Inisiatif keuangan keberlanjutan kembali digulirkan
otoritas, kali ini tampaknya lebih serius. Respons industri perbankan pun
terlihat bagus dengan membentuk kelompok yang terdiri beberapa bank yang sejak
awal mendukung program itu.
Sejak John Elkington, penulis, penasihat, dan pengusaha,
tahun 1988 memperkenalkan konsep Triple Bottom Line, atau 3P yaitu People,
Planet and Profit; diskusi dan upaya untuk mengarahkan bisnis agar lebih
memperhatikan keseimbangan alam mulai tumbuh. Bahkan ketiga konsep dianggap
sebagai pilar yang mengukur nilai kesuksesan suatu perusahaan dengan tiga
kriteria: ekonomi, lingkungan, dan sosial.
Sektor keuangan, namun begitu,
merupakan industri yang paling sulit untuk mengadopsi nilai-nilai 3P. Sudah
lebih dari 3 dasawarsa, konsep itu tidak juga menyentuh sektor keuangan,
terutama di Indonesia. Sebelum tahun lalu, secara formal konsep ini belum
terlembaga secara utuh. Baru setelah OJK mengeluarkan aturan Tentang Laporan
Keberlanjutan pada 2017 lalu, inisiasi ini mulai diterapkan secara formal.
Tahun ini boleh dibilang tahun
pertama keuangan berkelanjutan mulai diaplikasikan terutama oleh bank-bank
besar. Harapan besar tentu ditumpukan pada semua stakeholder industri keuangan agar program ini bisa berlanjut
mengingat otoritas masih sering terkena sindrom konsistensi.
Beberapa tahun lalu, otoritas
perbankan yang semasa itu masih berada di tangan Bank Indonesia sudah sempat
merintis konsep triple bottom line dengan
memperkenalkan praktik green banking
pada perbankan. Gerakan ini sempat marak, seiring dengan booming-nya gaya hidup berolahraga dalam bekerja seperti banyaknya
pekerja yang menggunakan sepeda ke kantor, atau meningkatnya minat orang untuk
ber-jogging. Bahkan tren itu
berlanjut dengan mulai didirikannya parkir-parkir sepeda di gedung-gedung
kantor untuk menunjang aktivitas tersebut.
Namun begitu gerakan ini sepertinya mati suri
di tengah jalan, karena tidak ada kewajiban bagi bank untuk melaksanakannya dan
sebaliknya tidak ada sanksi bagi yang tidak melaksanakannya. Baru pada tahun
2017, ada gerakan yang lebih sistematis tatkala Otoritas Jasa Keuangan
menerbitkan aturan tentang Penerapan Prinsip Keuangan Berkelanjutan. Aturan itu mewajibkan bank
untuk membuat Rencana Aksi Keuangan Berkelanjutan (RAKB) dan Laporan
Keberlanjutan. Rencana dan laporan itu harus segera dilakukan secara bertahap,
yang mana untuk Bank BUKU 3, BUKU 4, dan Bank Asing harus sudah disampaikan pada
30 April 2018 lalu. selanjutnya bank-bank yang lebih kecil dari itu menyusul
mulai tahun ini.
Menurut
berbagai literatur, praktik keuangan berkelanjutan mengacu pada segala bentuk
layanan keuangan yang mengintegrasikan kriteria lingkungan, sosial, dan tata
kelola (ESG) ke dalam keputusan bisnis atau investasi untuk keuntungan jangka
panjang baik klien maupun masyarakat luas.
Lalu
apakah program ini akan berlanjut atau akan kandas di tengah jalan? Untuk
pertanyaan tersebut Ketua The Indonesian Institute for Corporate Governance
(IICG) Gendut Suprayitno optimistis gerakan yang satu ini akan berlanjut.
“Perusahaan sebagai sebuah entitas bisnis tidak lepas dari pengaruh dan
dukungan sosial dan lingkungan dalam meraih keuntungan. Konsep triple bottom lines telah menjadi
pemahaman bersama dan pendekatan yang dipakai dalam merangkai dua kata governance dan sustainability menjadi praktik umum,” kata dia.
Governance dan sustainability,
lanjut Suprayitno, merupakan dua
hal yang saling beriringan, yaitu komitmen dalam penerapan tata kelola perusahaan
yang baik tidak hanya ditujukan untuk penciptaan nilai perusahaan secara
ekonomi. Namun begitu tidak meninggalkan tujuan untuk menciptakan nilai secara
sosial dan lingkungan. “Dengan demikian maka bank dalam governansinya perlu
memperhatikan konsep Triple Bottom lines yang memiliki aspek sosial (People), lingkungan (Planet) dan ekonomi (Profit)
atau 3P,” kata Suprayitno.
Dalam siaran
resmi OJK disebutkan bahwa Keuangan Berkelanjutan di Indonesia didefinisikan
sebagai dukungan menyeluruh dari industri jasa keuangan untuk pertumbuhan
berkelanjutan yang dihasilkan dari keselarasan antara kepentingan ekonomi,
sosial, dan lingkungan. OJK juga sudah mengeluarkan peta jalan (road map) untuk industri keuangan dalam
menerapkan konsep Keuangan Berkelanjutan.
Dalam peta
jalan itu disebutkan bahwa dalam jangka menengah yang berakhir tahun ini
kegiatan penguatan keuangan berkelanjutan difokuskan pada kerangka dasar
pengaturan dan sistem pelaporan, peningkatan pemahaman, pemberian insentif
serta koordinasi dengan instansi terkait. Dalam jangkan panjang yang dimulai
2020 sampai 2024, kegiatan difokuskan pada integrasi manajemen risiko, tata
kelola perusahaan, penilaian tingkat kesehatan bank dan pembangunan sistem
informasi terpadu keuangan berkelanjutan.
Respons Industri
Boleh dibilang program yang
mengharuskan industri agar lebih memperhatikan lingkungan kali ini akan bisa
bertahan lebih lama. Pasalnya program yang didorong OJK itu direspons positif
dan aktif oleh pelaku industri.
Setelah otoritas melansir aturan
mengenai Keuangan Berkelanjutan tahun 2017, pelaku industri meresponsnya dengan
membentuk Inisiatif Keuangan Berkelanjutan Indonesia (IKBI). Kelompok yang
diresmikan pertengahan tahun lalu itu di dalamnya ada delapan bank nasional
yang mewakili 46 persen aset perbankan di Indonesia.
Mereka adalah Bank Artha Graha
Indonesia, BRI Syariah, Bank Central Asia, Bank
Mandiri, Bank Muamalat, Bank
Negara Indonesia, Bank
Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten, dan Bank Rakyat Indonesia.
Pembentukan IKBI
merupakan wujud nyata
komitmen perbankan Indonesia
dalam menerapkan praktik keuangan berkelanjutan yang inklusif pada sektor jasa
keuangan. Platform ini
bersifat terbuka untuk
industri jasa keuangan
bank dan non-bank, emiten, dan sektor industri relevan
lainnya.
Sebelum membentuk IKBI, otoritas
pada 2015 silam telah menginisiasi proyek yang disebut First Steps to become
Sustainable Bank yang anggotanya kemudian membentuk IKBI. Proyek tersebut
merupakan kerja sama dengan salah satu organisasi nirlaba WWF-Indonesia.
Dalam proyek tersebut, kedelapan
bank ‘First Movers’ memperoleh
bimbingan terkait implementasi manajemen risiko lingkungan hidup dan tata
kelola. Beberapa output dari proyek
rintisan ini termasuk perbaikan kebijakan dan Standar Prosedur Operasi pada
masing-masing bank serta perbaikan kualitas pembiayaan khususnya pada sektor
usaha yang memiliki risiko lingkungan hidup dan sosial yang tinggi.
Dalam siaran pers dari
WWF-Indonesia ini dikatakan bahwa IKBI merupakan inisiatif riil berbasis-pasar
dari Industri Jasa Keuangan (IJK) yang diharapkan mampu mendukung implementasi
peta jalan (roadmap) keuangan berkelanjutan yang termaktub pada Peraturan OJK
No.51 tahun 2017 tentang Penerapan Prinsip Keuangan Berkelanjutan.
Sejalan dengan ‘First
Movers’, IKBI bertujuan
menguatkan kelembagaan, khususnya pada bidang manajemen risiko lingkungan
hidup, sosial dan tata kelola. Inisiatif ini juga dibangun untuk berkontribusi sekaligus menangkap peluang
bisnis terhadap upaya pembangunan ekonomi
Indonesia yang memiliki ketahanan terhadap perubahan iklim dan
berkontribusi langsung pada upaya pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs).
“IKBI berorientasi menangkap
peluang-peluang bisnis baru dan mendorong penerapan keuangan berkelanjutan yang
inklusif, sejalan dengan target pemerintah mewujudkan pembangunan
berkelanjutan,” kata Mohammad Irfan, Direktur Manajemen Risiko Bank BRI.
Irfan yang juga ditunjuk sebagai
Ketua IKBI melanjutkan bahwa selain sosialisasi dan penguatan kelembagaan,
program IKBI di tahun pertama akan berorientasi pada peningkatan portofolio hijau yang berkualitas dengan
fokus pengembangan proyek perdana bersama para anggota, mitra strategis lainnya
dan regulator.
Berdasarkan data studi yang
dilansir oleh UNEP dan Development Bank of Singapore (DBS) pada November 2017,
peluang investasi hijau di ASEAN pada periode 2016-2030 mencapai sekitar 2,3 -
3 triliun dollar AS. Indonesia dinilai merupakan negara berpotensi tertinggi
untuk menangkap investasi hijau tersebut.
Menurut identifikasi, setidaknya
36 persen dari total potensi investasi sektor infrastruktur dan energi
terbarukan sebesar 8 triliun dollar AS dapat diserap oleh Indonesia. Hal ini
tentu merupakan potensi bahwa program keuangan berkelanjutan akan berlanjut.
Aturan terkait konsep green
banking
1. UU No. 23
Tahun 1997 yang mengatur Pengelolaan Lingkungan Hidup Yang Berkelanjutan (sustainable).
2. Surat
Edaran BI No.21/9 UKU Tanggal 25 Maret 1989 perihal Kredit Investasi dan
Penyertaan Modal yang mewajibkan adanya Analisis Mengenai Dampak lingkungan
(AMDAL). Hal ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kegiatan perusahaan
terhadap lingkungan.
3. Peraturan
Bank Indonesia (PBI) No.7/2/PBI/2005 yang mengatur keharusan perbankan
melakukan penilaian prospek usaha debitur yang dikaitkan upaya pemeliharaan
lingkungan.
4. Nota
kesepahaman antara BI dan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) mengenai
Koordinasi Peningkatan Peran Perbankan dalam rangka Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, pada Desember 2010 silam.
5. Undang-Undang
No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang
mengakomodasi instrumen ekonomi lingkungan agar menjadi pertimbangan dalam
konteks ekonomi
Road Map Sustainable Finance di Indonesia
2015
Landasan Penerapan SF
1. Kebijakan Prinsip SF
2. Kebijakan Peningkatan Porsi SF
3. Kebijakan pengawasan SF
2016
Insentif
1. Insentif Prudensial
2. Information Hub
3. SF Award
4. Kebijakan Pelaporan
2017-2018
Insentif kerjasama dengan
Instansi lain.
1. Insentif Fiskal
2. Insentif Non Fiskal
2019-2024
Penguatan Ketahanan.
Penguatan Manajemen
Risiko dan GCG terkait
lingkungan dan sosial
(dipublikasikan Jan-Feb 2019)
(dipublikasikan Jan-Feb 2019)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar