Otoritas kembali akan mengandalkan pembiayaan di sektor
konsumer ketika melihat pertumbuhan ekonomi terancam melemah seperti tahun
lalu. Bank pun menyiapkan strategi “total football”.
Dan akhirnya siklus itupun datang. Ketika pergerakan ekonomi
mulai melamban dan mengancam pertumbuhan, ketika pelaku bisnis dan juga
otoritas serta pemerintah khawatir, maka jurus andalan pun dikeluarkan:
mendorong pembiayaan sektor konsumer.
Sektor yang didominasi oleh
kredit pemilikan rumah dan juga kendaraan memang selalu menjadi senjata
pamungkas ketika ekonomi melempem dan harus didongkrak. Dan cara yang lazim
dipakai oleh otoritas moneter biasanya dengan merelaksasi aturan loan to value (LTV). “Kami mengkaji kemungkinan untuk melakukan
penyesuaian LTV spasial berdasarkan kondisi dari pada regional-regional yang
berbeda,” kata Gubernur Bank Indonesia Agus DW Martowardojo.
Aturan yang mengacu pada maksimal
batas kredit yang dapat diberikan bank atas dasar persentase tertentu dari
nilai agunan itu memang kerap menjadi harapan terakhir BI untuk mengamankan
pertumbuhan kredit. Sejak akhir dekade 2000-an jurus itu selalu menjadi andalan
BI mendongkrak pinjaman dengan mengubah-ubah persentase pada LTV di sektor
properti dan juga otomotif.
“Kami juga sedang mengkaji
kemungkinan untuk loan to funding ratio
(LFR) supaya mencerminkan kondisi yang lebih kondusif bagi perbankan untuk
lakukan ekspansi usahanya. Karena kita juga memerhatikan pertumbuhan kredit
masih terbatas ya, dan ini harus jadi tantangan kita bersama,” ujar Agus.
LFR adalah formula dari loan to deposit ratio (LDR) yang
disesuaikan dengan memasukkan komponen surat berharga yang diterbitkan bank
dalam perhitungan LDR.
Rencana BI itu memang sejurus
dengan apa yang dihadapi oleh perbankan belakangan ini. Pelemahan ekonomi yang
ditandai oleh stagnasi pertumbuhan di level 5,01 sepanjang dua triwulan
beruntun dan juga pelemahan daya beli telah mengusik perbankan. Meski belum sampai
mengganggu kinerja keseluruhan, namun pada segmen-segmen tertentu sudah terasa
ada penurunan pembiayaan.
Seperti yang dialami oleh Bank
Mandiri. Sepanjang 2016 lalu, bank yang selama dekade lalu masih merajai aset
di industri perbankan nasional ini mengalami penurunan laba kenaikan kredit
bermasalah. “(semua terjadi) Karena pelemahan ekonomi. Segmen menengah terkena
dampak pelemahan ekonomi. Sejak 2014, segmen ini yaitu di sektor SME dan
komersial mulai meningkat di Bank Mandiri,” kata Tardi, Direktur Bank Mandiri.
Pada akhir tahun 2016 laba bank
tersebut sebesar Rp 13,8 triliun, turun 32,1 persen dibandingkan periode sama
tahun sebelumnya yang senilai Rp 20,3 triliun. Oleh karena itu, tahun ini bank
merasa perlu mengalihkan konsentrasi kepada sektor lain yang dinilai masih bisa
ditingkatkan untuk mendongkrak laba yaitu sektor konsumer. “Kami mau berkembang
di consumer banking. Dan kami akan
mulai menyasar pada mass market dan
juga upper mass market,” kata Tardi.
Untuk mengefektifkan strategi
itu, perseroan akan mendorong semua cabang yang berjumlah lebih dari 2.600
kantor untuk menjual semua produk yang dimiliki oleh seluruh anak usaha. Jadi
semua pegawai cabang nantinya akan diupayakan bisa menjual produk asuransi,
otomotif, personal lain dan lainnya. Bank Mandiri memiliki 11 anak usaha, dari
perusahaan sekuritas, asuransi, modal ventura sampai bank yang fokus kepada
usaha mikro.
Hingga akhir tahun ini, Bank
Mandiri berharap bisa mengakselerasi pertumbuhan kredit konsumer hingga di atas
20 persen dengan meningkatkan kolaborasi dengan Bank Mandiri group. “Khusus di
KPR, kami juga menawarkan program suku bunga 6 persen fix 1 tahun dan 6,5
persen fix 2 tahun di developer
tertentu," kata Tardi.
Sementara untuk kredit kendaraan,
cabang-cabang akan memberikan referensi kepada anak usaha yang fokus ke
pembiayaan otomotif lewat aplikasi bergerak yang diciptakan oleh Bank Mandiri. Last but not least, Mandiri juga akan
meningkatkan pembiayaan di kartu kredit setelah bank sentral menurunkan suku
bunga acuan. "Untuk kartu kredit, kami ingin mendorong adanya perubahan mindset nasabah dari kartu kredit
sebagai alat utang, menjadi alat intermediasi yang bisa memudahkan nasabah
dalam bertransaksi," ujar dia.
Sampai paro pertama tahun ini,
kredit perumahan perseroan tumbuh 13,82 persen menjadi Rp 31,5 triliun.
Sedangkan segmen pembiayaan kendaraan tumbuh 24,95 persen menjadi Rp 23,7
triliun dan kartu kredit tumbuh 9,6 persen menjadi Rp 9,6 triliun.
Sementara itu Direktur Utama Bank
CIMB Niaga Tigor Siahaan juga mengandalkan kredit sektor konsumer dan
perolehannya pada semester kedua tahun ini bisa membaik. “Kami akan kejar
(pertumbuhan kredit) pada semester kedua,” kata Tigor.
Meskipun beberapa kredit konsumer
mencatat pertumbuhan bagus pada kuartal 2. Tigor mengatakan beberapa sektor
kredit konsumer seperti di sekto kendaraan bermotor masih belum cukup
bergairah. Hal ini karena secara industri penjualan kendaraan bermotor masih
belum tumbuh positif.
Kebijakan Rutin
Kebijakan relaksasi moneter
dengan mengubah-ubah besaran uang muka atau LTV memang menjadi langkah populer
bank sentral dalam lima tahun belakangan ini. Terakhir kali, bank sentral
melakukannya tahun lalu ketika mengurangi LTV pada kredit properti dari 80
persen menjadi 85 persen. Artinya, jika sebelumnya konsumen dikenakan uang muka
untuk pembelian rumah melalui bank minimal sebesar 20 persen, saat itu hanya
perlu uang muka 15 persen.
Langkah itu bukanlah tanpa
alasan. Karena berdasarkan hasil survei BI pada 2016, tercatat lebih dari dua
pertiga nasabah memilih kredit kepemilikan rumah (KPR) sebagai sumber
pembiayaan utama dalam membeli rumah. Dengan penurunan uang muka kredit rumah
maka BI berharap dapat menstimulasi permintaan dalam negeri dan bahkan
dipastikan akan berdampak ganda (multiplier
effects) pada berbagai sektor lain yang mencakup industri real estate.
Pilihan menurunkan besaran uang
muka untuk kredit konsumer setelah penurunan suku bunga acuan dinilai akan
menjadi cara ampuh untuk menyelamatkan pertumbuhan ekonomi yang tahun ini
ditargetkan sebesar 5,2 persen. “Dengan kombinasi kebijakan pelonggaran
LTV, disertai dengan penurunan suku
bunga pinjaman, diharapkan mampu mendorong laju penyaluran kredit perbankan
yang melambat,” kata Gayatri Rawit Angreni, pakar manajemen risiko yang juga
mantan bankir.
Akan tetapi, Bank Indonesia
ketika mengumumkan penurunan bunga acuan akhir bulan lalu malah menurunkan
target pertumbuhan kredit pada tahun ini. Pinjaman perbankan diperkirakan hanya
akan mencapai 8-10 persen, lebih rendah dari angka yang ditetapkan sebelumnya
10-12 persen. Pertumbuhan kredit sejak awal tahun hingga akhir Juli baru
mencapai 2,1 persen. Sehingga secara tahunan pertumbuhan kredit diproyeksi
hanya bisa berada di levet 8 persen atau lebih, namun tidak bisa melewati 10
persen.
(DIPUBLIKASIKAN AGUSTUS-SEPTEMBER 2017)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar