Kamis, 11 Juli 2019

Alarm Krisis Telah Berbunyi


Nilai tukar rupiah atas dollar AS terpuruk ke posisi paling buruk sejak krisis dua dekade lalu. namun demikian sebagian pengamat menganggap krisis belum akan terjadi.


Mungkin sudah menjadi kelaziman, setiap menghadapi keadaan nilai tukar rupiah yang terus melemah atas dollar AS pemerintah terus mengatakan bahwa fundamental kita tetap baik. kelaziman lain yang diucapkan adalah menyalahkan ekonomi negara lain atau faktor internal dari pelemahan itu, alih-alih memilih memberikan solusi yang lebih permanen.
                Sampai awal September, posisi nilai tukar rupiah semakin genting ketika menurut Bloomberg, angkanya sudah menembus Rp14.900 per dollar AS. Nilai itu lebih parah dari awal Januari tahun ini yang masih di level Rp13.542 per dollar AS dan pada Juli yang berada di kisaran Rp14.418 per dollar AS. Artinya telah terjadi depresiasi rupiah terhadap dollar AS sebesar hampir 10 persen sepanjang tahun ini (year to date).
                Nilai tukar rupiah terhadap dollar AS sudah berada dalam posisi terendahnya  sejak Juli 1998, setelah krisis keuangan melanda Asia dan meluluhlantakkan ekonomi Indonesia. Hal ini merupakan alarm peringatan yang berbunyi dan kembali mengantarkan trauma masyarakat akan krisis moneter yang berubah menjadi krisis ekonomi.
                Risiko pelemahan rupiah sejatinya tetap sama seperti dua puluh tahun lalu yaitu akan menghantam sektor riil, pengusaha dan juga pemerintah dalam hal pembayaran utang yang jatuh tempo. “Risiko yang dihadapi tentu berhubungan dengan utang. Selisih kurs yang ditanggung pemerintah muncul saat pembayaran kewajiban jatuh tempo utang,” kata peneliti Indef Bhima Yudhistira Adhinegara.
                Berdasarkan data Bank Indonesia, kewajiban pembayaran utang luar negeri pemerintah yang jatuh tempo di 2018 mencapai 9,1 miliar dollar AS yang terbagi menjadi 5,2 miliar dollar AS pokok dan 3,8 miliar dollar AS kewajiban bunganya.
Jika menggunakan kurs 13.400 sesuai APBN maka pemerintah wajib membayar Rp121,9 triliun. Sementara dengan kurs misalnya saja ada di kisaran Rp14.700 beban pembayaran menjadi Rp 133,7 triliun. “Jadi kalau tidak dikendalikan (rupiah) selisih pembengkakan akibat selisih kurs sebesar Rp 11,8 triliun. Uang Rp 11,8 triliun setara 20 persen dari alokasi dana desa. Seharusnya bisa dibuat belanja produktif tapi malah habis untk bayar selisih kurs. Itu kerugian bagi APBN," kata Bhima.
Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati kembali menegaskan bahwa kondisi perekonomian Indonesia masih bagus dan meyakinkan masyarakat agar tak panik. Pelemahan nilai tukar, sambung dia, lebih disebabkan karena faktor eksternal. Meski demikian ia juga mengklaim pemerintah terus mengupayakan berbagai cara guna memperkuat fondasi perekonomian.
Selain memantau bentuk transaksi di pasar valuta asing, Menkeu juga mengatakan pemerintah terus mendorong ekspor serta memperkuat arus modal masuk dari investasi asing. "Yang kami lakukan sekarang langsung pada fondasi ekonominya. Mana faktor yang dilihat oleh pasar sebagai titik lemah, kami perkuat," kata Menkeu.
Meski begitu, pemerintah tak menampik apabila defisit pada transaksi berjalan dan neraca perdagangan Indonesia terpapar oleh depresiasi nilai tukar ini. Untuk solusi yang sifatnya segera, pemerintah berkomitmen melakukan pengendalian dari sisi kebutuhan devisa. "Karena ini yang bisa dikontrol," ujar Menkeu.
Di sisi lain, Bank Indonesia yang bertugas mengawal pergerakan nilai tukar belum terlihat tuah kebijakannya. BI sudah menaikkan suku bunga acuan pada Agustus, menjadi kenaikan keempat kalinya tahun ini dan sekarang berada di level 5,50 persen.
Melalui siaran pers, BI mengatakan bahwa pihaknya terus mewaspadai risiko ketidakpastian pasar keuangan global dengan tetap melakukan langkah-langkah stabilisasi nilai tukar sesuai nilai fundamentalnya, serta menjaga bekerjanya mekanisme pasar dan didukung upaya-upaya pengembangan pasar keuangan. “Kebijakan tetap ditopang oleh strategi intervensi ganda dan strategi operasi moneter untuk menjaga kecukupan likuiditas khususnya di pasar uang Rupiah dan valas,” kata pengumuman tersebut.
BI juga menyediakan fasilitas swap valuta asing dengan tingkat harga yang lebih murah, sehingga diharapkan mampu menurunkan premi swap pasar.  
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo memprediksi bahwa nilai tukar rupiah terhadap dollar AS akan kembali ke level  Rp 14.300-Rp 14.700 pada tahun depan.
Fluktuasi nilai tukar disebabkan ketidakpastian yang muncul dari global, terutama karena rencana kenaikan suku bunga di AS. “Bank sentral AS meningkatkan suku bunga kebijakannya, dan tahun ini 4 kali, setelah 2 kali kenaikan sebelumnya. 2019 masih naik 3 kali. Selain itu juga pembalikan modal asing termasuk Indonesia. Termasuk meningkatkan imbal hasil," kata Perry.

Lampu Merah
                Sementara itu peneliti Indef Abra Talattov menilai pelemahan nilai tukar rupiah saat ini seharusnya sudah menjadi sinyal keras buat pemerintah dan otoritas agar segera menyiapkan diri secara serius. Hal itu agar ekonomi tidak terperosok karena dampak pelemahan nilai tukar ini.
“Gejolak nilai tukar rupiah sudah lampu merah. Dalam transaksi perdagangan siang ini (3/9) sudah menyentuh Rp14.902 per dollar AS, melanjutkan level terendah sejak krisis 1998,” kata Abra
Menurut dia, pemerintah dan BI harus mampu menjaga kepercayaan pasar bahwa upaya penyelamatan rupiah yang sedang dilakukan pemerintah dilakukan secara struktural dan berdimensi jangka panjang.
Pemerintah harus memberikan ancaman serius kepada para spekulan valas serta memberi contoh dengan mendorong para pejabat dan BUMN untuk menukarkan sebagian aset dollarnya ke rupiah. "Jadi tidak hanya mendesak eksportir untuk menukarkan Devisa Hasil Ekspor atau DHE ke rupiah," kata Abra.
Abra menuturkan, ajakan penukaran rupiah tersebut penting guna menciptakan stabilitas psikologis masyarakat. “Hal yang paling dikhawatirkan ialah kalau sampai gejolak Rupiah saat ini menciptakan sentimen negatif yang semakin membesar menjadi kecemasan massal," ujar Abra.
Selain itu, Abra menambahkan, aneka upaya memperbaiki defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) juga mesti disampaikan secara baik kepada investor. “Jangan sampai rencana kenaikan PPh barang impor dibaca sebagai bentuk proteksi yang berlebihan sehingga justru memantik tindakan balasan atau retaliasi dari para mitra dagang," kata Abra.
Beberapa bulan lalu, Otoritas Jasa Keuangan ( OJK) telah melakukan uji tekanan atau stress test terhadap perbankan. Stress test ini untuk mengukur ketahanan modal dan kecukupan likuiditas perbankan dalam menghadapi perubahan dan shock pada kondisi makro ekonomi. Dalam konferensi pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) di Gedung Bank Indonesia, akhir April 2018 lalu, Wimboh Santoso, Ketua Dewan Komisioner OJK mengatakan bahwa stress test bahkan dilakukan hingga rupiah mendekati level Rp 20.000 per dollar AS. Hasilnya, kondisi perbankan Indonesia masih cukup kuat.
Stress test yang dibuat bersama Bank Indonesia dilakukan pada 20 bank, terdiri dari 18 bank lokal yang satu diantaranya bank umum syariah, serta dua kantor cabang bank asing. Sebanyak 20 bank tersebut total asetnya menguasai sekitar 75,88 persen dari total aset industri perbankan.
                Oleh karena sebagian pengamat mengatakan kondisi saat ini belum akan membawa perekonomian RI kepada krisis seperti yang terjadi dua dekade lalu. Bhima, dari Indef mengatakan kondisi pelemahan kurs rupiah yang terjadi kali ini berbeda dengan yang terjadi pada saat krisis 1998.
Persamaannya yang ada yaitu sama-sama dipicu krisis mata uang negara berkembang. Di mana tahun 1998 dimulai dari Thailand, kemudian ke Indonesia dan di 2018 dimulai dari Turki, Argentina dan merembet ke negara berkembang lain termasuk Indonesia. Biar begitu, dari kesiapan Indonesia menghadapi krisis dikatakannya terlihat sudah sangat siap dan baik, hal itu salah satunya dibuktikan dengan perbaikan rating utang yang signifikan dari lembaga rating internasional.
"Tahun 1998 rating Fitch anjlok hingga B- dengan outlook Negatif. Tahun 2018 per September Fitch memberikan rating utang BBB dengan outlook Stabil," ujar Bhima.
Selain itu, lanjut dia, kinerja pertumbuhan ekonomi 1998 juga merosot ke negatif 13,6 persen. Sedangkan saat ini pertumbuhan ekonomi berada di 5,2 persen per kuartal kedua2018. Inflasi pun dikatakannya sempat naik hingga 77 persen saat krisis moneter atau krismon, sedangkan sekarang cukup stabil di bawah 3,5 persen.

(Dipublikasikan Agustus-September 2018)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar