Ada ancaman koreksi ketika
rekor indeks terus menerus pecah dan menjangkau level tertinggi. Meski
demikian, analis mengatakan kondisi itu belum akan terjadi tahun ini.
Tahun 2017, bisa jadi masa yang
tidak bisa dilupakan oleh para pemangku kepentingan bursa saham, setelah indeks
saham beberapa kali berhasil mencatatkan rekor tertinggi. Tahun ini, setelah
berjalan dua bulan, perkembangan itu tampaknya akan berlanjut.
Sepanjang
tahun 2017, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terus beranjak naik dan menyentuh
tingkat tertinggi sepanjang sejarah berhasil ketika menembus level psikologis
6.000, tepatnya 6.025,53 pada 25 Oktober 2017. Pergerakan itu berlanjut hingga
tahun ini, dan mencapai puncaknya ketika pada 29 Januari lalu indeks bertengger
di level 6.680.
Namun
demikian, pertanyaan yang muncul kemudian, apakah fenomena ini akan terus
berlangsung alih-alih menyimpan bom waktu penurunan indeks saham yang terjal
dalam jangka pendek dan menengah.
Sebagaimana
dimahfumi oleh para pemain di bursa saham, dalam jangka panjang harga saham
adalah sebuah penjelasan untuk perubahan yang tiba-tiba dari suasana hati (mood). Investor kebanyakan biasanya akan
segera mengikuti tren kenaikan yang pada akhirnya mendorong level indeks ke
posisi tertingginya. Akan tetapi ketika sampai di sana maka yang ada adalah
koreksi, dan mereka harus berebut untuk menutupi posisi mereka.
Oleh
karena itu, ketika IHSG mencapai level tertingginya dalam sejarah dan kemudian
mulai beranjak turun beberapa pihak menganggap bahwa indeks akan terus turun.
Akan tetapi, tidak demikian menurut Krishna Dwi Setiawan, analis pasar modal.
Menurut
Head of LOTS Services Lotus Andalan ini, pergerakan indeks yang terus bullish itu menandakan bahwa ekspektasi
publik terutama investor terhadap perekonomian secara makro bagus. “Justru
karena sekarang ekonominya so-so saja
maka harapan orang ke depan ekonomi akan bagus,” kata dia.
Hal
itu sesuai dengan rumusan goldylocks
economy. Menurut Investopedia, istilah tersebut mengacu pada gambaran ekonomi
yang tidak begitu panas sehingga menyebabkan inflasi, dan tidak terlalu dingin
sehingga menyebabkan resesi. “Jadi ekonomi sekarang ini tidak begitu buruk tapi
juga tidak begitu bagus,” tambah Krishna.
Pertumbuhan
ekonomi RI pada 2017 memang tidak sesuai harapan banyak pihak dan juga target
dari pemerintah sendiri dengan hanya mencatatkan angka 5,05 persen. Padahal
pemerintah sudah pasang target di angka 5,2 persen.
Namun
demikian, hampir semua analis dan juga ekonom memprediksi bahwa pertumbuhan
ekonomi selalu lebih baik. “Tidak ada kan
yang memproyeksi pertumbuhan kita turun, nah
itulah yang mendorong investor untuk terus berinvestasi di pasar modal,”ujar
Krishna.
Sementara
itu dari sisi mikro, juga tidak ada faktor yang membuat indeks saham akan turun
bahkan melorot menjauhi level tertingginya saat ini. Emiten-emiten sektor
perbankan memang terus mencatatkan kenaikan harga saham, begitu pula
emiten-emiten sektor tambang. Khusus sektor tambang, kata Krishna, hal itu
didorong oleh harga komoditas yang mulai membaik bahkan booming kembali. “Lihat saja emiten tambang, kinclong semua
(sepanjang 2017),” kata dia.
Sepanjang
2017, sektor perbankan mencatatkan peningkatan harga meski di tengah kondisi
melemahnya penyaluran kredit. Sektor ini telah menunjukan perbaikan kualitas
aset dengan angka kredit bermasalah (non performing loan /NPL) yang stabil di
level 3 persen dan peningkatan coverage
ratio di level 115 persen hingga memasuki semester kedua 2017. Selain itu,
permodalan bank-bank sepanjang 2017 juga tidak perlu dikhawatirkan karena rasio
kecukupan modalnya (CAR) mencapai 23,2 persen hingga semester kedua 2017.
Sektor
pertambangan juga bisa dikatakan demikian. Setelah beberapa tahun belakangan
terus menerus berada dalam kemerosotan harga,
tahun lalu sektor pertambangan mulai menggeliat. Tahun ini, kenaikan harga
komoditas minyak dan batu bara juga sudah mulai merangkak naik. Pada awal tahun
ini dua harga itu menjadi pemicu kenaikan di sektor komoditas.
Siap Terkoreksi
Namun
begitu, kenaikan indeks juga menyimpan potensi risiko penurunan, seperti yang
pernah terjadi lima tahun lalu (lihat grafis). Pada 24 April 2013, indeks
pertama kali menembus level penutupan 5.000, tepatnya di 5.011,61. Akan tetapi,
indeks sedikit-sedikit longsor dan pada Agustus turun tajam dan jatuh ke posisi
3.967,84 pada 27 agustus 2013.
Menurut
Analis Indosurya Sekuritas William Surya Wijaya investor diharapkan tetap
waspada setelah tercapainya rekor baru. Situasi itu dapat dimanfaatkan untuk
aksi ambil untung sehingga membuka peluang koreksi. “Jika koreksi terjadi,
investor masih dapat melakukan akumulasi, tentunya dengan pemilihan saham
secara selektif,” kata dia.
Laju
IHSG di sepanjang pekan menjelang libur Tahun Baru Imlek telah rebound 1,32% ke posisi 6.591,58 poin
dari 6.505,52 poin pada pekan sebelumnya. Level itu tentu sudah melemah dari
rekor 6.800-an yang dicetak pada 29 Januari.
Pada
2007, IHSG juga pernah mencatatkan beberapa rekor ketika sempat menyentuh level
3.300 untuk pertama kalinya. Namun memasuki 2008 indeks serasa susah untuk
maju, bahkan sempat melorot ke level 1.700-an.
Sementara itu, Krishna dari Lotus Sekuritas, memprediksi
bahwa indeks akan terus meningkat sepanjang tahun ini. “Indeks akan terus naik
sampai dengan ekspektasi (terhadap perekonomian) itu menjadi negatif,” kata
dia.
Menurut dia, publik bisa dengan mudah mendeteksi
sinyal-sinyal jika pasar saham akan melemah atau ketika ekspektasi ekonomi
mulai turun. “Lihat saja aliran di smart
money,” tambah Krishna.
Aliran smart money
lazimnya adalah dana-dana yang ada di instrumen surat utang negara (SUN) dan
biasanya disebut sebagai instrumen save
haven. Ekspektasi ekonomi mulai turun jika investor terlihat mulai
meninggalkan pasar obligasi. Ekspektasi makin turun lagi jika dana-dana mulai
meninggalkan pasar saham. “Jika sekarang pasar komoditas mulai ramai itu
berarti investor sedang sangat optimistis terhadap pasar,” kata Krishna.
Dow Jones Jungkat-Jungkit
Ihwal mengenai kekhawatiran akan menurunnya indeks
berkaca pada pengalaman yang terjadi di pasar modal Amerika Serikat beberapa
saat lalu. Indeks Dow Jones melejit 7.000 poin sejak Presiden Donald Trump
terpilih November tahun lalu.
Seperti
dilansir The Guardian, para pelaku pasar berpendapat, janji-janji Trump yang
diungkapkan pada kampanye tahun lalu seperti melakukan batasan perdagangan dan
membangun tembok sepanjang perbatasan Meksiko tampaknya tidak akan terjadi.
Indeks
Dow Jones sudah naik lebih dari 7.000 poin atau sekitar 40% sejak Presiden
Trump terpilih. Beberapa saham malahan sudah naik sangat tinggi sejak Trump
menjadi presiden, seperti saham Amazon yang naik 65 persen, saham Netflix naik
80 persen, saham Nvidia naik 213 persen Demikian pula saham Bank of America
yang naik 83 persen, atau Best Buy yang naik 90 persen.
Para
pialang saham melihat kesempatan lain. Janji Trump untuk memangkas pajak
korporasi dan perorangan tampaknya lebih masuk akal. Para pebisnis menyukai ide
ini. Janji Trump untuk memangkas regulasi khususnya pada perbankan juga membuat
saham-saham bank menguat. Dilihat dari kacamata bisnis, janji-janji Trump ini
memang mendukung para pebisnis di AS, termasuk perusahaan-perusahaan yang
tercatat di bursa.
Jika
benar dilakukan, rencana pemangkasan pajak usulan Trump akan memangkas pajak
perusahaan dan individu senilai 6 triliun dollar AS. Dana ini dapat
dimanfaatkan oleh perusahaan untuk terus berekspansi. Sementara individu dapat
memanfaatkan sisa pajak untuk dibelanjakan atau untuk investasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar