Rabu, 18 Juli 2018

Emansipasi ‘Kartini’ di Industri Keuangan


Kehadiran perempuan di jagad perbankan memang sudah mengimbangi laki-laki dalam jumlah. Akan tetapi ketika mulai menapaki karier ke jenjang yang lebih tinggi banyak dari mereka yang terpental.


Whatever women do, they must do twice as well as men to be thought half as good. Luckily, this is not difficult”. Kata-kata dari Charlotte Whitton, politisi perempuan dari Kanada, itu bisa menggambarkan sulitnya perjuangan perempuan dalam usahanya menyejajarkan diri dengan laki-laki dalam prestasi kerja. Mereka harus bekerja empat kali lebih keras dari laki-laki untuk dianggap sejajar dengan kaum laki-laki. Meski begitu, Whitton sekaligus juga memberi pujian kepada perempuan dengan mengatakan bahwa mereka sanggup dengan mudah melakukannya.
                Berbicara mengenai sektor industri yang sulit untuk dijalani dalam pekerjaan, perbankan adalah salah satu yang tersulit. Dengan hampir semua sisi sudah memiliki regulasi yang ketat, perbankan menjadi industri yang highly regulated.
Dan bagi perempuan, kondisi ini menjadi kesulitan tersendiri. Hal itu bisa dilihat dari dominasi Kaum Adam di industri ini yang terlihat pada jajaran manajemen puncak bank-bank yang ada di dunia, juga di Indonesia. Dalam deretan 10 bank beraset terbesar di Indonesia, dewan direksi yang diisi oleh mereka yang berjenis kelamin perempuan hanya kurang dari 20 persen dari total direksi.
                Kehadiran perempuan memang belum dianggap memenuhi ekspektasi mayoritas pemegang saham perbankan di Indonesia, meski jumlah pegawai bank perempuan tidak bisa dibilang sedikit. Di beberapa bank besar baik nasional maupun asing, jumlah perempuan sudah mencapai angka yang hampir sama dengan laki-laki, bahkan ada yang melampaui jumlah laki-laki.
                Di Citibank misalnya, terdapat 1.700 karyawan perempuan atau mencapai 57 persen dari total karyawan, di mana 130 orang di antaranya telah menduduki posisi manajerial penting. Di antaranya vice president, senior vice president, director dan managing director. “Angka tersebut di atas rata-rata persentase nasional dan global. Di Citi tidak ada batasan bagi perempuan. Kami mendukung kesetaraaan gender, menerapkan meritrokasi, penilaian berdasarkan kemampuan,” kata CEO Citi Indonesia, Batara Sianturi.
                Di bank nasional seperti BNI, jumlah karyawan perempuan juga lebih banyak yaitu mencapai 52,5 persen dari total, berdasarkan laporan 2016. Sementara jumlah mereka yang masuk jajaran manajer dan atau jabatan lebih tinggi dari itu mencapai 1.300 karyawan dari total 28 ribu karyawan di BNI.       Sementara di Bank Mandiri, jumlah karyawan perempuan juga lebih banyak dibanding laki-laki dengan menguasai 51,6 persen, dari jumlah total 38 ribu, berdasarkan data 2016.
                Akan tetapi, ketika mulai menjalani tangga karier sebagai bankir, jumlah perempuan yang sampai di kursi teratas perbankan makin sedikit. Berdasarkan riset dari Majalah Stabilitas, jumlah eksekutif perempuan terutama yang menduduki jabatan di dewan direksi hanya 18 orang dan mencapai 18,75 persen. Hal itu berdasarkan riset dari 10 bank konvensional terbesar dalam hal aset.
Menilik besaran aset dan komposisi dewan direksi 10 bank dengan aset terbesar (data aset tahun 2016) menunjukkan adanya kecenderungan bank dengan aset besar, komposisi dewan direksi perempuannya cenderung lebih sedikit. Hal ini terlihat pada perbankan konvensional. Dalam jajaran empat besar bank dengan aset terbesar yaitu BRI, Mandiri, BCA dan BNI, ternyata komposisi BoD perempuannya di bawah 13 persen. Komposisi tersebut jauh di bawah komposisi total, yang angka direksi perempuannya mencapai 18,75 persen. Malah di Bank BTN tidak ada satu orang pun direksi dari kalangan perempuan Kaum Hawa.
Di jajaran menengah dalam daftar 10 bank terbesar angkanya bisa sedikit dibanggakan. Bank CIMB Niaga memiliki komposisi direksi perempuan 50 persen, Bank Maybank juga memiliki komposisi 50 persen, diikuti juga dengan Bank Danamon. Tiga bank lain dengan, Bank  Permata, Bank Panin dan Bank BTN masing-masing memiliki komposisi dewan direksi perempuan masing-masing sebesar 30 persen.

Menyusut Seiring Waktu
Berkurangnya jumlah perempuan ketika merambat ke posisi yang lebih tinggi bisa diartikan bahwa Kaum Hawa tidak mampu bertahan dalam seleksi alam di industri perbankan. Kenapa itu bisa terjadi? Jawabannya mungkin ada pada sistem di internal bank, atau lebih luas lagi, pada sistem budaya di Indonesia.
                Menurut penelitian yang dilakukan Accenture, sebuah perusahaan multinasional yang bergerak di bidang konsultasi manajemen, pada 2012, ada sejumlah hambatan terbesar yang dialami perempuan dalam meningkatkan kariernya. Di antaranya adalah minimnya kesempatan yang diberikan kepada perempuan, yang diakui oleh sekitar 42 persen responden dalam survei yang mendasari riset itu.
Dalam riset itu juga dikatakan bahwa faktor lain yang juga menghambat karier perempuan adalah ketidakjelasan jenjang karier di perusahaan tempat bekerja. Responden yang mengakui hal ini jumlahnya dua kali lipat lebih besar dibandingkan mereka yang melihat tanggung jawab keluarga seperti mengurus anak dan keluarga sebagai penghambat dalam berkarier.
Ada sekitar 20 persen eksekutif perempuan yang mengakui bahwa karier mereka terhambat ketika sudah berkeluarga dan punya anak. Hal ini disebabkan karena perempuan kesulitan mengatur keseimbangan waktu antara pekerjaan dan keluarga. Tak hanya itu, penelitian ini juga menyebutkan karier perempuan cenderung melambat, 40 persen disebabkan penurunan ekonomi pada 2008. Krisis ekonomi ini nyatanya berakibat pada penurunan karier dan ekonomi kaum perempuan, termasuk PHK.

Kondisi Global
Pentingnya kehadiran perempuan dalam sebuah perusahaan sudah disimpulkan oleh sebuah laporan tahun 2009 yang dikeluarkan oleh Catalyst, lembaga global yang concern dengan pekerja perempuan di perusahaan-perusahaan. “Perempuan juga merupakan pengubah permainan di dalam organisasi,” kata laporan itu.
Menurut riset Catalyst, perusahaan-perusahaan dalam daftar Fortune 500 yang memiliki tiga atau lebih perempuan dalam jajaran manajemen senior, menempati peringkat yang lebih tinggi dalam hal keunggulan organisasi dibanding perusahaan pesaing mereka. Berdasarkan kinerja berjalan pada tahun tersebut, perusahaan-perusahaan itu memiliki daya saing lebih besar 40 persen atau lebih.
Meski demikian, jumlah perempuan dalam jajaran eksekutif bahkan dalam jajaran puncak di perusahaan-perusahaan elit dunia itu masih terbilang minim. Catalyst juga  membuat daftar nama para CEO yang menghuni perusahaan-perusahaan dalam daftar 500 perusahaan versi S&P. Jumlah CEO perempuan hanya berjumlah 26 orang yaitu hanya 2,6 persen dari jumlah keseluruhan CEO dalam daftar itu.
                Padahal, dalam daftar yang sama, jumlah karyawan perempuan keseluruhannya mencapai 44 persen dan hanya 11 persen yang mendapatkan bayaran paling tinggi (top earner). Sementara itu 21 persen perempuan dalam daftar S&P 500 itu telah menduduki jabatan dalam dewan dan 26 persen di antaranya menduduki posisi sebagai pejabat senior (senior level managers).
                Sementara itu, dalam sebuah artikel Harvard Business Review disebutkan bahwa secara historis perempuan telah masuk ke industri keuangan sejak beberapa dekade lalu. Mereka biasanya mengisi posisi sebagai teller, sekretaris, dan staf administrasi junior.
Namun, pada tahun 1980-an, para perintis perempuan mulai bergerak ke dalam peran manajemen dan memasuki area bisnis garis depan, seperti perbankan investasi. Saat ini 47 persen peran manajemen dan profesional di perusahaan keuangan Amerika diduduki oleh wanita, berdasarkan data Biro Statistik Tenaga Kerja AS.
                Lalu apa yang menjelaskan perempuan memiliki prospek karir yang meredup di industri keuangan?  Dalam artikel yang sama dihadapkan riset yang dilakukan oleh Oliver Wyman dengan menyurvei 850 profesional jasa keuangan dari seluruh dunia (baik pria maupun wanita), mewawancarai lebih dari 100 eksekutif wanita senior secara global.
                Dari riset itu muncul temuan yang cukup penting yang dikutip dari wawancara seorang wanita senior. “Perusahaan lebih bersedia mengambil risiko pada laki-laki. Kalau dengan perempuan, maka perempuan itu harus membuktikannya terlebih dahulu. Akibatnya, banyak perempuan kehilangan kepercayaan diri bahwa mereka dapat berhasil, dan menurunkan ambisi mereka atau berhenti.”
Singkatnya, perempuan di industri keuangan menghadapi trade-off karier yang lebih berat dengan biaya yang lebih tinggi dan manfaat yang tersedia lebih rendah. Ketika keputusan untuk berkomitmen mencapai posisi puncak akan berakibat lebih buruk bagi perempuan, maka perempuan yang mau mengambil komitmen itu lebih sedikit dibandingkan yang memutuskan untuk mundur.
Menurut survei itu, banyak wanita harus menghadapi kenyataan pahit. Biaya untuk mengembangkan karier mereka dalam industri keuangan melebihi manfaat potensial, dengan mempertimbangkan ketidakpastian dan rintangan yang lebih besar yang bakal mereka hadapi.


(DIPUBLIKASIKAN APR-MEI 2018)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar