Industri perbankan syariah tengah menghadapi dua tantangan
sekaligus yaitu risiko pembiayaan dan juga dari pengelolaan sumber daya
manusia. Kedua risiko itu mengancam reputasi perbankan syariah.
Perbankan syariah adalah harapan yang menjadi kenyataan. Di
negara yang mayoritas penduduknya muslim, sebuah ironi ketika di dalamnya tidak
ada bank syariah. Namun itulah yang terjadi di Indonesia sebelum 1991. Tahun
itu boleh disebut milestone
terpenting perkembangan keuangan syariah setelah berdirinya Bank Muamalat, bank
syariah pertama di Indonesia.
Sejak itu juga kondisi ‘darurat’
ketiadaan bank syariah yang menjadi alasan banyak muslim Indonesia menaruh
dananya di bank konvensional, berakhir. Akan tetapi dalam perjalanannya hingga
kini, selain terus menerus diterpa kesulitan untuk berkembang, perbankan
syariah sepertinya menghadapi kondisi darurat yang lain.
Adalah pembiayaan syariah yang bermasalah
(non performing financing/ NPF) dalam
tiga tahun belakangan selalu mendekati ambang batas psikologis yang telah
menyita perhatian seluruh stake holder.
Pada tahun 2014, rasio pembiayaan macet mencapai 4,95 persen, setahun setelah
itu angkanya menjadi 4,84 persen.
Tahun 2016 menjadi saat yang
paling genting bagi pengelola bank syariah karena angkanya sempat menyentuh
6,17 persen pada Mei tahun itu (meski di akhir tahun angkanya ditekan menjadi
4,42 persen). Setahun setelahnya, angka NPF bisa dikendalikan dan menjadi 4,75
persen. Meski angka NPF netto sepanjang tahun itu tetap berada di bawah 5
persen, tetap saja tak lantas membuat pengelola bank syariah berbangga hati.
Pasalnya, banyak dana yang tersedot untuk pencadangan pembiayaan macet dan
mengurangi potensi bisnis yang bisa dibiayai.
Selain itu, kondisi NPF yang naik
juga menutupi gaung pencapaian bank syariah yang pada November tahun lalu telah
berhasil keluar dari jebakan pangsa pasar 5 persen dibandingkan bank
konvensional. Pangsa pasar 5 persen adalah target yang sudah hampir satu dekade
diimpikan oleh otoritas dan juga pelaku industri.
Meningkatnya pembiayaan busuk di
bank syariah lebih terasa di bank-bank syariah, sementara yang masih menjadi
unit usaha syariah angkanya masih terkendali. Salah satunya dirasakan oleh Bank
Muamalat. Pionir bank syariah di Negeri ini sempat mencatatkan rasio NPF di
level 7,2 persen pada September 2016, meski pada akhir tahun itu angkanya bisa
ditekan.
Menurut Direktur Utama Bank
Muamalat Endy Abdurrahman, pembiayaan bermasalah banyak disumbang sektor
korporasi. Dari total NPF, sektor korporasi berkontribusi 70 persen. “Karena
pembiayaan korporasi paling besar,” ujar dia.
Mengutip laporan keuangan Bank
Muamalat pada 2014, pembiayaan bermasalah mencapai 5,6 persen pada Desember
2014. Pada tahun berikutnya angkanya tidak menjadi lebih baik malah meningkat
menjadi 7,1 persen. Akhirnya pada akhir 2016, manajemen bisa menekan angkanya
hingga 3,8 persen. “Kami melakukan sejumlah langkah-langkah perbaikan aset
untuk menyelesaikan pembiayaan bermasalah. Alhamdulillah ada perbaikan,” kata
Endy.
Sebelumnya Bank Muamalat sempat terseret
kabar tak sedap tahun lalu ketika manajemen yang sekarang dinilai mulai
mengabaikan prinsip-prinsip kehati-hatian dan tata kelola sesuai prinsip
syariah. Bank yang sekarang dimiliki oleh investor Qatar ini menjadi salah satu
pemberi pinjaman kepada PT Rockit Aldeway, yang belakangan terbukti gagal
bayar. Bank memberikan dana dengan jumlah Rp100 miliar kepada perusahaan itu
pada November 2015 dan langsung macet seketika pada bulan berikutnya yaitu
Desember 2015 (first payment default).
Hingga Agustus 2016 tahun lalu sampai sekarang, debitur tersebut tercatat tidak
pernah melakukan pembayaran.
Kasus berikutnya yang ikut
mencoreng bank yang dianggap ‘kakak tertua’ dalam industri perbankan syariah
bersama Bank Syariah Mandiri ini adalah pembiayaan kepada PT Bintang Jaya
Proteina (BJP) senilai Rp100 miliar. Pembiayaan ini, selain pada akhirnya
macet, juga melanggar prinsip syariah
karena anak perusahaan Sujaya grup ini ternyata merupakan perusahaan yang
bergerak dalam bidang peternakan dan industri pakan babi.
Mengenai hal tersebut manajemen Muamalat
memberikan klarifikasi. Terkait kasus Rockit, bank sudah berhasil menyita dan
menguasai jaminan aset milik perusahaan itu dengan nilai Rp93 miliar. Sementara
terkait isu pembiayaan non halal, Pembiayaan yang diberikan adalah untuk membiayai
kegiatan usaha pakan ternak ayam, pihak Muamalat mengatakan bahwa Bintang Jaya
Proteina adalah perusahaan induk yang memiliki anak perusahaan dengan beragam
kegiatan usaha. Dan bank hanya membiayai kegiatan usaha terkait pakan ternak
ayam.
Menurut pengamat ekonomi syariah,
Azis Setiawan, saat ini memang tengah muncul gejala dan kecenderungan moral hazard dan fraud di perbankan syariah karena tidak disiplin memegang prinsip.
“Secara umum ini terkait dengan prinsip tata kelola dan mitigasi risiko yang
harusnya bisa lebih baik dan dijalankan oleh bankir-bankir syariah. Dalam
praktiknya kasus-kasus moral hazard
dan fraud ternyata masih timbul,
termasuk dalam financing yang tidak
hati-hati dan disiplin,” kata dia.
Secara makro bank syariah tengah
berhadapan dengan tantangan belum kondusifnya environment ekonomi yang mendukung bank syariah untuk tumbuh lebih
baik. “Kondisi riil sektor yang masih tertekan biasanya berdampak langsung (ke
bank syariah) karena financing atau
bisnis bank syariah terkonsentrasi di sana,” lanjut Azis, yang juga peneliti
ekonomi Islam pada STIE SEBI, kampus yang berkonsentrasi di bidang ekonomi dan
keuangan syariah.
Di sisi lain, secara internal,
bank syariah juga menghadapi problem skala ekonomi yang lebih rendah untuk
berkompetisi langsung dengan konvensional yang memiliki skala ekuitas dan IT
yang jauh lebih baik. “Dampaknya bank syariah "terpaksa" memiliki human capital, sistem, tata kelola, IT,
nasabah, financing yang juga di level
yang tidak se-ideal bank-bank besar konvensional yang lebih punya banyak
pilihan,” tutup Azis.
Jaga Reputasi
Salah seorang pengamat industri
syariah yang juga menjadi staf pengajar di salah satu sekolah tinggi ilmu
ekonomi Islam mengatakan bahwa beberapa tahun belakangan memang ada
kecenderungan manajemen bank syariah terlampau agresif dalam pembiayaan. Tidak
jarang keagresifan itu pada akhirnya membentur batas-batas prinsip syariah.
“Kami sekuat tenaga menjaga
reputasi perbankan syariah, dengan menahan diri tidak berlomentar atau menulis
opini di media tentang masalah-masalah yang dihadapi oleh bank syariah. Supaya
masalahnya tidak meluas dan masyarakat tidak malah berkurang kepercayaannya
kepada bank syariah. Karena akan mengurangi reputasi bank syariah,” kata
perempuan itu yang enggan disebutkan namanya.
Reputasi memang menjadi barang
penting buat bank syariah yang terus berupaya mencapai posisi ideal di dalam
negeri yang mayoritasnya muslim ini. Akan tetapi menjaga reputasi bukanlah
pekerjaan mudah dan bisa selesai dalam sehari atau dua hari. Dibutuhkan energi
dan stamina yang besar dan terus menerus untuk menjaga prinsip-prinsip syariah
agar tetap bersemayam dalam praktik bisnis bank syariah.
Namun begitu, pekerjaan itu makin
sulit ketika berhadapan dengan kenyataan bahwa sumber daya manusia di perbankan
syariah kini justru banyak diisi oleh orang-orang yang sedari awal bukanlah
‘orang-orang’ syariah.
“Saat ini di perbankan syariah
lebih banyak diisi oleh orang-orang yang memang tidak dari awal tidak bergelut
di bank syariah, awalnya mereka bekerja di lini konvensional,” kata Yuslam
Fauzi, pengamat industri perbankan syariah yang juga konsultan Lembaga
Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI).
Menurut dia, hanya sekitar lima
persen dari total sumber daya manusia perbankan syariah yang berjumlah sekitar
54 ribu orang, yang dinilai mumpuni. Mumpuni di sini adalah benar-benar menguasai
bisnis perbankan sekaligus paham dan komitmen menjaga prinsip-prinsip syariah.
“Memang susah menemukan karyawan
yang istilahnya, merupakan kombinasi dari aktivis dakwah dan profesional
perbankan. Dan kebanyakan karyawan yang ada tidak memenuhi kombinasi ini. Ini
berisiko,” kata Yuslam, yang pernah menjadi Direktur Bank Syariah Mandiri
2005-2014.
Menurut data dari LPPI kebutuhan
perbankan syariah terhadap karyawan yang berkualitas terus meningkat. Dengan
asumsi pertumbuhan perbankan syariah sebesar 20 persen per tahun, maka
rata-rata kebutuhan terhadap pegawai perbankan syariah sekitar 15.000 orang
pertahun. Saat ini perguruan tinggi di Indonesia baru menghasilkan lulusan sekitar
3.000 orang pertahun di bidang ekonomi dan keuangan syariah.
Dengan gap yang begitu besar
antara kebutuhan dan pasokan, tidaklah mengherankan jika bank syariah cenderung
‘membajak’ karyawan dari lini konvensional. Memang tidak bisa disimpulkan bahwa
karyawan dari konvensional akan merusak prinsip syariah di perbankan syariah,
namun setidaknya itu ibarat menanam bom waktu.
(DIPUBLIKASIKAN JULI-AGUSTUS 2017)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar