ASEAN mengatasi tantangan ini untuk
menciptakan ekonomi digital yang kuat dan inklusif.”
Laporan tersebut mengidentifikasi
beberapa langkah yang harus difokuskan untuk pengembangan digital di Asia
Tenggara, dimulai dengan perluasan konektivitas, tulang punggung ekonomi
digital. Lalu ada menurunkan ‘harga’ untuk mengakses internet, meningkatkan
kecepatannya, membuat layanan internet yang andal ke daerah-daerah yang kurang
terlayani.
Upaya mencapai solusi dari
permasalahan itu lebih banyak dipegang oleh pemerintah dan otoritas keuangan.
Keduanya memiliki keistimewaan berupa wewenang menerbitkan regulasi. Meski
begitu, keduanya kerapkali tertinggal dalam mengikuti gerak dan perkembangan
bisnis, tidak terkecuali pada saat layanan digital merangsek bisnis keuangan.
Fenomena maraknya financial technology (fintech) yang
akhirnya mendesak perbankan seharusnya diikuti oleh regulasi yang solutif yang
mendukung keinginan bank untuk menyesuaikan diri terhadap tekanan itu. Namun
demikian keinginan itu tertunda karena peraturan yang lambat hadir.
Terlambat lebih baik dari pada
tidak sama sekali. Bank sudah bisa meresponsnya dengan menghadirkan Jenius,
produk dari Bank BTPN; Digibank dari DBS; atau bank-bank pelat merah yang
melahirkan LinkAja. Ke depan, akan makin banyak perbankan yang menghadirkan
layanan digital sebagai ganti layanan manual yang selama ini dipraktikkannya.
Ke semua itu
tidak bisa dilepaskan dari diterbitkannya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
Nomor 13 tahun 2018 tentang Inovasi Keuangan Digital (IKD) di Sektor Keuangan.
Meski baru muncul setelah layanan fintech sudah merebak, namun aturan itu
dirasa mumpuni untuk menjadi panduan penerapan tata kelola Fintech untuk
lembaga keuangan.
Meski
demikian, peraturan ini menurut Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad, tidak
cukup karena tidak bisa melindungi perbankan dari gempuran keuangan digital,
khususnya kelompok Bank Buku I. “BPR-BPR (Bank Perkreditan Rakyat) dan sebagian
BPD (Bank Pembangunan Daerah) yang
modalnya kecil sangat kewalahan menghadapi gempuran fintech karena tidak
punya kemampuan inovasi dalam layanan digital,” kata dia.
Perkembangan
teknologi digital di sektor keuangan, lanjut Tauhid, pada dasarnya telah
berkembang pesat sejak dua tahun terakhir, khususnya fintech. Akumulasi jumlah
pinjaman layanan ini sudah menyentuh angka Rp41 triliun sampai Mei 2019 dengan
pertumbuhan sejak Desember 2018 dengan pertumbuhan sebesar 81,06 persen.
Sementara itu jumlah borrowernya adalah 8,7 juta rekening dengan pertumbuhan
kurun waktu yang sama 100,72 persen.
Perkembangan
ini tentu saja menandakan terjadi arus perubahan yang besar dari perilaku
konsumen di sektor keuangan pada financial technology. Implikasinya sektor keuangan yang tidak
melakukan perubahan business modelnya akan tergerus akan techonolgy di sektor
keuangan. Tidak hanya perbankan tetapi perusahaan-perusahaan di yang bergerak
di pasar saham, obligasi dan lain sebagainya akan tergerus market sharenya oleh
perusahaan financial technology ini.
Akan tetapi,
perkembangan mengagumkan itu belum bisa berpengaruh signifikan kepada
perekonomian nasional. Menurut Tauhid, hal itu dikarenakan sebagian dana
pinjaman digunakan untuk konsumsi ketimpang untuk investasi ataupun modal
kerja. “Misalnya untuk beli alat elektronik, pakaian,dan dominan bukan
kebutuhan primer. Di samping nilai akumulasinya baru sekitar Rp41 triliun.
Masih peanut jika dibandingkan dengan
kredit perbankan,” ujar dia.
Tetapi ke
depan, dia meyakini peran fintech akan lebih besar lagi dan akan menjadi pemain
yang berpengaruh cukup signifikan bila dalam tiga tahun mendatang
pertumbuhannya tetap stabil di level 13 persen per bulannya. Jika itu terjadi
maka nilai pasarnya akan mencapai Rp 2.170 triliun.
“Ini akan
sangat luar biasa. Saya kira, bank-bank kecil yang tidak punya unit fintech
akan tutup. Ancaman juga bagi bank-bank besar apabila tidak melakukan perubahan
dalam strategi bisnisnya,” lanjut Tauhid.
Karena itu,
pemerintah dan otoritas, kata dia, perlu mengantisipasi hal ini karena disrupsi
di sektor keuangan akan banyak mengubah pilar-pilar sektor ekonomi, khususnya
dari dimensi pembiayaan sektor swasta dan masyarakat.
Inovasi vs Risiko
Publik,
terutama kalangan pelaku bisnis fintech dan sebagian masyarakat, tentu
menginginkan otoritas yang lebih responsif dan peraturan yang lebih longgar.
Akan tetapi, pihak otoritas sendiri tentu perlu mengubah mindset-nya dulu. Bahkan di era perubahan yang sangat cepat ini
tidak mudah untuk mengubah mindset otoritas yang tentunya mendahulukan
stabilitas dan banyak mengkhawatirkan risiko.
Deputi
Gubernur Bank Indonesia, Sugeng menuturkan bahwa, setidaknya ada dua pendekatan
yang ditempuh BI dalam menghadapi perkembangan ekonomi digital. Pendekatan itu
adalah menjaga keseimbangan antara upaya menggali inovasi dan menjaga stabilitas.
Dalam upaya
menggali inovasi, BI akan mendorong promosi inovasi dalam ekonomi digital,
menyediakan ekosistem yang mendukung pengembangan ekonomi digital, dan
mendorong pertumbuhan ekonomi melalui ekonomi digital. “Sementara itu, dalam
menjaga stabilitas, BI akan mendorong stabilitas ekonomi tetap terjaga,
mencegah tindak Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU
PPT), dan mendorong perlindungan konsumen,” kata dia, beberapa bulan lalu.
Sugeng
melanjutkan, ada lima peran BI dalam pengembangan ekonomi digital. Peran itu
adalah mendorong integrasi ekonomi digital, mendorong digitalisasi perbankan,
mendorong kolaborasi antara bank dan fintech, mengupayakan keseimbangan yang
tepat antara inovasi dan menjaga stabilitas serta persaingan yang sehat di
antara pelaku ekonomi digital. "Terakhir, memastikan keamanan nasional
dalam ekonomi digital," katanya.
Kekhawatiran
mengenai risiko mungkin tidak berlebihan. Bank sentral sudah cukup melihat
ketika kemunculan kartu kredit pada tahun 1950 telah merevolusi belanja tetapi
juga memicu budaya utang konsumen. Sekuritisasi melumasi pasar modal pada
1980-an tetapi memicu krisis subprime, terutama di AS. Oleh karena itu, tidak
kurang dari The Federal Reserve pun menyimpan kekhawatiran sejenis pada perkembangan
fintech.
The
Fed khawatir fintech akan menjadi sumber krisis berikutnya karena dianggap kurang
kuat manajemen risiko dan perlindungan konsumennya. Apalagi, perusahaan fintech
menginginkan aturan yang fleksibel. "Mereka
mungkin ingin akses ke sistem pembayaran, tapi mereka tidak ingin peraturan
yang akan ditetapkan dengan (adanya) akses tersebut," ujar Presiden the
Fed wilayah St Louis James Bullard dikutip dari Reuters. "Saya khawatir fintech akan menjadi sumber krisis
berikutnya."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar