Rabu, 18 Juli 2018

Babak Baru ‘Perang’ Bank vs Teknologi



‘Perseteruan’ bank dengan teknologi kali ini memasuki babak baru karena bank mulai melakukan serangan balik. Menarik disimak apakah pertempuran akan berlanjut ataukah keduanya akan memilih jalan tengah.


Financial technology, dan layanan-layanan keuangan baru yang berasal dari teknologi informasi memang tengah mengguncang batas-batas perbankan tradisional di saat model bisnis baru memicu kolaborasi lintas industri. Perbankan memang bukan kali pertama ini saja mendapat gangguan dari perkembangan teknologi, tetapi kali ini mungkin yang paling serius karena bisa berujung pada terdisrupsinya layanan bank, bahkan lenyapnya lembaga keuangan itu.
Masih teringat ketika bank pertama kali menghadapi perkembangan teknologi informasi berupa maraknya penggunaan telepon jalur tetap pada dasawarsa 90-an lalu. Bank kemudian menyesuaikan layanannya dengan menghadirkan phone banking dan juga divisi layanan pelanggan.
Atau ketika bank berpapasan dengan gelombang penggunaan telepon selular pada awal 2000-an yang kemudian memaksa mereka meningkatkan layanan phone banking dan juga menghadirkan apa yang dinamakan SMS banking.
Pada saat Internet merajalela ke praktik perdagangan dan bidang ekonomi lainnya, sesaat setelah itu. Bank pun meresponsnya dengan melengkapi teknologinya dan berinvestasi besar pada infrastruktur yang mendukung penggunaan internet.
Kali ini sewaktu fintech muncul sebagai isu utama, respons bank masih simpang siur padahal sudah hampir lima tahun sejak awal kemunculan layanan keuangan itu. Akan tetapi, dengan kecepatan yang mengagetkan banyak nasabah yang mulai mengakrabi pasar digital dan lambat laun meninggalkan layanan dari petahana. Banyak layanan yang dihadirkan fintech yang menarik nasabah karena dirasakan sangat personal.
“Pasar digital yang mencakup layanan keuangan dan non-keuangan muncul untuk menciptakan saluran baru yang menarik bagi konsumen. Didorong oleh peraturan dan dimungkinkan oleh teknologi baru, pasar yang gesit ini, tidak seperti pengecer "pop up" seperti layanan kantor bank, menarik pelanggan melalui produk dan layanan pribadi yang sangat personal,” kata Ame Stuart, Vice President Capgemini’s Financial Services, sebuah lembaga riset wealth management global.
Bank memang tidak bisa dibilang berdiam diri dan hanya pasrah melihat pasarnya makin tergerus. Beberapa bank bahkan sudah memproklamirkan akan menerbitkan layanan digital banking yang memang dimaksudkan untuk mempertahankan posisinya di industri keuangan. Namun demikian pada praktiknya apa yang dimunculkan itu belum sepenuhnya digital seperti halnya fintech.
“Banyak orang bicara digital, tetapi sebatas menyiapkan aplikasi, tetapi kembali lagi, bagaimana dengan networking, device-nya,” kata Direktur Askrindo Utama Asmawi Syam, kepada Stabilitas akhir tahun lalu.
Menurut mantan Dirut BRI ini, bank saat ini berhadapan dengan ancaman yang disebut banking disruption karena maraknya praktik layanan keuangan lewat aplikasi teknologi. “Ada buku yang saya baca, judulnya, Bye Bye Bank. Di situ ditulis bahwa dalam waktu 10 tahun lagi, nasabah akan meninggalkan bank, meninggalkan gedung-gedung bank,” lanjut Asmawi.
Perkembangan teknologi memungkinkan pola transaksi masyarakat beralih, dari yang manual di kantor-kantor melalui petugas menjadi digital yang bisa diakses kapanpun dan dimanapun. Dengan adanya teknologi finansial semua orang bisa menjadi bank sendiri dengan menggunakan gadget di tangan masing-masing. “Transaksi perbankan itu tidak dilakukan lagi di kantor-kantor 80 persen. Transaksi di bank nyatanya sekarang tinggal 20 persen. Kantor bank sudah mulai sepi. Inilah yang disebutnya sebagai gangguan perbankan atau banking disruption,” kata Asmawi.

Serangan Balik

Perlawanan terhadap fintech, meski begitu, tidak berhenti, mengingat fintech lambat tapi pasti merambah ke banyak layanan yang biasanya menjadi andalan bank. Ada beberapa bank yang sudah memiliki ‘senjata’ untuk vis a vis dengan fintech.
Adalah Jenius, sebuah layanan digital yang dikeluarkan oleh Bank BTPN dan Digibank, dari DBS Bank. Keduanya dinilai sebagai manifestasi produk digital sesungguhnya dari bank untuk menghadapi fintech.
Aplikasi Jenius yang sudah hadir sejak 2016, didesain sama seperti fintech yang bisa diunduh melalui ponsel pintar. Ia, menurut Direktur Utama Bank BTPN Jerry Ng,  memberikan kemudahan dengan fitur pengelola keuangan yang bisa dikelola sendiri.
“Kami sangat fokus mengembangkan fintech. Kami menginvestasikan dana hingga Rp 500 miliar. Jumlahnya masih akan bertambah karena kami masih harus mengembangkan teknologi aplikasi tersebut,” kata Jerry.
Pada saat pembuatan aplikasi itu, divisi produk BTPN mengundang sejumlah pihak, seperti para blogger untuk membuat daftar kebutuhan keuangan masyarakat saat ini yang kemudian diwujudkan dalam sebuah layanan digital.
                Pada Agustus tahun lalu, DBS, bank asal negeri jiran meluncurkan aplikasi yang diberi nama digibank. Banyak pihak yang menyebut layanan ini mengekor Jenius. Meski begitu, Digibank melakukan gerakan cepat untuk menutup celah yang tidak dimiliki fintech namun menjadi keunggulan bank yaitu soal prinsip Know Your Customer (KYC).
Pada awal tahun ini bank itu meluncurkan layanan yang dinamakan e-KYC store. Nasabah yang ingin mendaftarkan rekening melalui e-KYC store, harus menyertakan identitas diri dalam bentuk e-KTP atau KTP. "Nanti ada pilihannya, mau buka pakai e-KTP atau KTP. Kalau pakai e-KTP, rekening akan langsung aktif pada saat itu juga. Sementara kalau pakai KTP, nasabah harus menunggu antara 2-4 hari, dan nanti mereka akan dikirim SMS bahwa rekeningnya telah aktif," kata Head of Digital Banking Bank DBS Indonesia Leonardo Koesmanto.
Digibank memiliki beberapa fitur yang cukup berbeda. Diantaranya, teknologi biometrik sebagai metode KYC yang harus dilakukan nasabah sebelum membuat rekening. Alat biometrik dibawa oleh agen DBS yang bertugas membantu calon nasabah untuk pembukaan rekening. Nasabah hanya perlu mengatur jadwal untuk bertemu agen dan menyiapkan KTP.

Kolaborasi dan Sinergi
                Kendati demikian pertarungan antara bank dan fintech itu sejatinya bisa menemukan jalan tengah. Keduanya bisa bersinergi dan berkolaborasi untuk menghadirkan layanan keuangan yang lebih paripurna. Menurut Ame Stuart dari Capgemini dalam sebuah riset yang dipublikasikan awal tahun ini, fintech identik dengan karakternya yang mobile, mudah, dan efisien. Layanan itu sangat baik dalam hal inovasi, pemanfaatan teknologi, serta gesit terhadap perubahan pasar. “Bank dan lembaga keuangan seperti diberi pilihan untuk mengikuti revolusi digital atau kehilangan pangsa pasar,” kata Ame.
Keunggulan komparatif bank seperti basis klien yang besar, data, navigasi peraturan dan perizinan industri yang lebih baik, kata dia, dapat melengkapi keunggulan startup fintech. Kolaborasi antara keduanya mampu membuat pergerakan dan inovasi industri keuangan lebih cepat.
Suara-suara yang menghendaki adanya kolaborasi antara bank dan layanan keuangan berbasis teknologi juga datang dari pelaku fintech. Menurut Reynold Wijaya seorang pengurus Asosiasi FinTech Indonesia, berbagai bentuk kerja sama dapat dilakukan antara kedua industri. “Modalku, contohnya, terlah berhasil menjalin kerjasama dengan Bank Sinarmas yang sangat mendukung inovasi dan fintech,” kata dia yang juga Co-Founder Modalku, sebuah perusahaan fintech di bidang peer to peer lending.
Melalui kerjasama semacam ini, lanjut dia, perbankan dapat turut menyalurkan pembiayaan kepada pelaku usaha kecil dan mikro melalui platform fintech atau menjadi kustodian dan pemegang dana pemberi pinjaman yang sekaligus menjamin keamanan dan transparansi.
“Tanpa fintech, layanan keuangan Indonesia akan berada pada ‘status quo’. Bila Indonesia ingin melaju dalam ekonomi dunia, maka pemanfaatan kemajuan teknologi perlu menjadi fokus dalam menciptakan ekosistem finansial yang lebih lebih kompetitif dan progresif,” jelas Reynold.
Sementara itu, regulator industri keuangan juga sudah mulai merespons cepat setelah melihat pertempuran antara bank dan fintech dalam beberapa tahun ini. Otoritas Jasa Keuangan lebih menaruh perhatian untuk mengatur fintech agar tidak menimbulkan disrupsi berlebihan pada sistem keuangan.
“Kami mendukung inovasi produk teknologi di sektor jasa keuangan selama produk tersebut bermanfaat bagi masyarakat namun tetap dalam koridor tata kelola yang baik berdasarkan asas TARIF (Transparansi, Akuntabilitas, Responsibilitas, Independensi dan Fairness) agar aspek perlindungan nasabah terpenuhi," kata Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso beberapa waktu lalu.
Pada tahun 2018 ini lembaga pengawas itu akan mengeluarkan kebijakan antara lain guiding principles bagi Penyelenggara Layanan Keuangan Digital yang akan mencakup mekanisme pendaftaran dan perizinan serta penerapan regulatory sandbox dan kebijakan tentang crowdfunding atau penggalangan dana. “Kami juga akan mengarahkan lembaga jasa keuangan agar dapat meningkatkan sinergi dengan perusahaan fintech ataupun mendirikan lini usaha fintech," tambah Wimboh.


(DIPUBLIKASIKAN JAN-FEB 2018)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar