Rabu, 18 Juli 2018

Manfaat Lebih Buat Si Kecil


Aturan setoran wajib bank ke bank sentral akan sedikit merelaksasi pengelolaan likuiditas perbankan. Lebih jauh dari itu kebijakan ini akan memberikan manfaat yang lebih banyak bagi bank-bank bermodal minim.

Akhirnya Bank Indonesia menerbitkan aturan yang bisa sedikit merelaksasi perbankan dalam pengelolaan likuiditasnya. Aturan setoran wajib bank kepada bank sentral yang sudah dijanjikan sejak akhir tahun lalu menegaskan bahwa bank bisa lebih fleksibel dalam memenuhi kewajiban itu.
Pada 1 Juli lalu, bank sentral melonggarkan aturan setoran giro wajib minimum (GWM) dalam rupiah yang semula secara harian menjadi secara rata-rata (averaging) dua mingguan. Sebelumnya bank diwajibkan menyetorkan 6,5 persen dari dana kelolaannya setiap hari. Dengan aturan ini bank hanya menyetorkan 5 persen dari dananya setiap hari, sementara yang 1,5 persen bisa disetorkan secara rata-rata.
Menurut Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara instrumen moneter ini secara sederhana ditujukan untuk mengendalikan uang beredar. Lebih jauh lagi tujuannya ialah untuk menjaga stabilitas sistem keuangan, kurs, dan juga mengendalikan angka inflasi nasional. “Ini instrumen moneter yang terus berevolusi. Manfaatnya untuk menyerap dan menambah likuiditas di pasar uang. Tadinya kita menggunakan GWM fix dan sekarang menggunakan average,” kata dia.  
BI sudah menguji aturan tersebut dan menyosialisasikannya sejak April lalu. Kami yakin instrumen ini akan menjaga kestabilan kurs, karena menjaga suplai dan permintaan di pasar uang.
Likuiditas memang menjadi perhatian serius otoritas moneter sejak akhir tahun lalu. Dana perbankan terus tergerus yang terlihat dari tingginya angka loan to deposit ratio (LDR) yang pada akhir 2016 lalu telah menyentuh level 90 persen.
Padahal angkanya pada 12 tahun lalu masih berada di level 58 persen. Tingginya LDR tersebut sebetulnya bukan disebabkan masifnya ekspansi kredit perbankan, tetapi justru dipengaruhi oleh lebih rendahnya pertumbuhan DPK dibandingkan kredit sehingga rasio LDR pun menjadi naik.
Tahun ini, BI masih harus mengantisipasi ancaman likuiditas akibat kebijakan The Federal Reserve yang masih akan menaikkan suku bunga, mengikuti kenaikan bulan lalu. Selain itu, BI juga harus terus hati-hati terhadap inflasi dalam negeri.
Dengan penerapan GWM averaging, BI berharap likuiditas di pasar keuangan akan lebih terjaga. “Bank bisa mengatur, jadi memiliki keleluasaan, itu memberikan benefit. Karena tidak tiap hari bank itu setor GWM 6,5 persen (dari DPK), dalam hari tertentu bisa 5,75 persen. Sisanya bisa dipinjamkan ke bank kecil, jadi likuiditas itu bisa masuk ke pasar,” ujar Mirza.
Fleksibilitas dalam manajemen likuiditas itu diharapkan akan meningkatkan efisiensi di perbankan, selain juga menjadi bantalan suku bunga sehingga mengurangi volatilitas suku bunga di pasar uang. Kemudian juga memberi ruang penempatan likuiditas sehingga mendorong pendalaman pasar uang.
Mirza lebih lanjut menjelaskan, semakin banyaknya likuiditas yang terserap oleh pasar secara efektif, maka akan mampu meningkatkan efisiensi perbankan. Dengan demikian, kata dia, diharapkan suku bunga perbankan bisa lebih rendah, sehingga akan menopang penyaluran kredit.
“Intinya manajemen likuiditas bisa jadi fleksibel, harapannya, pasar uang bisa lebih likuid, dan dananya bisa mengalir di pasar uang dan membuat likuiditas sistem. Harapannya mudah-mudahan suku bunga bisa lebih rendah‎,” ucapnya.
Direktur BCA Tbk Santoso Liem mengamini jika aturan ini akan mendorong bank memangkas suku bunga. Karena dengan GWM rata-rata tersebut, bank dapat mengelola likuiditasnya karena dana yang disimpan tidak dihitung harian. Sehingga dana GWM averaging bisa disalurkan ke bank kecil atau pasar uang, sehingga pasar uang pun lebih likuid.
“Jadi otomatis buat BCA akan lebih punya room untuk turunkan suku bunga, sebetulnya LDR (loan to deposit ratio) kita juga masih cukup aman sekitar 74 sampai 75 persen, jadi masih bisa grow,” ujarnya.
Saat ini, lanjut dia, ada dana sekitar Rp400 triliun yang ditempatkan dalam instrumen jangka pendek oleh berbagai bank di Indonesia. Dari jumlah tersebut‎ sekitar Rp250 triliun yang kembali ke Bank Indonesia dan dikelola melalui sistem GWM ini.
Namun demikian, masih ada beberapa bank yang masih belum menemukan instrumen ‎untuk pengelolaan dananya di Bank Sentral dengan masih diterapkannya GWM fix, maka dari itu, GWM averaging diharapkan bisa menjadi pilihan.
“‎Jadi ini satu paket antara reformulasi BI Rate, averaging dan pendalaman pasar keuangan. Jika likuiditas bisa masuk ke sistem, bank akan bilang, bank ada instrumen apa, bank itu harus punya dana likuid,” paparnya.

Menolong yang Kecil
                Pelonggaran waktu penyetoran dana GWM ini diakui memang upaya otoritas moneter untuk mendorong pelonggaran likuiditas di sektor keuangan. Meski begitu, untuk dapat menurunkan suku bunga kredit sebagaimana yang dicita-citakan selama ini sepertinya belum akan terjadi dalam waktu dekat.
Pengamat perbankan dari Indef, Eko Listiyanto, mengatakan kebijakan itu dikeluarkan di saat pertumbuhan ekonomi tidak bergerak seperti yang diekspektasikan dan daya beli masyarakat sedang turun. “Dengan menurunnya daya beli yang disertai tren meningkatnya inflasi (dibanding capaian 2016 sebesar 3,02 persen yoy), maka perbankan masih akan menahan bunga kreditnya. Hal ini karena seiring kenaikan inflasi, maka deposan akan minta bunga yang lebih tinggi dari inflasi,” kata dia.
                Namun demikian, bukan berarti kebijakan itu tidak mempunyai manfaat sama sekali. Seperti dikatakan Mirza, Deputi Gubernur Senior BI, pelonggaran ini akan membuka peluang bank-bank besar memberikan pinjaman ke bank kecil. Eko sepakat dengan hal tersebut dengan mengatakan bahwa kebijakan ini memang bagian dari upaya meningkatkan likuiditas dengan target bank kecil yaitu kategori BUKU 1 dan 2. Bank BUKU 1, memiliki modal inti kurang dari Rp1 triliun, sedangkan BUKU 2, memimiliki modal inti antara Rp1 triliun hingga Rp5 triliun.
Seperti diketahui, sejak tahun lalu likuiditas antara bank besar dan kecil terlihat cukup timpang ketika bank besar beroleh tambahan kelebihan likuiditas karena menjadi lembaga penampung dana tax amnesty. Sudah begitu kreditnya melambat, yang membuatnya memiliki dana yang cukup berlebih. “Sementara bank kecil menderita kekeringan likuiditas karena dana kelolaannya banyak yang ditarik untuk bayar tebusan dan tidak balik lagi karena tidak menjadi bank persepsi atau penampung dana tebusan,” kata Eko.
Sementara itu, ekonom Bank Permata Josua Pardede, bagi bank besar, implementasi GWM rata-rata ini membuka peluang untuk gapping penempatan ke tenor yang lebih panjang guna meningkatkan efisiensi pengelolaan likuiditas dan enhance return. Kebijakan itu bisa meredam gejolak likuiditas dari ketidakpastian timing dan besaran aliran dana nasabah sehingga dapat mengurangi tekanan volatilitas suku bunga pasar uang antar bank (PUAB).
Sedangkan bagi bank kecil, khususnya dengan likuiditas terbatas, penerapan GWM rata-rata akan bermanfaat untuk mengurangi temporary liquidity shock dan dimungkinkan untuk menunda transaksi pinjam dari pemenuhan GWM. Jika memiliki likuiditas berlebih, bank dapat memanfaatkan untuk mencukupi perkiraan kebutuhan likuiditas yang meningkat pada hari lainnya.
Selain itu, terang dia aturan GWM rata-rata berdampak positif pada pendalaman pasar keuangan dimana akan mendorong lengthening tenor di pasar PUAB (O/N) serta mendorong transaksi repo. "Bagi bank-bank dengan kondisi likuiditas yang terbatas, justru didorong untuk melakukan transaksi repo antar bank mengingat sebelumnya OJK juga sudah meluncurkan Global Master Repurchase Agreement (GMRA) Indonesia yang menjadi landasan pelaksanaan transaksi repo sedemikian sehingga mendorong pendalaman pasar keuangan," ungkapnya.
Data terakhir menunjukkan sudah 74 bank yang menandatangani GMRA tersebut. Dengan demikian kondisi likuiditas perbankan pun menjadi semakin manageable yang pada akhirnya dapat mengoptimalkan fungsi intermediasi perbankan dalam rangka penyaluran kredit. Terlihat dari kondisi likuiditas perbankan yang cenderung terkendali dengan rasio alat Likuid/DPK pada bulan Mei yang mencapai 21,7 persen meningkat dari bulan Desember 2016 yang mencapai 21,6 persen.
Sementara Ekonom Bank Central Asia David berharap agar suatu saat nanti ada kemungkinan diperlukan pelonggaran GWM primer karena GWM rata-rata hanya sebatas membantu pengelolaan likuiditas saja. "Mungkin bisa dengan porsi GWM-nya diturunkan sedikit untuk release liquidity. Diharapkan penerapan GWM rata-rata dapat membantu bank-bank dalam mengelola likuditasnya. Saya perkirakan dengan kondisi makro yang semakin baik, pertumbuhan kredit akan makin baik di semester dua," ujarnya.
(DIPUBLIKASIKAN JUNI-JULI 2017)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar