Aturan setoran wajib bank
ke bank sentral akan sedikit merelaksasi pengelolaan likuiditas perbankan.
Lebih jauh dari itu kebijakan ini akan memberikan manfaat yang lebih banyak
bagi bank-bank bermodal minim.
Akhirnya Bank Indonesia
menerbitkan aturan yang bisa sedikit merelaksasi perbankan dalam pengelolaan
likuiditasnya. Aturan setoran wajib bank kepada bank sentral yang sudah
dijanjikan sejak akhir tahun lalu menegaskan bahwa bank bisa lebih fleksibel
dalam memenuhi kewajiban itu.
Pada 1 Juli lalu, bank sentral melonggarkan aturan setoran giro wajib
minimum (GWM) dalam rupiah yang semula secara harian
menjadi secara rata-rata (averaging)
dua mingguan. Sebelumnya bank
diwajibkan menyetorkan 6,5 persen dari dana kelolaannya setiap hari. Dengan
aturan ini bank hanya menyetorkan 5 persen dari dananya setiap hari, sementara
yang 1,5 persen bisa disetorkan secara rata-rata.
Menurut Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara
instrumen moneter ini secara sederhana ditujukan untuk mengendalikan uang beredar. Lebih
jauh lagi tujuannya
ialah untuk menjaga stabilitas sistem keuangan, kurs, dan juga mengendalikan
angka inflasi nasional. “Ini instrumen moneter yang terus berevolusi.
Manfaatnya untuk menyerap dan menambah likuiditas di pasar uang. Tadinya kita
menggunakan GWM fix dan sekarang menggunakan average,” kata dia.
BI sudah menguji aturan tersebut dan menyosialisasikannya sejak
April lalu. “Kami yakin instrumen ini
akan menjaga kestabilan kurs, karena menjaga suplai dan permintaan di pasar
uang.”
Likuiditas memang menjadi perhatian serius otoritas moneter sejak akhir
tahun lalu. Dana perbankan terus tergerus yang terlihat dari tingginya angka loan to deposit ratio (LDR) yang pada
akhir 2016 lalu telah menyentuh level 90 persen.
Padahal angkanya pada 12 tahun lalu masih berada di level 58 persen.
Tingginya LDR tersebut sebetulnya bukan disebabkan masifnya ekspansi kredit
perbankan, tetapi justru dipengaruhi oleh lebih rendahnya pertumbuhan DPK
dibandingkan kredit sehingga rasio LDR pun menjadi naik.
Tahun ini, BI masih harus mengantisipasi ancaman likuiditas akibat
kebijakan The Federal Reserve yang masih akan menaikkan suku bunga, mengikuti
kenaikan bulan lalu. Selain itu, BI juga harus terus
hati-hati terhadap inflasi dalam
negeri.
Dengan penerapan
GWM averaging, BI berharap likuiditas di pasar keuangan akan
lebih terjaga. “Bank bisa mengatur,
jadi memiliki keleluasaan, itu memberikan benefit. Karena tidak tiap hari bank
itu setor GWM 6,5 persen (dari DPK), dalam hari tertentu bisa 5,75 persen.
Sisanya bisa dipinjamkan ke bank kecil, jadi likuiditas itu bisa masuk ke
pasar,” ujar Mirza.
Fleksibilitas dalam manajemen likuiditas itu diharapkan akan meningkatkan efisiensi di perbankan, selain juga menjadi bantalan suku bunga sehingga mengurangi volatilitas suku
bunga di pasar uang. Kemudian juga memberi ruang penempatan likuiditas sehingga
mendorong pendalaman pasar uang.
Mirza lebih lanjut menjelaskan, semakin banyaknya likuiditas yang terserap
oleh pasar secara efektif, maka akan mampu meningkatkan efisiensi perbankan.
Dengan demikian, kata dia, diharapkan suku bunga perbankan bisa lebih rendah,
sehingga akan menopang penyaluran kredit.
“Intinya manajemen likuiditas bisa jadi fleksibel, harapannya, pasar uang
bisa lebih likuid, dan dananya bisa mengalir di pasar uang dan membuat
likuiditas sistem. Harapannya mudah-mudahan suku bunga bisa lebih rendah,”
ucapnya.
Direktur BCA Tbk Santoso Liem mengamini jika aturan ini akan mendorong bank
memangkas suku bunga. Karena dengan GWM rata-rata tersebut, bank dapat
mengelola likuiditasnya karena dana yang disimpan tidak dihitung harian.
Sehingga dana GWM averaging bisa disalurkan ke bank kecil atau pasar uang,
sehingga pasar uang pun lebih likuid.
“Jadi otomatis buat BCA akan lebih punya room untuk turunkan suku bunga, sebetulnya LDR (loan to deposit ratio) kita juga masih
cukup aman sekitar 74 sampai 75 persen, jadi masih bisa grow,” ujarnya.
Saat ini, lanjut dia, ada dana sekitar Rp400 triliun yang ditempatkan dalam
instrumen jangka pendek oleh berbagai bank di Indonesia. Dari jumlah tersebut
sekitar Rp250 triliun yang kembali ke Bank Indonesia dan dikelola melalui
sistem GWM ini.
Namun demikian, masih ada beberapa bank yang masih belum menemukan
instrumen untuk pengelolaan dananya di Bank Sentral dengan masih diterapkannya
GWM fix, maka dari itu, GWM averaging
diharapkan bisa menjadi pilihan.
“Jadi ini satu paket antara reformulasi BI Rate, averaging dan pendalaman pasar keuangan. Jika likuiditas bisa masuk
ke sistem, bank akan bilang, bank ada instrumen apa, bank itu harus punya dana
likuid,” paparnya.
Menolong yang Kecil
Pelonggaran waktu penyetoran dana GWM ini diakui
memang upaya otoritas moneter untuk mendorong pelonggaran likuiditas di sektor
keuangan. Meski begitu, untuk dapat menurunkan suku bunga kredit sebagaimana
yang dicita-citakan selama ini sepertinya belum akan terjadi dalam waktu dekat.
Pengamat perbankan dari Indef, Eko Listiyanto, mengatakan kebijakan itu
dikeluarkan di saat pertumbuhan ekonomi tidak bergerak seperti yang
diekspektasikan dan daya beli masyarakat sedang turun. “Dengan menurunnya daya
beli yang disertai tren meningkatnya inflasi (dibanding capaian 2016 sebesar
3,02 persen yoy), maka perbankan masih akan menahan bunga kreditnya. Hal ini
karena seiring kenaikan inflasi, maka deposan akan minta bunga yang lebih
tinggi dari inflasi,” kata dia.
Namun demikian, bukan berarti kebijakan itu tidak
mempunyai manfaat sama sekali. Seperti dikatakan Mirza, Deputi Gubernur Senior
BI, pelonggaran ini akan membuka peluang bank-bank besar memberikan pinjaman ke
bank kecil. Eko sepakat dengan hal tersebut dengan mengatakan bahwa kebijakan
ini memang bagian dari upaya meningkatkan likuiditas dengan target bank kecil yaitu
kategori BUKU 1 dan 2. Bank BUKU 1, memiliki modal inti kurang dari Rp1 triliun,
sedangkan BUKU 2, memimiliki modal inti antara Rp1 triliun hingga Rp5 triliun.
Seperti diketahui, sejak tahun lalu likuiditas antara bank besar dan kecil terlihat
cukup timpang ketika bank besar beroleh tambahan kelebihan likuiditas karena
menjadi lembaga penampung dana tax amnesty.
Sudah begitu kreditnya melambat, yang membuatnya memiliki dana yang cukup
berlebih. “Sementara bank kecil menderita kekeringan likuiditas karena dana kelolaannya
banyak yang ditarik untuk bayar tebusan dan tidak balik lagi karena tidak menjadi
bank persepsi atau penampung dana tebusan,” kata Eko.
Sementara itu, ekonom Bank Permata Josua Pardede, bagi
bank besar, implementasi GWM rata-rata
ini membuka peluang untuk gapping penempatan ke tenor yang lebih panjang guna meningkatkan
efisiensi pengelolaan likuiditas dan enhance
return. Kebijakan itu bisa meredam gejolak likuiditas dari ketidakpastian timing dan besaran aliran dana nasabah sehingga dapat mengurangi
tekanan volatilitas suku bunga pasar
uang antar bank (PUAB).
Sedangkan bagi
bank kecil, khususnya dengan likuiditas terbatas, penerapan GWM rata-rata akan
bermanfaat untuk mengurangi temporary
liquidity shock dan dimungkinkan untuk menunda transaksi pinjam dari
pemenuhan GWM. Jika memiliki likuiditas berlebih, bank dapat memanfaatkan untuk
mencukupi perkiraan kebutuhan likuiditas yang meningkat pada hari lainnya.
Selain itu,
terang dia aturan GWM rata-rata berdampak positif pada pendalaman pasar keuangan
dimana akan mendorong lengthening tenor di pasar PUAB (O/N) serta mendorong
transaksi repo. "Bagi bank-bank dengan kondisi likuiditas yang terbatas,
justru didorong untuk melakukan transaksi repo antar bank mengingat sebelumnya
OJK juga sudah meluncurkan Global Master Repurchase Agreement (GMRA) Indonesia
yang menjadi landasan pelaksanaan transaksi repo sedemikian sehingga mendorong
pendalaman pasar keuangan," ungkapnya.
Data terakhir menunjukkan sudah 74 bank
yang menandatangani GMRA tersebut. Dengan demikian kondisi likuiditas perbankan
pun menjadi semakin manageable yang pada akhirnya dapat mengoptimalkan fungsi
intermediasi perbankan dalam rangka penyaluran kredit. Terlihat dari kondisi
likuiditas perbankan yang cenderung terkendali dengan rasio alat Likuid/DPK
pada bulan Mei yang mencapai 21,7 persen meningkat dari bulan Desember 2016
yang mencapai 21,6 persen.
Sementara Ekonom
Bank Central Asia David berharap agar suatu saat nanti ada kemungkinan
diperlukan pelonggaran GWM primer karena GWM rata-rata hanya sebatas membantu
pengelolaan likuiditas saja. "Mungkin bisa dengan porsi GWM-nya diturunkan
sedikit untuk release liquidity.
Diharapkan penerapan GWM rata-rata dapat membantu bank-bank dalam mengelola
likuditasnya. Saya perkirakan dengan kondisi makro yang semakin baik,
pertumbuhan kredit akan makin baik di semester dua," ujarnya.
(DIPUBLIKASIKAN JUNI-JULI 2017)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar