Kenaikan suku bunga acuan yang keenam kali tahun ini akan
memicu peningkatan bunga kredit bank dan selanjutnya akan menekan pertumbuhan.
Akan tetapi Bank Indonesia tidak mengkhawatirkan hal tersebut.
Seperti yang sudah-sudah, kebijakan yang ditelurkan Bank
Indonesia hampir selalu memiliki tujuan tidak hanya untuk satu dimensi saja.
Ibarat senjata, kebijakan itu memiliki tujuan ganda bahkan multiple.
Keputusan untuk menaikkan suku
bunga acuan menjadi 6,00 persen yang dilakukan November lalu dan merupakan yang
keenam kalinya sepanjang tahun ini, adalah bukti terakhirnya. Berbarengan
dengan itu, otoritas moneter juga menaikkan setoran wajib bank-bank berupa Giro
Wajib Minimum dan Penyangga Likuiditas Makroprudensial yang bisa digadaikan
kepada bank sentral.
“Keputusan tersebut untuk
memperkuat upaya menurunkan defisit transaksi berjalan ke dalam batas yang aman.
Kenaikan suku bunga kebijakan tersebut juga untuk memperkuat daya tarik aset
keuangan domestik dengan mengantisipasi kenaikan suku bunga global dalam
beberapa bulan ke depan,” kata Agusman, Direktur Eksekutif Departemen
Komunikasi BI seperti dikutip dari lamannya.
Benar saja, sesaat setelah
kenaikkan BI 7 Days Repo Rate (BI-7DRR) tersebut, rupiah terus menunjukkan
penguatan. Sepekan setelah pengumuman, rupiah berada di level 14.504 per dollar
AS, bahkan menjadi mata uang dengan penguatan paling besar di Asia. Rupiah
menguat hingga 114 poin (0,78 persen) mengungguli mata uang Korea, India,
Filipina, Jepang, Thailand, Hong Kong, Malaysia hingga Singapura.
“Rupiah
relatif stabil terhadap dollar AS setelah Bank Indonesia memberi kejutan pada
pasar pekan lalu dengan meningkatkan suku bunga untuk yang keenam kalinya di
tahun ini,” kata Lukman Otunuga, Research Analyst FXTM.
Menurut dia, kebijakan menaikkan
bunga acuan ini dapat membatasi arus keluar modal dan mendukung Rupiah, namun
dapat memengaruhi pertumbuhan ekonomi. yang kemudian menjadi pertanyaan
berikutnya adalah, dengan ekspektasi kenaikan suku bunga Federal Reserve di
Desember, mampukah penguatan itu bertahan?
Selain ekspektasi kenaikan suku
bunga AS, jawab dia, mata uang pasar berkembang tetap tertekan karena
ketegangan dagang yang berkelanjutan dan kekhawatiran mengenai perlambatan
pertumbuhan global. “Apabila pasar terus menghindari risiko, rupiah seperti
mata uang pasar berkembang lainnya terancam melemah,” ujar Lukman.
Pengamat ekonomi dari Indef, Abra
PG Talattov mengatakan bahwa kenaikan BI7DRR kali ini merupakan bentuk
pembuktian otoritas moneter atas pilihan kebijakan pre-emptive, front
loading, dan ahead the curve.
BI sedang menunjukkn berkomitmen mengambil langkah antisipatif guna menahan ekses
guncangan eksternal, terutama potensi kenaikan The Fed bulan Desember.
Namun demikian, lanjut dia di
tengah penguatan nilai tukar rupiah, masih terdapat sumber kecemasan baru yaitu
melebarnya defisit transaksi berjalan (CAD). “Angka CAD di triwulan ketiga 2018
mencapai 3,37 persen terhadap PDB. BI tentu khawatir defisit transaksi berjalan
makin parah di triwulan keempat 2018,” kata Abra.
Sebelumnya Bank Pembangunan Asia
(ADB) memprediksi defisit neraca transaksi berjalan Indonesia di akhir tahun
ini akan melebar hingga 2,6 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Ini
meningkat dibandingkan dengan CAD di akhir 2017 yang 2,21 persen dari PDB.
Persentase tersebut juga lebih tinggi dari prediksi Bank Indonesia (BI) yang
2,5 persen.
Menurut Abra, menjelang akhir
tahun impor barang-barang konsumsi tentu semakin besar imbas dari libur Natal
dan tahun baru. Ditambah lagi potensi membludaknya masyarakat Indonesia yang
berlibur ke luar negeri juga akan menekan defisit transaksi jasa.
Bagi perbankan, lanjut Abra,
kenaikan suku bunga acuan akan direspon perbankan dengan menaikkan biaya
pinjaman di bank sehingga justru berpotensi menekan kredit produktif dan juga
kredit konsumtif. “Pada ujungnya, pertumbuhan ekonomi akan menjadi korban.”
BI, meski begitu, tidak khawatir
jikalau kebijakannya menaikkan bunga acuan sebanyak 175 basis poin sepanjang
tahun ini akan memperlambat laju pertumbuhan ekonomi. Hal itu dikatakan oleh
Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo di Solo, Jawa Tengah di hadapan wartawan.
Menurut dia, pertumbuhan ekonomi Indonesia
saat ini cukup kuat, dan meski suku bunga naik 175 basis poin, ekonomi diyakini
masih bisa tumbuh 5 persen. BI memproyeksikan sampai akhir tahun ini
pertumbuhan bisa mencapai 5,2 persen. Sinyal masih kuatnya pertumbuhan ekonomi
menurut Budi terlihat dari masih kuatnya konsumsi dan investasi di Tanah Air.
“Masalahnya adalah selalu kita
ditanya ‘kok investasi masih terus tumbuh padahal sudah 150 basis point kita
naikkan?’. Nah ini memang menunjukkan
bahwa ekonomi kita strong dengan suku
bunga yang cukup tinggi kita naikkan masih mampu mendorong investasi,” kata
Dody.
Akan tetapi, dampak spontan
kenaikan bunga acuan sudah mulai terlihat jelang akhir November lalu. Lembaga
Penjamin Simpanan (LPS) mencatat industri perbankan telah menaikkan bunga
deposito untuk nasabah besarnya alias special
rate sebesar 123 basis poin (bps). Langkah tersebut mengikuti kenaikan suku
bunga acuan Bank Indonesia, 7 Day Reverse Repo Rate, sejak akhir Mei ini.
Kepala Divisi Finansial Sistem
dan Analisis Stabilitas LPS Ahmad Subhan Irani mengatakan laju bunga tadi
terpantau di lembaganya sejak Mei sampai sekitar minggu pertama November 2018.
“Bila BI sudah menaikkan suku bunga 150 bps, bank secara industri sudah
menaikan 123 bps,” kata Subhan.
Berdasarkan data LPS, special rate bank umum kegiatan usaha
(BUKU) IV sebesar 6,96 persen dan BUKU III mencapai 7,17 persen, BUKU II sebesar
6,91 persen, dan BUKU I sebesar 6,9 persen. Sementara rata-rata bunga deposito
di industri sebesar 7,02 persen. LPS memprediksi kenaikan suku bunga tersebut
akan berlanjut. Sebab, industri perbankan belum sepenuhnya menaikkan suku
bunganya mengikuti kenaikan bunga acuan BI.
Sebelumnya
LPS juga sudah memberikan peringatan mengenai makin ketatnya likuiditas di
industri perbankan. Akhir Oktober lalu LPS mengumumkan bahwa indikator rasio
antara pinjaman dan dana kelolaan di industri perbankan telah mencapai angka
94,3 persen.
Angka tersebut jelas sebuah
warning bagi perbankan karena menjadi pertanda bahwa likuiditas bank hanya
bersisa kurang dari 6 persen. Hal itu juga menjadi lonceng peringatan kepada
perbankan akan munculnya risiko likuiditas pasalnya level itu berada di atas
batas aman yang ditetapkan BI dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebesar 92
persen.
Mendalamkan Pasar
Pada
Rapat Dewan Gubernur bulan November, selain menaikkan bunga acuan, BI juga
mengeluarkan dua aturan baru yaitu menaikkan porsi pemenuhan GWM rupiah rerata dari 2 persen menjadi 3 persen. Juga meningkatkan
rasio Penyangga Likuiditas Makroprudensial/PLM (konvensional dan syariah) yang
dapat direpokan ke Bank Indonesia dari 2 persen menjadi 4 persen. Keduanya
dihitung berdasarkan dana pihak ketiga dan berlaku baik untuk konvensional
maupun untuk syariah.
Sementara
untuk mendorong pendalaman pasar keuangan lebih lanjut, khususnya pasar uang
Rupiah, BI juga menerbitkan aturan transaksi derivatif suku bunga Rupiah, yaitu
Interest Rate Swap (IRS) dan Overnight Index Swap (OIS). “Kebijakan
ini diharapkan dapat mendukung pembentukan yield
curve yang lebih transparan di pasar uang dan pasar utang, dan selanjutnya
dapat memperkuat transmisi kebijakan moneter serta mendorong berkembangnya
pasar surat utang,” kata pengumuman resmi BI.
Interest Rate Swap (IRS) adalah kontrak antara dua pihak untuk
melakukan pertukaran bunga untuk mata uang yang sama selama suatu periode
tertentu. Biasanya untuk suku bunga mengambang, dan akan menggunakan referensi
pasar seperti: SBI atau JIBOR untuk rupiah dan LIBOR atau SIBOR untuk dollar AS.
Menurut laman Investopedia, Overnight Indeks Swap (OIS) adalah swap
suku bunga di mana pembayaran mengambang periodik umumnya didasarkan pada laba
yang dihitung dari investasi bunga majemuk harian. Referensi untuk tingkat
majemuk harian adalah kurs semalam (atau tingkat indeks semalam) dan rumus
rata-rata yang tepat tergantung pada jenis tarif tersebut.
Sekretaris Perusahaan PT Bank
Negara Indonesia Tbk (BNI) Ryan Kiryanto mengungkapkan, aturan tersebut akan dapat
menambah variasi instrumen keuangan yang ada di dalam negeri. Ditambah dengan
satu instrumen pendalaman pasar uang yaitu Domestik Non Deliverable Forward
(DNDF). "Instrumen seperti ini juga bisa membantu stabilitas mata uang
kita, dengan membantu program pendalaman pasar keuangan domestik. Bagus dan BNI
akan gunakan instrumen ini,” kata Ryan.
Menurut dia, dua instrumen
seperti IRS dan OIS tak hanya dapat melindungi suku bunga perbankan. Tetapi,
bank dengan likuditas yang lebih juga lebih leluasa menempatkan sebagian
dananya tak hanya BI saja.
Artinya, potensi bank untuk
mendapatkan fee based income (FBI)
dari pasar uang pun semakin melebar. "Bank tidak hanya menempatkan excess likuiditasnya di BI tapi bisa
diproduktifkan melalui instrumen itu, sehingga pasar keuangan semakin likuid.
Bagi bank itu juga potensi untuk memperoleh non
interest income," tuturnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar