Bank sentral menerbitkan aturan yang membebaskan pengenaan
uang muka ketika membiayai kredit perumahan. Relaksasi yang disebut ‘jamu
manis’ oleh Gubernur Bank Indonesia itu, meski demikian, menghadapi hadangan karena
kondisi ekonomi yang masih berat terutama disebabkan pelemahan nilai tukar.
Lonceng tanda krisis sudah sering dibunyikan. Ketika pada
April otoritas moneter menerbitkan aturan countercyclical
berupa pelonggaran penghitungan likuiditas dan kemudahan penggunaan cadangan
bagi perbankan, publik menduga ada gejolak ekonomi menjelang. Dan Bank
Indonesia sedang membunyikan lonceng itu agar masyarakat waspada.
Dugaan itu menguat ketika BI
menggelar rapat dewan gubernur tiga kali sepanjang Mei dan Juni, yang salah
satunya adalah rapat tambahan. Dalam setiap gelaran rapat tersebut BI selalu menaikkan
suku bunga, sehingga total mencapai 100 basis poin menjadi 5,25 persen, sesuatu
yang hampir tidak pernah terjadi sebelumnya.
Terakhir kali BI menaikkan bunga
acuan tiga kali berturut-turut adalah pada Mei hingga Juli 2008, ketika masih
menggunakan BI Rate sebagai bunga acuan. Sebelumnya pernah juga pada Agustus
hingga Oktober 2005, BI mengerek bunga acuan tiga kali berturut-turut.
Langkah menaikkan suku bunga
acuan tahun ini tidak terlepas dari pelemahan nilai tukar rupiah, bahkan sempat
hinggap di level Rp14.400 pada pekan kedua Juli. Dan keputusan menaikkan suku
bunga induk itu juga sebagai tindakan membunyikan sinyal tanda kewaspadaan
terhadap krisis.
Begitu juga ketika bank sentral
melansir aturan yang memberi kemudahan untuk bank yang akan memberi kredit
pemilikan rumah, berbarengan dengan pengumuman kenaikkan bunga acuan pada 29
Juni lalu. Dalam relaksasi itu, BI membebaskan bank untuk menentukan besaran
uang muka saat nasabah mengambil KPR, bahkan diizinkan sampai nol persen.
Aturan relaksasi di sektor pembiayaan konsumtif termasuk di sektor properti
lazimnya diterbitkan otoritas untuk menangkal adanya pelemahan ekonomi. Dengan
menggenjot konsumsi diharapkan roda ekonomi akan bergerak lebih cepat dan
pertumbuhan akan terdongkrak.
Gubernur BI yang baru menjabat
Mei lalu, Perry Warjiyo mengatakan, untuk mengantisipasi gejolak ekonomi tahun
ini BI memberikan ‘jamu pahit’ dan ‘jamu manis’ untuk perekonomian. Jamu pahit
merujuk pada kebijakan kenaikan bunga 7 Day Reverse Repo Rate sebesar 100 basis
poin dalam dua bulan yang akan menekan bisnis perbankan. Jamu manis merujuk
kebijakan relaksasi kredit sektor properti.
Dalam kebijakan tersebut BI membebaskan
manajemen bank untuk menentukan sendiri besaran dana yang akan dikucurkan
dibanding nilai barang atau loan to value
(LTV). Dengan kata lain bank boleh menentukan sendiri uang muka kepada nasabah
yang ingin mengambil KPR, bahkan hingga nol persen. Sebelum adanya pelonggaran ini,
bank harus mengenakan uang muka sebesar 15 persen untuk KPR untuk Rumah Tapak
tipe lebih besar dari 70 meter persegi.
Selain itu, BI juga memberikan
pelonggaran jumlah fasilitas kredit atau pembiayaan melalui mekanisme inden.
Dengan keputusan itu, pembiayaan diperbolehkan hingga lima fasilitas kredit
tanpa melihat urutan. Selain itu, BI juga akan mengeluarkan penyesuaian
pengaturan tahapan dan besaran pencairan kredit/pembiayaan. Dengan penyesuaian
ini, pencairan dana bisa dilakukan sebanyak 30 persen dari total plafon kredit
setelah adanya kesepakatan.
Dengan mengizinkan bank untuk
memberikan uang muka nol persen ini, regulator berharap perekonomian bisa
terdorong lewat peningkatan pembiayaan ke sektor perumahan. Selama ini pertumbuhan
kredit sektor konsumtif –termasuk sektor perumahan di dalamnya, selalu yang
tertinggi dalam kategori kredit berdasarkan jenis penggunaannya. Kredit sektor
konsumtif tumbuh mencapai lebih dari 11 persen dan mendorong pertumbuhan kredit
keseluruhan mencuat ke level dua digit 10,26 persen pada Mei, untuk pertama
kalinya tahun ini.
Kebijakan pelonggaran LTV,
dinilai akan mendorong target pertumbuhan kredit tahun ini yang ditetapkan di
kisaran 10-12 persen. “Dengan adanya pelonggaran LTV ini diharapkan target
pertumbuhan kredit di kisaran 10 hingga 12 persen dapat tercapai. Mudah-mudahan
bisa tercapai di upper level,” kata
Asisten Gubernur Kepala Departemen Kebijakan Makroprudensial BI Filianingsih
Hendarta. Kebijakan ini juga dinilai Filianingsih, akan berkontribusi pada
pertumbuhan ekonomi sebesar 0,04 persen.
Sebelumnya BI sudah beberapa kali
mengeluarkan jurus LTV untuk menangkal pelemahan ekonomi sekaligus mendorong
pertumbuhan lewat kredit sektor konsumtif, seperti pada 2016, 2015, 2013 dan
2012. (lihat tabel). Relaksasi pada September 2016 yang diharapkan mampu
mendorong pertumbuhan KPR 13,7 persen selama 12 bulan sejak dikeluarkan hanya mencapai 9,9 persen pada September
2017.
Waktu Tak Tepat
Akan tetapi apa yang diharapkan
BI dengan mengeluarkan aturan relaksasi ini terhadap perekonomian, tampaknya
akan menemui jalan terjal. Menurut Eko Listyanto, peneliti Indef, mengatakan
bahwa pelonggaran pembiayaan properti melalui fasilitas LTV secara umum memang
baik untuk perekonomian. Namun demikian, sambung dia, hal itu tidak akan cukup
signifikan berpengaruh terhadap upaya mencapai target pertumbuhan ekonomi 2018.
“Hal ini karena dari sisi proporsi sektor real
estat ke PDB hanya sekitar 2,82 persen pada triwulan pertama tahun ini. Ada
pun dampak ikutan, misalnya ke sektor konstruksi juga tidak akan optimal
mengingat sektor ini lebih didorong oleh pembangunan infrastruktur seperti jalan,
jembatan, pelabuhan yang sedang digenjot pemerintah,” kata Eko.
Selain itu, faktor lainnya yang
menyebabkan kemungkinan daya ungkit perekonomian atas kebijakan LTV ini masih
terbatas adalah timing yang tidak
tepat. BI menerbitkan aturan relaksasi setelah menaikkan bunga acuan tiga kali
berturut-turut sebesar 100 basis poin, mengakhiri era suku bunga rendah yang
bertahan setengah tahun sejak September 2017.
“Meskipun aturan LTV dilonggarkan,
tetapi bunga acuan naik, bunga KPR juga akan ikut terkerek naik. Kondisi ini berbarengan
dengan nilai tukar yang melemah tajam sehingga menggerus daya beli dan menambah
ongkos produksi karena beberapa komponen utama sektor properti masih dicukupi
dari impor seperti baja konstruksi rumah, baja ringan, dan lainnya,” jelas Eko.
Dengan kalimat yang lebih terang,
dampak dari naiknya suku bunga tidak bisa dikompensasi dengan dampaknya relaksasi,
padahal itu salah satu tujuan BI menerbitkan aturan uang muka nol persen. “Tidak
sebanding. Dampak kenaikan suku bunga acuan mempengaruhi hampir semua sektor,
sementara kompensasinya hanya di sektor real
estate (properti) yang pada triwulan 2018, hanya tumbuh 3,23 persen (yoy)
dan kontribusi ke PDB hanya 2,82 persen,” kata dia.
Terkait dengan perkiraan dampak
relaksasi terhadap pertumbuhan yang disebut BI bisa mencapai 0,04 persen, Eko
menganggap penilaian itu terlalu optimistis. Menurut dia, porsi 0,04 persen itu
senilai sekitar Rp570 triliun, dari PDB yang mencapai Rp14.300 triliun, dengan
asumsi ekonomi 2018 yang ditargetkan 5,4 persen. “Dampak langsungnya lebih kepada
pertumbuhan real estat. Nah, sektor
ini tahun lalu porsinya ke PDB hanya sekitar Rp379,8 triliun. Meskipun akan ada
dampak juga ke sektor konstruksi, namun perkiraan dampak tersebut kurang
realistis,” ungkap Eko.
Sementara itu, Ekonom PT Samuel
Aset Manajemen Lana Soelistianingsih mengatakan bahwa efek pelonggaran aturan
kredit properti belum akan muncul dalam jangka pendek. Relaksasi yang banyak
diangkat mengenai pelonggaran dalam hal uang muka kredit properti yang
besarannya diserahkan ke bank itu justru membuat bank lebih berhati-hati.
Malahan, bank dinilai akan sulit
untuk memberikan fasilitas uang muka nol persen karena akan membawa konsekuensi
untuk menambah tenor pinjaman. Sebaliknya, jika tidak diperpanjang tenornya
maka debitur harus membayar cicilan dengan nominal yang lebih besar.
Selain itu, dampak aturan itu
yang akan dirasakan tahun depan juga menghadapi tantangan tahun politik dengan
diadakannya pemilihan presiden dan anggota legislatif. “Dampaknya mungkin baru
akan terasa pada tahun 2020, ketika ekonomi membaik,” kata Lana.
Selain itu, dampak yang lamban
juga disebabkan oleh sudah tingginya harga-harga rumah saat ini. Akibatnya,
kelas menegah ke bawah mengalami kesulitan mendapatkan harga rumah yang
terjangkau. Jika pengembang tidak menurunkan harga akan sulit terdongkrak
penjualannya.
(Dipublikasikan Juli 2018)
(Dipublikasikan Juli 2018)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar