Rabu, 18 Juli 2018

“Janji Surga” Turunkan Bunga



Suku bunga acuan yang turun, berdasarkan pengalaman selama ini, bukanlah tanda bahwa suku bunga kredit perbankan akan segera turun. Di Indonesia, suku bunga acuan masih rigid jika dihadapkan dengan bunga kredit.


Seperti biasanya, setelah bank sentral menurunkan suku bunga acuan, muncul banyak harapan suku bunga pinjaman bisa turun dan ekonomi menggeliat. Akan tetapi seperti yang lalu-lalu, harapan itu pupus begitu saja seiring berjalannya waktu.
Bulan lalu, Bank Indonesia mengeluarkan langkah mengejutkan dengan menurunkan bunga acuan di tengah ekspektasi para ekonomi bahwa suku bunga akan dipertahankan. Suku bunga BI 7 Day Reverse Repo Rate dipangkas 25 basis poin menjadi 4,5 persen yang merupakan level terendah sepanjang masa, di tengah kekhawatiran melemahnya daya beli. “Penurunan suku bunga acuan ini akan diikuti dengan penurunan suku bunga instrumen moneter lainnya,” kata pernyataan resmi bank sentral.
Menurut pernyataan itu, kebijakan penurunan suku bunga tersebut konsisten dengan rendahnya realisasi dan prakiraan inflasi pada 2017 dan 2018 di dalam kisaran sasaran yang ditetapkan, serta terkendalinya defisit transaksi berjalan dalam batas yang aman.
Selain itu, keputusan untuk menurunkan bunga acuan juga didasari atas meredanya risiko eksternal terkait dengan rencana kenaikan Fed Funds Rate (FFR) dan normalisasi neraca bank sentral AS. “Sehingga perbedaan suku bunga dalam dan luar negeri Indonesia tetap menarik,” kata bank sentral.
Keputusan itu, sontak saja membuat harapan penurunan bunga kredit kembali membuncah. Apalagi keinginan untuk mengarahkan suku bunga dalam negeri ke level satu digit masih membara meski sempat sedikit redup karena The Fed menaikkan suku bunganya Juni lalu sebesar 0,25 persen menjadi 1-1,25 persen. Saat ini suku bunga yang ditetapkan perbankan kepada nasabah masih bertengger secara rata-rata di kisaran 13 persen.
Tingginya suku bunga masih belum mendukung pergerakan ekonomi yang memang selama dua tahun belakangan berjalan lambat. Oleh karena itu tidak kurang dari Presiden joko Widodo yang mengharapkan suku bunga kredit perbankan bisa kembali diturunkan agar bisa mendorong perekonomian nasional.
Dalam dua kuartal berturut-turut pertumbuhan ekonomi stagnan di level 5,01 persen yang meningkatkan kekhawatiran publik bahwa ekonomi akan kembali melamban seperti tahun lalu dan tahun sebelumnya. Pada tahun ini pertumbuhan ekonomi ditargetkan mencapai 5,2 persen.
Menurut catatan Bank Indonesia seperti yang diungkapkan oleh Gubernur Agus DW Martowardojo, per Juli 2017 rata-rata bunga kredit tercatat 11,73 persen. Turun tipis dari posisinya di awal tahun yang masih berada di sekitar level 12 persen.
Menanggapi penurunan bunga acuan bank sentral, seperti biasa, pelaku bisnis bank selalu berjanji akan meresponsnya dengan penurunan bunga kredit dengan menurunkan bunga pinjaman terlebih dahulu. Alasannya mereka harus menghitung ulang cost of fund dan juga tingkat maturity dari dana-dana yang dikelolanya.
Wakil Direktur Utama PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) Herry Sidharta mengatakan penurunan bunga kredit akan terjadi pada kuartal keempat-2017. "Biasanya penurunan terjadi di bunga simpanan dan selanjutnya bunga kredit," kata Herry.
                Dia melanjutkan, segmen kredit yang berpeluang mengalami penurunan bunga adalah usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Kemudian baru kredit-kredit berskala besar seperti untuk segmen korporasi.
Sementara itu, Direktur Utama PT Bank Bukopin Tbk, Glen Glenardi, mengatakan penurunan bunga kredit itu juga tergantung dengan penurunan bunga deposito. “Bunga deposito kan jatuh temponya tidak sama semua, jadi kami pakai patokan cost of fund atau biaya dana. Begitu biaya dana turun ya kami bisa terapkan marginnya," ujar Glen.
Bahkan otoritas pun segendang sepenarian dengan bankir terkait jeda yang dibutuhkan bank untuk menurunkan suku bunga kredit. Gubernur Agus mengatakan dibutuhkan waktu sekitar enam bulan untuk mentransmisikan penurunan suku bunga acuan BI ke penurunan suku bunga kredit dan juga deposito. “Itu kan nanti dibutuhkan waktu mungkin dua kuartal untuk penyesuaian kepada tingkat bunga, baik kredit maupun deposito," ujar Agus.

Lama dan Tak Pasti
Selain harus menunggu selama satu semester, publik juga harus mempersiapkan diri dari kenyataan pahit jika penurunan suku bunga kredit itu tidak terlaksana. Seperti yang lazim terjadi, perbankan sulit mengikuti penurunan bunga acuan, namun sebaliknya cepat merespons kenaikan bunga acuan. Berdasarkan riset dari Pusat Data dan Analisis Stabilitas, sejak Januari 2015, penurunan suku bunga acuan tidak selalu diikuti penurunan suku bunga perbankan.
Pada 2015, bunga acuan yang masih bernama BI Rate berada pada level 7,75 persen. Hingga Juli 2016, satu bulan sebelum pemberlakuan 7 Days Repo Rate, BI Rate turun ke level 6,5 persen, atau turun 125 basis poin. Di sisi lain, suku bunga pinjaman untuk modal kerja (bank umum) hanya turun dari 12,76 persen di Januari 2015 menjadi 11,78 persen di Juli 2016. Angkanya hanya turun 98 bps.
Suku bunga pinjaman investasi tidak jauh berbeda penurunannya dengan pinjaman modal kerja sebesar 0,84 persen. Pada Januari 2015, suku bunga pinjaman modal sebesar 12,29 persen turun menjadi 11,45 persen (Juli 2016). Suku bunga pinjaman konsumsi meningkat dari 0,20 persen dari 13,62 persen (Januari 2015) menjadi 13,82 persen di Juli 2016.
Pasca pemberlakuan 7 Days Repo Rate, sejak Agustus 2016 hingga Mei 2017, bunga acuan sudah mengalami penurunan sebesar 50 bps atau 0,50 persen. Di sisi lain, suku bunga atas pinjaman modal yang diberikan turun sebesar 58 bps atau 0,58 persen dari 11,73 persen (Agustus 2016) menjadi 11,15 persen di Mei 2017.
Di sisi lain, suku bunga pinjaman investasi turun sebesar sebesar 46 bps atau 0,46 persen dari 11,42 persen (Agustus 2016) menjadi 10,96 persen di Mei 2017. Data tersebut diatas menjadi informasi meskipun terjadi penurunan BI Rate dan 7 Days Repo Rate, belum menjadikan suku bunga pinjaman menuju single digit, terlebih bersaing dengan negara-negara kawasan.
Penurunan suku bunga acuan yang tidak diiringi oleh penurunan suku bunga pinjaman menurut riset Stabilitas, menjadi ciri bahwa telah terjadi rigiditas suku bunga di Indonesia. Beberapa sebab yang menjadikan suku bunga acuan tidak serta merta diikuti dengan penurunan suku bunga perbankan adalah transmisi kebijakan moneter yang tidak efektif dan juga risiko likuiditas yang sedang meningkat.
Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara sepakat data yang dikemukakan oleh Stabilitas. Apalagi saat ini bank masih sangat menggantungkan pendapatan bisnisnya dari marjin bunga dengan catatan tingkat pendapatan bunga atau net interest margin (NIM) masih di atas 5 persen. “Memang perbankan masih berpeluang menurunkan suku bunga. Tetapi kalau dilihat NIM yang masih tinggi. Sepertinya agak sulit menurunkan bunga kredit tahun ini,” kata Bhima.
Dia mengatakan, saat ini yang harus diutamakan adalah efisiensi perbankan untuk mengurangi biaya operasional. "Kalau biaya operasionalnya sudah efisien maka NIM bisa ditekan dan bunga bisa diturunkan," kata dia.
Data dari statistik perbankan Indonesi (SPI) yang dipublikasikan oleh Otoritas Jasa Keuangan,  hingga Mei 2017 pendapatan bunga perbankan nasional tercatat masih di posisi 5,36 persen atau Rp 336,1 triliun dari rata-rata total aset produktif sebesar Rp 6.277 triliun. Persentase ini naik dari periode bulan sebelumnya yakni 5,35 persen atau sebesar Rp 334,6 triliun dari rata-rata total aset produktif Rp 6.253 triliun.
Marjin bunga bersih merupakan ukuran untuk membedakan antara bunga pendapatan yang diperoleh bank dan jumlah bunga yang diberikan kepada pihak pemberi pinjaman. Perhitungan ini mirip dengan angka margin kotor pada perusahaan non-keuangan.
               (DIPUBLIKASIKAN AGUSTUS-SEPTEMBER 2017)





Grafik


Sumber  : Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia, Juni 2017


Tidak ada komentar:

Posting Komentar