Kamis, 11 Juli 2019

(Tidak) Mengkhawatirkan Pertumbuhan


Kenaikan suku bunga acuan yang keenam kali tahun ini akan memicu peningkatan bunga kredit bank dan selanjutnya akan menekan pertumbuhan. Akan tetapi Bank Indonesia tidak mengkhawatirkan hal tersebut.


Seperti yang sudah-sudah, kebijakan yang ditelurkan Bank Indonesia hampir selalu memiliki tujuan tidak hanya untuk satu dimensi saja. Ibarat senjata, kebijakan itu memiliki tujuan ganda bahkan multiple.
Keputusan untuk menaikkan suku bunga acuan menjadi 6,00 persen yang dilakukan November lalu dan merupakan yang keenam kalinya sepanjang tahun ini, adalah bukti terakhirnya. Berbarengan dengan itu, otoritas moneter juga menaikkan setoran wajib bank-bank berupa Giro Wajib Minimum dan Penyangga Likuiditas Makroprudensial yang bisa digadaikan kepada bank sentral.
“Keputusan tersebut untuk memperkuat upaya menurunkan defisit transaksi berjalan ke dalam batas yang aman. Kenaikan suku bunga kebijakan tersebut juga untuk memperkuat daya tarik aset keuangan domestik dengan mengantisipasi kenaikan suku bunga global dalam beberapa bulan ke depan,” kata Agusman, Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI seperti dikutip dari lamannya.
Benar saja, sesaat setelah kenaikkan BI 7 Days Repo Rate (BI-7DRR) tersebut, rupiah terus menunjukkan penguatan. Sepekan setelah pengumuman, rupiah berada di level 14.504 per dollar AS, bahkan menjadi mata uang dengan penguatan paling besar di Asia. Rupiah menguat hingga 114 poin (0,78 persen) mengungguli mata uang Korea, India, Filipina, Jepang, Thailand, Hong Kong, Malaysia hingga Singapura.
                “Rupiah relatif stabil terhadap dollar AS setelah Bank Indonesia memberi kejutan pada pasar pekan lalu dengan meningkatkan suku bunga untuk yang keenam kalinya di tahun ini,” kata Lukman Otunuga, Research Analyst FXTM.
Menurut dia, kebijakan menaikkan bunga acuan ini dapat membatasi arus keluar modal dan mendukung Rupiah, namun dapat memengaruhi pertumbuhan ekonomi. yang kemudian menjadi pertanyaan berikutnya adalah, dengan ekspektasi kenaikan suku bunga Federal Reserve di Desember, mampukah penguatan itu bertahan?
Selain ekspektasi kenaikan suku bunga AS, jawab dia, mata uang pasar berkembang tetap tertekan karena ketegangan dagang yang berkelanjutan dan kekhawatiran mengenai perlambatan pertumbuhan global. “Apabila pasar terus menghindari risiko, rupiah seperti mata uang pasar berkembang lainnya terancam melemah,” ujar Lukman.
Pengamat ekonomi dari Indef, Abra PG Talattov mengatakan bahwa kenaikan BI7DRR kali ini merupakan bentuk pembuktian otoritas moneter atas pilihan kebijakan pre-emptivefront loading, dan ahead the curve. BI sedang menunjukkn berkomitmen mengambil langkah antisipatif guna menahan ekses guncangan eksternal, terutama potensi kenaikan The Fed bulan Desember.
Namun demikian, lanjut dia di tengah penguatan nilai tukar rupiah, masih terdapat sumber kecemasan baru yaitu melebarnya defisit transaksi berjalan (CAD). “Angka CAD di triwulan ketiga 2018 mencapai 3,37 persen terhadap PDB. BI tentu khawatir defisit transaksi berjalan makin parah di triwulan keempat 2018,” kata Abra.
Sebelumnya Bank Pembangunan Asia (ADB) memprediksi defisit neraca transaksi berjalan Indonesia di akhir tahun ini akan melebar hingga 2,6 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Ini meningkat dibandingkan dengan CAD di akhir 2017 yang 2,21 persen dari PDB. Persentase tersebut juga lebih tinggi dari prediksi Bank Indonesia (BI) yang 2,5 persen.
Menurut Abra, menjelang akhir tahun impor barang-barang konsumsi tentu semakin besar imbas dari libur Natal dan tahun baru. Ditambah lagi potensi membludaknya masyarakat Indonesia yang berlibur ke luar negeri juga akan menekan defisit transaksi jasa.
Bagi perbankan, lanjut Abra, kenaikan suku bunga acuan akan direspon perbankan dengan menaikkan biaya pinjaman di bank sehingga justru berpotensi menekan kredit produktif dan juga kredit konsumtif. “Pada ujungnya, pertumbuhan ekonomi akan menjadi korban.”
BI, meski begitu, tidak khawatir jikalau kebijakannya menaikkan bunga acuan sebanyak 175 basis poin sepanjang tahun ini akan memperlambat laju pertumbuhan ekonomi. Hal itu dikatakan oleh Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo di Solo, Jawa Tengah di hadapan wartawan.
Menurut dia, pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini cukup kuat, dan meski suku bunga naik 175 basis poin, ekonomi diyakini masih bisa tumbuh 5 persen. BI memproyeksikan sampai akhir tahun ini pertumbuhan bisa mencapai 5,2 persen. Sinyal masih kuatnya pertumbuhan ekonomi menurut Budi terlihat dari masih kuatnya konsumsi dan investasi di Tanah Air.
“Masalahnya adalah selalu kita ditanya ‘kok investasi masih terus tumbuh padahal sudah 150 basis point kita naikkan?’. Nah ini memang menunjukkan bahwa ekonomi kita strong dengan suku bunga yang cukup tinggi kita naikkan masih mampu mendorong investasi,” kata Dody.
Akan tetapi, dampak spontan kenaikan bunga acuan sudah mulai terlihat jelang akhir November lalu. Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mencatat industri perbankan telah menaikkan bunga deposito untuk nasabah besarnya alias special rate sebesar 123 basis poin (bps). Langkah tersebut mengikuti kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia, 7 Day Reverse Repo Rate, sejak akhir Mei ini.
Kepala Divisi Finansial Sistem dan Analisis Stabilitas LPS Ahmad Subhan Irani mengatakan laju bunga tadi terpantau di lembaganya sejak Mei sampai sekitar minggu pertama November 2018. “Bila BI sudah menaikkan suku bunga 150 bps, bank secara industri sudah menaikan 123 bps,” kata Subhan.
Berdasarkan data LPS, special rate bank umum kegiatan usaha (BUKU) IV sebesar 6,96 persen dan BUKU III mencapai 7,17 persen, BUKU II sebesar 6,91 persen, dan BUKU I sebesar 6,9 persen. Sementara rata-rata bunga deposito di industri sebesar 7,02 persen. LPS memprediksi kenaikan suku bunga tersebut akan berlanjut. Sebab, industri perbankan belum sepenuhnya menaikkan suku bunganya mengikuti kenaikan bunga acuan BI.
                Sebelumnya LPS juga sudah memberikan peringatan mengenai makin ketatnya likuiditas di industri perbankan. Akhir Oktober lalu LPS mengumumkan bahwa indikator rasio antara pinjaman dan dana kelolaan di industri perbankan telah mencapai angka 94,3 persen.
Angka tersebut jelas sebuah warning bagi perbankan karena menjadi pertanda bahwa likuiditas bank hanya bersisa kurang dari 6 persen. Hal itu juga menjadi lonceng peringatan kepada perbankan akan munculnya risiko likuiditas pasalnya level itu berada di atas batas aman yang ditetapkan BI dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebesar 92 persen.

Mendalamkan Pasar
                Pada Rapat Dewan Gubernur bulan November, selain menaikkan bunga acuan, BI juga mengeluarkan dua aturan baru yaitu menaikkan porsi pemenuhan GWM rupiah rerata  dari 2 persen menjadi 3 persen. Juga meningkatkan rasio Penyangga Likuiditas Makroprudensial/PLM (konvensional dan syariah) yang dapat direpokan ke Bank Indonesia dari 2 persen menjadi 4 persen. Keduanya dihitung berdasarkan dana pihak ketiga dan berlaku baik untuk konvensional maupun untuk syariah.
                Sementara untuk mendorong pendalaman pasar keuangan lebih lanjut, khususnya pasar uang Rupiah, BI juga menerbitkan aturan transaksi derivatif suku bunga Rupiah, yaitu Interest Rate Swap (IRS) dan Overnight Index Swap (OIS). “Kebijakan ini diharapkan dapat mendukung pembentukan yield curve yang lebih transparan di pasar uang dan pasar utang, dan selanjutnya dapat memperkuat transmisi kebijakan moneter serta mendorong berkembangnya pasar surat utang,” kata pengumuman resmi BI.
Interest Rate Swap (IRS) adalah kontrak antara dua pihak untuk melakukan pertukaran bunga untuk mata uang yang sama selama suatu periode tertentu. Biasanya untuk suku bunga mengambang, dan akan menggunakan referensi pasar seperti: SBI atau JIBOR untuk rupiah dan LIBOR atau SIBOR untuk dollar AS.
Menurut laman Investopedia, Overnight Indeks Swap (OIS) adalah swap suku bunga di mana pembayaran mengambang periodik umumnya didasarkan pada laba yang dihitung dari investasi bunga majemuk harian. Referensi untuk tingkat majemuk harian adalah kurs semalam (atau tingkat indeks semalam) dan rumus rata-rata yang tepat tergantung pada jenis tarif tersebut.
Sekretaris Perusahaan PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) Ryan Kiryanto mengungkapkan, aturan tersebut akan dapat menambah variasi instrumen keuangan yang ada di dalam negeri. Ditambah dengan satu instrumen pendalaman pasar uang yaitu Domestik Non Deliverable Forward (DNDF). "Instrumen seperti ini juga bisa membantu stabilitas mata uang kita, dengan membantu program pendalaman pasar keuangan domestik. Bagus dan BNI akan gunakan instrumen ini,” kata Ryan.
Menurut dia, dua instrumen seperti IRS dan OIS tak hanya dapat melindungi suku bunga perbankan. Tetapi, bank dengan likuditas yang lebih juga lebih leluasa menempatkan sebagian dananya tak hanya BI saja.
Artinya, potensi bank untuk mendapatkan fee based income (FBI) dari pasar uang pun semakin melebar. "Bank tidak hanya menempatkan excess likuiditasnya di BI tapi bisa diproduktifkan melalui instrumen itu, sehingga pasar keuangan semakin likuid. Bagi bank itu juga potensi untuk memperoleh non interest income," tuturnya.


(dipublikasikan Nov-Des 2018)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar