Kamis, 11 Juli 2019

Menguji Keberlanjutan Keuangan Berkelanjutan


Inisiatif keuangan keberlanjutan kembali digulirkan otoritas, kali ini tampaknya lebih serius. Respons industri perbankan pun terlihat bagus dengan membentuk kelompok yang terdiri beberapa bank yang sejak awal mendukung program itu.



Sejak John Elkington, penulis, penasihat, dan pengusaha, tahun 1988 memperkenalkan konsep Triple Bottom Line, atau 3P yaitu People, Planet and Profit; diskusi dan upaya untuk mengarahkan bisnis agar lebih memperhatikan keseimbangan alam mulai tumbuh. Bahkan ketiga konsep dianggap sebagai pilar yang mengukur nilai kesuksesan suatu perusahaan dengan tiga kriteria: ekonomi, lingkungan, dan sosial.
Sektor keuangan, namun begitu, merupakan industri yang paling sulit untuk mengadopsi nilai-nilai 3P. Sudah lebih dari 3 dasawarsa, konsep itu tidak juga menyentuh sektor keuangan, terutama di Indonesia. Sebelum tahun lalu, secara formal konsep ini belum terlembaga secara utuh. Baru setelah OJK mengeluarkan aturan Tentang Laporan Keberlanjutan pada 2017 lalu, inisiasi ini mulai diterapkan secara formal.
Tahun ini boleh dibilang tahun pertama keuangan berkelanjutan mulai diaplikasikan terutama oleh bank-bank besar. Harapan besar tentu ditumpukan pada semua stakeholder industri keuangan agar program ini bisa berlanjut mengingat otoritas masih sering terkena sindrom konsistensi.
Beberapa tahun lalu, otoritas perbankan yang semasa itu masih berada di tangan Bank Indonesia sudah sempat merintis konsep triple bottom line dengan memperkenalkan praktik green banking pada perbankan. Gerakan ini sempat marak, seiring dengan booming-nya gaya hidup berolahraga dalam bekerja seperti banyaknya pekerja yang menggunakan sepeda ke kantor, atau meningkatnya minat orang untuk ber-jogging. Bahkan tren itu berlanjut dengan mulai didirikannya parkir-parkir sepeda di gedung-gedung kantor untuk menunjang aktivitas tersebut.
 Namun begitu gerakan ini sepertinya mati suri di tengah jalan, karena tidak ada kewajiban bagi bank untuk melaksanakannya dan sebaliknya tidak ada sanksi bagi yang tidak melaksanakannya. Baru pada tahun 2017, ada gerakan yang lebih sistematis tatkala Otoritas Jasa Keuangan menerbitkan aturan tentang Penerapan Prinsip Keuangan  Berkelanjutan. Aturan itu mewajibkan bank untuk membuat Rencana Aksi Keuangan Berkelanjutan (RAKB) dan Laporan Keberlanjutan. Rencana dan laporan itu harus segera dilakukan secara bertahap, yang mana untuk Bank BUKU 3, BUKU 4, dan Bank Asing harus sudah disampaikan pada 30 April 2018 lalu. selanjutnya bank-bank yang lebih kecil dari itu menyusul mulai tahun ini.
                Menurut berbagai literatur, praktik keuangan berkelanjutan mengacu pada segala bentuk layanan keuangan yang mengintegrasikan kriteria lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG) ke dalam keputusan bisnis atau investasi untuk keuntungan jangka panjang baik klien maupun masyarakat luas.
                Lalu apakah program ini akan berlanjut atau akan kandas di tengah jalan? Untuk pertanyaan tersebut Ketua The Indonesian Institute for Corporate Governance (IICG) Gendut Suprayitno optimistis gerakan yang satu ini akan berlanjut. “Perusahaan sebagai sebuah entitas bisnis tidak lepas dari pengaruh dan dukungan sosial dan lingkungan dalam meraih keuntungan. Konsep triple bottom lines telah menjadi pemahaman bersama dan pendekatan yang dipakai dalam merangkai dua kata governance dan sustainability menjadi praktik umum,” kata dia.
Governance dan sustainability, lanjut Suprayitno, merupakan dua hal yang saling beriringan, yaitu komitmen dalam penerapan tata kelola perusahaan yang baik tidak hanya ditujukan untuk penciptaan nilai perusahaan secara ekonomi. Namun begitu tidak meninggalkan tujuan untuk menciptakan nilai secara sosial dan lingkungan. “Dengan demikian maka bank dalam governansinya perlu memperhatikan konsep Triple Bottom lines yang memiliki aspek sosial (People), lingkungan (Planet) dan ekonomi (Profit)  atau 3P,” kata Suprayitno.
Dalam siaran resmi OJK disebutkan bahwa Keuangan Berkelanjutan di Indonesia didefinisikan sebagai dukungan menyeluruh dari industri jasa keuangan untuk pertumbuhan berkelanjutan yang dihasilkan dari keselarasan antara kepentingan ekonomi, sosial, dan lingkungan. OJK juga sudah mengeluarkan peta jalan (road map) untuk industri keuangan dalam menerapkan konsep Keuangan Berkelanjutan.
Dalam peta jalan itu disebutkan bahwa dalam jangka menengah yang berakhir tahun ini kegiatan penguatan keuangan berkelanjutan difokuskan pada kerangka dasar pengaturan dan sistem pelaporan, peningkatan pemahaman, pemberian insentif serta koordinasi dengan instansi terkait. Dalam jangkan panjang yang dimulai 2020 sampai 2024, kegiatan difokuskan pada integrasi manajemen risiko, tata kelola perusahaan, penilaian tingkat kesehatan bank dan pembangunan sistem informasi terpadu keuangan berkelanjutan.

Respons Industri
Boleh dibilang program yang mengharuskan industri agar lebih memperhatikan lingkungan kali ini akan bisa bertahan lebih lama. Pasalnya program yang didorong OJK itu direspons positif dan aktif oleh pelaku industri.
Setelah otoritas melansir aturan mengenai Keuangan Berkelanjutan tahun 2017, pelaku industri meresponsnya dengan membentuk Inisiatif Keuangan Berkelanjutan Indonesia (IKBI). Kelompok yang diresmikan pertengahan tahun lalu itu di dalamnya ada delapan bank nasional yang mewakili 46 persen aset perbankan di Indonesia.
Mereka adalah Bank Artha Graha Indonesia, BRI Syariah, Bank Central Asia, Bank  Mandiri, Bank  Muamalat,  Bank  Negara  Indonesia,  Bank  Pembangunan  Daerah  Jawa Barat dan Banten,  dan Bank Rakyat Indonesia.
Pembentukan  IKBI  merupakan  wujud  nyata  komitmen  perbankan Indonesia dalam menerapkan praktik keuangan berkelanjutan yang inklusif pada sektor jasa keuangan. Platform  ini  bersifat  terbuka  untuk  industri  jasa  keuangan  bank  dan  non-bank, emiten, dan sektor industri relevan lainnya.
Sebelum membentuk IKBI, otoritas pada 2015 silam telah menginisiasi proyek yang disebut First Steps to become Sustainable Bank yang anggotanya kemudian membentuk IKBI. Proyek tersebut merupakan kerja sama dengan salah satu organisasi nirlaba WWF-Indonesia.
Dalam proyek tersebut, kedelapan bank ‘First Movers’ memperoleh bimbingan terkait implementasi manajemen risiko lingkungan hidup dan tata kelola. Beberapa output dari proyek rintisan ini termasuk perbaikan kebijakan dan Standar Prosedur Operasi pada masing-masing bank serta perbaikan kualitas pembiayaan khususnya pada sektor usaha yang memiliki risiko lingkungan hidup dan sosial yang tinggi.
Dalam siaran pers dari WWF-Indonesia ini dikatakan bahwa IKBI merupakan inisiatif riil berbasis-pasar dari Industri Jasa Keuangan (IJK) yang diharapkan mampu mendukung implementasi peta jalan (roadmap) keuangan berkelanjutan yang termaktub pada Peraturan OJK No.51 tahun 2017 tentang Penerapan Prinsip Keuangan  Berkelanjutan.
Sejalan dengan ‘First  Movers’,  IKBI bertujuan menguatkan kelembagaan, khususnya pada bidang manajemen risiko lingkungan hidup, sosial dan tata kelola. Inisiatif ini juga dibangun untuk  berkontribusi sekaligus menangkap peluang bisnis terhadap upaya pembangunan ekonomi  Indonesia yang memiliki ketahanan terhadap perubahan iklim dan berkontribusi langsung pada upaya pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs).
“IKBI berorientasi menangkap peluang-peluang bisnis baru dan mendorong penerapan keuangan berkelanjutan yang inklusif, sejalan dengan target pemerintah mewujudkan pembangunan berkelanjutan,” kata Mohammad Irfan, Direktur Manajemen Risiko Bank BRI.
Irfan yang juga ditunjuk sebagai Ketua IKBI melanjutkan bahwa selain sosialisasi dan penguatan kelembagaan, program IKBI di tahun pertama akan berorientasi pada peningkatan   portofolio hijau yang berkualitas dengan fokus pengembangan proyek perdana bersama para anggota, mitra strategis lainnya dan regulator.
Berdasarkan data studi yang dilansir oleh UNEP dan Development Bank of Singapore (DBS) pada November 2017, peluang investasi hijau di ASEAN pada periode 2016-2030 mencapai sekitar 2,3 - 3 triliun dollar AS. Indonesia dinilai merupakan negara berpotensi tertinggi untuk menangkap investasi hijau tersebut.
Menurut identifikasi, setidaknya 36 persen dari total potensi investasi sektor infrastruktur dan energi terbarukan sebesar 8 triliun dollar AS dapat diserap oleh Indonesia. Hal ini tentu merupakan potensi bahwa program keuangan berkelanjutan akan berlanjut.


 -------------------------------------------------------------------------------------------------------


Aturan terkait konsep green banking

1.            UU No. 23 Tahun 1997 yang mengatur Pengelolaan Lingkungan Hidup Yang Berkelanjutan (sustainable).
2.            Surat Edaran BI No.21/9 UKU Tanggal 25 Maret 1989 perihal Kredit Investasi dan Penyertaan Modal yang mewajibkan adanya Analisis Mengenai Dampak lingkungan (AMDAL). Hal ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kegiatan perusahaan terhadap lingkungan.
3.            Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.7/2/PBI/2005 yang mengatur keharusan perbankan melakukan penilaian prospek usaha debitur yang dikaitkan upaya pemeliharaan lingkungan.
4.            Nota kesepahaman antara BI dan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) mengenai Koordinasi Peningkatan Peran Perbankan dalam rangka Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pada Desember 2010 silam.
5.            Undang-Undang No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang mengakomodasi instrumen ekonomi lingkungan agar menjadi pertimbangan dalam konteks ekonomi


------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- 


Road Map Sustainable Finance di Indonesia

2015
Landasan Penerapan SF
1. Kebijakan Prinsip SF
2. Kebijakan Peningkatan Porsi SF
3. Kebijakan pengawasan SF

2016
Insentif
1. Insentif Prudensial
2. Information Hub
3. SF Award
4. Kebijakan Pelaporan

2017-2018
Insentif kerjasama dengan
Instansi lain.
1. Insentif Fiskal
2. Insentif Non Fiskal

2019-2024
Penguatan Ketahanan.
Penguatan Manajemen
Risiko dan GCG terkait
lingkungan dan sosial

(dipublikasikan Jan-Feb 2019)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar