Proyek infrastruktur yang sedang digalakkan pemerintah
terindikasi minim penggunaan komponen lokal terutama produk logam, baja dan
juga semen. Presiden diminta untuk turun tangan agar dampak proyek
infrastruktru bisa dimaksimalkan.
Sejak pemerintahan Joko Widodo mulai berkantor di Istana
Negara, sektor infrastruktur memang menjadi idola kebijakan. Boleh dibilang
segala kekuatan yang dimiliki pemerintah diarahkan untuk menggerakkan
proyek-proyek besar seperti jalan, pelabuhan, jembatan dan lainnya.
Sejatinya kebijakan ini bisa
merangsang perekonomian lewat pembelian bahan baku dari dalam negeri terutama
yang terkait baja, besi atau semen untuk konstruksi. Akan tetapi yang terjadi
tidak demikian.
Sejak 2015, pemerintah telah
menyiapkan gebrakan untuk memacu proyek-proyek berskala besar di seantero
wilayah Tanah Air. Beragam kebijakan memangkas subsidi juga dilakukan
pemerintah untuk mendukung pendanaan proyek-proyek tersebut.
Tahun ini, pemerintah meneruskan
kerjanya mendorong beragam proyek infrastruktur. Proyek pemerintah pada 2017
tercatat berjumlah 245 proyek yang dituangkan dalam Proyek Strategis Nasional.
Dana pendukung untuk mewujudkan program massal itu pun terus mengalir. Jika
pada 2014 porsi belanja infrastruktur hanya 8,7 persen dari total APBN,
angkanya kemudian dilipatduakan pada 2017 menjadi 18,6 persen.
Pemerintah pun kerap menginformasikan
sudah merampungkan proyek-proyek besar seperti jalan lintas di luar pulau Jawa,
jalan tol, serta sederet jembatan hingga bendungan. Hampir setiap pekan ada
pemberitaan mengenai prestasi Pemerintahan Joko Widodo dalam pembangunan
infrastruktur.
Akan tetapi, seperti yang terjadi
pada sektor tenaga kerja, sejumlah pihak menilai proyek-proyek infrastruktur
minim dampak pada industri dalam negeri, terutama pada sektor industri logam,
baja, dan besi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, pertumbuhan sektor industri
logam dasar justru tumbuh negatif 3,06 persen sepanjang kuartal pertama 2017.
Kondisi ini terus memburuk dibandingkan dengan kuartal kedua dan keempat 2016
karena pertumbuhan logam dasar turun drastis di bawah 1 persen.
“Kalau pembangunan infrastruktur
digenjot tapi di sisi lain industri logam dasarnya turun, tentu kita wajib
bertanya dari mana asalnya besi dan baja yang digunakan sebagai kerangka
jembatan, jalan tol, dan rel kereta api,” kata Bhima Yudhistira Adhinegara,
peneliti Indef.
Fakta itu diperkuat dengan
merosostnya kinerja korporasi baja nasional, PT Krakatau Steel (Persero) Tbk.
BUMN Baja itu masih juga mencatatkan kerugian hingga 2016, meneruskan kondisi
menyedihkan empat tahun sebelumnya.
Tahun lalu, perusahaan dengan
kode saham KRAS itu membukukan rugi tahun sebesar 171,69 juta dollar AS.
Sementara pada 2015 ruginya mencapai 320 juta dollar AS, dan pada 2014 rugi
147,11 juta dollar AS. Selanjutnya, pada 2013 perseroan mencatatkan rugi 13,98
juta dollar AS dan setahun sebelumnya sebesar 20,43 juta dollar AS. Pada
kuartal pertama, BUMN ini mencatatkan sebesar 20,7 juta dollar AS. Sementara
terakhir perusahaan merasakan keuntungan adalah pada 2011.
Selain industri baja, ada
industri semen yang juga tak terungkit proyek infrastruktur. Sementara konsumsi
semen secara nasional periode Januari-Juni 2017 juga tercatat menurun 1,3
persen dari 29,4 juta ton menjadi 28,9 juta ton. Kondisi pabrik semen sekarang
mengalami kelebihan kapasitas karena tidak terserap oleh pasar.
Kondisi itu dikonfirmasi dengan kinerja
PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk yang dalam enam bulan pertama tahun ini
terlihat lesu. Volume penjualan semen perseroan pelat merah sepanjang semester pertama
2017 hanya 7,8 juta ton, turun 2,4 persen dibandingkan periode yang sama tahun
lalu.
Aturan Presiden
Kenyataan itu terasa lebih pahit
dari yang seharusnya karena sejak awal pemerintah sudah menggembar-gemborkan
bahwa proyek infrastruktur akan memberi dampak pada industri nasional terutama jika
kandungan lokal lebih dominan digunakan. Tidak mau hal itu berlanjut,
pemerintah menggulirkan rencana untuk menerbitkan aturan baru yang bisa
mendorong infrastruktur sekaligus meningkatkan penggunaan komponen lokal.
Adalah Peraturan Presiden yang dikeluarkan menyinkronkan aturan yang sudah ada
soal tingkat kandungan dalam negeri(TKDN).
Hadirnya aturan akan ‘memaksa’
semua proyek infrastrukturuntuk memprioritaskan penggunaan komponen lokal. Selain
itu, salah satu yang alasan terbitnya Perpres adalah mekanisme gross split terhadap kerja migas para
KKKS (Kontraktor Kontrak Kerja Sama). Mekanisme gross split memungkinkan para
KKKS mendapat keuntungan lebih apabila meningkatkan komponen dalam negeri pada
usaha hulu migasnya. Perpres juga diperlukan untuk mensinkronisasi pemerintah
pusat maupun daerah mengumumkan perencanaan teknis untuk program yang akan
dilaksanakan.
Melalui perpres ini, apabila
pelaku industri tidak memaksimalkan TKDN akan diterapkan sanksi. Perpres tidak
difokuskan pada industri tertentu, tapi semua jenis industri. Industri kelistrikan,
perminyakan, BUMN, hingga kereta api akan tersentuh Perpres TKDN.
Sementara itu, Kementerian Perindustrian
mengatakan, penerapan tingkat kandungan lokal untuk industri baja domestik
menjadi prioritas dalam proyek pembangunan infrastruktur di Indonesia. Industri
baja di dalam negeri dinilai sudah mampu diproduksi untuk memenuhi kebutuhan
pembangunan sehingga tidak perlu lagi mengimpor.
Perpres TKDN, menurut Menteri
Perindustrian Airlangga Hartarto merupakan pengaturan tentang pemantauan dan
pengendalian penggunaan produk dalam negeri. Bukan sebaliknya, menjadi aturan
pembatasan impor. Perpres ini sebagai upaya optimalisasi penggunaan produk
dalam negeri sehingga proyek nasional dapat menjadi ajang penyerapan tenaga
kerja nasional sekaligus penghemat devisa. Bahkan industri substitusi impor
bisa terbangkitkan kembali.
“TKDN itu kan sifatnya bukan
wajib, tetapi voluntary. Jadi,
sebetulnya untuk meningkatkan daya saing, contohnya di industri otomotif.
Industri otomotif kan membutuhkan bahan baku yang sifatnya just in time. Berarti suplier-nya
harus dekat. Maka kita dorong industri-industri yang lain,” kata Airlangga.
Perihal minimnya penggunaan
produk lokal ini juga sampai ke telinga Jokowi. Bahkan menurut mantan Walikota
Solo itu selama ini kementerian dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tidak
maksimal menerapkan TKDN. Lembaga-lembaga itu dianggap hanya menerapkan
kewajiban TKDN itu sebatas penggugur kewajiban dan pelengkap syarat saja.
Padahal kata Jokowi, “penguatan
komponen dalam negeri, akan memperkuat industri nasional, membuka lapangan
pekerjaan, dan mengurangi ketergantungan terhadap produk-produk impor.” Di sisi
lain, lanjut dia, memaksimalkan TKDN dapat mendorong masuknya investasi
industri substitusi impor sehingga bisa menggerakkan roda perekonomian
nasional.
Pemerintah, sebenarnya bukannya
abai terhadap kehadiran aturan yang mendukung penggunaan produk lokal untuk
mendukung infrastruktur. Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2016 tentang
Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan adalah salah satunya.
Salah satu satu poin yang ditekankan dalam peraturan tersebut ialah penggunaan
produk lokal dalam pembangunan pembangkit 35.000 MW dan jaringan transmisi
46.000 km.
Regulasi lainnya, yakni Peraturan
Menteri Perindustrian Nomor 54 tahun 2012 tentang Pedoman Penggunaan Produk
Dalam Negeri untuk Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan. Regulasi ini
mengatur penggunaan bahan-bahan lokal untuk pembangkit, jaringan transmisi dan
gardu induk, sehingga membuka luas kesempatan bagi industri dalam negeri untuk
memenuhi kebutuhan mesin dan peralatan.
Minimnya implementasi
aturan-aturan yang ada membuat beberapa pihak meminta Presiden turun tangan
untuk menelurkan Peraturan Presiden yang bisa menegaskan hal itu kembali.
Beberapa pejabat negara mulai deputi menteri hingga menteri koordinator
sebelumnya sudah mengatakan bahwa aturan yang menegaskan kembali pentingnya
penggunaan komponen lokal akan terbit pada Agustus. Akan tetapi hingga
September aturan tersebut belum muncul juga.
(DIPUBLIKASIKAN AGS-SEPT 2017)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar