Rabu, 18 Juli 2018

Bom Waktu Perbankan Syariah


Industri perbankan syariah tengah menghadapi dua tantangan sekaligus yaitu risiko pembiayaan dan juga dari pengelolaan sumber daya manusia. Kedua risiko itu mengancam reputasi perbankan syariah.

Perbankan syariah adalah harapan yang menjadi kenyataan. Di negara yang mayoritas penduduknya muslim, sebuah ironi ketika di dalamnya tidak ada bank syariah. Namun itulah yang terjadi di Indonesia sebelum 1991. Tahun itu boleh disebut milestone terpenting perkembangan keuangan syariah setelah berdirinya Bank Muamalat, bank syariah pertama di Indonesia.
Sejak itu juga kondisi ‘darurat’ ketiadaan bank syariah yang menjadi alasan banyak muslim Indonesia menaruh dananya di bank konvensional, berakhir. Akan tetapi dalam perjalanannya hingga kini, selain terus menerus diterpa kesulitan untuk berkembang, perbankan syariah sepertinya menghadapi kondisi darurat yang lain.
Adalah pembiayaan syariah yang bermasalah (non performing financing/ NPF) dalam tiga tahun belakangan selalu mendekati ambang batas psikologis yang telah menyita perhatian seluruh stake holder. Pada tahun 2014, rasio pembiayaan macet mencapai 4,95 persen, setahun setelah itu angkanya menjadi 4,84 persen.
Tahun 2016 menjadi saat yang paling genting bagi pengelola bank syariah karena angkanya sempat menyentuh 6,17 persen pada Mei tahun itu (meski di akhir tahun angkanya ditekan menjadi 4,42 persen). Setahun setelahnya, angka NPF bisa dikendalikan dan menjadi 4,75 persen. Meski angka NPF netto sepanjang tahun itu tetap berada di bawah 5 persen, tetap saja tak lantas membuat pengelola bank syariah berbangga hati. Pasalnya, banyak dana yang tersedot untuk pencadangan pembiayaan macet dan mengurangi potensi bisnis yang bisa dibiayai.  
Selain itu, kondisi NPF yang naik juga menutupi gaung pencapaian bank syariah yang pada November tahun lalu telah berhasil keluar dari jebakan pangsa pasar 5 persen dibandingkan bank konvensional. Pangsa pasar 5 persen adalah target yang sudah hampir satu dekade diimpikan oleh otoritas dan juga pelaku industri.
Meningkatnya pembiayaan busuk di bank syariah lebih terasa di bank-bank syariah, sementara yang masih menjadi unit usaha syariah angkanya masih terkendali. Salah satunya dirasakan oleh Bank Muamalat. Pionir bank syariah di Negeri ini sempat mencatatkan rasio NPF di level 7,2 persen pada September 2016, meski pada akhir tahun itu angkanya bisa ditekan.
Menurut Direktur Utama Bank Muamalat Endy Abdurrahman, pembiayaan bermasalah banyak disumbang sektor korporasi. Dari total NPF, sektor korporasi berkontribusi 70 persen. “Karena pembiayaan korporasi paling besar,” ujar dia.
Mengutip laporan keuangan Bank Muamalat pada 2014, pembiayaan bermasalah mencapai 5,6 persen pada Desember 2014. Pada tahun berikutnya angkanya tidak menjadi lebih baik malah meningkat menjadi 7,1 persen. Akhirnya pada akhir 2016, manajemen bisa menekan angkanya hingga 3,8 persen. “Kami melakukan sejumlah langkah-langkah perbaikan aset untuk menyelesaikan pembiayaan bermasalah. Alhamdulillah ada perbaikan,” kata Endy.
Sebelumnya Bank Muamalat sempat terseret kabar tak sedap tahun lalu ketika manajemen yang sekarang dinilai mulai mengabaikan prinsip-prinsip kehati-hatian dan tata kelola sesuai prinsip syariah. Bank yang sekarang dimiliki oleh investor Qatar ini menjadi salah satu pemberi pinjaman kepada PT Rockit Aldeway, yang belakangan terbukti gagal bayar. Bank memberikan dana dengan jumlah Rp100 miliar kepada perusahaan itu pada November 2015 dan langsung macet seketika pada bulan berikutnya yaitu Desember 2015 (first payment default). Hingga Agustus 2016 tahun lalu sampai sekarang, debitur tersebut tercatat tidak pernah melakukan pembayaran.
Kasus berikutnya yang ikut mencoreng bank yang dianggap ‘kakak tertua’ dalam industri perbankan syariah bersama Bank Syariah Mandiri ini adalah pembiayaan kepada PT Bintang Jaya Proteina (BJP) senilai Rp100 miliar. Pembiayaan ini, selain pada akhirnya macet, juga  melanggar prinsip syariah karena anak perusahaan Sujaya grup ini ternyata merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang peternakan dan industri pakan babi.
Mengenai hal tersebut manajemen Muamalat memberikan klarifikasi. Terkait kasus Rockit, bank sudah berhasil menyita dan menguasai jaminan aset milik perusahaan itu dengan nilai Rp93 miliar. Sementara terkait isu pembiayaan non halal, Pembiayaan yang diberikan adalah untuk membiayai kegiatan usaha pakan ternak ayam, pihak Muamalat mengatakan bahwa Bintang Jaya Proteina adalah perusahaan induk yang memiliki anak perusahaan dengan beragam kegiatan usaha. Dan bank hanya membiayai kegiatan usaha terkait pakan ternak ayam.
Menurut pengamat ekonomi syariah, Azis Setiawan, saat ini memang tengah muncul gejala dan kecenderungan moral hazard dan fraud di perbankan syariah karena tidak disiplin memegang prinsip. “Secara umum ini terkait dengan prinsip tata kelola dan mitigasi risiko yang harusnya bisa lebih baik dan dijalankan oleh bankir-bankir syariah. Dalam praktiknya kasus-kasus moral hazard dan fraud ternyata masih timbul, termasuk dalam financing yang tidak hati-hati dan disiplin,” kata dia.
Secara makro bank syariah tengah berhadapan dengan tantangan belum kondusifnya environment ekonomi yang mendukung bank syariah untuk tumbuh lebih baik. “Kondisi riil sektor yang masih tertekan biasanya berdampak langsung (ke bank syariah) karena financing atau bisnis bank syariah terkonsentrasi di sana,” lanjut Azis, yang juga peneliti ekonomi Islam pada STIE SEBI, kampus yang berkonsentrasi di bidang ekonomi dan keuangan syariah.
Di sisi lain, secara internal, bank syariah juga menghadapi problem skala ekonomi yang lebih rendah untuk berkompetisi langsung dengan konvensional yang memiliki skala ekuitas dan IT yang jauh lebih baik. “Dampaknya bank syariah "terpaksa" memiliki human capital, sistem, tata kelola, IT, nasabah, financing yang juga di level yang tidak se-ideal bank-bank besar konvensional yang lebih punya banyak pilihan,” tutup Azis.

Jaga Reputasi
Salah seorang pengamat industri syariah yang juga menjadi staf pengajar di salah satu sekolah tinggi ilmu ekonomi Islam mengatakan bahwa beberapa tahun belakangan memang ada kecenderungan manajemen bank syariah terlampau agresif dalam pembiayaan. Tidak jarang keagresifan itu pada akhirnya membentur batas-batas prinsip syariah.
“Kami sekuat tenaga menjaga reputasi perbankan syariah, dengan menahan diri tidak berlomentar atau menulis opini di media tentang masalah-masalah yang dihadapi oleh bank syariah. Supaya masalahnya tidak meluas dan masyarakat tidak malah berkurang kepercayaannya kepada bank syariah. Karena akan mengurangi reputasi bank syariah,” kata perempuan itu yang enggan disebutkan namanya.
Reputasi memang menjadi barang penting buat bank syariah yang terus berupaya mencapai posisi ideal di dalam negeri yang mayoritasnya muslim ini. Akan tetapi menjaga reputasi bukanlah pekerjaan mudah dan bisa selesai dalam sehari atau dua hari. Dibutuhkan energi dan stamina yang besar dan terus menerus untuk menjaga prinsip-prinsip syariah agar tetap bersemayam dalam praktik bisnis bank syariah.
Namun begitu, pekerjaan itu makin sulit ketika berhadapan dengan kenyataan bahwa sumber daya manusia di perbankan syariah kini justru banyak diisi oleh orang-orang yang sedari awal bukanlah ‘orang-orang’ syariah.
“Saat ini di perbankan syariah lebih banyak diisi oleh orang-orang yang memang tidak dari awal tidak bergelut di bank syariah, awalnya mereka bekerja di lini konvensional,” kata Yuslam Fauzi, pengamat industri perbankan syariah yang juga konsultan Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI).
Menurut dia, hanya sekitar lima persen dari total sumber daya manusia perbankan syariah yang berjumlah sekitar 54 ribu orang, yang dinilai mumpuni. Mumpuni di sini adalah benar-benar menguasai bisnis perbankan sekaligus paham dan komitmen menjaga prinsip-prinsip syariah.
“Memang susah menemukan karyawan yang istilahnya, merupakan kombinasi dari aktivis dakwah dan profesional perbankan. Dan kebanyakan karyawan yang ada tidak memenuhi kombinasi ini. Ini berisiko,” kata Yuslam, yang pernah menjadi Direktur Bank Syariah Mandiri 2005-2014.
Menurut data dari LPPI kebutuhan perbankan syariah terhadap karyawan yang berkualitas terus meningkat. Dengan asumsi pertumbuhan perbankan syariah sebesar 20 persen per tahun, maka rata-rata kebutuhan terhadap pegawai perbankan syariah sekitar 15.000 orang pertahun. Saat ini perguruan tinggi di Indonesia baru menghasilkan lulusan sekitar 3.000 orang pertahun di bidang ekonomi dan keuangan syariah.
Dengan gap yang begitu besar antara kebutuhan dan pasokan, tidaklah mengherankan jika bank syariah cenderung ‘membajak’ karyawan dari lini konvensional. Memang tidak bisa disimpulkan bahwa karyawan dari konvensional akan merusak prinsip syariah di perbankan syariah, namun setidaknya itu ibarat menanam bom waktu.
(DIPUBLIKASIKAN JULI-AGUSTUS 2017)









Tidak ada komentar:

Posting Komentar