Ekonomi tahun depan
diperkirakan tidak akan lebih mudah dilewati oleh perbankan. Selain faktor
bawaan tahun sebelumnya, tantangan berat 2018 setidaknya akan membawa perbankan
tetap mempertahankan kebijakan wait and
see.
Akhir tahun biasanya menjadi
momentum pelaku bisnis untuk melakukan kaji-ulang strategi bisnisnya sepanjang
tahun yang sudah dijalani, sekaligus meneropong ancaman yang mungkin datang
tahun depan. Akan tetapi, bagi perbankan dan lembaga keuangan lainnya, kegiatan
itu bukan sekadar rutinitas belaka. Tahun ini, bahkan keseriusan pelaku
industri keuangan bertambah jika melihat tahun yang lewat dan tantangan yang
dihadapi tahun depan.
Sepanjang tahun 2017 pertumbuhan ekonomi yang
digadang-gadang akan rebound ternyata
tidak seperti yang diperkirakan. Angka pertumbuhan tampaknya tidak akan
bergerak di level 5 persen, meski sejak awal pertumbuhan ditargetkan di level
minimal 5,2 persen. Bank Indonesia memperkirakan pertumbuhan tahun ini hanya
akan sampai pada angka 5,1 persen maksimal.
Bahkan
angka yang diproyeksikan dari pemerintah lebih pesimistis lagi yaitu hanya akan
mencapai 5,05 persen atau lebih rendah dari asumsi dalam Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN) yang sebesar 5,2 persen. “Sampai akhir tahun, kami
perkirakan keseluruhan 5,05 persen. Artinya kuartal IV mungkin lebih tinggi,
dengan demikian akan mendekati 5,1 persen, meskipun sekarang dengan akurasi 2
digit," ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers
di Kantor Kemenkeu RI, Jakarta.
Berdasarkan
riset yang dilakukan Majalah Stabilitas, lambatnya pertumbuhan ekonomi
Indonesia diperkirakan akan terus berlanjut di tahun mendatang. Realisasi
pertumbuhan ekonomi 2017 diperkirakan rata-rata hanya 5 persen.
Perlambatan
pertumbuhan ekonomi yang disertai anomali dari sisi produksi berupa penurunan
kinerja sektor riil dan dari sisi pengeluaran konsumsi rumah tangga telah
menyebabkan penurunan daya beli masyarakat. Bahkan isu ini sempat menjadi
perdebatan karena awalnya dianggap hanya pergeseran cara belanja ke sistem
daring.
Berdasarkan
riset yang sama ditemukan bahwa pertumbuhan konsumsi rumah tangga menurun dari
4,95 persen pada triwulan kedua 2017 menjadi 4,93 persen di triwulan berikutnya.
Karena kontribusi konsumsi terhadap PDB nasional dominan maka pertumbuhan
ekonomi pun akan tertekan. Malahan diperkirakan hal itu akan berlanjut di tahun
depan. Apalagi pemerintah telah mengeluarkan kebijakan penyatuan golongan tarif
listrik, pembatasan distribusi gas elpiji 3 kg, kenaikan harga bahan bakar, dan
juga kenaikan cukai rokok.
Kenyataan
yang pahit itu sejatinya sudah diantisipasi perbankan dengan menurunkan target pertumbuhan
kreditnya. Bank Indonesia sendiri, berdasarkan rencana bisnis bank, kembali
merevisi perkiraan pertumbuhan kredit menjadi 7-9 persen dari sebelumnya yang
sebesar 8-10 persen. Angka akhir itu lebih rendah lagi dari target semula yaitu
10-12 persen yang ditetapkan pada rencana bisnis bank tahun lalu.
Otoritas
Jasa Keuangan (OJK), di sisi lain, memprediksi bahwa kredit hanya akan tumbuh
maksimal di level 10 persen. Awalnya OJK melihat pertumbuhan kredit ada di 13
persen, kemudian diturunkan lagi menjadi 11 persen, dan pada Oktober 2017 ini,
OJK melihat pertumbuhan kredit sepanjang tahun berada di kisaran 8-9 persen.
Menurut
Wimboh Santoso, Ketua Komisioner OJK, hingga September 2017, beberapa bank
masih terkonsentrasi untuk merestrukturisasi kredit bermasalah sehingga tidak
leluasa untuk melakukan ekspansi penyaluran kredit. “Setelah kami ikuti betul
beberapa individu bank, sedang restrukturisasi kredit, misalnya yang kategori
komersial yang bentuknya modal kerja," ujar dia.
OJK
melihat sebuah bank membutuhkan waktu 1-1,5 tahun sejak awal melakukan
restrukturusasi kredit untuk dapat kembali mencapai pertumbuhan normal. “Kami perkirakan
perlu waktu 1 sampai 1,5 tahun perbaikan NPL (non performing loan) ini. Kami
perkirakan NPL akan menurun secara gradual,” kata Wimboh.
Tahun Depan Tidak Ringan
Dengan mengantongi bekal yang tidak bisa dibilang
mencukupi itu, perbankan harus menghadapi tantangan yang tidak bisa dibilang
ringan juga tahun depan. Menurut Retno Ponco Windarti, Plt. KepalaGrup di
Departemen Kebijakan Makroprudensial, tahun depan ekonomi global menjadi isu
yang krusial buat perbankan.
Ada
beberapa kondisi yang membuat bisnis
industri perbankan di antaranya adalah ekonomi Tiongkok yang melambat, pengetatan kebijakan
moneter di beberapa negara Uni Eropa, ancaman masalah geopolitik, dan investasi
dan produktivitas global yang belum pulih.
“Berlanjutnya tren pengetatan kebijakan moneter
di beberapa negara maju, berisiko memengaruhi arah pergerakan likuiditas dunia.
Tak hanya pengetatan suku bunga The Fed, risiko lain adalah terkait
ketidakpastian kebijakan AS, volatilitas harga minyak dan komoditas, serta isu
geopolitik global,” kata Retno, dalam seminar Indonesia Risk Management Outlook
2018 di Hotel Fairmont Jakarta yang diselenggarakan oleh Majalah Stabilitas.
Risiko pengetatan The Fed yang berlanjut akan
melahirkan permasalahan pada suku bunga AS yang dapat berimplikasi pada
akumulasi kerentanan sistem keuangan global. Selain isu fiskal, ekonomi global
juga menghadapi ancaman dari kerentanan isu politik yang dilemparkan oleh AS
terkait keamanan di Timur Tengah terutama di Palestina, serta isu yang sudah
ada lainnya seperti soal nuklir Korea Utara.
Sementara itu, terkait tantangan ekonomi dalam
negeri, Direktur Pengawasan Bank OJK, Irnal Fiscallutfi mengatakan, setidaknya
ada tiga isu yang akan dihadapi Indonesia pada 2018. Pertama, ketertinggalan infrastruktur. Indonesia, menurutnya, harus
mengejar ketertinggalan infrastruktur untuk mendorong aktivitas ekonomi.
Irnal menilai, para pelaku sektor jasa keuangan
diharapkan dapat berpartisipasi untuk menyalurkan pembiayaan kreditnya pada
sektor infrastruktur nasional. Dengan begitu, pertumbuhan ekonomi pada tahun
2018 diyakini akan lebih optimal.
Kedua, peningkatan
kesejahteraan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mengemukakan, angka kemiskinan
pada Agustus 2017 meningkat menjadi 27,77 juta orang dari Agustus tahun 2016
yang mencapai 27,76 juta. “Saat ini pihak perbankan telah berpartisipasi dalam
gerakan peningkatan kesejahteraan melalui penyaluran bantuan sosial secara
nontunai,” kata dia.
Ketiga, perkembangan digital.
Para pelaku sektor jasa keuangan diharapkan dapat mengantisipasi perkembangan
dan inovasi digital. Pasalnya, hal itu bisa memberikan dampak positif maupun
dampak persaingan antar pelaku sektor jasa keuangan.
(DIPUBLIKASIKAN NOV -DES 2017)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar