Rabu, 18 Juli 2018

Menyoal Kandungan Lokal



Proyek infrastruktur yang sedang digalakkan pemerintah terindikasi minim penggunaan komponen lokal terutama produk logam, baja dan juga semen. Presiden diminta untuk turun tangan agar dampak proyek infrastruktru bisa dimaksimalkan.


Sejak pemerintahan Joko Widodo mulai berkantor di Istana Negara, sektor infrastruktur memang menjadi idola kebijakan. Boleh dibilang segala kekuatan yang dimiliki pemerintah diarahkan untuk menggerakkan proyek-proyek besar seperti jalan, pelabuhan, jembatan dan lainnya. 
Sejatinya kebijakan ini bisa merangsang perekonomian lewat pembelian bahan baku dari dalam negeri terutama yang terkait baja, besi atau semen untuk konstruksi. Akan tetapi yang terjadi tidak demikian.
Sejak 2015, pemerintah telah menyiapkan gebrakan untuk memacu proyek-proyek berskala besar di seantero wilayah Tanah Air. Beragam kebijakan memangkas subsidi juga dilakukan pemerintah untuk mendukung pendanaan proyek-proyek tersebut.
Tahun ini, pemerintah meneruskan kerjanya mendorong beragam proyek infrastruktur. Proyek pemerintah pada 2017 tercatat berjumlah 245 proyek yang dituangkan dalam Proyek Strategis Nasional. Dana pendukung untuk mewujudkan program massal itu pun terus mengalir. Jika pada 2014 porsi belanja infrastruktur hanya 8,7 persen dari total APBN, angkanya kemudian dilipatduakan pada 2017 menjadi 18,6 persen.
Pemerintah pun kerap menginformasikan sudah merampungkan proyek-proyek besar seperti jalan lintas di luar pulau Jawa, jalan tol, serta sederet jembatan hingga bendungan. Hampir setiap pekan ada pemberitaan mengenai prestasi Pemerintahan Joko Widodo dalam pembangunan infrastruktur.
Akan tetapi, seperti yang terjadi pada sektor tenaga kerja, sejumlah pihak menilai proyek-proyek infrastruktur minim dampak pada industri dalam negeri, terutama pada sektor industri logam, baja, dan besi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, pertumbuhan sektor industri logam dasar justru tumbuh negatif 3,06 persen sepanjang kuartal pertama 2017. Kondisi ini terus memburuk dibandingkan dengan kuartal kedua dan keempat 2016 karena pertumbuhan logam dasar turun drastis di bawah 1 persen.
“Kalau pembangunan infrastruktur digenjot tapi di sisi lain industri logam dasarnya turun, tentu kita wajib bertanya dari mana asalnya besi dan baja yang digunakan sebagai kerangka jembatan, jalan tol, dan rel kereta api,” kata Bhima Yudhistira Adhinegara, peneliti Indef.
Fakta itu diperkuat dengan merosostnya kinerja korporasi baja nasional, PT Krakatau Steel (Persero) Tbk. BUMN Baja itu masih juga mencatatkan kerugian hingga 2016, meneruskan kondisi menyedihkan empat tahun sebelumnya.
Tahun lalu, perusahaan dengan kode saham KRAS itu membukukan rugi tahun sebesar 171,69 juta dollar AS. Sementara pada 2015 ruginya mencapai 320 juta dollar AS, dan pada 2014 rugi 147,11 juta dollar AS. Selanjutnya, pada 2013 perseroan mencatatkan rugi 13,98 juta dollar AS dan setahun sebelumnya sebesar 20,43 juta dollar AS. Pada kuartal pertama, BUMN ini mencatatkan sebesar 20,7 juta dollar AS. Sementara terakhir perusahaan merasakan keuntungan adalah pada 2011.
Selain industri baja, ada industri semen yang juga tak terungkit proyek infrastruktur. Sementara konsumsi semen secara nasional periode Januari-Juni 2017 juga tercatat menurun 1,3 persen dari 29,4 juta ton menjadi 28,9 juta ton. Kondisi pabrik semen sekarang mengalami kelebihan kapasitas karena tidak terserap oleh pasar.
Kondisi itu dikonfirmasi dengan kinerja PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk yang dalam enam bulan pertama tahun ini terlihat lesu. Volume penjualan semen perseroan pelat merah sepanjang semester pertama 2017 hanya 7,8 juta ton, turun 2,4 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Aturan Presiden
Kenyataan itu terasa lebih pahit dari yang seharusnya karena sejak awal pemerintah sudah menggembar-gemborkan bahwa proyek infrastruktur akan memberi dampak pada industri nasional terutama jika kandungan lokal lebih dominan digunakan. Tidak mau hal itu berlanjut, pemerintah menggulirkan rencana untuk menerbitkan aturan baru yang bisa mendorong infrastruktur sekaligus meningkatkan penggunaan komponen lokal. Adalah Peraturan Presiden yang dikeluarkan menyinkronkan aturan yang sudah ada soal tingkat kandungan dalam negeri(TKDN).
Hadirnya aturan akan ‘memaksa’ semua proyek infrastrukturuntuk memprioritaskan penggunaan komponen lokal. Selain itu, salah satu yang alasan terbitnya Perpres adalah mekanisme gross split terhadap kerja migas para KKKS (Kontraktor Kontrak Kerja Sama). Mekanisme gross split memungkinkan para KKKS mendapat keuntungan lebih apabila meningkatkan komponen dalam negeri pada usaha hulu migasnya. Perpres juga diperlukan untuk mensinkronisasi pemerintah pusat maupun daerah mengumumkan perencanaan teknis untuk program yang akan dilaksanakan.
Melalui perpres ini, apabila pelaku industri tidak memaksimalkan TKDN akan diterapkan sanksi. Perpres tidak difokuskan pada industri tertentu, tapi semua jenis industri. Industri kelistrikan, perminyakan, BUMN, hingga kereta api akan tersentuh Perpres TKDN.
Sementara itu, Kementerian Perindustrian mengatakan, penerapan tingkat kandungan lokal untuk industri baja domestik menjadi prioritas dalam proyek pembangunan infrastruktur di Indonesia. Industri baja di dalam negeri dinilai sudah mampu diproduksi untuk memenuhi kebutuhan pembangunan sehingga tidak perlu lagi mengimpor.
Perpres TKDN, menurut Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto merupakan pengaturan tentang pemantauan dan pengendalian penggunaan produk dalam negeri. Bukan sebaliknya, menjadi aturan pembatasan impor. Perpres ini sebagai upaya optimalisasi penggunaan produk dalam negeri sehingga proyek nasional dapat menjadi ajang penyerapan tenaga kerja nasional sekaligus penghemat devisa. Bahkan industri substitusi impor bisa terbangkitkan kembali.
“TKDN itu kan sifatnya bukan wajib, tetapi voluntary. Jadi, sebetulnya untuk meningkatkan daya saing, contohnya di industri otomotif. Industri otomotif kan membutuhkan bahan baku yang sifatnya just in time. Berarti suplier-nya harus dekat. Maka kita dorong industri-industri yang lain,” kata Airlangga.
Perihal minimnya penggunaan produk lokal ini juga sampai ke telinga Jokowi. Bahkan menurut mantan Walikota Solo itu selama ini kementerian dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tidak maksimal menerapkan TKDN. Lembaga-lembaga itu dianggap hanya menerapkan kewajiban TKDN itu sebatas penggugur kewajiban dan pelengkap syarat saja.
Padahal kata Jokowi, “penguatan komponen dalam negeri, akan memperkuat industri nasional, membuka lapangan pekerjaan, dan mengurangi ketergantungan terhadap produk-produk impor.” Di sisi lain, lanjut dia, memaksimalkan TKDN dapat mendorong masuknya investasi industri substitusi impor sehingga bisa menggerakkan roda perekonomian nasional.
Pemerintah, sebenarnya bukannya abai terhadap kehadiran aturan yang mendukung penggunaan produk lokal untuk mendukung infrastruktur. Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan adalah salah satunya. Salah satu satu poin yang ditekankan dalam peraturan tersebut ialah penggunaan produk lokal dalam pembangunan pembangkit 35.000 MW dan jaringan transmisi 46.000 km.
Regulasi lainnya, yakni Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 54 tahun 2012 tentang Pedoman Penggunaan Produk Dalam Negeri untuk Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan. Regulasi ini mengatur penggunaan bahan-bahan lokal untuk pembangkit, jaringan transmisi dan gardu induk, sehingga membuka luas kesempatan bagi industri dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan mesin dan peralatan.
Minimnya implementasi aturan-aturan yang ada membuat beberapa pihak meminta Presiden turun tangan untuk menelurkan Peraturan Presiden yang bisa menegaskan hal itu kembali. Beberapa pejabat negara mulai deputi menteri hingga menteri koordinator sebelumnya sudah mengatakan bahwa aturan yang menegaskan kembali pentingnya penggunaan komponen lokal akan terbit pada Agustus. Akan tetapi hingga September aturan tersebut belum muncul juga.
(DIPUBLIKASIKAN AGS-SEPT 2017)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar