Selasa, 19 Januari 2016

Jalan lain Kendalikan Freeport

Kemelut kontrak karya Freeport yang melebar hingga ke ranah politik membuat masalah yang sebenarnya terlupakan. Padahal ada cara cerdik untuk mengambil alih saham perusahaan tambang tembaga terbesar di dunia itu lewat ‘pintu belakang’
                                                             
Polemik yang berkepanjangan mengenai perpanjangan Kontrak Karya PT Freeport Indonesia seakan membuat publik lupa mengenai masalah sebenarnya. Rekaman pertemuan pejabat negara dengan bos Freeport di Indonesia yang kemudian memunculkan sidang kode etik di parlemen seharusnya tidak membuat pemerintah lupa bahwa kekayaan negara harus digunakan sebaik-baiknya untuk kepentingan rakyat. Selain itu, polemik ini juga melupakan cara alternatif yang lebih cerdik dalam rangka mengambil alih kepemilikan Freeport.
Hingga menjelang tutup tahun, sidang etik DPR sudah menghadirkan puluhan drama namun tampaknya ujung-unjungnya adalah perpanjangan kontrak bagi perusahaan yang berbasis di Phoenix AS itu. Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Luhut Binsar Panjaitan sepertinya menegaskan hal itu. Pada sidang yang digelar awal pekan kedua Desember, Luhut membeberkan panjang lebar mengenai hal itu.
Pembahasan perpanjangan kontrak karya itu diawali pada 16 Maret 2015 silam saat rapat terbatas dengan Presiden Joko Widodo. Bahasannya, perpanjangan Freeport perlu dikaji lebih dalam karena baru boleh dibahas tahun 2019. "Pada 15 Mei 2015, saya sebagai Kepala Staf Kepresidenan mengirim memo kepada Presiden, bahwa hanya perbolehkan perpanjangan kontrak dua tahun sebelum kontrak berakhir," kata Luhut.
Selanjutnya pada 8 Juni 2015 lanjut Luhut, adalah kejadian pertemuan antara Ketua DPR Setya Novanto, Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin dan pengusaha M Riza Chalid.
Pada 17 Juni 2015, Luhut yang masih menjabat Kepala Staf Kepresidenan kembali mengirim memo kepada Presiden Jokowi bahwa perpanjangan kontrak perusahaan tambang emas asing itu baru dilaksanakan tahun 2019.
Terakhir pada 19 Oktober 2015, Presiden Jokowi mengatakan lima syarat tentang perpanjangan kontrak karya PT Freeport Indonesia. Syarat itu adalah pembangunan Papua, memerhatikan konten lokal, penambahan royalti, divestasi saham untuk Indonesia, dan pembangunan smelter. "Saya dengan tegas mendukung lima syarat yang diajukan (Presiden) Jokowi terhadap Freeport," tegasnya.
Kesaksian Luhut sepertinya menegaskan kembali bahwa kemungkinan pemerintah Indonesia akan memperpanjang kontrak Freeport pada negosiasi 2019, atau bahkan lebih cepat dari itu.
Akan tetapi, sebelumnya kolega luhut yaitu Rizal Ramli, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya menegaskan dirinya bersama Presiden menolak pembahasan perpanjangan kontrak karya sampai 2019 sesuai peraturan perundang-undangan.
Rizal mengatakan meski pemerintah belum akan membahas perpanjangan kontrak karya Freeport hingga 2019, Dia meminta pihak Freeport bersedia memenuhi syarat, terutama soal royalti yang diajukan pemerintah. “Kami ingin Freeport bersedia membayar royalti 6 sampai 7 persen. Sebab selama ini royalti sangat murah, inginnya naik sebagai kompensasi selama ini," jelas Rizal.
Selain itu syarat berikutnya, kata Rizal, Freeport harus memproses limbahnya.
"Selama ini Freeport menolak melakukan itu. Walaupun sesuai undang-undang, aturan tersebut sudah ada sejak 2009. Freeport itu takut ketahuan bahwa selain emas dan copper (tembaga) ada juga rare material. Mungkin ada juga uranium," jelas Rizal.
Freeport-McMoRan Inc, perusahaan penggali tambang dunia itu sudah menambang sejak tahun 1967 dan selalu menjadi salah satu isu besar di Tanah Air sejak itu. Perusahaan itu awalnya menambang tembaga dan belakangan emas di tambang Ertsberg dan tambang Grasberg yang terletak di kawasan Tembaga Pura, Kabupaten Mimika, Papua.

Cara Cerdik
Sejatinya, jika mau berpikir dan berusaha lebih keras, Freeport bisa diambil alih pemerintah Indonesia dengan strategi hostile take over. Menurut pengamat ekonomi yang kritis, Yanuar Rizky megatakan bahwa saat ini saham induk perusahaan itu yaitu Freeport-McMoRan Inc tengah terjerembab karena terus merugi.
“Saat ini menganggap Freeport itu kuat, salah. Jadi sekarang mereka yang butuh kita bukan kita yang butuh mereka,” kata dia dalam sebuah tulisan di blog miliki pribadinya.
Freeport-McMoRan Inc membukukan kerugian pada kuartal kedua secara berturut sejak kuartal lalu. Perusahaan yang merupakan salah satu produsen tembaga terbesar di dunia, mengatakan memiliki kerugian kuartal kedua dari 1,85 miliar dollar AS, atau 1,78 dollar AS per saham, dibandingkan dengan keuntungan 482 juta dollar AS atau 46 sen, setahun sebelumnya.
Kerugian terakhir dikarenakan hapus buku sebesar 2 miliar dollar AS terkait dengan properti di minyak dan gas yang diakuisinya dua tahun lalu, serta komponen lainnya. Pendapatannya pun anjlok 23 persen menjadi 4,25 miliar dollar AS.
Hostile take over adalah suatu tindakan akuisisi yang dilakukan secara paksa yang biasanya dilakukan dengan cara membuka penawaran atas saham perusahaan yang ingin dikuasai di pasar modal dengan harga di atas harga pasar. Pengambilalihan secara paksa biasanya diikuti oleh pemecatan karyawan dan manajer untuk diganti orang baru untuk melakukan efisiensi pada operasional perusahaan.
“Pakai pasar untuk ambil pengendalian (hostile take over),” kata Yanuar. “Dan kalau Presiden atas nama negara bisa cerdik memanfaatkan bahasa pasar, maka kita akan dapat keseimbangan baru.”
Hingga akhir November, saat tulisan tersebut diunduh, nilai kapitalisasi saham Freeport McMoran di Bursa Saham New York terus menciut tinggal 9,4 miliar dollar AS.
“Jadi menurut saya agak lucu melihat kasus ‘Papa Minta Saham’ ini, atau upaya valuasi 20 persen saham Freeport yang bernilai Rp27 triliun (atau 1,97 miliar dollar AS dengan kurs Rp13.700 per dollar AS). Jadi kalau saya lebih baik beli saja saham holding Freeport di Bursa New York, maka kita sudah dapat 21 persen saham holding Freeport,” kata dia.
Langkah serupa pernah dijalankan pemerintah Malaysia pada saat mengambil alih perusahaan pengolah sawit terbesar milik kolonial Inggris, Sime Darby pada tahun 80-an. Saat ini secara diam-diam dan terencana pemerintah Malaysia di bawah komando Perdana Menteri Mahathir Muhammad membeli saham Sime Darby di London Stack Exchange. Pada 1983, kepemilikan Malaysia di perusahaan itu mencapai 54 persen yang menjadikannya pemegang saham terbesar. Margaret Tatcher, Perdana Menteri Inggris saat ini sempat terkaget-kaget namun tidak bisa berbuat apa-apa dan akhirnya menyebut pengambilalihan tersebut dengan Back Door Nationalisation.
Sime Darby adalah konglomerasi multinasional Malaysia berbasis utama yang terlibat dalam sektor 5 inti: perkebunan, properti, industri, motor dan energi & utilitas. Sime Darby saat ini tercatat di papan utama Bursa Malaysia Securities Berhad.
Awalnya pada akhir 1970-an hanya di bawah setengah ekuitas Sime Darby Holdings diakuisisi oleh investor Malaysia - terutama melalui Tradewinds (Malaysia) Sendirian Berhad. Pada bulan Desember 1979 dengan penggabungan dua entitas Malaysia baru, Sime Darby Berhad (SDB) dan Konsolidasi Perkebunan Berhad (CPB), Sime Darby memindahkan kantor pusatnya ke Kuala Lumpur dan menjadi perhatian terdaftar dan dikelola Malaysia.
Dan pada tahun 1981, kelompok ini menjadi perusahaan yang sepenuhnya milik Malaysia setelah strategi nasionalisasi pintu belakang berhasil.
Sebelumnya muncul skenario pengambilalihan saham Freeport dengan mendorong badan usaha milik negara untuk membeli saham yang dilepas oleh Freeport, sebagaimana perjanjian kontrak yang terakhir.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 77 tahun 2014 ditegaskan bahwa Freeport harus melepas sahamnya sebesar 30 persen karena perusahaan ini memiliki kegiatan pertambangan yang dikategorikan ke dalam tambang bawah tanah (underground mining). Saat ini pemerintah Indonesia sudah memiliki saham sebesar 9,36 persen, itu artinya manajemen Freeport masih diharuskan melepas sahamnya sebesar 20,64 persen lagi. Namun pada tahapan kali ini, manajemen akan lebih dulu diwajibkan melepas sahamnya sebesar 10,64 persen, disusul 10 persen berikutnya pada 5 tahun mendatang yaitu 2019.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar