Masalah pendanaan menjadi sangat krusial dalam mewujudkan
proyek infrastruktur. Segala macam potensi fiskal yang ada terus dioptimalkan pemerintah.
Proyek ambisius bernama infrastruktur sejatinya sudah
dimulai sejak masa pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), terutama pada
periode kedua kepemimpinannya. Akan tetapi jika dilihat dari sisi ambisi,
pemerintahan Joko Widodo jelas lebih ambisius.
Presiden Jokowi menaikkan secara
drastis anggaran infrastruktur selama masa pemerintahannya. Pada tahun 2015,
anggaran infrastruktur mencapai Rp 290 triliun, sedangkan pada 2016, angkanya
ditinggikan menjadi Rp 313 triliun. Pada 2017, dana infrastruktur dinaikkan
lagi menjadi Rp 387,3 triliun. Sebagai
perbandingan, anggaran infrastruktur
pemerintahan Presiden SBY rata-rata Rp 150 triliun per tahun, tak sampai
setengahnya dari dana infrastruktur pemerintahan Jokowi.
Bagi
kedua pemerintahan tersebut, infrastruktur memang sudah menjadi kebutuhan
mendesak untuk mengatasi tingginya biaya logistik di dalam negeri. Implikasi
dari biaya yang tinggi ini telah menghasilkan volume perdagangan yang lebih
rendah dan membatasi ekspansi pasar domestik. Kondisi ini juga menyiratkan
perdagangan domestik intraregional juga menjadi terbatas dan disparitas harga
tinggi, khususnya antara bagian timur dan barat Indonesia.
Berdasarkan
Indeks Kinerja Logistik Bank Dunia (LPI) 2016 menunjukkan bahwa Indonesia
berada pada posisi 62, lebih rendah dari negara-negara tetangga, seperti
Thailand (45), Malaysia (32), dan Singapura (2). Beberapa negara ASEAN lainnya
dengan peringkat lebih rendah dari Indonesia adalah Vietnam (64) dan Filipina
(71). Inilah juga yang menjelaskan rendahnya daya saing produk-produk Indonesia.
Di sisi
indeks infrastruktur, Indonesia juga masih kalah dari Malaysia, India, Thailand
dan Brazil, dan hanya sedikit lebih baik dari Filipina dan Vietnam.
Jokowi
yang sedari awal berkantor di Istana Negara sudah berjanji akan mengedepankan
sektor infrastruktur selama masa pemerintahannya. Untuk mengatasi problem
pendanaan, pemerintah mengandalkan tiga sumber, anggaran negara, perusahaan
negara dan dari swasta.
Dari
anggaran negara, pemerintah sedari awal sangat mengoptimalkan pendapatan dan
mengefisienkan pengeluaran dengan mengelola anggaran yang sangat ketat. Bahkan
pemerintahan Jokowi memutuskan menghapuskan subsidi bahan bakar minyak pada
tahun pertama masa pemerintahannya.
Selain itu pemerintah pun rajin
berutang yang jumlahnya sudah melampaui utang yang dibuat pemerintahan
sebelumnya. Pada 2015, pemerintah berutang Rp 318,1 triliun. Selanjutnya pada
2016, pemerintah menambah utang Rp 331 triliun. Pada 2017, utang baru
pemerintah direncanakan akan bertambah lagi menjadi Rp 451,7 triliun. Jika anggaran
utang tersebut terealisasi, maka pada akhir 2017, outstanding utang pemerintah
akan mencapai Rp 3.962,86 triliun.
Hingga akhir Mei 2017, utang
pemerintah telah mencapai Rp 3.672,33 triliun. Rinciannya Rp 2.163,55 triliun
dalam denominasi rupiah dan Rp780,18 triliun dalam valuta asing (valas). Dalam
kurun 2015 sampai saat ini, pemerintahan Jokowi telah menambah utang baru
senilai Rp 1.063,55 triliun. Penambahan utang selama kurang lebih 2,5 tahun
tersebut sudah lebih besar dibandingkan penambahan utang selama periode 2010-2014
yang sebesar Rp932 triliun.
Pilihan untuk berutang dalam
jumlah yang meraksasa memang tidak bisa dihindarkan ketika penerimaan negara
dari pajak tidak mencukupi, malahan sering terjadi jumlah pajak yang diterima
meleset dari target (shortfall). Selama
pemerintahan Jokowi juga, selalu terjadi shortfall
pajak cukup besar.
Di akhir 2016, penerimaan pajak
hanya sebesar Rp1.285 triliun atau terjadi shortfall
sebesar Rp254,2 triliun. Dalam pembahasan APBN-P 2017, pemerintah memperkirakan
terjadi shorfall sekitar Rp48 triliun. Alhasil target perpajakan pun direvisi
turun, dari Rp1.499 triliun menjadi Rp1.451 triliun.
Pada pemerintahan sebelumnya, shortfall pajak umumnya tidak banyak dan
dapat dikatakan terjadi semata karena faktor alamiah terkait teknis penetapan
target yang memang harus bersifat progresif untuk memacu kinerja pemerintah.
Oleh karena itu tidaklah
mengherankan jika pemerintah sangat membabi buta untuk menggenjot pendapatan.
Setelah program Tax Amnesty, pemerintah menerbitkan aturan keterbukaan
informasi bagi nasabah bank. Belakangan pemerintah juga mulai mengincar
mobil-mobil mewah milik artis yang setoran pajaknya tidak sesuai.
Soal utang pemerintah tumbuh
relatif lebih cepat, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengakui hal itu lantaran pemerintah
memang bersungguh-sungguh mendorong pembangunan infrastruktur. Total kebutuhan
dana pembangunan infrastruktur prioritas diperkirakan mencapai Rp 5.000 triliun
sampai dengan 2019.
"Pemerintah sejak tahun lalu
berupaya betul mengubah skema-skema (pendanaan), melengkapi pembiayaan agar
jangan bergantung terus ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) saja,
jangan minjam terus. Dan perkembangan skema itu sudah mulai jalan,"
jelas dia.
Seperti diketahui, Direktorat
Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan
mengumumkan utang pemerintah pusat sampai dengan April 2017 mencapai Rp
3.667,41 triliun. Jumlah tersebut naik Rp 16,37 triliun dibanding posisi bulan
sebelumnya sebesar Rp 3.651,04 triliun.
Pembiayaan Bank
Bank bukannya tidak berperan
dalam mimpi pemerintah menghadirkan infrastruktur yang bersaing di Indonesia.
Akan tetapi bank masih menghadapi menghadapi masalah struktural di sektor
keuangan. Perbankan telah membiayai pinjaman secara agresif ke proyek-proyek
infrastruktur pada tahun lalu.
Menurut riset dari salah satu
bank milik negara, angkanya meningkat sebesar Rp81 triliun pada tahun 2016,
menjadi Rp635 triliun dari Rp553 triliun pada tahun 2015. Peningkatan terbesar
ditemukan pada proyek infrastruktur utilitas (Rp41,5 triliun), proyek
infrastruktur kinerja logistik ( Rp16 triliun), dan proyek infrastruktur minyak
dan gas (Rp3 triliun).
Menurut Kepala Ekonom Bank
Mandiri Anton Gunawan, dalam tujuh tahun terakhir, Compound Annual Growth Rates
(CAGR) untuk pinjaman infrastruktur menurut jenis logistik, utilitas, dan
minyak dan gas - masing-masing adalah 15,8%, 25,7%, dan 6,2%. Dalam pengertian
sederhana, CAGR adalah tingkat pertumbuhan tahunan rata-rata investasi selama
jangka waktu tertentu yang lebih lama dari satu tahun.
“Pertumbuhan kredit untuk
infrastruktur logistik dan utilitas jelas lebih tinggi daripada minyak dan gas.
Sampai saat ini, kami pikir pertumbuhan kredit untuk infrastruktur ini sudah
berjalan, kecuali sektor minyak dan gas. Kita bisa memahami rendahnya
pertumbuhan kredit di sektor minyak dan gas karena telah mengalami penurunan
harga minyak sejak 2015,” kata Anton dalam sebuah riset.
Pemerintah juga tidak terlalu
berharap pada bank dan mengincar sumber lainnya. Bahkan saking butuhnya akan
dana untuk membiayai pemerintah terkesan ‘gelap mata’. Setelah mengincar
beberapa subyek pajak, pemerintah juga mengincar dana haji yang diperkirakan
berjumlah Rp80 triliun yang dikelola perbankan syariah untuk digunakan
membiayai infrastruktur.
"Bisa saja kan (untuk
infrastruktur). Daripada uang ini diam, ya lebih baik diinvestasikan tetapi
pada tempat-tempat yang tidak memiliki risiko tinggi, aman, tapi memberikan
keuntungan yang gede,” kata Presiden Jokowi.
Hal itu sempat mengundang
prokontra di masyarakat. Menurut Ketua Komisi VIII DPR Ali Taher Parasong,
penggunaan dana haji untuk sektor infrastruktur tak dibenarkan oleh
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Keuangan Haji. Sebab,
batasan penggunaan dana haji telah tertuang dalam beberapa pasal dalam aturan
tersebut.
Misalnya, pada Pasal 2 yang
menyebutkan soal asas pengelolaan keuangan dana haji dan Pasal 3 soal tujuan
pengelolaan keuangan haji. Dalam Pasal 3, tujuan pengelolaan dana haji adalah
untuk peningkatan kualitas penyelenggaraan ibadah haji, rasionalitas dan
efisiensi penggunaan biaya pajak ibadah haji, serta manfaatnya bagi kepentingan
umat Islam.
Sementara itu, Anggota Dewan
Syariah Nasional (DSN) Oni Syahroni mengatakan bisa saja dana haji digunakan
untuk infrastruktur. Namun untuk menginvestasikan dana haji harus ada beberapa
pertimbangan. Salah satunya adalah berapa komposisi yang harus diinvestasikan
untuk infrastruktur. "Investasi juga harus ditimbang terkait berapa
komposisinya," ujar dia.
Karena menurut Oni, tidak bisa
dana haji diinvestasikan seluruhnya kepada infrastruktur. Secara kriteria,
investasi dana haji harus likuid untuk memenuhi kebutuhan haji setiap tahunya.
Sedangkan investasi infrastruktur butuh jangka waktu 3 hingga 10 tahun.
Sehingga sangat tidak mungkin jika keseluruhan diinvestasikan kepada
infrastruktur. "Misalnya dari Rp90 triliun berapa porsinya 20 persen atau
30 persen. Karena kriteria harus likuid untuk memenuhi kebutuhan haji tiap
tahun,” kata Oni.
Yang tak kalah penting juga,
penggunaan tersebut harus mendapatkan persetujuan dari calon haji, dan
selanjutnya investasi tersebut harus dilakukan sesuai skema syariah. Baik itu
dari sisi akad, peruntukkan, sumber dana yang halal, hingga dana bagi hasil
yang jelas.
(DIPUBLIKASIKAN AGS-SEPT 2017)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar