Rabu, 17 Juli 2019

Mencari Celah di Antara Inovasi dan Risiko


Bank sentral dan otoritas keuangan bukannya tidak menginginkan layanan keuangan berbasis teknologi digital berkembang pesat. Namun demikian, regulator lebih mengedepankan stabilitas dan memilih menghindari risiko.


Dua dasawarsa terakhir ini, dunia telah menyaksikan perkembangan teknologi yang sangat pesat yang mengubah kehidupan hampir semua orang di dalamnya. Mulai dari kemunculan internet sampai berkembangnya layanan digital telah mengubah cara orang dalam memenuhi kebutuhan hidup.
Kini, dari memanggil taksi, beli makanan, nonton film, dokter sampai layanan keuangan, semuanya sudah bisa dilakukan dengan satu ketukan di layar. Dan tampaknya masyarakat yang menjadi pengguna utama layanan digital tidak butuh lama untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan itu, meski ada sedikit onak dan duri.
Akan tetap, hal yang berbeda terjadi pada otoritas dan pemerintah ketika harus menyesuaikan diri dengan perkembangan digital. Hal itu terungkap dari sebuah laporan Bank Dunia, Ekonomi Digital di Asia Tenggara - Memperkuat Fondasi untuk Pertumbuhan Masa Depan. Laporan itu menganalisis peluang dan tantangan yang dihadapi kawasan untuk meningkatkan pengembangan digital, dan untuk memastikan dividen ekonomi dan sosial dari teknologi dapat menjangkau semua orang.
“Negara-negara Asia Tenggara telah membuat kemajuan signifikan dalam sektor digital, ”kata Boutheina Guermazi, Direktur Bank Dunia untuk Pengembangan Digital. “Tetapi meskipun masyarakat telah menerima layanan digital, adopsi oleh bisnis dan pemerintah umumnya lebih lambat. Kemacetan regulasi dan kurangnya kepercayaan pada transaksi elektronik menghambat pertumbuhan sistem digital. Penelitian inovatif ini dapat membantu negara-negara ASEAN mengatasi tantangan ini untuk menciptakan ekonomi digital yang kuat dan inklusif.”
Laporan tersebut mengidentifikasi beberapa langkah yang harus difokuskan untuk pengembangan digital di Asia Tenggara, dimulai dengan perluasan konektivitas, tulang punggung ekonomi digital. Lalu ada menurunkan ‘harga’ untuk mengakses internet, meningkatkan kecepatannya, membuat layanan internet yang andal ke daerah-daerah yang kurang terlayani.
Upaya mencapai solusi dari permasalahan itu lebih banyak dipegang oleh pemerintah dan otoritas keuangan. Keduanya memiliki keistimewaan berupa wewenang menerbitkan regulasi. Meski begitu, keduanya kerapkali tertinggal dalam mengikuti gerak dan perkembangan bisnis, tidak terkecuali pada saat layanan digital merangsek bisnis keuangan.
Fenomena maraknya financial technology (fintech) yang akhirnya mendesak perbankan seharusnya diikuti oleh regulasi yang solutif yang mendukung keinginan bank untuk menyesuaikan diri terhadap tekanan itu. Namun demikian keinginan itu tertunda karena peraturan yang lambat hadir.
Terlambat lebih baik dari pada tidak sama sekali. Bank sudah bisa meresponsnya dengan menghadirkan Jenius, produk dari Bank BTPN; Digibank dari DBS; atau bank-bank pelat merah yang melahirkan LinkAja. Ke depan, akan makin banyak perbankan yang menghadirkan layanan digital sebagai ganti layanan manual yang selama ini dipraktikkannya.
Ke semua itu tidak bisa dilepaskan dari diterbitkannya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13 tahun 2018 tentang Inovasi Keuangan Digital (IKD) di Sektor Keuangan. Meski baru muncul setelah layanan fintech sudah merebak, namun aturan itu dirasa mumpuni untuk menjadi panduan penerapan tata kelola Fintech untuk lembaga keuangan.
Meski demikian, peraturan ini menurut Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad, tidak cukup karena tidak bisa melindungi perbankan dari gempuran keuangan digital, khususnya kelompok Bank Buku I. “BPR-BPR (Bank Perkreditan Rakyat) dan sebagian BPD (Bank Pembangunan Daerah) yang  modalnya kecil sangat kewalahan menghadapi gempuran fintech karena tidak punya kemampuan inovasi dalam layanan digital,” kata dia.
Perkembangan teknologi digital di sektor keuangan, lanjut Tauhid, pada dasarnya telah berkembang pesat sejak dua tahun terakhir, khususnya fintech. Akumulasi jumlah pinjaman layanan ini sudah menyentuh angka Rp41 triliun sampai Mei 2019 dengan pertumbuhan sejak Desember 2018 dengan pertumbuhan sebesar 81,06 persen. Sementara itu jumlah borrowernya adalah 8,7 juta rekening dengan pertumbuhan kurun waktu yang sama 100,72 persen.
Perkembangan ini tentu saja menandakan terjadi arus perubahan yang besar dari perilaku konsumen di sektor keuangan pada financial technology.  Implikasinya sektor keuangan yang tidak melakukan perubahan business modelnya akan tergerus akan techonolgy di sektor keuangan. Tidak hanya perbankan tetapi perusahaan-perusahaan di yang bergerak di pasar saham, obligasi dan lain sebagainya akan tergerus market sharenya oleh perusahaan financial technology ini.
Akan tetapi, perkembangan mengagumkan itu belum bisa berpengaruh signifikan kepada perekonomian nasional. Menurut Tauhid, hal itu dikarenakan sebagian dana pinjaman digunakan untuk konsumsi ketimpang untuk investasi ataupun modal kerja. “Misalnya untuk beli alat elektronik, pakaian,dan dominan bukan kebutuhan primer. Di samping nilai akumulasinya baru sekitar Rp41 triliun. Masih peanut jika dibandingkan dengan kredit perbankan,” ujar dia.
Tetapi ke depan, dia meyakini peran fintech akan lebih besar lagi dan akan menjadi pemain yang berpengaruh cukup signifikan bila dalam tiga tahun mendatang pertumbuhannya tetap stabil di level 13 persen per bulannya. Jika itu terjadi maka nilai pasarnya akan mencapai Rp 2.170 triliun.
“Ini akan sangat luar biasa. Saya kira, bank-bank kecil yang tidak punya unit fintech akan tutup. Ancaman juga bagi bank-bank besar apabila tidak melakukan perubahan dalam strategi bisnisnya,” lanjut Tauhid.
Karena itu, pemerintah dan otoritas, kata dia, perlu mengantisipasi hal ini karena disrupsi di sektor keuangan akan banyak mengubah pilar-pilar sektor ekonomi, khususnya dari dimensi pembiayaan sektor swasta dan masyarakat.

Inovasi vs Risiko
Publik, terutama kalangan pelaku bisnis fintech dan sebagian masyarakat, tentu menginginkan otoritas yang lebih responsif dan peraturan yang lebih longgar. Akan tetapi, pihak otoritas sendiri tentu perlu mengubah mindset-nya dulu. Bahkan di era perubahan yang sangat cepat ini tidak mudah untuk mengubah mindset otoritas yang tentunya mendahulukan stabilitas dan banyak mengkhawatirkan risiko.
Deputi Gubernur Bank Indonesia, Sugeng menuturkan bahwa, setidaknya ada dua pendekatan yang ditempuh BI dalam menghadapi perkembangan ekonomi digital. Pendekatan itu adalah menjaga keseimbangan antara upaya menggali inovasi dan menjaga stabilitas.
Dalam upaya menggali inovasi, BI akan mendorong promosi inovasi dalam ekonomi digital, menyediakan ekosistem yang mendukung pengembangan ekonomi digital, dan mendorong pertumbuhan ekonomi melalui ekonomi digital. “Sementara itu, dalam menjaga stabilitas, BI akan mendorong stabilitas ekonomi tetap terjaga, mencegah tindak Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU PPT), dan mendorong perlindungan konsumen,” kata dia, beberapa bulan lalu.
Sugeng melanjutkan, ada lima peran BI dalam pengembangan ekonomi digital. Peran itu adalah mendorong integrasi ekonomi digital, mendorong digitalisasi perbankan, mendorong kolaborasi antara bank dan fintech, mengupayakan keseimbangan yang tepat antara inovasi dan menjaga stabilitas serta persaingan yang sehat di antara pelaku ekonomi digital. "Terakhir, memastikan keamanan nasional dalam ekonomi digital," katanya.
Kekhawatiran mengenai risiko mungkin tidak berlebihan. Bank sentral sudah cukup melihat ketika kemunculan kartu kredit pada tahun 1950 telah merevolusi belanja tetapi juga memicu budaya utang konsumen. Sekuritisasi melumasi pasar modal pada 1980-an tetapi memicu krisis subprime, terutama di AS. Oleh karena itu, tidak kurang dari The Federal Reserve pun menyimpan kekhawatiran sejenis pada perkembangan fintech.
                     The Fed khawatir fintech akan menjadi sumber krisis berikutnya karena dianggap kurang kuat manajemen risiko dan perlindungan konsumennya. Apalagi, perusahaan fintech menginginkan aturan yang fleksibel.  "Mereka mungkin ingin akses ke sistem pembayaran, tapi mereka tidak ingin peraturan yang akan ditetapkan dengan (adanya) akses tersebut," ujar Presiden the Fed wilayah St Louis James Bullard dikutip dari Reuters. "Saya khawatir fintech akan menjadi sumber krisis berikutnya."

(dipublikasikan Juni-Juli 2019)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar