Malang benar
nasib Bank Indonesia. Sejak tahun lalu otoritas moneter ‘disindir-sindir’
pemerintah, pengamat, serta pelaku pasar karena tidak mau menurunkan suku bunga
acuan untuk mendorong perekonomian. Bahkan pada rapat dewan gubernur, beberapa
kali menjelang akhir tahun lalu, ketika BI mengatakan ada ruang untuk
pelonggaran moneter, suku bunga acuan alias BI Rate tidak juga diturunkan. Hal
itu menambah tekanan kepada bank sentral yang dianggap tidak peduli mengenai
sektor riil.
Januari lalu,
giliran Bank Indonesia merealisasikan pernyataannya mengenai tersedianya room untuk pelonggaran dengan menurunkan
BI Rate, publikasi itu ‘termakan’ hingar bingar berita mengenai teror yang
menimpa Ibu Kota. Sejak menjelang siang hari, media –terutama televisi dan
daring –tak henti-hentinya menyampaikan setiap detik perkembangan serangan
teroris yang terjadi di kawasan bisnis dan pemerintahan, Jalan MH Thamrin,
Jakarta.
Akan tetapi
apakah ini berarti dampak kebijakan ini akan tertelan dengan kecemasan pelaku
ekonomi atas serangan teroris itu? Jawabanya tidak. Ada setidaknya dua faktor
yang menguatkannya. Pertama, seperti
diungkapkan banyak pihak, teror bom di Indonesia tidak akan berdampak lama bagi
ekonomi. Paling lama sentimen negatif dari teror bom dan serangan tersebut
hanya bertahan satu minggu. Pengalaman saat peristiwa Bom JW Marriot dan Bom
Bali 1 dan 2 sudah membuktikan hal itu.
Kedua, terkait dengan yang pertama, teror bom beserta dampak negatifnya itu
hanya menciptakan sentimen negatif yang berarti hanya sementara, sedangkan
penurunan BI Rate adalah fundamental. Mengapa fundamental, karena dengan
turunnya bunga acuan maka pengenaan suku bunga kredit bank akan ikut turun,
seharusnya. Turunnya suku bunga akan menekan biaya dana bank (cost of fund) dan juga biaya dana yang
siap dipinjamkan (cost of loanable fund/COLF)
Cara yang paling
sederhana dan mudah untuk menghitung biaya dana bank yaitu hanya menjumlahkan
seluruh biaya yang dikeluarkan berkenaan dengan penghimpunan dana (funding)
dibagi dengan total dana yang dihimpun bank pada tahun yang sama. Karena bunga
untuk funding biasanya akan cepat menyesuaikan begitu ada perubahan BI Rate
maka biaya dana otomatis juga akan turun.
Sementara itu, perhitungan
COLF adalah dengan memasukan biaya penempatan dana pada giro wajib minimum di
BI pada angka cost of fund. Setelah
tahun angka biaya dana yang siap dipinjamkan maka bank akan menambahkan dengan
biaya-biaya atau angka lainnya untuk kemudian menjadi suku bunga dasar kredit.
Di antaranya adalah profit margin, pajak atas profit margin, cadangan, dan
biaya overhead dan tenaga kerja.
Meskipun bank
bisa saja berkilah bahwa penurunan BI Rate tidak akan menurunkan bunga kredit
karena biaya-biaya lainnya meningkat, tetapi setidaknya kita tahu bahwa
penurunan BI Rate telah menurunkan biaya dana bagi bank.
Jika ternyata
suku bunga kredit masih tidak turun juga, sudah seharusnya pemerintah,
pengamat, serta pelaku pasar beralih untuk menyindir pemilik bank. Karena kalau
tidak begitu, malang benar nasib kebijakan BI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar