Pembangunan infrastruktur
yang masif namun tidak didukung pendanaan mumpuni telah membuka potensi risiko
yang serius. Meski hanya krisis mini, namun bukan berarti risiko itu bisa
diabaikan begitu saja.
Pemerintahan Presiden Joko
Widodo sangat pantas untuk disebut sebagai orde infrastruktur, karena
kegigihannya mendorong proyek pembangunan berbagai macam sarana dan prasaran
ekonomi. Tiga tahun berkuasa, fokusnya kepada proyek-proyek besar itu tidaklah
berkurang. Jika pada 2014 porsi belanja infrastruktur hanya 8,7 persen dari
total anggaran negara dan pada 2017 angkanya dilipatduakan menjadi 18,6 persen.
Akan
tetapi, ambisi besar tersebut pada akhirnya terantuk isu yang sejatinya sudah
mengintip sejak kali pertama program infrastruktur digulirkan: kemampuan keuangan
negara. Pada 2014 anggaran infrastruktur berjumlah Rp177,9 triliun, pada 2015 angkanya
menjadi Rp290,3 triliun, setahun
kemudian bertambah menjadi Rp317,1 triliun, dan pada tahun ini berjumlah Rp387
triliun. Pada 2018 angkanya didongkrak lagi menjadi Rp409 triliun.
Anggaran yang besar itu sayangnya tidak dibarengi oleh
kuatnya pendanaan yang berasal dari kantong sendiri, walaupun sebelumnya banyak
dana-dana subsidi untuk rakyat sudah dicabut. Walhasil, utang dan juga rekayasa
anggaran menjadi jurus yang dipakai oleh pemerintah. Strategi itu, meski
demikian, tidak steril dari risiko.
Satu demi satu risiko-risiko dari proyek-proyek
infrastruktur yang bertebaran di Tanah Air mulai muncul. Sebut saja soal
minimnya bahan baku lokal yang dipakai ketika data pusat statistik pemerintah
membuktikan bahwa banyak dari yang dipakai proyek itu justru dari luar negeri
alias impor. Atau soal dominasi perusahaan-perusahaan negara di proyek
infrastruktur, sehingga perusahaan swasta yang bergerak di sektor konstruksi
mulai berteriak karena tidak kebagian
proyek besar tersebut.
Kini,
ujung dari semua itu tergambar dari risiko pada anggaran negara yang berada di
tepi jurang defisit yang digariskan undang-undang sebesar 3 persen. Bersamaan
dengan itu pula muncul kekhawatiran bahwa keagresifan Jokowi dalam sektor
infrastruktur akan membawa ekonomi kepada ketidakstabilan.
Sinyal
bahaya itu sudah terlihat ketika pemerintah menengok isi kantongnya yang
berasal dari pajak. Menurut Faisal Basri, ekonom dari Universitas Indonesia,
realisasi penerimaan pajak sepanjang Januari hingga September tahun ini
berjumlah Rp770,7 triliun atau 60,0 persen dari target APBN-P. Dibandingkan pendapatan pajak tahun lalu, berarti pertumbuhannya minus
2,68 persen. Namun jika pendapatan dari uang tebusan tidak dihitung maka akan
ada pertumbuhan pendapatan sebesar 8,1 persen.
Jika sampai
akhir tahun ini penerimaan pajak tumbuh 5 persen, kata Faisal, maka penerimaan
pajak 2017 menjadi Rp1.161 triliun atau hanya mencapai 90 persen dari target di
APBN-P. “Jika hal-hal
lain tetap, atau ceteris paribus,” kata dia.
Dengan
ditambah dengan pemangkasan pengeluaran Rp34 triliun yang sudah ditetapkan
sebelumnya, maka pemerintah akan menghadapi risiko melebarnya defisit melewati
batas, yang berarti melanggar undang-undang. “Walaupun outlook pengeluaran sudah dipangkas Rp 34 triliun, defisit APBN
naik menjadi Rp485 triliun atau 3,57 persen, melebihi batas maksimum 3 persen,”
ujar Faisal.
Pemerintah,
oleh sebab itu, diminta untuk sesegera mungkin memotong pengeluaran. Ibarat,
seseorang yang ingin langsing, kata Faisal, jalannya yang ditempuh adalah diet
dan olahraga. Untuk itu dia menyarankan pemerintah untuk menunda penyelesaian
beberapa proyek infrastruktur hingga setahun sampai dua tahun ke depan.
pemerintah, dengan itu, masih memiliki waktu untuk memperbaiki anggaran karena
APBN 2018 sedang dalam tahapan pembahasan.
Menurut
dia, sepenting-pentingnya proyek infrastruktur strategis, jauh lebih penting
menjaga stabilitas makroekonomi yang sudah dengan susah payah terjaga dengan
ongkos yang cukup mahal pula.
“Terlalu
riskan dan mahal ongkos politik yang harus dipikul Presiden seandainya demi
mengamankan proyek infrastruktur, terjadi krisis kecil akibat stabilitas makroekonomi
terganggu atau goyah,” kata Faisal.
Crowding out dan Overinvestment
Nafsu
besar pemerintah mendorong infrastruktur saat ini juga dinilai telah
menyebabkan munculnya dua eksternalitas negatif yaitu crowding out dan overinvestment
. Minimnya pendanaan memaksa pemerintah untuk berutang, baik bilateral maupun
lewat pasar modal. Dalam rancangan APBNP 2017, pemerintah menaikkan defisit
hingga mencapai Rp397,2 triliun atau 2,92 persen dari produk domestik bruto
(PDB). Sebelumnya dalam APBN 2017 defisit hanya 2,41 persen.
Kenaikan
defisit pulalah yang membuat pemerintah rajin menerbitkan Surat Utang Negara
(SUN). Dengan mematok suku bunga SUN yang kompetitif agat menarik, maka kenaikan
suku bunga di pasar keuangan tidak terelakkan. Kenaikan suku bunga itu membuat
investasi swasta turun. Jadi, peningkatan utang pemerintah menimbulkan efek
mendesak (crowding out effect).
Sementara
itu, dampak lain dari infrastruktur yang getol digenjot pemerintah adalah
terjadinya overinvestment. Kondisi
ini mengacu pada kegiatan investasi yang selalu lebih besar dari tabungan yang
menyebabkan pembiayaan investasi dilakukan dengan menggunakan kredit dari bank.
Bahkan dalam hal infrastruktur ini pemerintah sangat mengandalkan utang.
Total
utang dalam tiga tahun pemerintahan Jokowi meroket. Per September 2017, jumlah
total utang pemerintah mencapai Rp3.866,45 triliun. Tahun, 2014 pada saat baru
memerintah, total utang berjumlah Rp2.604,93 triliun, dan tambahan selama tiga
tahun sebesar Rp 1.261,52 triliun. Artinya setiap tahun pemerintah rata-rata
bikin utang baru Rp400 triliun, alias setiap hari lebih dari Rp1 triliun ada
utang baru.
Kwik
Kian Gie, ekonom dan politisi senior, dalam sebuah seminar, mengatakan inti
dari teori overinvestment adalah
kegiatan investasi lebih besar dari tabungan yang menyebabkan pembiayaan
investasi dilakukan dengan kredit bank. Jumlah atau besaran pembentukan modal
sendiri atau equity capital dinilai tertinggal
dibanding dengan kesempatan dan gairah investasi.
“Jika
kredit bank berkurang, investasi mini. Saat itu krisis dimulai. Ini harus
dicegah dari sekarang, dengan mengerem investasi,” jelas mantan Menteri
Koordinator Bidang Perekonomian ini.
Dengan
kalimat lain, jika Indonesia tidak ingin terus menapaki jalur menuju jurang
resesi, Kwik menyarankan agar pemerintah mulai mengerem investasinya melalui
penjadwalan kembali proyek-proyek besar di program infrastruktur.
Di
lain sisi, ekonom sekaligus rektor Universitas Atmajaya Antonius Prasetyantoko
mengatakan bahwa sampai saat ini memang ada gejala crowding out namun belum sampai pada risiko overinvestment.
“Mungkin
saja ekspansi pembangunan infrastruktur sedikit menimbulkan tekanan pada pasar
(crowding-out), namun sepertinya
belum sampai mengarah ke risiko overinvestment,”
tulis dia pada sebuah kolom di sebuah media.
Menurut
Prasetyantoko, di manapun, pembangunan infrastruktur akan menjadi beban dalam
jangk pendek, namun jika dikelola dengan baik, akan menimbulkan efek berganda
dalam jangka panjang. Pemerintah tentu perlu memastikan efek jangka pendeknya
bisa dikendalikan, sementara momentum jangka panjangnya tetap terjaga.
Akan
tetapi memperlambat atau bahkan mengerem beberapa proyek infrastruktur juga
bukan tanpa risiko. Akibat yang paling cepat terlihat adalah daya beli yang
memang sedang melemah akan makin turun, ujung-ujungnya bisa mengganjal pertumbuhan
ekonomi yang memang mulai terasa stagnan.
Bhima
Yudhistira Adhinegara, peneliti dari Indef mengatakan bahwa mengerem
pembangunan infrastruktur memang berisiko membuat pertumbuhan akan makin
melamban. “Bahkan 5 persen aja mungkin tidak sampai,” kata dia.
Selama
ini, lanjut Bhima, yang menikmati proyek-proyek infrastruktur sebagian besar
adalah kontraktor skala besar, hampir sebesar 87 persen. Jadi jika nanti
proyek-proyek tersebut itu dirasionalisasi maka yang akan terimbas adalah
kontraktor besar yang umumnya adalah perusahaan negara. “Dampak (rasionalisasi)
infrastruktur ke masyarakat kecil hampir tidak dirasakan. Jadi kalau di rem
efek ke ekonomi masyarakat kecil sekali,” kata dia.
Walaupun
demikian, bukan berarti risiko dari opsi itu tidak ada. Salah satunya akan
menekan kembali daya beli masyarakat ketika Badan Pusat Statistik mengumumkan
konsumsi stagnan di angka 4,93 persen.
Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.
BalasHapusNama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.
Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.
Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.
Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut