Kemelut kontrak karya Freeport
yang melebar hingga ke ranah politik membuat masalah yang sebenarnya
terlupakan. Padahal ada cara cerdik untuk mengambil alih saham perusahaan
tambang tembaga terbesar di dunia itu lewat ‘pintu belakang’
Polemik yang berkepanjangan mengenai perpanjangan Kontrak
Karya PT Freeport Indonesia seakan membuat publik lupa mengenai masalah
sebenarnya. Rekaman pertemuan pejabat negara dengan bos Freeport di Indonesia
yang kemudian memunculkan sidang kode etik di parlemen seharusnya tidak membuat
pemerintah lupa bahwa kekayaan negara harus digunakan sebaik-baiknya untuk
kepentingan rakyat. Selain itu, polemik ini juga melupakan cara alternatif yang
lebih cerdik dalam rangka mengambil alih kepemilikan Freeport.
Hingga menjelang tutup tahun, sidang etik DPR sudah
menghadirkan puluhan drama namun tampaknya ujung-unjungnya adalah perpanjangan kontrak
bagi perusahaan yang berbasis di Phoenix AS itu. Menteri Koordinator Bidang
Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Luhut Binsar Panjaitan sepertinya
menegaskan hal itu. Pada sidang yang digelar awal pekan kedua Desember, Luhut
membeberkan panjang lebar mengenai hal itu.
Pembahasan perpanjangan kontrak karya itu diawali pada 16
Maret 2015 silam saat rapat terbatas dengan Presiden Joko Widodo. Bahasannya,
perpanjangan Freeport perlu dikaji lebih dalam karena baru boleh dibahas tahun
2019. "Pada 15 Mei 2015, saya sebagai Kepala Staf Kepresidenan mengirim
memo kepada Presiden, bahwa hanya perbolehkan perpanjangan kontrak dua tahun
sebelum kontrak berakhir," kata Luhut.
Selanjutnya pada 8 Juni 2015 lanjut Luhut, adalah kejadian
pertemuan antara Ketua DPR Setya Novanto, Presiden Direktur PT Freeport
Indonesia Maroef Sjamsoeddin dan pengusaha M Riza Chalid.
Pada 17 Juni 2015, Luhut yang masih menjabat Kepala Staf
Kepresidenan kembali mengirim memo kepada Presiden Jokowi bahwa perpanjangan
kontrak perusahaan tambang emas asing itu baru dilaksanakan tahun 2019.
Terakhir pada 19 Oktober 2015, Presiden Jokowi mengatakan
lima syarat tentang perpanjangan kontrak karya PT Freeport Indonesia. Syarat
itu adalah pembangunan Papua, memerhatikan konten lokal, penambahan royalti,
divestasi saham untuk Indonesia, dan pembangunan smelter. "Saya dengan
tegas mendukung lima syarat yang diajukan (Presiden) Jokowi terhadap
Freeport," tegasnya.
Kesaksian Luhut sepertinya menegaskan kembali bahwa
kemungkinan pemerintah Indonesia akan memperpanjang kontrak Freeport pada
negosiasi 2019, atau bahkan lebih cepat dari itu.
Akan tetapi, sebelumnya kolega luhut yaitu Rizal Ramli,
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya menegaskan dirinya
bersama Presiden menolak pembahasan perpanjangan kontrak karya sampai 2019
sesuai peraturan perundang-undangan.
Rizal mengatakan meski pemerintah belum akan membahas
perpanjangan kontrak karya Freeport hingga 2019, Dia meminta pihak Freeport
bersedia memenuhi syarat, terutama soal royalti yang diajukan pemerintah. “Kami
ingin Freeport bersedia membayar royalti 6 sampai 7 persen. Sebab selama ini
royalti sangat murah, inginnya naik sebagai kompensasi selama ini," jelas
Rizal.
Selain itu syarat berikutnya, kata Rizal, Freeport harus
memproses limbahnya.
"Selama ini Freeport menolak melakukan itu. Walaupun
sesuai undang-undang, aturan tersebut sudah ada sejak 2009. Freeport itu takut
ketahuan bahwa selain emas dan copper (tembaga) ada juga rare material. Mungkin
ada juga uranium," jelas Rizal.
Freeport-McMoRan Inc, perusahaan penggali tambang dunia itu
sudah menambang sejak tahun 1967 dan selalu menjadi salah satu isu besar di
Tanah Air sejak itu. Perusahaan itu awalnya menambang tembaga dan belakangan
emas di tambang Ertsberg dan tambang Grasberg yang terletak di kawasan Tembaga
Pura, Kabupaten Mimika, Papua.
Cara Cerdik
Sejatinya, jika mau berpikir dan berusaha lebih keras,
Freeport bisa diambil alih pemerintah Indonesia dengan strategi hostile take over. Menurut pengamat
ekonomi yang kritis, Yanuar Rizky megatakan bahwa saat ini saham induk
perusahaan itu yaitu Freeport-McMoRan Inc tengah terjerembab karena terus
merugi.
“Saat ini menganggap Freeport itu kuat, salah. Jadi sekarang
mereka yang butuh kita bukan kita yang butuh mereka,” kata dia dalam sebuah
tulisan di blog miliki pribadinya.
Freeport-McMoRan Inc membukukan kerugian pada kuartal kedua secara
berturut sejak kuartal lalu. Perusahaan yang merupakan salah satu produsen tembaga
terbesar di dunia, mengatakan memiliki kerugian kuartal kedua dari 1,85 miliar
dollar AS, atau 1,78 dollar AS per saham, dibandingkan dengan keuntungan 482
juta dollar AS atau 46 sen, setahun sebelumnya.
Kerugian terakhir dikarenakan hapus buku sebesar 2 miliar
dollar AS terkait dengan properti di minyak dan gas yang diakuisinya dua tahun
lalu, serta komponen lainnya. Pendapatannya pun anjlok 23 persen menjadi 4,25
miliar dollar AS.
Hostile take over
adalah suatu tindakan akuisisi yang dilakukan secara paksa yang biasanya
dilakukan dengan cara membuka penawaran atas saham perusahaan yang ingin
dikuasai di pasar modal dengan harga di atas harga pasar. Pengambilalihan
secara paksa biasanya diikuti oleh pemecatan karyawan dan manajer untuk diganti
orang baru untuk melakukan efisiensi pada operasional perusahaan.
“Pakai pasar untuk ambil pengendalian (hostile take over),”
kata Yanuar. “Dan kalau Presiden atas nama negara bisa cerdik memanfaatkan
bahasa pasar, maka kita akan dapat keseimbangan baru.”
Hingga akhir November, saat tulisan tersebut diunduh, nilai
kapitalisasi saham Freeport McMoran di Bursa Saham New York terus menciut
tinggal 9,4 miliar dollar AS.
“Jadi menurut saya agak lucu melihat kasus ‘Papa Minta
Saham’ ini, atau upaya valuasi 20 persen saham Freeport yang bernilai Rp27
triliun (atau 1,97 miliar dollar AS dengan kurs Rp13.700 per dollar AS). Jadi
kalau saya lebih baik beli saja saham holding Freeport di Bursa New York, maka
kita sudah dapat 21 persen saham holding Freeport,” kata dia.
Langkah serupa pernah dijalankan pemerintah Malaysia pada
saat mengambil alih perusahaan pengolah sawit terbesar milik kolonial Inggris, Sime
Darby pada tahun 80-an. Saat ini secara diam-diam dan terencana pemerintah
Malaysia di bawah komando Perdana Menteri Mahathir Muhammad membeli saham Sime
Darby di London Stack Exchange. Pada 1983, kepemilikan Malaysia di perusahaan
itu mencapai 54 persen yang menjadikannya pemegang saham terbesar. Margaret
Tatcher, Perdana Menteri Inggris saat ini sempat terkaget-kaget namun tidak
bisa berbuat apa-apa dan akhirnya menyebut pengambilalihan tersebut dengan Back Door
Nationalisation.
Sime Darby adalah konglomerasi multinasional Malaysia
berbasis utama yang terlibat dalam sektor 5 inti: perkebunan, properti,
industri, motor dan energi & utilitas. Sime Darby saat ini tercatat di
papan utama Bursa Malaysia Securities Berhad.
Awalnya pada akhir 1970-an hanya di bawah setengah ekuitas
Sime Darby Holdings diakuisisi oleh investor Malaysia - terutama melalui
Tradewinds (Malaysia) Sendirian Berhad. Pada bulan Desember 1979 dengan
penggabungan dua entitas Malaysia baru, Sime Darby Berhad (SDB) dan Konsolidasi
Perkebunan Berhad (CPB), Sime Darby memindahkan kantor pusatnya ke Kuala Lumpur
dan menjadi perhatian terdaftar dan dikelola Malaysia.
Dan pada tahun 1981, kelompok ini menjadi perusahaan yang
sepenuhnya milik Malaysia setelah strategi nasionalisasi pintu belakang
berhasil.
Sebelumnya muncul skenario
pengambilalihan saham Freeport dengan mendorong badan usaha milik negara untuk
membeli saham yang dilepas oleh Freeport, sebagaimana perjanjian kontrak yang
terakhir.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor
77 tahun 2014 ditegaskan bahwa Freeport harus melepas sahamnya sebesar 30
persen karena perusahaan ini memiliki kegiatan pertambangan yang dikategorikan
ke dalam tambang bawah tanah (underground
mining). Saat ini pemerintah Indonesia sudah memiliki saham sebesar 9,36
persen, itu artinya manajemen Freeport masih diharuskan melepas sahamnya
sebesar 20,64 persen lagi. Namun pada tahapan kali ini, manajemen akan lebih
dulu diwajibkan melepas sahamnya sebesar 10,64 persen, disusul 10 persen
berikutnya pada 5 tahun mendatang yaitu 2019.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar