Nilai tukar rupiah atas dollar AS terpuruk ke posisi paling
buruk sejak krisis dua dekade lalu. namun demikian sebagian pengamat menganggap
krisis belum akan terjadi.
Mungkin sudah menjadi kelaziman, setiap menghadapi keadaan
nilai tukar rupiah yang terus melemah atas dollar AS pemerintah terus
mengatakan bahwa fundamental kita tetap baik. kelaziman lain yang diucapkan
adalah menyalahkan ekonomi negara lain atau faktor internal dari pelemahan itu,
alih-alih memilih memberikan solusi
yang lebih permanen.
Sampai
awal September, posisi nilai tukar rupiah semakin genting ketika menurut
Bloomberg, angkanya sudah menembus Rp14.900 per dollar AS. Nilai itu lebih
parah dari awal Januari tahun ini yang masih di level Rp13.542 per dollar AS
dan pada Juli yang berada di kisaran Rp14.418 per dollar AS. Artinya telah
terjadi depresiasi rupiah terhadap dollar AS sebesar hampir 10 persen sepanjang
tahun ini (year to date).
Nilai
tukar rupiah terhadap dollar AS sudah berada dalam posisi terendahnya sejak Juli 1998, setelah krisis keuangan
melanda Asia dan meluluhlantakkan ekonomi Indonesia. Hal ini merupakan alarm
peringatan yang berbunyi dan kembali mengantarkan trauma masyarakat akan krisis
moneter yang berubah menjadi krisis ekonomi.
Risiko
pelemahan rupiah sejatinya tetap sama seperti dua puluh tahun lalu yaitu akan
menghantam sektor riil, pengusaha dan juga pemerintah dalam hal pembayaran
utang yang jatuh tempo. “Risiko yang dihadapi tentu berhubungan dengan utang.
Selisih kurs yang ditanggung pemerintah muncul saat pembayaran kewajiban jatuh
tempo utang,” kata peneliti Indef Bhima Yudhistira Adhinegara.
Berdasarkan
data Bank Indonesia, kewajiban pembayaran utang luar negeri pemerintah yang
jatuh tempo di 2018 mencapai 9,1 miliar dollar AS yang terbagi menjadi 5,2
miliar dollar AS pokok dan 3,8 miliar dollar AS kewajiban bunganya.
Jika menggunakan kurs 13.400
sesuai APBN maka pemerintah wajib membayar Rp121,9 triliun. Sementara dengan
kurs misalnya saja ada di kisaran Rp14.700 beban pembayaran menjadi Rp 133,7
triliun. “Jadi kalau tidak dikendalikan (rupiah) selisih pembengkakan akibat
selisih kurs sebesar Rp 11,8 triliun. Uang Rp 11,8 triliun setara 20 persen
dari alokasi dana desa. Seharusnya bisa dibuat belanja produktif tapi malah
habis untk bayar selisih kurs. Itu kerugian bagi APBN," kata Bhima.
Sementara itu, Menteri Keuangan
Sri Mulyani Indrawati kembali menegaskan bahwa kondisi perekonomian Indonesia
masih bagus dan meyakinkan masyarakat agar tak panik. Pelemahan nilai tukar,
sambung dia, lebih disebabkan karena faktor eksternal. Meski demikian ia juga
mengklaim pemerintah terus mengupayakan berbagai cara guna memperkuat fondasi perekonomian.
Selain memantau bentuk transaksi
di pasar valuta asing, Menkeu juga mengatakan pemerintah terus mendorong ekspor
serta memperkuat arus modal masuk dari investasi asing. "Yang kami lakukan
sekarang langsung pada fondasi ekonominya. Mana faktor yang dilihat oleh pasar
sebagai titik lemah, kami perkuat," kata Menkeu.
Meski begitu, pemerintah tak
menampik apabila defisit pada transaksi berjalan dan neraca perdagangan
Indonesia terpapar oleh depresiasi nilai tukar ini. Untuk solusi yang sifatnya
segera, pemerintah berkomitmen melakukan pengendalian dari sisi kebutuhan
devisa. "Karena ini yang bisa dikontrol," ujar Menkeu.
Di sisi lain, Bank Indonesia yang
bertugas mengawal pergerakan nilai tukar belum terlihat tuah kebijakannya. BI
sudah menaikkan suku bunga acuan pada Agustus, menjadi kenaikan keempat kalinya
tahun ini dan sekarang berada di level 5,50 persen.
Melalui siaran pers, BI
mengatakan bahwa pihaknya terus mewaspadai risiko ketidakpastian pasar keuangan
global dengan tetap melakukan langkah-langkah stabilisasi nilai tukar sesuai
nilai fundamentalnya, serta menjaga bekerjanya mekanisme pasar dan didukung
upaya-upaya pengembangan pasar keuangan. “Kebijakan tetap ditopang oleh
strategi intervensi ganda dan strategi operasi moneter untuk menjaga kecukupan
likuiditas khususnya di pasar uang Rupiah dan valas,” kata pengumuman tersebut.
BI juga menyediakan fasilitas
swap valuta asing dengan tingkat harga yang lebih murah, sehingga diharapkan
mampu menurunkan premi swap pasar.
Gubernur Bank Indonesia Perry
Warjiyo memprediksi bahwa nilai tukar rupiah terhadap dollar AS akan kembali ke
level Rp 14.300-Rp 14.700 pada tahun
depan.
Fluktuasi nilai tukar disebabkan
ketidakpastian yang muncul dari global, terutama karena rencana kenaikan suku
bunga di AS. “Bank sentral AS meningkatkan suku bunga kebijakannya, dan tahun
ini 4 kali, setelah 2 kali kenaikan sebelumnya. 2019 masih naik 3 kali. Selain
itu juga pembalikan modal asing termasuk Indonesia. Termasuk meningkatkan imbal
hasil," kata Perry.
Lampu Merah
Sementara
itu peneliti Indef Abra Talattov menilai pelemahan nilai tukar rupiah saat ini
seharusnya sudah menjadi sinyal keras buat pemerintah dan otoritas agar segera
menyiapkan diri secara serius. Hal itu agar ekonomi tidak terperosok karena
dampak pelemahan nilai tukar ini.
“Gejolak nilai tukar rupiah sudah lampu merah. Dalam
transaksi perdagangan siang ini (3/9) sudah menyentuh Rp14.902 per dollar AS,
melanjutkan level terendah sejak krisis 1998,” kata Abra
Menurut dia, pemerintah dan BI harus
mampu menjaga kepercayaan pasar bahwa upaya penyelamatan rupiah yang sedang
dilakukan pemerintah dilakukan secara struktural dan berdimensi jangka panjang.
Pemerintah harus memberikan
ancaman serius kepada para spekulan valas serta memberi contoh dengan mendorong
para pejabat dan BUMN untuk menukarkan sebagian aset dollarnya ke rupiah. "Jadi
tidak hanya mendesak eksportir untuk menukarkan Devisa Hasil Ekspor atau DHE ke
rupiah," kata Abra.
Abra menuturkan, ajakan penukaran
rupiah tersebut penting guna menciptakan stabilitas psikologis masyarakat. “Hal
yang paling dikhawatirkan ialah kalau sampai gejolak Rupiah saat ini
menciptakan sentimen negatif yang semakin membesar menjadi kecemasan
massal," ujar Abra.
Selain itu, Abra menambahkan,
aneka upaya memperbaiki defisit transaksi berjalan (current account
deficit/CAD) juga mesti disampaikan secara baik kepada investor. “Jangan sampai
rencana kenaikan PPh barang impor dibaca sebagai bentuk proteksi yang
berlebihan sehingga justru memantik tindakan balasan atau retaliasi dari para
mitra dagang," kata Abra.
Beberapa bulan lalu, Otoritas
Jasa Keuangan ( OJK) telah melakukan uji tekanan atau stress test terhadap perbankan. Stress test ini untuk mengukur
ketahanan modal dan kecukupan likuiditas perbankan dalam menghadapi perubahan
dan shock pada kondisi makro ekonomi. Dalam konferensi pers Komite Stabilitas
Sistem Keuangan (KSSK) di Gedung Bank Indonesia, akhir April 2018 lalu, Wimboh
Santoso, Ketua Dewan Komisioner OJK mengatakan bahwa stress test bahkan dilakukan hingga rupiah mendekati level Rp
20.000 per dollar AS. Hasilnya, kondisi perbankan Indonesia masih cukup kuat.
Stress test yang dibuat bersama
Bank Indonesia dilakukan pada 20 bank, terdiri dari 18 bank lokal yang satu
diantaranya bank umum syariah, serta dua kantor cabang bank asing. Sebanyak 20
bank tersebut total asetnya menguasai sekitar 75,88 persen dari total aset
industri perbankan.
Oleh
karena sebagian pengamat mengatakan kondisi saat ini belum akan membawa
perekonomian RI kepada krisis seperti yang terjadi dua dekade lalu. Bhima, dari
Indef mengatakan kondisi pelemahan kurs rupiah yang terjadi kali ini berbeda dengan
yang terjadi pada saat krisis 1998.
Persamaannya yang ada yaitu sama-sama
dipicu krisis mata uang negara berkembang. Di mana tahun 1998 dimulai dari
Thailand, kemudian ke Indonesia dan di 2018 dimulai dari Turki, Argentina dan
merembet ke negara berkembang lain termasuk Indonesia. Biar begitu, dari
kesiapan Indonesia menghadapi krisis dikatakannya terlihat sudah sangat siap
dan baik, hal itu salah satunya dibuktikan dengan perbaikan rating utang yang
signifikan dari lembaga rating internasional.
"Tahun 1998 rating Fitch
anjlok hingga B- dengan outlook
Negatif. Tahun 2018 per September Fitch memberikan rating utang BBB dengan outlook Stabil," ujar Bhima.
Selain itu, lanjut dia, kinerja
pertumbuhan ekonomi 1998 juga merosot ke negatif 13,6 persen. Sedangkan saat
ini pertumbuhan ekonomi berada di 5,2 persen per kuartal kedua2018. Inflasi pun
dikatakannya sempat naik hingga 77 persen saat krisis moneter atau krismon, sedangkan
sekarang cukup stabil di bawah 3,5 persen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar