‘Perseteruan’ bank dengan teknologi kali ini memasuki babak
baru karena bank mulai melakukan serangan balik. Menarik disimak apakah
pertempuran akan berlanjut ataukah keduanya akan memilih jalan tengah.
Financial technology, dan layanan-layanan keuangan baru yang
berasal dari teknologi informasi memang tengah mengguncang batas-batas
perbankan tradisional di saat model bisnis baru memicu kolaborasi lintas
industri. Perbankan memang bukan kali pertama ini saja mendapat gangguan dari
perkembangan teknologi, tetapi kali ini mungkin yang paling serius karena bisa
berujung pada terdisrupsinya layanan bank, bahkan lenyapnya lembaga keuangan
itu.
Masih teringat ketika bank pertama
kali menghadapi perkembangan teknologi informasi berupa maraknya penggunaan
telepon jalur tetap pada dasawarsa 90-an lalu. Bank kemudian menyesuaikan
layanannya dengan menghadirkan phone
banking dan juga divisi layanan pelanggan.
Atau ketika bank berpapasan
dengan gelombang penggunaan telepon selular pada awal 2000-an yang kemudian
memaksa mereka meningkatkan layanan phone
banking dan juga menghadirkan apa yang dinamakan SMS banking.
Pada saat Internet merajalela ke praktik
perdagangan dan bidang ekonomi lainnya, sesaat setelah itu. Bank pun
meresponsnya dengan melengkapi teknologinya dan berinvestasi besar pada
infrastruktur yang mendukung penggunaan internet.
Kali ini sewaktu fintech muncul
sebagai isu utama, respons bank masih simpang siur padahal sudah hampir lima
tahun sejak awal kemunculan layanan keuangan itu. Akan tetapi, dengan kecepatan
yang mengagetkan banyak nasabah yang mulai mengakrabi pasar digital dan lambat
laun meninggalkan layanan dari petahana. Banyak layanan yang dihadirkan fintech
yang menarik nasabah karena dirasakan sangat personal.
“Pasar digital yang mencakup
layanan keuangan dan non-keuangan muncul untuk menciptakan saluran baru yang
menarik bagi konsumen. Didorong oleh peraturan dan dimungkinkan oleh teknologi
baru, pasar yang gesit ini, tidak seperti pengecer "pop up" seperti
layanan kantor bank, menarik pelanggan melalui produk dan layanan pribadi yang
sangat personal,” kata Ame Stuart, Vice President Capgemini’s Financial
Services, sebuah lembaga riset wealth management global.
Bank memang tidak bisa dibilang
berdiam diri dan hanya pasrah melihat pasarnya makin tergerus. Beberapa bank bahkan
sudah memproklamirkan akan menerbitkan layanan digital banking yang memang dimaksudkan untuk mempertahankan
posisinya di industri keuangan. Namun demikian pada praktiknya apa yang
dimunculkan itu belum sepenuhnya digital seperti halnya fintech.
“Banyak orang bicara digital,
tetapi sebatas menyiapkan aplikasi, tetapi kembali lagi, bagaimana dengan networking, device-nya,” kata Direktur Askrindo Utama Asmawi Syam, kepada Stabilitas akhir tahun lalu.
Menurut mantan Dirut BRI ini,
bank saat ini berhadapan dengan ancaman yang disebut banking disruption karena maraknya praktik layanan keuangan lewat
aplikasi teknologi. “Ada buku yang saya baca, judulnya, Bye Bye Bank. Di situ ditulis bahwa dalam waktu 10 tahun lagi,
nasabah akan meninggalkan bank, meninggalkan gedung-gedung bank,” lanjut
Asmawi.
Perkembangan teknologi
memungkinkan pola transaksi masyarakat beralih, dari yang manual di
kantor-kantor melalui petugas menjadi digital yang bisa diakses kapanpun dan
dimanapun. Dengan adanya teknologi finansial semua orang bisa menjadi bank
sendiri dengan menggunakan gadget di
tangan masing-masing. “Transaksi perbankan itu tidak dilakukan lagi di
kantor-kantor 80 persen. Transaksi di bank nyatanya sekarang tinggal 20 persen.
Kantor bank sudah mulai sepi. Inilah yang disebutnya sebagai gangguan perbankan
atau banking disruption,” kata
Asmawi.
Serangan Balik
Perlawanan terhadap fintech, meski
begitu, tidak berhenti, mengingat fintech lambat tapi pasti merambah ke banyak
layanan yang biasanya menjadi andalan bank. Ada beberapa bank yang sudah
memiliki ‘senjata’ untuk vis a vis dengan fintech.
Adalah Jenius, sebuah layanan
digital yang dikeluarkan oleh Bank BTPN dan Digibank, dari DBS Bank. Keduanya
dinilai sebagai manifestasi produk digital sesungguhnya dari bank untuk
menghadapi fintech.
Aplikasi Jenius yang sudah hadir
sejak 2016, didesain sama seperti fintech yang bisa diunduh melalui ponsel
pintar. Ia, menurut Direktur Utama Bank BTPN Jerry Ng, memberikan kemudahan dengan fitur pengelola
keuangan yang bisa dikelola sendiri.
“Kami sangat fokus mengembangkan
fintech. Kami menginvestasikan dana hingga Rp 500 miliar. Jumlahnya masih akan
bertambah karena kami masih harus mengembangkan teknologi aplikasi tersebut,”
kata Jerry.
Pada saat pembuatan aplikasi itu,
divisi produk BTPN mengundang sejumlah pihak, seperti para blogger untuk
membuat daftar kebutuhan keuangan masyarakat saat ini yang kemudian diwujudkan
dalam sebuah layanan digital.
Pada
Agustus tahun lalu, DBS, bank asal negeri jiran meluncurkan aplikasi yang
diberi nama digibank. Banyak pihak yang menyebut layanan ini mengekor Jenius.
Meski begitu, Digibank melakukan gerakan cepat untuk menutup celah yang tidak
dimiliki fintech namun menjadi keunggulan bank yaitu soal prinsip Know Your
Customer (KYC).
Pada awal tahun ini bank itu
meluncurkan layanan yang dinamakan e-KYC store. Nasabah yang ingin mendaftarkan
rekening melalui e-KYC store, harus menyertakan identitas diri dalam bentuk
e-KTP atau KTP. "Nanti ada pilihannya, mau buka pakai e-KTP atau KTP.
Kalau pakai e-KTP, rekening akan langsung aktif pada saat itu juga. Sementara
kalau pakai KTP, nasabah harus menunggu antara 2-4 hari, dan nanti mereka akan
dikirim SMS bahwa rekeningnya telah aktif," kata Head of Digital Banking
Bank DBS Indonesia Leonardo Koesmanto.
Digibank memiliki beberapa fitur
yang cukup berbeda. Diantaranya, teknologi biometrik sebagai metode KYC yang
harus dilakukan nasabah sebelum membuat rekening. Alat biometrik dibawa oleh
agen DBS yang bertugas membantu calon nasabah untuk pembukaan rekening. Nasabah
hanya perlu mengatur jadwal untuk bertemu agen dan menyiapkan KTP.
Kolaborasi dan
Sinergi
Kendati
demikian pertarungan antara bank dan fintech itu sejatinya bisa menemukan jalan
tengah. Keduanya bisa bersinergi dan berkolaborasi untuk menghadirkan layanan
keuangan yang lebih paripurna. Menurut Ame Stuart dari Capgemini dalam sebuah
riset yang dipublikasikan awal tahun ini, fintech identik dengan karakternya
yang mobile, mudah, dan efisien.
Layanan itu sangat baik dalam hal inovasi, pemanfaatan teknologi, serta gesit
terhadap perubahan pasar. “Bank dan lembaga keuangan seperti diberi pilihan
untuk mengikuti revolusi digital atau kehilangan pangsa pasar,” kata Ame.
Keunggulan komparatif bank
seperti basis klien yang besar, data, navigasi peraturan dan perizinan industri
yang lebih baik, kata dia, dapat melengkapi keunggulan startup fintech. Kolaborasi antara keduanya mampu membuat pergerakan
dan inovasi industri keuangan lebih cepat.
Suara-suara yang menghendaki
adanya kolaborasi antara bank dan layanan keuangan berbasis teknologi juga
datang dari pelaku fintech. Menurut Reynold Wijaya seorang pengurus Asosiasi
FinTech Indonesia, berbagai bentuk kerja sama dapat dilakukan antara kedua
industri. “Modalku, contohnya, terlah berhasil menjalin kerjasama dengan Bank
Sinarmas yang sangat mendukung inovasi dan fintech,” kata dia yang juga Co-Founder
Modalku, sebuah perusahaan fintech di bidang peer to peer lending.
Melalui kerjasama semacam ini,
lanjut dia, perbankan dapat turut menyalurkan pembiayaan kepada pelaku usaha
kecil dan mikro melalui platform fintech
atau menjadi kustodian dan pemegang dana pemberi pinjaman yang sekaligus
menjamin keamanan dan transparansi.
“Tanpa fintech, layanan keuangan
Indonesia akan berada pada ‘status quo’.
Bila Indonesia ingin melaju dalam ekonomi dunia, maka pemanfaatan kemajuan
teknologi perlu menjadi fokus dalam menciptakan ekosistem finansial yang lebih
lebih kompetitif dan progresif,” jelas Reynold.
Sementara itu, regulator industri
keuangan juga sudah mulai merespons cepat setelah melihat pertempuran antara
bank dan fintech dalam beberapa tahun ini. Otoritas Jasa Keuangan lebih menaruh
perhatian untuk mengatur fintech agar tidak menimbulkan disrupsi berlebihan
pada sistem keuangan.
“Kami mendukung inovasi produk
teknologi di sektor jasa keuangan selama produk tersebut bermanfaat bagi
masyarakat namun tetap dalam koridor tata kelola yang baik berdasarkan asas TARIF
(Transparansi, Akuntabilitas, Responsibilitas, Independensi dan Fairness) agar aspek perlindungan
nasabah terpenuhi," kata Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso
beberapa waktu lalu.
Pada tahun 2018 ini lembaga
pengawas itu akan mengeluarkan kebijakan antara lain guiding principles bagi Penyelenggara Layanan Keuangan Digital yang
akan mencakup mekanisme pendaftaran dan perizinan serta penerapan regulatory sandbox dan kebijakan tentang
crowdfunding atau penggalangan dana. “Kami
juga akan mengarahkan lembaga jasa keuangan agar dapat meningkatkan sinergi
dengan perusahaan fintech ataupun mendirikan lini usaha fintech," tambah Wimboh.
(DIPUBLIKASIKAN JAN-FEB 2018)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar