Rabu, 18 Juli 2018

Riak-Riak Krisis Kecil


Pembangunan infrastruktur yang masif namun tidak didukung pendanaan mumpuni telah membuka potensi risiko yang serius. Meski hanya krisis mini, namun bukan berarti risiko itu bisa diabaikan begitu saja.

Pemerintahan Presiden Joko Widodo sangat pantas untuk disebut sebagai orde infrastruktur, karena kegigihannya mendorong proyek pembangunan berbagai macam sarana dan prasaran ekonomi. Tiga tahun berkuasa, fokusnya kepada proyek-proyek besar itu tidaklah berkurang. Jika pada 2014 porsi belanja infrastruktur hanya 8,7 persen dari total anggaran negara dan pada 2017 angkanya dilipatduakan menjadi 18,6 persen.
Akan tetapi, ambisi besar tersebut pada akhirnya terantuk isu yang sejatinya sudah mengintip sejak kali pertama program infrastruktur digulirkan: kemampuan keuangan negara. Pada 2014 anggaran infrastruktur berjumlah Rp177,9 triliun, pada 2015 angkanya menjadi  Rp290,3 triliun, setahun kemudian bertambah menjadi Rp317,1 triliun, dan pada tahun ini berjumlah Rp387 triliun. Pada 2018 angkanya didongkrak lagi menjadi Rp409 triliun.
            Anggaran yang besar itu sayangnya tidak dibarengi oleh kuatnya pendanaan yang berasal dari kantong sendiri, walaupun sebelumnya banyak dana-dana subsidi untuk rakyat sudah dicabut. Walhasil, utang dan juga rekayasa anggaran menjadi jurus yang dipakai oleh pemerintah. Strategi itu, meski demikian, tidak steril dari risiko.
            Satu demi satu risiko-risiko dari proyek-proyek infrastruktur yang bertebaran di Tanah Air mulai muncul. Sebut saja soal minimnya bahan baku lokal yang dipakai ketika data pusat statistik pemerintah membuktikan bahwa banyak dari yang dipakai proyek itu justru dari luar negeri alias impor. Atau soal dominasi perusahaan-perusahaan negara di proyek infrastruktur, sehingga perusahaan swasta yang bergerak di sektor konstruksi mulai berteriak karena tidak kebagian proyek besar tersebut.
Kini, ujung dari semua itu tergambar dari risiko pada anggaran negara yang berada di tepi jurang defisit yang digariskan undang-undang sebesar 3 persen. Bersamaan dengan itu pula muncul kekhawatiran bahwa keagresifan Jokowi dalam sektor infrastruktur akan membawa ekonomi kepada ketidakstabilan.
Sinyal bahaya itu sudah terlihat ketika pemerintah menengok isi kantongnya yang berasal dari pajak. Menurut Faisal Basri, ekonom dari Universitas Indonesia, realisasi penerimaan pajak sepanjang Januari hingga September tahun ini berjumlah Rp770,7 triliun atau 60,0 persen dari target APBN-P. Dibandingkan pendapatan pajak tahun lalu, berarti pertumbuhannya minus 2,68 persen. Namun jika pendapatan dari uang tebusan tidak dihitung maka akan ada pertumbuhan pendapatan sebesar 8,1 persen.
Jika sampai akhir tahun ini penerimaan pajak tumbuh 5 persen, kata Faisal, maka penerimaan pajak 2017 menjadi Rp1.161 triliun atau hanya mencapai 90 persen dari target di APBN-P. Jika hal-hal lain tetap, atau ceteris paribus, kata dia.
Dengan ditambah dengan pemangkasan pengeluaran Rp34 triliun yang sudah ditetapkan sebelumnya, maka pemerintah akan menghadapi risiko melebarnya defisit melewati batas, yang berarti melanggar undang-undang. “Walaupun outlook pengeluaran sudah dipangkas Rp 34 triliun, defisit APBN naik menjadi Rp485 triliun atau 3,57 persen, melebihi batas maksimum 3 persen,” ujar Faisal.
Pemerintah, oleh sebab itu, diminta untuk sesegera mungkin memotong pengeluaran. Ibarat, seseorang yang ingin langsing, kata Faisal, jalannya yang ditempuh adalah diet dan olahraga. Untuk itu dia menyarankan pemerintah untuk menunda penyelesaian beberapa proyek infrastruktur hingga setahun sampai dua tahun ke depan. pemerintah, dengan itu, masih memiliki waktu untuk memperbaiki anggaran karena APBN 2018 sedang dalam tahapan pembahasan.
Menurut dia, sepenting-pentingnya proyek infrastruktur strategis, jauh lebih penting menjaga stabilitas makroekonomi yang sudah dengan susah payah terjaga dengan ongkos yang cukup mahal pula.
“Terlalu riskan dan mahal ongkos politik yang harus dipikul Presiden seandainya demi mengamankan proyek infrastruktur, terjadi krisis kecil akibat stabilitas makroekonomi terganggu atau goyah,” kata Faisal.

Crowding out dan Overinvestment

Nafsu besar pemerintah mendorong infrastruktur saat ini juga dinilai telah menyebabkan munculnya dua eksternalitas negatif yaitu crowding out dan overinvestment . Minimnya pendanaan memaksa pemerintah untuk berutang, baik bilateral maupun lewat pasar modal. Dalam rancangan APBNP 2017, pemerintah menaikkan defisit hingga mencapai Rp397,2 triliun atau 2,92 persen dari produk domestik bruto (PDB). Sebelumnya dalam APBN 2017 defisit hanya 2,41 persen.
Kenaikan defisit pulalah yang membuat pemerintah rajin menerbitkan Surat Utang Negara (SUN). Dengan mematok suku bunga SUN yang kompetitif agat menarik, maka kenaikan suku bunga di pasar keuangan tidak terelakkan. Kenaikan suku bunga itu membuat investasi swasta turun. Jadi, peningkatan utang pemerintah menimbulkan efek mendesak (crowding out effect).
Sementara itu, dampak lain dari infrastruktur yang getol digenjot pemerintah adalah terjadinya overinvestment. Kondisi ini mengacu pada kegiatan investasi yang selalu lebih besar dari tabungan yang menyebabkan pembiayaan investasi dilakukan dengan menggunakan kredit dari bank. Bahkan dalam hal infrastruktur ini pemerintah sangat mengandalkan utang.
Total utang dalam tiga tahun pemerintahan Jokowi meroket. Per September 2017, jumlah total utang pemerintah mencapai Rp3.866,45 triliun. Tahun, 2014 pada saat baru memerintah, total utang berjumlah Rp2.604,93 triliun, dan tambahan selama tiga tahun sebesar Rp 1.261,52 triliun. Artinya setiap tahun pemerintah rata-rata bikin utang baru Rp400 triliun, alias setiap hari lebih dari Rp1 triliun ada utang baru.
Kwik Kian Gie, ekonom dan politisi senior, dalam sebuah seminar, mengatakan inti dari teori overinvestment adalah kegiatan investasi lebih besar dari tabungan yang menyebabkan pembiayaan investasi dilakukan dengan kredit bank. Jumlah atau besaran pembentukan modal sendiri atau equity capital dinilai tertinggal dibanding dengan kesempatan dan gairah investasi.
“Jika kredit bank berkurang, investasi mini. Saat itu krisis dimulai. Ini harus dicegah dari sekarang, dengan mengerem investasi,” jelas mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian ini.
Dengan kalimat lain, jika Indonesia tidak ingin terus menapaki jalur menuju jurang resesi, Kwik menyarankan agar pemerintah mulai mengerem investasinya melalui penjadwalan kembali proyek-proyek besar di program infrastruktur.
Di lain sisi, ekonom sekaligus rektor Universitas Atmajaya Antonius Prasetyantoko mengatakan bahwa sampai saat ini memang ada gejala crowding out namun belum sampai pada risiko overinvestment.
“Mungkin saja ekspansi pembangunan infrastruktur sedikit menimbulkan tekanan pada pasar (crowding-out), namun sepertinya belum sampai mengarah ke risiko overinvestment,” tulis dia pada sebuah kolom di sebuah media.
Menurut Prasetyantoko, di manapun, pembangunan infrastruktur akan menjadi beban dalam jangk pendek, namun jika dikelola dengan baik, akan menimbulkan efek berganda dalam jangka panjang. Pemerintah tentu perlu memastikan efek jangka pendeknya bisa dikendalikan, sementara momentum jangka panjangnya tetap terjaga.
Akan tetapi memperlambat atau bahkan mengerem beberapa proyek infrastruktur juga bukan tanpa risiko. Akibat yang paling cepat terlihat adalah daya beli yang memang sedang melemah akan makin turun, ujung-ujungnya bisa mengganjal pertumbuhan ekonomi yang memang mulai terasa stagnan.
Bhima Yudhistira Adhinegara, peneliti dari Indef mengatakan bahwa mengerem pembangunan infrastruktur memang berisiko membuat pertumbuhan akan makin melamban. “Bahkan 5 persen aja mungkin tidak sampai,” kata dia.
Selama ini, lanjut Bhima, yang menikmati proyek-proyek infrastruktur sebagian besar adalah kontraktor skala besar, hampir sebesar 87 persen. Jadi jika nanti proyek-proyek tersebut itu dirasionalisasi maka yang akan terimbas adalah kontraktor besar yang umumnya adalah perusahaan negara. “Dampak (rasionalisasi) infrastruktur ke masyarakat kecil hampir tidak dirasakan. Jadi kalau di rem efek ke ekonomi masyarakat kecil sekali,” kata dia.
Walaupun demikian, bukan berarti risiko dari opsi itu tidak ada. Salah satunya akan menekan kembali daya beli masyarakat ketika Badan Pusat Statistik mengumumkan konsumsi stagnan di angka 4,93 persen.

(DIPUBLIKASIKAN OKTOBER NOVEMBER 2017) 

1 komentar:

  1. Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.

    Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.

    Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.

    Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.

    Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut

    BalasHapus