Kehadiran perempuan di jagad perbankan memang sudah
mengimbangi laki-laki dalam jumlah. Akan tetapi ketika mulai menapaki karier ke
jenjang yang lebih tinggi banyak dari mereka yang terpental.
“Whatever women do,
they must do twice as well as men to be thought half as good. Luckily, this is
not difficult”. Kata-kata dari Charlotte Whitton, politisi perempuan dari
Kanada, itu bisa menggambarkan sulitnya perjuangan perempuan dalam usahanya menyejajarkan
diri dengan laki-laki dalam prestasi kerja. Mereka harus bekerja empat kali
lebih keras dari laki-laki untuk dianggap sejajar dengan kaum laki-laki. Meski
begitu, Whitton sekaligus juga memberi pujian kepada perempuan dengan mengatakan
bahwa mereka sanggup dengan mudah melakukannya.
Berbicara
mengenai sektor industri yang sulit untuk dijalani dalam pekerjaan, perbankan
adalah salah satu yang tersulit. Dengan hampir semua sisi sudah memiliki
regulasi yang ketat, perbankan menjadi industri yang highly regulated.
Dan bagi perempuan, kondisi ini
menjadi kesulitan tersendiri. Hal itu bisa dilihat dari dominasi Kaum Adam di
industri ini yang terlihat pada jajaran manajemen puncak bank-bank yang ada di
dunia, juga di Indonesia. Dalam deretan 10 bank beraset terbesar di Indonesia,
dewan direksi yang diisi oleh mereka yang berjenis kelamin perempuan hanya
kurang dari 20 persen dari total direksi.
Kehadiran
perempuan memang belum dianggap memenuhi ekspektasi mayoritas pemegang saham
perbankan di Indonesia, meski jumlah pegawai bank perempuan tidak bisa dibilang
sedikit. Di beberapa bank besar baik nasional maupun asing, jumlah perempuan
sudah mencapai angka yang hampir sama dengan laki-laki, bahkan ada yang
melampaui jumlah laki-laki.
Di Citibank
misalnya, terdapat 1.700 karyawan perempuan atau mencapai 57 persen dari total
karyawan, di mana 130 orang di antaranya telah menduduki posisi manajerial
penting. Di antaranya vice president,
senior vice president, director dan managing director. “Angka tersebut di atas rata-rata persentase
nasional dan global. Di Citi tidak ada batasan bagi perempuan. Kami mendukung
kesetaraaan gender, menerapkan meritrokasi, penilaian berdasarkan kemampuan,”
kata CEO Citi Indonesia, Batara Sianturi.
Di bank
nasional seperti BNI, jumlah karyawan perempuan juga lebih banyak yaitu
mencapai 52,5 persen dari total, berdasarkan laporan 2016. Sementara jumlah
mereka yang masuk jajaran manajer dan atau jabatan lebih tinggi dari itu
mencapai 1.300 karyawan dari total 28 ribu karyawan di BNI. Sementara di Bank Mandiri, jumlah
karyawan perempuan juga lebih banyak dibanding laki-laki dengan menguasai 51,6
persen, dari jumlah total 38 ribu, berdasarkan data 2016.
Akan
tetapi, ketika mulai menjalani tangga karier sebagai bankir, jumlah perempuan
yang sampai di kursi teratas perbankan makin sedikit. Berdasarkan riset dari
Majalah Stabilitas, jumlah eksekutif
perempuan terutama yang menduduki jabatan di dewan direksi hanya 18 orang dan
mencapai 18,75 persen. Hal itu berdasarkan riset dari 10 bank konvensional
terbesar dalam hal aset.
Menilik besaran aset dan
komposisi dewan direksi 10 bank dengan aset terbesar (data aset tahun 2016)
menunjukkan adanya kecenderungan bank dengan aset besar, komposisi dewan
direksi perempuannya cenderung lebih sedikit. Hal ini terlihat pada perbankan
konvensional. Dalam jajaran empat besar bank dengan aset terbesar yaitu BRI,
Mandiri, BCA dan BNI, ternyata komposisi BoD perempuannya di bawah 13 persen.
Komposisi tersebut jauh di bawah komposisi total, yang angka direksi
perempuannya mencapai 18,75 persen. Malah di Bank BTN tidak ada satu orang pun
direksi dari kalangan perempuan Kaum Hawa.
Di jajaran menengah dalam daftar
10 bank terbesar angkanya bisa sedikit dibanggakan. Bank CIMB Niaga memiliki
komposisi direksi perempuan 50 persen, Bank Maybank juga memiliki komposisi 50
persen, diikuti juga dengan Bank Danamon. Tiga bank lain dengan, Bank Permata, Bank Panin dan Bank BTN
masing-masing memiliki komposisi dewan direksi perempuan masing-masing sebesar
30 persen.
Menyusut Seiring
Waktu
Berkurangnya jumlah perempuan
ketika merambat ke posisi yang lebih tinggi bisa diartikan bahwa Kaum Hawa
tidak mampu bertahan dalam seleksi alam di industri perbankan. Kenapa itu bisa
terjadi? Jawabannya mungkin ada pada sistem di internal bank, atau lebih luas
lagi, pada sistem budaya di Indonesia.
Menurut
penelitian yang dilakukan Accenture, sebuah perusahaan multinasional yang
bergerak di bidang konsultasi manajemen, pada 2012, ada sejumlah hambatan
terbesar yang dialami perempuan dalam meningkatkan kariernya. Di antaranya adalah
minimnya kesempatan yang diberikan kepada perempuan, yang diakui oleh sekitar
42 persen responden dalam survei yang mendasari riset itu.
Dalam riset itu juga dikatakan
bahwa faktor lain yang juga menghambat karier perempuan adalah ketidakjelasan
jenjang karier di perusahaan tempat bekerja. Responden yang mengakui hal ini
jumlahnya dua kali lipat lebih besar dibandingkan mereka yang melihat tanggung
jawab keluarga seperti mengurus anak dan keluarga sebagai penghambat dalam
berkarier.
Ada sekitar 20 persen eksekutif
perempuan yang mengakui bahwa karier mereka terhambat ketika sudah berkeluarga
dan punya anak. Hal ini disebabkan karena perempuan kesulitan mengatur
keseimbangan waktu antara pekerjaan dan keluarga. Tak hanya itu, penelitian ini
juga menyebutkan karier perempuan cenderung melambat, 40 persen disebabkan
penurunan ekonomi pada 2008. Krisis ekonomi ini nyatanya berakibat pada
penurunan karier dan ekonomi kaum perempuan, termasuk PHK.
Kondisi Global
Pentingnya kehadiran perempuan
dalam sebuah perusahaan sudah disimpulkan oleh sebuah laporan tahun 2009 yang
dikeluarkan oleh Catalyst, lembaga global yang concern dengan pekerja perempuan di perusahaan-perusahaan. “Perempuan
juga merupakan pengubah permainan di dalam organisasi,” kata laporan itu.
Menurut riset Catalyst, perusahaan-perusahaan
dalam daftar Fortune 500 yang memiliki tiga atau lebih perempuan dalam jajaran manajemen
senior, menempati peringkat yang lebih tinggi dalam hal keunggulan organisasi dibanding
perusahaan pesaing mereka. Berdasarkan kinerja berjalan pada tahun tersebut,
perusahaan-perusahaan itu memiliki daya saing lebih besar 40 persen atau lebih.
Meski demikian, jumlah perempuan
dalam jajaran eksekutif bahkan dalam jajaran puncak di perusahaan-perusahaan
elit dunia itu masih terbilang minim. Catalyst juga membuat daftar nama para CEO yang menghuni
perusahaan-perusahaan dalam daftar 500 perusahaan versi S&P. Jumlah CEO
perempuan hanya berjumlah 26 orang yaitu hanya 2,6 persen dari jumlah
keseluruhan CEO dalam daftar itu.
Padahal,
dalam daftar yang sama, jumlah karyawan perempuan keseluruhannya mencapai 44
persen dan hanya 11 persen yang mendapatkan bayaran paling tinggi (top earner). Sementara itu 21 persen
perempuan dalam daftar S&P 500 itu telah menduduki jabatan dalam dewan dan
26 persen di antaranya menduduki posisi sebagai pejabat senior (senior level managers).
Sementara
itu, dalam sebuah artikel Harvard Business Review disebutkan bahwa secara
historis perempuan telah masuk ke industri keuangan sejak beberapa dekade lalu.
Mereka biasanya mengisi posisi sebagai teller,
sekretaris, dan staf administrasi junior.
Namun, pada tahun 1980-an, para
perintis perempuan mulai bergerak ke dalam peran manajemen dan memasuki area
bisnis garis depan, seperti perbankan investasi. Saat ini 47 persen peran
manajemen dan profesional di perusahaan keuangan Amerika diduduki oleh wanita, berdasarkan
data Biro Statistik Tenaga Kerja AS.
Lalu
apa yang menjelaskan perempuan memiliki prospek karir yang meredup di industri
keuangan? Dalam artikel yang sama
dihadapkan riset yang dilakukan oleh Oliver Wyman dengan menyurvei 850
profesional jasa keuangan dari seluruh dunia (baik pria maupun wanita),
mewawancarai lebih dari 100 eksekutif wanita senior secara global.
Dari
riset itu muncul temuan yang cukup penting yang dikutip dari wawancara seorang
wanita senior. “Perusahaan lebih bersedia mengambil risiko pada laki-laki. Kalau
dengan perempuan, maka perempuan itu harus membuktikannya terlebih dahulu.
Akibatnya, banyak perempuan kehilangan kepercayaan diri bahwa mereka dapat
berhasil, dan menurunkan ambisi mereka atau berhenti.”
Singkatnya, perempuan di industri
keuangan menghadapi trade-off karier
yang lebih berat dengan biaya yang lebih tinggi dan manfaat yang tersedia lebih
rendah. Ketika keputusan untuk berkomitmen mencapai posisi puncak akan
berakibat lebih buruk bagi perempuan, maka perempuan yang mau mengambil
komitmen itu lebih sedikit dibandingkan yang memutuskan untuk mundur.
Menurut survei itu, banyak wanita
harus menghadapi kenyataan pahit. Biaya untuk mengembangkan karier mereka dalam
industri keuangan melebihi manfaat potensial, dengan mempertimbangkan
ketidakpastian dan rintangan yang lebih besar yang bakal mereka hadapi.
(DIPUBLIKASIKAN APR-MEI 2018)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar