Suku bunga acuan yang turun, berdasarkan pengalaman selama
ini, bukanlah tanda bahwa suku bunga kredit perbankan akan segera turun. Di
Indonesia, suku bunga acuan masih rigid jika dihadapkan dengan bunga kredit.
Seperti biasanya, setelah bank sentral menurunkan suku bunga
acuan, muncul banyak harapan suku bunga pinjaman bisa turun dan ekonomi
menggeliat. Akan tetapi seperti yang lalu-lalu, harapan itu pupus begitu saja
seiring berjalannya waktu.
Bulan lalu, Bank Indonesia
mengeluarkan langkah mengejutkan dengan menurunkan bunga acuan di tengah
ekspektasi para ekonomi bahwa suku bunga akan dipertahankan. Suku bunga BI 7
Day Reverse Repo Rate dipangkas 25 basis poin menjadi 4,5 persen yang merupakan
level terendah sepanjang masa, di tengah kekhawatiran melemahnya daya beli. “Penurunan
suku bunga acuan ini akan diikuti dengan penurunan suku bunga instrumen moneter
lainnya,” kata pernyataan resmi bank sentral.
Menurut pernyataan itu, kebijakan
penurunan suku bunga tersebut konsisten dengan rendahnya realisasi dan
prakiraan inflasi pada 2017 dan 2018 di dalam kisaran sasaran yang ditetapkan,
serta terkendalinya defisit transaksi berjalan dalam batas yang aman.
Selain itu, keputusan untuk
menurunkan bunga acuan juga didasari atas meredanya risiko eksternal terkait
dengan rencana kenaikan Fed Funds Rate (FFR) dan normalisasi neraca bank sentral
AS. “Sehingga perbedaan suku bunga dalam dan luar negeri Indonesia tetap
menarik,” kata bank sentral.
Keputusan itu, sontak saja
membuat harapan penurunan bunga kredit kembali membuncah. Apalagi keinginan
untuk mengarahkan suku bunga dalam negeri ke level satu digit masih membara
meski sempat sedikit redup karena The Fed menaikkan suku bunganya Juni lalu
sebesar 0,25 persen menjadi 1-1,25 persen. Saat ini suku bunga yang ditetapkan
perbankan kepada nasabah masih bertengger secara rata-rata di kisaran 13
persen.
Tingginya suku bunga masih belum
mendukung pergerakan ekonomi yang memang selama dua tahun belakangan berjalan
lambat. Oleh karena itu tidak kurang dari Presiden joko Widodo yang mengharapkan
suku bunga kredit perbankan bisa kembali diturunkan agar bisa mendorong
perekonomian nasional.
Dalam dua kuartal berturut-turut
pertumbuhan ekonomi stagnan di level 5,01 persen yang meningkatkan kekhawatiran
publik bahwa ekonomi akan kembali melamban seperti tahun lalu dan tahun
sebelumnya. Pada tahun ini pertumbuhan ekonomi ditargetkan mencapai 5,2 persen.
Menurut catatan Bank Indonesia
seperti yang diungkapkan oleh Gubernur Agus DW Martowardojo, per Juli 2017
rata-rata bunga kredit tercatat 11,73 persen. Turun tipis dari posisinya di
awal tahun yang masih berada di sekitar level 12 persen.
Menanggapi penurunan bunga acuan
bank sentral, seperti biasa, pelaku bisnis bank selalu berjanji akan
meresponsnya dengan penurunan bunga kredit dengan menurunkan bunga pinjaman
terlebih dahulu. Alasannya mereka harus menghitung ulang cost of fund dan juga tingkat maturity
dari dana-dana yang dikelolanya.
Wakil Direktur Utama PT Bank
Negara Indonesia Tbk (BNI) Herry Sidharta mengatakan penurunan bunga kredit
akan terjadi pada kuartal keempat-2017. "Biasanya penurunan terjadi di
bunga simpanan dan selanjutnya bunga kredit," kata Herry.
Dia
melanjutkan, segmen kredit yang berpeluang mengalami penurunan bunga adalah
usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Kemudian baru kredit-kredit berskala
besar seperti untuk segmen korporasi.
Sementara itu, Direktur Utama PT
Bank Bukopin Tbk, Glen Glenardi, mengatakan penurunan bunga kredit itu juga
tergantung dengan penurunan bunga deposito. “Bunga deposito kan jatuh temponya
tidak sama semua, jadi kami pakai patokan cost of fund atau biaya dana. Begitu
biaya dana turun ya kami bisa terapkan marginnya," ujar Glen.
Bahkan otoritas pun segendang
sepenarian dengan bankir terkait jeda yang dibutuhkan bank untuk menurunkan
suku bunga kredit. Gubernur Agus mengatakan dibutuhkan waktu sekitar enam bulan
untuk mentransmisikan penurunan suku bunga acuan BI ke penurunan suku bunga
kredit dan juga deposito. “Itu kan
nanti dibutuhkan waktu mungkin dua kuartal untuk penyesuaian kepada tingkat
bunga, baik kredit maupun deposito," ujar Agus.
Lama dan Tak Pasti
Selain harus menunggu selama satu
semester, publik juga harus mempersiapkan diri dari kenyataan pahit jika
penurunan suku bunga kredit itu tidak terlaksana. Seperti yang lazim terjadi, perbankan
sulit mengikuti penurunan bunga acuan, namun sebaliknya cepat merespons
kenaikan bunga acuan. Berdasarkan riset dari Pusat Data dan Analisis
Stabilitas, sejak Januari 2015, penurunan suku bunga acuan tidak selalu diikuti
penurunan suku bunga perbankan.
Pada 2015, bunga acuan yang masih
bernama BI Rate berada pada level 7,75 persen. Hingga Juli 2016, satu bulan
sebelum pemberlakuan 7 Days Repo Rate, BI Rate turun ke level 6,5 persen, atau
turun 125 basis poin. Di sisi lain, suku bunga pinjaman untuk modal kerja (bank
umum) hanya turun dari 12,76 persen di Januari 2015 menjadi 11,78 persen di
Juli 2016. Angkanya hanya turun 98 bps.
Suku bunga pinjaman investasi
tidak jauh berbeda penurunannya dengan pinjaman modal kerja sebesar 0,84
persen. Pada Januari 2015, suku bunga pinjaman modal sebesar 12,29 persen turun
menjadi 11,45 persen (Juli 2016). Suku bunga pinjaman konsumsi meningkat dari
0,20 persen dari 13,62 persen (Januari 2015) menjadi 13,82 persen di Juli 2016.
Pasca pemberlakuan 7 Days Repo Rate,
sejak Agustus 2016 hingga Mei 2017, bunga acuan sudah mengalami penurunan
sebesar 50 bps atau 0,50 persen. Di sisi lain, suku bunga atas pinjaman modal
yang diberikan turun sebesar 58 bps atau 0,58 persen dari 11,73 persen (Agustus
2016) menjadi 11,15 persen di Mei 2017.
Di sisi lain, suku bunga pinjaman
investasi turun sebesar sebesar 46 bps atau 0,46 persen dari 11,42 persen
(Agustus 2016) menjadi 10,96 persen di Mei 2017. Data tersebut diatas menjadi
informasi meskipun terjadi penurunan BI Rate dan 7 Days Repo Rate, belum
menjadikan suku bunga pinjaman menuju single
digit, terlebih bersaing dengan negara-negara kawasan.
Penurunan suku bunga acuan yang
tidak diiringi oleh penurunan suku bunga pinjaman menurut riset Stabilitas,
menjadi ciri bahwa telah terjadi rigiditas suku bunga di Indonesia. Beberapa
sebab yang menjadikan suku bunga acuan tidak serta merta diikuti dengan
penurunan suku bunga perbankan adalah transmisi kebijakan moneter yang tidak
efektif dan juga risiko likuiditas yang sedang meningkat.
Peneliti dari Institute for
Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara
sepakat data yang dikemukakan oleh Stabilitas.
Apalagi saat ini bank masih sangat menggantungkan pendapatan bisnisnya dari
marjin bunga dengan catatan tingkat pendapatan bunga atau net interest margin
(NIM) masih di atas 5 persen. “Memang perbankan masih berpeluang menurunkan
suku bunga. Tetapi kalau dilihat NIM yang masih tinggi. Sepertinya agak sulit
menurunkan bunga kredit tahun ini,” kata Bhima.
Dia mengatakan, saat ini yang
harus diutamakan adalah efisiensi perbankan untuk mengurangi biaya operasional.
"Kalau biaya operasionalnya sudah efisien maka NIM bisa ditekan dan bunga
bisa diturunkan," kata dia.
Data dari statistik perbankan
Indonesi (SPI) yang dipublikasikan oleh Otoritas Jasa Keuangan, hingga Mei 2017 pendapatan bunga perbankan
nasional tercatat masih di posisi 5,36 persen atau Rp 336,1 triliun dari
rata-rata total aset produktif sebesar Rp 6.277 triliun. Persentase ini naik
dari periode bulan sebelumnya yakni 5,35 persen atau sebesar Rp 334,6 triliun dari
rata-rata total aset produktif Rp 6.253 triliun.
Marjin bunga bersih merupakan
ukuran untuk membedakan antara bunga pendapatan yang diperoleh bank dan jumlah
bunga yang diberikan kepada pihak pemberi pinjaman. Perhitungan ini mirip
dengan angka margin kotor pada perusahaan non-keuangan.
(DIPUBLIKASIKAN AGUSTUS-SEPTEMBER 2017)
Grafik
Sumber : Statistik
Ekonomi dan Keuangan Indonesia, Juni 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar