Ekonomi global tahun depan diperkirakan belum akan lebih
baik dari tahun ini. Meski demikian pertumbuhan ekonomi nasional diprediksi
akan lebih tinggi dari tahun ini karena faktor dampak kebijakan deregulasi.
Setiap pergantian tahun biasanya selalu ada harapan yang
lebih baik dibandingkan tahun yang akan ditinggalkan. Demikian juga pada
perekonomian Indonesia. Setelah melewati terowongan yang cukup gelap tahun ini,
ekonomi Indonesia tampaknya akan menemukan ujungnya mulai tahun depan.
Ekspektasi tersebut tercermin dari target pertumbuhan tahun
depan yang ditetapkan pemerintah sebesar 5,3 persen, lebih tinggi dari tahun
ini yang akan mencapai maksimal 4,7 persen. pemerintah juga optimistis inflasi
akan bisa terjaga di level 4,7 persen dan nilai tukar Rp13.900 per dollar AS.
Akan tetapi ekspektasi pertumbuhan yang lebih tinggi tahun
2016 akan mendapat tantangan berat karena lingkungan ekonomi global belum akan
mendukung. Menurut laporan Bank Dunia, pertumbuhan ekonomi global akan kembali
mengecewakan. Pertumbuhan ekonomi dunia menurut lembaga kreditor tersebut diprediksi
akan berkisar di level 3,3 persen, lebih pesimistis ketimbang proyeksi IMF
sebesar 3,6 persen.
Perkiraan lembaga-lembaga dunia itu dilandaskan pada
beberapa hal, terutama karena sektor komoditas belum akan beranjak dari
penurunan harga yang sudah terjadi sejak 2012. Harga komoditas seperti batu
bara, CPO, nikel, dan karet masih berada di bawah harga peak-nya pada tahun 2008 atau 2009. Mungkin hanya komoditas minyak
bumi jenis brent yang harganya akan sedikit meningkat.
Selain harga komoditas yang akan masih rendah, perekonomian
global juga akan terganjal oleh masih rendahnya pertumbuhan ekonomi China.
Berdasarkan proyeksi dari Bank Dunia pertumbuhan Negeri Tirai Bambu itu akan
mencapai 7 persen, lebih rendah dari 2015 yang akan mencapai 7,1 persen.
Sementara menurut IMF, pertumbuhannya akan mencapai 6,3 persen, lebih rendah
dari 2015 yaitu sebesar 6,3 persen.
“Ekonomi global ditahun 2015 masih belum pulih sepenuhnya, bahkan
IMF telah dua kali merevisi pertumbuhan ekonomi global menjadi lebih rendah. Untuk
tahun 2016, tampaknya masih juga belum ada perbaikan yang signifikan, kecuali di
India,” kata Direktur Indef Enny Sri Hartati.
Menurut dia, tantangan yang akan dihadapi perekonomian
Indonesia tahun depan terkait kondisi eksternal, sejatinya tidak jauh berbeda
dengan tahun ini. Masalah harga komoditas dan kondisi ekonomi China memang
menjadi masalah bawaan, ditambah lagi dengan ketidakpastian kebijakan kenaikan
suku bunga The Federal Reserve.
Akan tetapi pada 17 November lalu, The Fed akhirnya
menaikkan suku bunganya sebesar 0,25 persen yang merupakan kenaikan pertama
sejak hampir satu dekade. Hal itu membenarkan pernyataan resmi Janet Yellen,
Gubernur The Fed yang pada saat rapat dengan parlemen AS, memberikan sedikit
petunjuk bahwa kemungkinan suku bunga akan dinaikkan menjelang akhir 2017.
Langkah The Fed ini tentu akan membuat perkembangan baru di
tahun depan, meskipun jika dilihat respons pasar di Indonesia tidak terlalu
berlebihan karena kemungkinan sudah mengantisipasinya sejak setahun ini.
Sementara itu, Pengamat Ekonomi dari Universitas Indonesia
Rizal E. Halim mengatakan selain ketiga masalah di atas, yang akan menjadi
tantangan perekonomian global dan juga akan berpengaruh ke Indonesia adalah
masih tertekannya ekonomi Eropa. "(selain) harga minyak dunia, adanya
volatilitas harga komoditas, perlambatan ekonomi Tiongkok dan (juga) masih
tertekannya ekonomi zona Eropa," kata Rizal.
Berdasarkan pengamatannya, pertumbuhan ekonomi dunia
melambat sejak 2010 dengan hanya tumbuh 5,1 persen, kemudian anjlok di tahun
2012 ke level 3,8 persen, turun lagi di tahun 2012 menjadi 3,1 persen, hingga
setahun setelahnya menjadi 3 persen. Perekonomian dunia mulai beranjak naik ke
3,4 persen pada 2014 akibat pemulihan negara maju khususnya Amerika Serikat.
Tahun ini, pengajar yang juga Direktur Eksekutif Lingkar
Studi Efokus itu mengatakan pada 2015, pertumbuhan ekonomi dunia diperkirakan
akan kembali melambat di level 3,0 persen sampai 3,1 persen. Tahun ini ekonomi
dunia juga dihadapkan pada risiko geopolitik seperti krisis Timur Tengah,
konflik Laut China Selatan, ketegangan di sejumlah perbatasan negara-negara
termasuk kasus penembakan pesawat Rusia oleh tentara Turki di perbatasan
Turki-Syria.
“Perekonomian global di tahun 2016 akan banyak dipengaruhi
oleh rencana kenaikan The Fed rate, perkembangan geopolitik di sejumlah
kawasan, volatilitas harga minyak mentah dunia, dan harapan pemulihan ekonomi
Tiongkok dan Eropa,” kata Rizal.
Hal itu mempengaruhi ekonomi Indonesia yang diprediksi akan
relatif stagnan dengan pertumbuhan ekonomi nasional dikisaran 4,6 persen sampai
4,8 persen. “Perlambatan ekonomi nasional sepanjang 2015 merupakan respon atas
dinamika global, tekanan permintaan barang dan jasa dunia, tekanan nilai tukar,
dan terus melemahnya daya beli masyarakat," katanya.
Ekspor dan Impor
Tahun ini pertumbuhan ekonomi nasional diprediksi tidak akan
melampaui level 4,7 persen yang merupakan laju terendah sejak 2009. Tidak hanya
itu, nilai tukar terhadap dollar AS juga sempat menyentuh level terendahnya
sejak krisis tahun 1997. Kondisi itu menimbulkan kekhawatiran aliran modal
asing akan keluar dengan deras sehingga membawa Indonesia kembali kepada krisis
ekonomi.
Kekhawatiran itu tidaklah berlebihan ketika melihat angka
perdagangan internasional sepanjang tahun ini. Pertumbuhan ekspor Indonesia terus
berfluktuatif dan tergantung kondisi ekonomi global. Ketika perekonomian global
melemah maka ekspor pun mengikuti yang akhirnya berimbas kepada pertumbuhan
ekonomi nasional.
Dalam lima tahun terakhir ekspor Indonesia terus turun
kecuali untuk tahun 2010 dan 2011. “Pertumbuhan
ekspor yang tinggi pada 2010 dan 2011 karena diuntungkan oleh tingginya
harga komoditas. Setelah harga
komoditas mulai anjlok, maka berdampak pada ekspor Indonesia. Penurunan ekspor
pada 2015 bisa jadi yang terparah sejak 2009,” kata Enny dari Indef.
Penurunan nilai
ekspor sangat terkait dengan melemahnya pasar di beberapa negara tujuan utama.
Pada Januari hingga Oktober 2005, ekspor lima negara tujuan utama mengalami
penurunan. Ekspor ke China menurun 20,1 persen, ke Singapura menurun 12,6
persen, Jepang turun 9,5 persen, India turun 4,1 persen dan Amerika Serikat
turun 2,9 persen.
Tahun depan
kondisi eksternal diperkirakan tidak akan banyak berubah. Oleh karena itu
pemerintah diminta untuk fokus membereskan masalah yang menghambat ekspor di
dalam negeri.
“Pemerintah perlu mengoptimalkan paket kebijakan yang
berkaitan dengan upaya mendorong ekspor dan penggunaan bahan baku domestik untuk
dapat menekan defisit transaksi berjalan di bawah2 persen dari PDB,” jelas
Enny.
Sementara itu ekonom DBS Group Research, Gundy Cahyadi
mengatakan, pertumbuhan ekonomi 2016 bisa lebih tinggi jika pemerintah bisa
merealisasikan penyerapan anggaran 90 - 95%. Termasuk 80 persen untuk anggaran
belanja modal. Bila ini terjadi maka dampak tidak langsung bagi sektor swasta
akan lebih besar dari perkiraan.
DBS, dalam laporan tertulisnya, memperkirakan pertumbuhan
Indonesia tahun depan akan membaik dan bisa mencapai 5,2 persen. Hal itu terjadi meski masih ada perlambatan ekonomi
Tiongkok dan rencana kenaikan suku bunga Amerika lebih lanjut setelah Desember
lalu naik 0,25 persen, tetap akan membawa ketidakpastian terhadap ekonomi
global ke depan.
Proyeksi Harga Komoditas
Sumber OECD
Perkembangan Ekspor Indonesia
Tahun
|
Pertumbuhan
|
||||
Migas
|
Non Migas
|
Total
|
|||
1991
|
-1.59
|
24.95
|
13.50
|
||
1995
|
7.95
|
15.13
|
13.39
|
||
2000
|
46.71
|
22.85
|
27.66
|
||
2006
|
10.28
|
19.81
|
17.67
|
||
2007
|
4.14
|
15.61
|
13.20
|
||
2008
|
31.86
|
17.26
|
20.09
|
||
2009
|
-34.70
|
-9.64
|
-14.97
|
||
2010
|
47.43
|
33.08
|
35.42
|
||
2011
|
47.92
|
24.88
|
28.98
|
||
2012
|
-10.85
|
-5.54
|
-6.62
|
||
2013
|
-11.75
|
-2.04
|
-3.93
|
||
2014
|
-7.0
|
-2.6
|
-3.43
|
||
2015*
|
-39.08
|
-8.77
|
-14.07
|
||
Sumber BPS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar