Rabu, 18 Juli 2018

Mengais Dana Proyek Ambisius


Masalah pendanaan menjadi sangat krusial dalam mewujudkan proyek infrastruktur. Segala macam potensi fiskal yang ada terus dioptimalkan pemerintah.

Proyek ambisius bernama infrastruktur sejatinya sudah dimulai sejak masa pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), terutama pada periode kedua kepemimpinannya. Akan tetapi jika dilihat dari sisi ambisi, pemerintahan Joko Widodo jelas lebih ambisius.
Presiden Jokowi menaikkan secara drastis anggaran infrastruktur selama masa pemerintahannya. Pada tahun 2015, anggaran infrastruktur mencapai Rp 290 triliun, sedangkan pada 2016, angkanya ditinggikan menjadi Rp 313 triliun. Pada 2017, dana infrastruktur dinaikkan lagi menjadi  Rp 387,3 triliun. Sebagai perbandingan, anggaran  infrastruktur pemerintahan Presiden SBY rata-rata Rp 150 triliun per tahun, tak sampai setengahnya dari dana infrastruktur pemerintahan Jokowi.
                Bagi kedua pemerintahan tersebut, infrastruktur memang sudah menjadi kebutuhan mendesak untuk mengatasi tingginya biaya logistik di dalam negeri. Implikasi dari biaya yang tinggi ini telah menghasilkan volume perdagangan yang lebih rendah dan membatasi ekspansi pasar domestik. Kondisi ini juga menyiratkan perdagangan domestik intraregional juga menjadi terbatas dan disparitas harga tinggi, khususnya antara bagian timur dan barat Indonesia.
                Berdasarkan Indeks Kinerja Logistik Bank Dunia (LPI) 2016 menunjukkan bahwa Indonesia berada pada posisi 62, lebih rendah dari negara-negara tetangga, seperti Thailand (45), Malaysia (32), dan Singapura (2). Beberapa negara ASEAN lainnya dengan peringkat lebih rendah dari Indonesia adalah Vietnam (64) dan Filipina (71). Inilah juga yang menjelaskan rendahnya daya saing produk-produk Indonesia.
                Di sisi indeks infrastruktur, Indonesia juga masih kalah dari Malaysia, India, Thailand dan Brazil, dan hanya sedikit lebih baik dari Filipina dan Vietnam.
                Jokowi yang sedari awal berkantor di Istana Negara sudah berjanji akan mengedepankan sektor infrastruktur selama masa pemerintahannya. Untuk mengatasi problem pendanaan, pemerintah mengandalkan tiga sumber, anggaran negara, perusahaan negara dan dari swasta.
                Dari anggaran negara, pemerintah sedari awal sangat mengoptimalkan pendapatan dan mengefisienkan pengeluaran dengan mengelola anggaran yang sangat ketat. Bahkan pemerintahan Jokowi memutuskan menghapuskan subsidi bahan bakar minyak pada tahun pertama masa pemerintahannya.
Selain itu pemerintah pun rajin berutang yang jumlahnya sudah melampaui utang yang dibuat pemerintahan sebelumnya. Pada 2015, pemerintah berutang Rp 318,1 triliun. Selanjutnya pada 2016, pemerintah menambah utang Rp 331 triliun. Pada 2017, utang baru pemerintah direncanakan akan bertambah lagi menjadi Rp 451,7 triliun. Jika anggaran utang tersebut terealisasi, maka pada akhir 2017, outstanding utang pemerintah akan mencapai Rp 3.962,86 triliun.
Hingga akhir Mei 2017, utang pemerintah telah mencapai Rp 3.672,33 triliun. Rinciannya Rp 2.163,55 triliun dalam denominasi rupiah dan Rp780,18 triliun dalam valuta asing (valas). Dalam kurun 2015 sampai saat ini, pemerintahan Jokowi telah menambah utang baru senilai Rp 1.063,55 triliun. Penambahan utang selama kurang lebih 2,5 tahun tersebut sudah lebih besar dibandingkan penambahan utang selama periode 2010-2014 yang sebesar Rp932 triliun.
Pilihan untuk berutang dalam jumlah yang meraksasa memang tidak bisa dihindarkan ketika penerimaan negara dari pajak tidak mencukupi, malahan sering terjadi jumlah pajak yang diterima meleset dari target (shortfall). Selama pemerintahan Jokowi juga, selalu terjadi shortfall pajak cukup besar.
Di akhir 2016, penerimaan pajak hanya sebesar Rp1.285 triliun atau terjadi shortfall sebesar Rp254,2 triliun. Dalam pembahasan APBN-P 2017, pemerintah memperkirakan terjadi shorfall sekitar Rp48 triliun. Alhasil target perpajakan pun direvisi turun, dari Rp1.499 triliun menjadi Rp1.451 triliun.
Pada pemerintahan sebelumnya, shortfall pajak umumnya tidak banyak dan dapat dikatakan terjadi semata karena faktor alamiah terkait teknis penetapan target yang memang harus bersifat progresif untuk memacu kinerja pemerintah.
Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika pemerintah sangat membabi buta untuk menggenjot pendapatan. Setelah program Tax Amnesty, pemerintah menerbitkan aturan keterbukaan informasi bagi nasabah bank. Belakangan pemerintah juga mulai mengincar mobil-mobil mewah milik artis yang setoran pajaknya tidak sesuai.
Soal utang pemerintah tumbuh relatif lebih cepat, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengakui hal itu lantaran pemerintah memang bersungguh-sungguh mendorong pembangunan infrastruktur. Total kebutuhan dana pembangunan infrastruktur prioritas diperkirakan mencapai Rp 5.000 triliun sampai dengan 2019.
"Pemerintah sejak tahun lalu berupaya betul mengubah skema-skema (pendanaan), melengkapi pembiayaan agar jangan bergantung terus ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) saja, jangan minjam terus. Dan perkembangan skema itu sudah mulai jalan," jelas  dia.
Seperti diketahui, Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan mengumumkan utang pemerintah pusat sampai dengan April 2017 mencapai Rp 3.667,41 triliun. Jumlah tersebut naik Rp 16,37 triliun dibanding posisi bulan sebelumnya sebesar Rp 3.651,04 triliun.

Pembiayaan Bank
Bank bukannya tidak berperan dalam mimpi pemerintah menghadirkan infrastruktur yang bersaing di Indonesia. Akan tetapi bank masih menghadapi menghadapi masalah struktural di sektor keuangan. Perbankan telah membiayai pinjaman secara agresif ke proyek-proyek infrastruktur pada tahun lalu.
Menurut riset dari salah satu bank milik negara, angkanya meningkat sebesar Rp81 triliun pada tahun 2016, menjadi Rp635 triliun dari Rp553 triliun pada tahun 2015. Peningkatan terbesar ditemukan pada proyek infrastruktur utilitas (Rp41,5 triliun), proyek infrastruktur kinerja logistik ( Rp16 triliun), dan proyek infrastruktur minyak dan gas (Rp3 triliun).
Menurut Kepala Ekonom Bank Mandiri Anton Gunawan, dalam tujuh tahun terakhir, Compound Annual Growth Rates (CAGR) untuk pinjaman infrastruktur menurut jenis logistik, utilitas, dan minyak dan gas - masing-masing adalah 15,8%, 25,7%, dan 6,2%. Dalam pengertian sederhana, CAGR adalah tingkat pertumbuhan tahunan rata-rata investasi selama jangka waktu tertentu yang lebih lama dari satu tahun.
“Pertumbuhan kredit untuk infrastruktur logistik dan utilitas jelas lebih tinggi daripada minyak dan gas. Sampai saat ini, kami pikir pertumbuhan kredit untuk infrastruktur ini sudah berjalan, kecuali sektor minyak dan gas. Kita bisa memahami rendahnya pertumbuhan kredit di sektor minyak dan gas karena telah mengalami penurunan harga minyak sejak 2015,” kata Anton dalam sebuah riset.
Pemerintah juga tidak terlalu berharap pada bank dan mengincar sumber lainnya. Bahkan saking butuhnya akan dana untuk membiayai pemerintah terkesan ‘gelap mata’. Setelah mengincar beberapa subyek pajak, pemerintah juga mengincar dana haji yang diperkirakan berjumlah Rp80 triliun yang dikelola perbankan syariah untuk digunakan membiayai infrastruktur.
"Bisa saja kan (untuk infrastruktur). Daripada uang ini diam, ya lebih baik diinvestasikan tetapi pada tempat-tempat yang tidak memiliki risiko tinggi, aman, tapi memberikan keuntungan yang gede,” kata Presiden Jokowi.
Hal itu sempat mengundang prokontra di masyarakat. Menurut Ketua Komisi VIII DPR Ali Taher Parasong, penggunaan dana haji untuk sektor infrastruktur tak dibenarkan oleh Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Keuangan Haji. Sebab, batasan penggunaan dana haji telah tertuang dalam beberapa pasal dalam aturan tersebut.
Misalnya, pada Pasal 2 yang menyebutkan soal asas pengelolaan keuangan dana haji dan Pasal 3 soal tujuan pengelolaan keuangan haji. Dalam Pasal 3, tujuan pengelolaan dana haji adalah untuk peningkatan kualitas penyelenggaraan ibadah haji, rasionalitas dan efisiensi penggunaan biaya pajak ibadah haji, serta manfaatnya bagi kepentingan umat Islam.
Sementara itu, Anggota Dewan Syariah Nasional (DSN) Oni Syahroni mengatakan bisa saja dana haji digunakan untuk infrastruktur. Namun untuk menginvestasikan dana haji harus ada beberapa pertimbangan. Salah satunya adalah berapa komposisi yang harus diinvestasikan untuk infrastruktur. "Investasi juga harus ditimbang terkait berapa komposisinya," ujar dia.
Karena menurut Oni, tidak bisa dana haji diinvestasikan seluruhnya kepada infrastruktur. Secara kriteria, investasi dana haji harus likuid untuk memenuhi kebutuhan haji setiap tahunya. Sedangkan investasi infrastruktur butuh jangka waktu 3 hingga 10 tahun. Sehingga sangat tidak mungkin jika keseluruhan diinvestasikan kepada infrastruktur. "Misalnya dari Rp90 triliun berapa porsinya 20 persen atau 30 persen. Karena kriteria harus likuid untuk memenuhi kebutuhan haji tiap tahun,” kata Oni.
Yang tak kalah penting juga, penggunaan tersebut harus mendapatkan persetujuan dari calon haji, dan selanjutnya investasi tersebut harus dilakukan sesuai skema syariah. Baik itu dari sisi akad, peruntukkan, sumber dana yang halal, hingga dana bagi hasil yang jelas.
(DIPUBLIKASIKAN AGS-SEPT 2017)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar