Rabu, 18 Juli 2018

Melewati Tahun yang Berat


Ekonomi tahun depan diperkirakan tidak akan lebih mudah dilewati oleh perbankan. Selain faktor bawaan tahun sebelumnya, tantangan berat 2018 setidaknya akan membawa perbankan tetap mempertahankan kebijakan wait and see.

Akhir tahun biasanya menjadi momentum pelaku bisnis untuk melakukan kaji-ulang strategi bisnisnya sepanjang tahun yang sudah dijalani, sekaligus meneropong ancaman yang mungkin datang tahun depan. Akan tetapi, bagi perbankan dan lembaga keuangan lainnya, kegiatan itu bukan sekadar rutinitas belaka. Tahun ini, bahkan keseriusan pelaku industri keuangan bertambah jika melihat tahun yang lewat dan tantangan yang dihadapi tahun depan.
            Sepanjang tahun 2017 pertumbuhan ekonomi yang digadang-gadang akan rebound ternyata tidak seperti yang diperkirakan. Angka pertumbuhan tampaknya tidak akan bergerak di level 5 persen, meski sejak awal pertumbuhan ditargetkan di level minimal 5,2 persen. Bank Indonesia memperkirakan pertumbuhan tahun ini hanya akan sampai pada angka 5,1 persen maksimal.
Bahkan angka yang diproyeksikan dari pemerintah lebih pesimistis lagi yaitu hanya akan mencapai 5,05 persen atau lebih rendah dari asumsi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang sebesar 5,2 persen. “Sampai akhir tahun, kami perkirakan keseluruhan 5,05 persen. Artinya kuartal IV mungkin lebih tinggi, dengan demikian akan mendekati 5,1 persen, meskipun sekarang dengan akurasi 2 digit," ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers di Kantor Kemenkeu RI, Jakarta.
Berdasarkan riset yang dilakukan Majalah Stabilitas, lambatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan akan terus berlanjut di tahun mendatang. Realisasi pertumbuhan ekonomi 2017 diperkirakan rata-rata hanya 5 persen.
Perlambatan pertumbuhan ekonomi yang disertai anomali dari sisi produksi berupa penurunan kinerja sektor riil dan dari sisi pengeluaran konsumsi rumah tangga telah menyebabkan penurunan daya beli masyarakat. Bahkan isu ini sempat menjadi perdebatan karena awalnya dianggap hanya pergeseran cara belanja ke sistem daring.
Berdasarkan riset yang sama ditemukan bahwa pertumbuhan konsumsi rumah tangga menurun dari 4,95 persen pada triwulan kedua 2017 menjadi 4,93 persen di triwulan berikutnya. Karena kontribusi konsumsi terhadap PDB nasional dominan maka pertumbuhan ekonomi pun akan tertekan. Malahan diperkirakan hal itu akan berlanjut di tahun depan. Apalagi pemerintah telah mengeluarkan kebijakan penyatuan golongan tarif listrik, pembatasan distribusi gas elpiji 3 kg, kenaikan harga bahan bakar, dan juga kenaikan cukai rokok.
Kenyataan yang pahit itu sejatinya sudah diantisipasi perbankan dengan menurunkan target pertumbuhan kreditnya. Bank Indonesia sendiri, berdasarkan rencana bisnis bank, kembali merevisi perkiraan pertumbuhan kredit menjadi 7-9 persen dari sebelumnya yang sebesar 8-10 persen. Angka akhir itu lebih rendah lagi dari target semula yaitu 10-12 persen yang ditetapkan pada rencana bisnis bank tahun lalu.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK), di sisi lain, memprediksi bahwa kredit hanya akan tumbuh maksimal di level 10 persen. Awalnya OJK melihat pertumbuhan kredit ada di 13 persen, kemudian diturunkan lagi menjadi 11 persen, dan pada Oktober 2017 ini, OJK melihat pertumbuhan kredit sepanjang tahun berada di kisaran 8-9 persen.
Menurut Wimboh Santoso, Ketua Komisioner OJK, hingga September 2017, beberapa bank masih terkonsentrasi untuk merestrukturisasi kredit bermasalah sehingga tidak leluasa untuk melakukan ekspansi penyaluran kredit. “Setelah kami ikuti betul beberapa individu bank, sedang restrukturisasi kredit, misalnya yang kategori komersial yang bentuknya modal kerja," ujar dia.
OJK melihat sebuah bank membutuhkan waktu 1-1,5 tahun sejak awal melakukan restrukturusasi kredit untuk dapat kembali mencapai pertumbuhan normal. “Kami perkirakan perlu waktu 1 sampai 1,5 tahun perbaikan NPL (non performing loan) ini. Kami perkirakan NPL akan menurun secara gradual,” kata Wimboh.

Tahun Depan Tidak Ringan
            Dengan mengantongi bekal yang tidak bisa dibilang mencukupi itu, perbankan harus menghadapi tantangan yang tidak bisa dibilang ringan juga tahun depan. Menurut Retno Ponco Windarti, Plt. KepalaGrup di Departemen Kebijakan Makroprudensial, tahun depan ekonomi global menjadi isu yang krusial buat perbankan.
Ada beberapa kondisi yang membuat bisnis  industri perbankan di antaranya adalah ekonomi Tiongkok yang melambat, pengetatan kebijakan moneter di beberapa negara Uni Eropa, ancaman masalah geopolitik, dan investasi dan produktivitas global yang belum pulih.
“Berlanjutnya tren pengetatan kebijakan moneter di beberapa negara maju, berisiko memengaruhi arah pergerakan likuiditas dunia. Tak hanya pengetatan suku bunga The Fed, risiko lain adalah terkait ketidakpastian kebijakan AS, volatilitas harga minyak dan komoditas, serta isu geopolitik global,” kata Retno, dalam seminar Indonesia Risk Management Outlook 2018 di Hotel Fairmont Jakarta yang diselenggarakan oleh Majalah Stabilitas.
Risiko pengetatan The Fed yang berlanjut akan melahirkan permasalahan pada suku bunga AS yang dapat berimplikasi pada akumulasi kerentanan sistem keuangan global. Selain isu fiskal, ekonomi global juga menghadapi ancaman dari kerentanan isu politik yang dilemparkan oleh AS terkait keamanan di Timur Tengah terutama di Palestina, serta isu yang sudah ada lainnya seperti soal nuklir Korea Utara.
Sementara itu, terkait tantangan ekonomi dalam negeri, Direktur Pengawasan Bank OJK, Irnal Fiscallutfi mengatakan, setidaknya ada tiga isu yang akan dihadapi Indonesia pada 2018. Pertama, ketertinggalan infrastruktur. Indonesia, menurutnya, harus mengejar ketertinggalan infrastruktur untuk mendorong aktivitas ekonomi.
Irnal menilai, para pelaku sektor jasa keuangan diharapkan dapat berpartisipasi untuk menyalurkan pembiayaan kreditnya pada sektor infrastruktur nasional. Dengan begitu, pertumbuhan ekonomi pada tahun 2018 diyakini akan lebih optimal.
Kedua, peningkatan kesejahteraan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mengemukakan, angka kemiskinan pada Agustus 2017 meningkat menjadi 27,77 juta orang dari Agustus tahun 2016 yang mencapai 27,76 juta. “Saat ini pihak perbankan telah berpartisipasi dalam gerakan peningkatan kesejahteraan melalui penyaluran bantuan sosial secara nontunai,” kata dia.
Ketiga, perkembangan digital. Para pelaku sektor jasa keuangan diharapkan dapat mengantisipasi perkembangan dan inovasi digital. Pasalnya, hal itu bisa memberikan dampak positif maupun dampak persaingan antar pelaku sektor jasa keuangan.

(DIPUBLIKASIKAN NOV -DES 2017) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar