Rabu, 18 Juli 2018

Sektor Konsumer adalah Kunci


Otoritas kembali akan mengandalkan pembiayaan di sektor konsumer ketika melihat pertumbuhan ekonomi terancam melemah seperti tahun lalu. Bank pun menyiapkan strategi “total football”.

Dan akhirnya siklus itupun datang. Ketika pergerakan ekonomi mulai melamban dan mengancam pertumbuhan, ketika pelaku bisnis dan juga otoritas serta pemerintah khawatir, maka jurus andalan pun dikeluarkan: mendorong pembiayaan sektor konsumer.
Sektor yang didominasi oleh kredit pemilikan rumah dan juga kendaraan memang selalu menjadi senjata pamungkas ketika ekonomi melempem dan harus didongkrak. Dan cara yang lazim dipakai oleh otoritas moneter biasanya dengan merelaksasi aturan loan to value (LTV).  “Kami mengkaji kemungkinan untuk melakukan penyesuaian LTV spasial berdasarkan kondisi dari pada regional-regional yang berbeda,” kata Gubernur Bank Indonesia Agus DW Martowardojo.
Aturan yang mengacu pada maksimal batas kredit yang dapat diberikan bank atas dasar persentase tertentu dari nilai agunan itu memang kerap menjadi harapan terakhir BI untuk mengamankan pertumbuhan kredit. Sejak akhir dekade 2000-an jurus itu selalu menjadi andalan BI mendongkrak pinjaman dengan mengubah-ubah persentase pada LTV di sektor properti dan juga otomotif.
“Kami juga sedang mengkaji kemungkinan untuk loan to funding ratio (LFR) supaya mencerminkan kondisi yang lebih kondusif bagi perbankan untuk lakukan ekspansi usahanya. Karena kita juga memerhatikan pertumbuhan kredit masih terbatas ya, dan ini harus jadi tantangan kita bersama,” ujar Agus.
LFR adalah formula dari loan to deposit ratio (LDR) yang disesuaikan dengan memasukkan komponen surat berharga yang diterbitkan bank dalam perhitungan LDR.
Rencana BI itu memang sejurus dengan apa yang dihadapi oleh perbankan belakangan ini. Pelemahan ekonomi yang ditandai oleh stagnasi pertumbuhan di level 5,01 sepanjang dua triwulan beruntun dan juga pelemahan daya beli telah mengusik perbankan. Meski belum sampai mengganggu kinerja keseluruhan, namun pada segmen-segmen tertentu sudah terasa ada penurunan pembiayaan.
Seperti yang dialami oleh Bank Mandiri. Sepanjang 2016 lalu, bank yang selama dekade lalu masih merajai aset di industri perbankan nasional ini mengalami penurunan laba kenaikan kredit bermasalah. “(semua terjadi) Karena pelemahan ekonomi. Segmen menengah terkena dampak pelemahan ekonomi. Sejak 2014, segmen ini yaitu di sektor SME dan komersial mulai meningkat di Bank Mandiri,” kata Tardi, Direktur Bank Mandiri.
Pada akhir tahun 2016 laba bank tersebut sebesar Rp 13,8 triliun, turun 32,1 persen dibandingkan periode sama tahun sebelumnya yang senilai Rp 20,3 triliun. Oleh karena itu, tahun ini bank merasa perlu mengalihkan konsentrasi kepada sektor lain yang dinilai masih bisa ditingkatkan untuk mendongkrak laba yaitu sektor konsumer. “Kami mau berkembang di consumer banking. Dan kami akan mulai menyasar pada mass market dan juga upper mass market,” kata Tardi.
Untuk mengefektifkan strategi itu, perseroan akan mendorong semua cabang yang berjumlah lebih dari 2.600 kantor untuk menjual semua produk yang dimiliki oleh seluruh anak usaha. Jadi semua pegawai cabang nantinya akan diupayakan bisa menjual produk asuransi, otomotif, personal lain dan lainnya. Bank Mandiri memiliki 11 anak usaha, dari perusahaan sekuritas, asuransi, modal ventura sampai bank yang fokus kepada usaha mikro.
Hingga akhir tahun ini, Bank Mandiri berharap bisa mengakselerasi pertumbuhan kredit konsumer hingga di atas 20 persen dengan meningkatkan kolaborasi dengan Bank Mandiri group. “Khusus di KPR, kami juga menawarkan program suku bunga 6 persen fix 1 tahun dan 6,5 persen fix 2 tahun di developer tertentu," kata Tardi.
Sementara untuk kredit kendaraan, cabang-cabang akan memberikan referensi kepada anak usaha yang fokus ke pembiayaan otomotif lewat aplikasi bergerak yang diciptakan oleh Bank Mandiri. Last but not least, Mandiri juga akan meningkatkan pembiayaan di kartu kredit setelah bank sentral menurunkan suku bunga acuan. "Untuk kartu kredit, kami ingin mendorong adanya perubahan mindset nasabah dari kartu kredit sebagai alat utang, menjadi alat intermediasi yang bisa memudahkan nasabah dalam bertransaksi," ujar dia.
Sampai paro pertama tahun ini, kredit perumahan perseroan tumbuh 13,82 persen menjadi Rp 31,5 triliun. Sedangkan segmen pembiayaan kendaraan tumbuh 24,95 persen menjadi Rp 23,7 triliun dan kartu kredit tumbuh 9,6 persen menjadi Rp 9,6 triliun.
Sementara itu Direktur Utama Bank CIMB Niaga Tigor Siahaan juga mengandalkan kredit sektor konsumer dan perolehannya pada semester kedua tahun ini bisa membaik. “Kami akan kejar (pertumbuhan kredit) pada semester kedua,” kata Tigor.
Meskipun beberapa kredit konsumer mencatat pertumbuhan bagus pada kuartal 2. Tigor mengatakan beberapa sektor kredit konsumer seperti di sekto kendaraan bermotor masih belum cukup bergairah. Hal ini karena secara industri penjualan kendaraan bermotor masih belum tumbuh positif.

Kebijakan Rutin
Kebijakan relaksasi moneter dengan mengubah-ubah besaran uang muka atau LTV memang menjadi langkah populer bank sentral dalam lima tahun belakangan ini. Terakhir kali, bank sentral melakukannya tahun lalu ketika mengurangi LTV pada kredit properti dari 80 persen menjadi 85 persen. Artinya, jika sebelumnya konsumen dikenakan uang muka untuk pembelian rumah melalui bank minimal sebesar 20 persen, saat itu hanya perlu uang muka 15 persen.
Langkah itu bukanlah tanpa alasan. Karena berdasarkan hasil survei BI pada 2016, tercatat lebih dari dua pertiga nasabah memilih kredit kepemilikan rumah (KPR) sebagai sumber pembiayaan utama dalam membeli rumah. Dengan penurunan uang muka kredit rumah maka BI berharap dapat menstimulasi permintaan dalam negeri dan bahkan dipastikan akan berdampak ganda (multiplier effects) pada berbagai sektor lain yang mencakup industri real estate.
Pilihan menurunkan besaran uang muka untuk kredit konsumer setelah penurunan suku bunga acuan dinilai akan menjadi cara ampuh untuk menyelamatkan pertumbuhan ekonomi yang tahun ini ditargetkan sebesar 5,2 persen. “Dengan kombinasi kebijakan pelonggaran LTV,  disertai dengan penurunan suku bunga pinjaman, diharapkan mampu mendorong laju penyaluran kredit perbankan yang melambat,” kata Gayatri Rawit Angreni, pakar manajemen risiko yang juga mantan bankir.
Akan tetapi, Bank Indonesia ketika mengumumkan penurunan bunga acuan akhir bulan lalu malah menurunkan target pertumbuhan kredit pada tahun ini. Pinjaman perbankan diperkirakan hanya akan mencapai 8-10 persen, lebih rendah dari angka yang ditetapkan sebelumnya 10-12 persen. Pertumbuhan kredit sejak awal tahun hingga akhir Juli baru mencapai 2,1 persen. Sehingga secara tahunan pertumbuhan kredit diproyeksi hanya bisa berada di levet 8 persen atau lebih, namun tidak bisa melewati 10 persen.
(DIPUBLIKASIKAN AGUSTUS-SEPTEMBER 2017)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar