Rabu, 18 Juli 2018

Di Balik Catatan Rekor Indeks


Ada ancaman koreksi ketika rekor indeks terus menerus pecah dan menjangkau level tertinggi. Meski demikian, analis mengatakan kondisi itu belum akan terjadi tahun ini.


Tahun 2017, bisa jadi masa yang tidak bisa dilupakan oleh para pemangku kepentingan bursa saham, setelah indeks saham beberapa kali berhasil mencatatkan rekor tertinggi. Tahun ini, setelah berjalan dua bulan, perkembangan itu tampaknya akan berlanjut.
Sepanjang tahun 2017, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terus beranjak naik dan menyentuh tingkat tertinggi sepanjang sejarah berhasil ketika menembus level psikologis 6.000, tepatnya 6.025,53 pada 25 Oktober 2017. Pergerakan itu berlanjut hingga tahun ini, dan mencapai puncaknya ketika pada 29 Januari lalu indeks bertengger di level 6.680.
Namun demikian, pertanyaan yang muncul kemudian, apakah fenomena ini akan terus berlangsung alih-alih menyimpan bom waktu penurunan indeks saham yang terjal dalam jangka pendek dan menengah.
Sebagaimana dimahfumi oleh para pemain di bursa saham, dalam jangka panjang harga saham adalah sebuah penjelasan untuk perubahan yang tiba-tiba dari suasana hati (mood). Investor kebanyakan biasanya akan segera mengikuti tren kenaikan yang pada akhirnya mendorong level indeks ke posisi tertingginya. Akan tetapi ketika sampai di sana maka yang ada adalah koreksi, dan mereka harus berebut untuk menutupi posisi mereka.
Oleh karena itu, ketika IHSG mencapai level tertingginya dalam sejarah dan kemudian mulai beranjak turun beberapa pihak menganggap bahwa indeks akan terus turun. Akan tetapi, tidak demikian menurut Krishna Dwi Setiawan, analis pasar modal.
Menurut Head of LOTS Services Lotus Andalan ini, pergerakan indeks yang terus bullish itu menandakan bahwa ekspektasi publik terutama investor terhadap perekonomian secara makro bagus. “Justru karena sekarang ekonominya so-so saja maka harapan orang ke depan ekonomi akan bagus,” kata dia.
Hal itu sesuai dengan rumusan goldylocks economy. Menurut Investopedia, istilah tersebut mengacu pada gambaran ekonomi yang tidak begitu panas sehingga menyebabkan inflasi, dan tidak terlalu dingin sehingga menyebabkan resesi. “Jadi ekonomi sekarang ini tidak begitu buruk tapi juga tidak begitu bagus,” tambah Krishna.
Pertumbuhan ekonomi RI pada 2017 memang tidak sesuai harapan banyak pihak dan juga target dari pemerintah sendiri dengan hanya mencatatkan angka 5,05 persen. Padahal pemerintah sudah pasang target di angka 5,2 persen.
Namun demikian, hampir semua analis dan juga ekonom memprediksi bahwa pertumbuhan ekonomi selalu lebih baik. “Tidak ada kan yang memproyeksi pertumbuhan kita turun, nah itulah yang mendorong investor untuk terus berinvestasi di pasar modal,”ujar Krishna.
Sementara itu dari sisi mikro, juga tidak ada faktor yang membuat indeks saham akan turun bahkan melorot menjauhi level tertingginya saat ini. Emiten-emiten sektor perbankan memang terus mencatatkan kenaikan harga saham, begitu pula emiten-emiten sektor tambang. Khusus sektor tambang, kata Krishna, hal itu didorong oleh harga komoditas yang mulai membaik bahkan booming kembali. “Lihat saja emiten tambang, kinclong semua (sepanjang 2017),” kata dia.
Sepanjang 2017, sektor perbankan mencatatkan peningkatan harga meski di tengah kondisi melemahnya penyaluran kredit. Sektor ini telah menunjukan perbaikan kualitas aset dengan angka kredit bermasalah (non performing loan /NPL) yang stabil di level 3 persen dan peningkatan coverage ratio di level 115 persen hingga memasuki semester kedua 2017. Selain itu, permodalan bank-bank sepanjang 2017 juga tidak perlu dikhawatirkan karena rasio kecukupan modalnya (CAR) mencapai 23,2 persen hingga semester kedua 2017.
Sektor pertambangan juga bisa dikatakan demikian. Setelah beberapa tahun belakangan terus menerus berada dalam kemerosotan harga, tahun lalu sektor pertambangan mulai menggeliat. Tahun ini, kenaikan harga komoditas minyak dan batu bara juga sudah mulai merangkak naik. Pada awal tahun ini dua harga itu menjadi pemicu kenaikan di sektor komoditas.
           
Siap Terkoreksi
Namun begitu, kenaikan indeks juga menyimpan potensi risiko penurunan, seperti yang pernah terjadi lima tahun lalu (lihat grafis). Pada 24 April 2013, indeks pertama kali menembus level penutupan 5.000, tepatnya di 5.011,61. Akan tetapi, indeks sedikit-sedikit longsor dan pada Agustus turun tajam dan jatuh ke posisi 3.967,84 pada 27 agustus 2013.
Menurut Analis Indosurya Sekuritas William Surya Wijaya investor diharapkan tetap waspada setelah tercapainya rekor baru. Situasi itu dapat dimanfaatkan untuk aksi ambil untung sehingga membuka peluang koreksi. “Jika koreksi terjadi, investor masih dapat melakukan akumulasi, tentunya dengan pemilihan saham secara selektif,” kata dia.
Laju IHSG di sepanjang pekan menjelang libur Tahun Baru Imlek telah rebound 1,32% ke posisi 6.591,58 poin dari 6.505,52 poin pada pekan sebelumnya. Level itu tentu sudah melemah dari rekor 6.800-an yang dicetak pada 29 Januari.
Pada 2007, IHSG juga pernah mencatatkan beberapa rekor ketika sempat menyentuh level 3.300 untuk pertama kalinya. Namun memasuki 2008 indeks serasa susah untuk maju, bahkan sempat melorot ke level 1.700-an.
            Sementara itu, Krishna dari Lotus Sekuritas, memprediksi bahwa indeks akan terus meningkat sepanjang tahun ini. “Indeks akan terus naik sampai dengan ekspektasi (terhadap perekonomian) itu menjadi negatif,” kata dia.
            Menurut dia, publik bisa dengan mudah mendeteksi sinyal-sinyal jika pasar saham akan melemah atau ketika ekspektasi ekonomi mulai turun. “Lihat saja aliran di smart money,” tambah Krishna.
            Aliran smart money lazimnya adalah dana-dana yang ada di instrumen surat utang negara (SUN) dan biasanya disebut sebagai instrumen save haven. Ekspektasi ekonomi mulai turun jika investor terlihat mulai meninggalkan pasar obligasi. Ekspektasi makin turun lagi jika dana-dana mulai meninggalkan pasar saham. “Jika sekarang pasar komoditas mulai ramai itu berarti investor sedang sangat optimistis terhadap pasar,” kata Krishna.

Dow Jones Jungkat-Jungkit
            Ihwal mengenai kekhawatiran akan menurunnya indeks berkaca pada pengalaman yang terjadi di pasar modal Amerika Serikat beberapa saat lalu. Indeks Dow Jones melejit 7.000 poin sejak Presiden Donald Trump terpilih November tahun lalu.
Seperti dilansir The Guardian, para pelaku pasar berpendapat, janji-janji Trump yang diungkapkan pada kampanye tahun lalu seperti melakukan batasan perdagangan dan membangun tembok sepanjang perbatasan Meksiko tampaknya tidak akan terjadi.
Indeks Dow Jones sudah naik lebih dari 7.000 poin atau sekitar 40% sejak Presiden Trump terpilih. Beberapa saham malahan sudah naik sangat tinggi sejak Trump menjadi presiden, seperti saham Amazon yang naik 65 persen, saham Netflix naik 80 persen, saham Nvidia naik 213 persen Demikian pula saham Bank of America yang naik 83 persen, atau Best Buy yang naik 90 persen.
Para pialang saham melihat kesempatan lain. Janji Trump untuk memangkas pajak korporasi dan perorangan tampaknya lebih masuk akal. Para pebisnis menyukai ide ini. Janji Trump untuk memangkas regulasi khususnya pada perbankan juga membuat saham-saham bank menguat. Dilihat dari kacamata bisnis, janji-janji Trump ini memang mendukung para pebisnis di AS, termasuk perusahaan-perusahaan yang tercatat di bursa. 
Jika benar dilakukan, rencana pemangkasan pajak usulan Trump akan memangkas pajak perusahaan dan individu senilai 6 triliun dollar AS. Dana ini dapat dimanfaatkan oleh perusahaan untuk terus berekspansi. Sementara individu dapat memanfaatkan sisa pajak untuk dibelanjakan atau untuk investasi.

(DIPUBLIKASIKAN FEB-MAR 2018)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar