Risiko yang datang dari praktik-praktik digital
diproyeksikan akan menjadi ancaman terbesar dari perekonomian sepanjang tahun
2018. Di Indonesia kondisi yang sama juga berlaku dan hal itu sudah
diperingatkan oleh otoritas moneter.
Memiliki kemampuan dalam teknologi, meski sedikit, sudah
seperti keharusan di zaman ini –sebagai akibat massifnya perkembangan teknologi terutama
terkait digital dalam satu dasawarsa terakhir. Maka dari itu, tidak aneh jika
risiko yang muncul banyak bersumber dari pemanfaatan teknologi digital atau
dunia siber.
World Economic Forum, sebuah
lembaga nonprofit dari Swiss, mengeluarkan laporan mengenai risiko-risiko yang
paling mengancam di tahun 2018. Menurut yayasan yang kerap menyelenggarakan
pertemuan tahunan di Davos, lembah Pegunungan Alpen, Swiss, itu, ancaman yang
datang dari lingkungan dan juga dari dunia siber.
Menurut laporan yang berjudul,
World Economic Forum’s 2018 Global Risks Report, kesimpulan itu diambil dari
1.000 orang pemimpin pebisnis, pemerintah dan masyarakat sipil. Para pihak yang
disurvei itu menyimpulkan bahwa risiko-risiko global akan memburuk pada 2008
ini. Sebanyak 59 persen yang disurvei memperkirakan adanya peningkatan risiko
dan hanya 7 persen yang memperkirakan adanya penurunan risiko.
"Manusia telah menjadi
sangat mahir dalam memahami cara mengurangi risiko konvensional, karena mereka
dapat relatif mudah diisolasi dan dikelola dengan pendekatan manajemen risiko
standar," WEF menjelaskan. “Tapi kita jauh lebih tidak kompeten dalam
menghadapi risiko kompleks dalam sistem yang saling terkait yang menopang dunia
kita, seperti organisasi, ekonomi, masyarakat dan lingkungan.”
Untuk dua tahun berturut-turut,
cuaca ekstrem menduduki puncak daftar sebagai ancaman dunia yang paling mungkin
terjadi pada dekade berikutnya. Terlebih lagi, tiga dari lima risiko utama yang
dianggap paling mungkin terjadi tahun ini adalah soal lingkungan, dengan
bencana alam berada di peringkat kedua dan kegagalan mitigasi dan adaptasi
perubahan iklim berada di peringkat kelima.
Namun demikian dalam survei tahun
ini, dua ancaman teknologi menyeruak masuk dalam lima risiko paling berisiko
untuk pertama kalinya. Risiko keamanan dunia maya meningkat menjadi risiko
global ketiga yang paling mungkin terjadi, naik dari posisi keenam tahun lalu.
WEF menyoroti meningkatnya kerugian finansial ancaman siber, termasuk serangan ransomware, yang menyumbang 64 persen
dari semua surat elektronik bervirus.
“Gesekan geopolitik berkontribusi
terhadap lonjakan dalam skala dan kecanggihan serangan cyber,” kata John Drzik,
Presiden Risiko Global dan Digital di Marsh, mitra strategis WEF. "Pada
saat yang sama, eksposur cyber berkembang
karena perusahaan menjadi lebih bergantung pada teknologi.”
Kemudian, tambah Drzik, ketika manajemen
cyberrisk membaik, bisnis dan
pemerintah perlu berinvestasi jauh lebih banyak dalam upaya memperkuat
daya-tahan (resilience) jika kita
ingin mencegah kesenjangan 'perlindungan' yang sama antara kerugian ekonomi dan
asuransi yang kita lihat untuk bencana alam.
Sementara itu, menurut Rob Clyde,
Wakil Ketua Asosiasi Manajemen Cyberrisk dan Pemerintahan ISACA, "Tatkala serangan
cyber tidak dihitung sebagai bencana
alam, serangan berskala besar mampu menghancurkan infrastruktur penting dengan
cara yang sama. Serangan cyber
memiliki potensi untuk mengganggu banyak aspek penting kehidupan kita dari penggunaan
listrik, gas dan air hingga cakupan perbankan dan ponsel.”
Clyde menyarankan agar
perusahaan-perusahaan harus menganggap laporan tersebut sebagai dorongan untuk
menilai kebijakan dan prosedur cyberrisk
mereka. “Memiliki wawasan ini akan memungkinkan dewan direksi dan manajemen
eksekutif membuat peta jalan yang paling masuk akal bagi organisasinya dan
bahkan memberi tahu dewan direktur bahwa mereka berada di jalur yang
benar," kata dia.
Data fraud telah meningkat menjadi kejadian yang paling sering
terjadi. Dalam sebuah laporan Accenture pada 2017 dijelaskan bahwa biaya dari
kejahatan siber telah meningkat secara eksponensial selama lima tahun terakhir.
Laporan WEF juga menyoroti meningkatnya risiko dari penggunaan internet pada
banyak hal pada praktik bisnis.
Sejak studi ini pertama kali
dilakukan oleh WEF pada tahun 2008, risiko dengan nilai tertinggi telah beralih
dari ekonomi dan geopolitik ke lingkungan dan teknologi. Pada tahun 2008, WEF
menganggap ancaman yang paling mungkin terjadi dalam dekade mendatang adalah
keruntuhan harga aset, ketidakstabilan Timur Tengah, kegagalan negara, lonjakan
harga minyak dan gas, dan penyakit kronis di negara maju. Dalam hal
kemungkinan, risiko lingkungan tidak memecahkan lima besar sampai 2011 dan
serangan siber hanya masuk ke posisi lima besar di tahun 2012.
Peringatan Otoritas
Di
Indonesia, peringatan akan ancaman dari sisi teknologi ini sudah disampaikan
otoritas moneter pada akhir tahun lalu. Gubernur Bank Indonesia, Agus DW
Martowardojo, pada pertemuan tahunan dengan para pelaku industri jasa keuangan
mengingatkan akan dampak dari praktik digital yang marak. “Tantangan struktural
yang tidak kalah pentingnya datang dari pesatnya perkembangan ekonomi digital,”
kata dia.
Perkembangan digital, lanjut
Agus, memiliki dua dampak kepada perekonomian dan sektor keuangan. Di satu sisi
perkembangan ini akan meningkatkan efisiensi dan produktivitas di berbagai
sektor, seperti di media, ritel, maupun keuangan. Konsumen ditawarkan
kemudahan, kecepatan, dan kepraktisan yang belum ada sebelumnya.
Namun perkembangan ini memiliki
risiko. Lantaran menganggu bisnis konvensial serta berpotensi mengurangi
ketersedian lapangan kerja. “Di sisi lain teknologi digital akan mengubah dan
berpotensi mengganggu model bisnis konvensional, meningkatkan otomasi, dan
berisiko mengurangi ketersedian lapangan kerja,” ungkap Agus.
Di
sektor keuangan, BI melihat teknologi digital bisa memberikan kemudahan
perluasan akses serta kecepatan transaksi dengan biaya murah. Namun, demikian, ada
juga risiko yang timbul dari praktik tersebut.
“Di sektor keuangan menawarkan
perluasan akses kecepatan transaksi dan biaya yang murah. Namun risiko yang
timbul semakin kompleks seperti adanya seperti pencucian uang, kemungkinan
pendanaan terorisme, kejahatan cyber,
risiko aspek perlindungan konsumen, serta risiko sistemik yang menggangu
stabilitas sistem keuangan," kata Agus.
Sebelumnya,
perusahaan penyedia solusi keamanan siber global, Fortinet juga sudah
mewanti-wanti munculnya ancaman tingkat lanjut dari perkembangan digital yang
merangsek ke hampir seluruh sendi kehidupan. Indikatornya adalah maraknya
program-program atau aplikasi-aplikasi berisi virus yang biasa disebut malware. “Serangan WannaCry dan NotPetya
yang terjadi beberapa waktu lalu merupakan indikasi awal gangguan masif dan
dampak ekonomi yang mungkin terjadi di waktu mendatang,” kata Fortinet.
Maka dari itu, kata penyedia
solusi global itu, perlu pendekatan keamanan fabric-based yang memanfaatkan
kekuatan otomasi, integrasi, dan segmentasi strategis untuk melawan serangan
dengan tingkat intelegensi yang tinggi di masa mendatang.
Fortinet memprediksi selama
beberapa tahun mendatang, permukaan serangan akan meluas sementara luasnya
visibilitas dan kontrol terhadap infrastruktur saat ini berkurang. “Cybercriminal marketplace mahir dalam
mengadopsi teknologi terbaru pada area-area seperti kecerdasan artifisial untuk
menciptakan serangan yang lebih efektif,” kata Derek dalam riset tersebut.
Fortinet mengatakan tren ini akan
berkembang pada 2018. Beberapa tren serangan tersebut di antaranya dimulai
dengan bangkitnya Self-learning Hivenets dan Swarmbots, yakni pola serangan
dari kumpulan botnet (program yang saling terhubung) canggih yang dibangun
seperti Hajime and Devil’s Ivy or Reaper.
Dalam hal ini para penjahat siber akan mengganti botnets dengan kelompok intelijen
dari perangkat-perangkat membahayakan yang disebut sebagai hivenets untuk
menciptakan vektor serangan yang lebih efektif.
(tulisan ini sebagian disarikan dari laporan rmmagazine.com
dengan judul “Environment, Cyberrisk Top WEF Risk Predictions”)
(DIPUBLIKASIKAN MAR-APR 2018)
Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.
BalasHapusNama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.
Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.
Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.
Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut