Kamis, 11 Juli 2019

‘Jamu Manis’ yang (Mungkin) Tak Manis


Bank sentral menerbitkan aturan yang membebaskan pengenaan uang muka ketika membiayai kredit perumahan. Relaksasi yang disebut ‘jamu manis’ oleh Gubernur Bank Indonesia itu, meski demikian, menghadapi hadangan karena kondisi ekonomi yang masih berat terutama disebabkan pelemahan nilai tukar.

Lonceng tanda krisis sudah sering dibunyikan. Ketika pada April otoritas moneter menerbitkan aturan countercyclical berupa pelonggaran penghitungan likuiditas dan kemudahan penggunaan cadangan bagi perbankan, publik menduga ada gejolak ekonomi menjelang. Dan Bank Indonesia sedang membunyikan lonceng itu agar masyarakat waspada.
Dugaan itu menguat ketika BI menggelar rapat dewan gubernur tiga kali sepanjang Mei dan Juni, yang salah satunya adalah rapat tambahan. Dalam setiap gelaran rapat tersebut BI selalu menaikkan suku bunga, sehingga total mencapai 100 basis poin menjadi 5,25 persen, sesuatu yang hampir tidak pernah terjadi sebelumnya.
Terakhir kali BI menaikkan bunga acuan tiga kali berturut-turut adalah pada Mei hingga Juli 2008, ketika masih menggunakan BI Rate sebagai bunga acuan. Sebelumnya pernah juga pada Agustus hingga Oktober 2005, BI mengerek bunga acuan tiga kali berturut-turut.
Langkah menaikkan suku bunga acuan tahun ini tidak terlepas dari pelemahan nilai tukar rupiah, bahkan sempat hinggap di level Rp14.400 pada pekan kedua Juli. Dan keputusan menaikkan suku bunga induk itu juga sebagai tindakan membunyikan sinyal tanda kewaspadaan terhadap krisis.
Begitu juga ketika bank sentral melansir aturan yang memberi kemudahan untuk bank yang akan memberi kredit pemilikan rumah, berbarengan dengan pengumuman kenaikkan bunga acuan pada 29 Juni lalu. Dalam relaksasi itu, BI membebaskan bank untuk menentukan besaran uang muka saat nasabah mengambil KPR, bahkan diizinkan sampai nol persen. Aturan relaksasi di sektor pembiayaan konsumtif termasuk di sektor properti lazimnya diterbitkan otoritas untuk menangkal adanya pelemahan ekonomi. Dengan menggenjot konsumsi diharapkan roda ekonomi akan bergerak lebih cepat dan pertumbuhan akan terdongkrak.
Gubernur BI yang baru menjabat Mei lalu, Perry Warjiyo mengatakan, untuk mengantisipasi gejolak ekonomi tahun ini BI memberikan ‘jamu pahit’ dan ‘jamu manis’ untuk perekonomian. Jamu pahit merujuk pada kebijakan kenaikan bunga 7 Day Reverse Repo Rate sebesar 100 basis poin dalam dua bulan yang akan menekan bisnis perbankan. Jamu manis merujuk kebijakan relaksasi kredit sektor properti.
Dalam kebijakan tersebut BI membebaskan manajemen bank untuk menentukan sendiri besaran dana yang akan dikucurkan dibanding nilai barang atau loan to value (LTV). Dengan kata lain bank boleh menentukan sendiri uang muka kepada nasabah yang ingin mengambil KPR, bahkan hingga nol persen. Sebelum adanya pelonggaran ini, bank harus mengenakan uang muka sebesar 15 persen untuk KPR untuk Rumah Tapak tipe lebih besar dari 70 meter persegi.
Selain itu, BI juga memberikan pelonggaran jumlah fasilitas kredit atau pembiayaan melalui mekanisme inden. Dengan keputusan itu, pembiayaan diperbolehkan hingga lima fasilitas kredit tanpa melihat urutan. Selain itu, BI juga akan mengeluarkan penyesuaian pengaturan tahapan dan besaran pencairan kredit/pembiayaan. Dengan penyesuaian ini, pencairan dana bisa dilakukan sebanyak 30 persen dari total plafon kredit setelah adanya kesepakatan.
Dengan mengizinkan bank untuk memberikan uang muka nol persen ini, regulator berharap perekonomian bisa terdorong lewat peningkatan pembiayaan ke sektor perumahan. Selama ini pertumbuhan kredit sektor konsumtif –termasuk sektor perumahan di dalamnya, selalu yang tertinggi dalam kategori kredit berdasarkan jenis penggunaannya. Kredit sektor konsumtif tumbuh mencapai lebih dari 11 persen dan mendorong pertumbuhan kredit keseluruhan mencuat ke level dua digit 10,26 persen pada Mei, untuk pertama kalinya tahun ini.
Kebijakan pelonggaran LTV, dinilai akan mendorong target pertumbuhan kredit tahun ini yang ditetapkan di kisaran 10-12 persen. “Dengan adanya pelonggaran LTV ini diharapkan target pertumbuhan kredit di kisaran 10 hingga 12 persen dapat tercapai. Mudah-mudahan bisa tercapai di upper level,” kata Asisten Gubernur Kepala Departemen Kebijakan Makroprudensial BI Filianingsih Hendarta. Kebijakan ini juga dinilai Filianingsih, akan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi sebesar 0,04 persen.
Sebelumnya BI sudah beberapa kali mengeluarkan jurus LTV untuk menangkal pelemahan ekonomi sekaligus mendorong pertumbuhan lewat kredit sektor konsumtif, seperti pada 2016, 2015, 2013 dan 2012. (lihat tabel). Relaksasi pada September 2016 yang diharapkan mampu mendorong pertumbuhan KPR 13,7 persen selama 12 bulan sejak dikeluarkan  hanya mencapai 9,9 persen pada September 2017.
                                                                    
Waktu Tak Tepat
Akan tetapi apa yang diharapkan BI dengan mengeluarkan aturan relaksasi ini terhadap perekonomian, tampaknya akan menemui jalan terjal. Menurut Eko Listyanto, peneliti Indef, mengatakan bahwa pelonggaran pembiayaan properti melalui fasilitas LTV secara umum memang baik untuk perekonomian. Namun demikian, sambung dia, hal itu tidak akan cukup signifikan berpengaruh terhadap upaya mencapai target pertumbuhan ekonomi 2018. “Hal ini karena dari sisi proporsi sektor real estat ke PDB hanya sekitar 2,82 persen pada triwulan pertama tahun ini. Ada pun dampak ikutan, misalnya ke sektor konstruksi juga tidak akan optimal mengingat sektor ini lebih didorong oleh pembangunan infrastruktur seperti jalan, jembatan, pelabuhan yang sedang digenjot pemerintah,” kata Eko.
Selain itu, faktor lainnya yang menyebabkan kemungkinan daya ungkit perekonomian atas kebijakan LTV ini masih terbatas adalah timing yang tidak tepat. BI menerbitkan aturan relaksasi setelah menaikkan bunga acuan tiga kali berturut-turut sebesar 100 basis poin, mengakhiri era suku bunga rendah yang bertahan setengah tahun sejak September 2017.
“Meskipun aturan LTV dilonggarkan, tetapi bunga acuan naik, bunga KPR juga akan ikut terkerek naik. Kondisi ini berbarengan dengan nilai tukar yang melemah tajam sehingga menggerus daya beli dan menambah ongkos produksi karena beberapa komponen utama sektor properti masih dicukupi dari impor seperti baja konstruksi rumah, baja ringan, dan lainnya,” jelas Eko.
Dengan kalimat yang lebih terang, dampak dari naiknya suku bunga tidak bisa dikompensasi dengan dampaknya relaksasi, padahal itu salah satu tujuan BI menerbitkan aturan uang muka nol persen. “Tidak sebanding. Dampak kenaikan suku bunga acuan mempengaruhi hampir semua sektor, sementara kompensasinya hanya di sektor real estate (properti) yang pada triwulan 2018, hanya tumbuh 3,23 persen (yoy) dan kontribusi ke PDB hanya 2,82 persen,” kata dia.
Terkait dengan perkiraan dampak relaksasi terhadap pertumbuhan yang disebut BI bisa mencapai 0,04 persen, Eko menganggap penilaian itu terlalu optimistis. Menurut dia, porsi 0,04 persen itu senilai sekitar Rp570 triliun, dari PDB yang mencapai Rp14.300 triliun, dengan asumsi ekonomi 2018 yang ditargetkan 5,4 persen. “Dampak langsungnya lebih kepada pertumbuhan real estat. Nah, sektor ini tahun lalu porsinya ke PDB hanya sekitar Rp379,8 triliun. Meskipun akan ada dampak juga ke sektor konstruksi, namun perkiraan dampak tersebut kurang realistis,” ungkap Eko.
Sementara itu, Ekonom PT Samuel Aset Manajemen Lana Soelistianingsih mengatakan bahwa efek pelonggaran aturan kredit properti belum akan muncul dalam jangka pendek. Relaksasi yang banyak diangkat mengenai pelonggaran dalam hal uang muka kredit properti yang besarannya diserahkan ke bank itu justru membuat bank lebih berhati-hati.
Malahan, bank dinilai akan sulit untuk memberikan fasilitas uang muka nol persen karena akan membawa konsekuensi untuk menambah tenor pinjaman. Sebaliknya, jika tidak diperpanjang tenornya maka debitur harus membayar cicilan dengan nominal yang lebih besar.
Selain itu, dampak aturan itu yang akan dirasakan tahun depan juga menghadapi tantangan tahun politik dengan diadakannya pemilihan presiden dan anggota legislatif. “Dampaknya mungkin baru akan terasa pada tahun 2020, ketika ekonomi membaik,” kata Lana.
Selain itu, dampak yang lamban juga disebabkan oleh sudah tingginya harga-harga rumah saat ini. Akibatnya, kelas menegah ke bawah mengalami kesulitan mendapatkan harga rumah yang terjangkau. Jika pengembang tidak menurunkan harga akan sulit terdongkrak penjualannya.

(Dipublikasikan Juli 2018)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar