Selasa, 19 Januari 2016

Optimisme Di Tengah Ketidakpastian

Ekonomi global tahun depan diperkirakan belum akan lebih baik dari tahun ini. Meski demikian pertumbuhan ekonomi nasional diprediksi akan lebih tinggi dari tahun ini karena faktor dampak kebijakan deregulasi.

Setiap pergantian tahun biasanya selalu ada harapan yang lebih baik dibandingkan tahun yang akan ditinggalkan. Demikian juga pada perekonomian Indonesia. Setelah melewati terowongan yang cukup gelap tahun ini, ekonomi Indonesia tampaknya akan menemukan ujungnya mulai tahun depan.
Ekspektasi tersebut tercermin dari target pertumbuhan tahun depan yang ditetapkan pemerintah sebesar 5,3 persen, lebih tinggi dari tahun ini yang akan mencapai maksimal 4,7 persen. pemerintah juga optimistis inflasi akan bisa terjaga di level 4,7 persen dan nilai tukar Rp13.900 per dollar AS.
Akan tetapi ekspektasi pertumbuhan yang lebih tinggi tahun 2016 akan mendapat tantangan berat karena lingkungan ekonomi global belum akan mendukung. Menurut laporan Bank Dunia, pertumbuhan ekonomi global akan kembali mengecewakan. Pertumbuhan ekonomi dunia menurut lembaga kreditor tersebut diprediksi akan berkisar di level 3,3 persen, lebih pesimistis ketimbang proyeksi IMF sebesar 3,6 persen.
Perkiraan lembaga-lembaga dunia itu dilandaskan pada beberapa hal, terutama karena sektor komoditas belum akan beranjak dari penurunan harga yang sudah terjadi sejak 2012. Harga komoditas seperti batu bara, CPO, nikel, dan karet masih berada di bawah harga peak-nya pada tahun 2008 atau 2009. Mungkin hanya komoditas minyak bumi jenis brent yang harganya akan sedikit meningkat.
Selain harga komoditas yang akan masih rendah, perekonomian global juga akan terganjal oleh masih rendahnya pertumbuhan ekonomi China. Berdasarkan proyeksi dari Bank Dunia pertumbuhan Negeri Tirai Bambu itu akan mencapai 7 persen, lebih rendah dari 2015 yang akan mencapai 7,1 persen. Sementara menurut IMF, pertumbuhannya akan mencapai 6,3 persen, lebih rendah dari 2015 yaitu sebesar 6,3 persen.
“Ekonomi global ditahun 2015 masih belum pulih sepenuhnya, bahkan IMF telah dua kali merevisi pertumbuhan ekonomi global menjadi lebih rendah. Untuk tahun 2016, tampaknya masih juga belum ada perbaikan yang signifikan, kecuali di India,” kata Direktur Indef Enny Sri Hartati.
Menurut dia, tantangan yang akan dihadapi perekonomian Indonesia tahun depan terkait kondisi eksternal, sejatinya tidak jauh berbeda dengan tahun ini. Masalah harga komoditas dan kondisi ekonomi China memang menjadi masalah bawaan, ditambah lagi dengan ketidakpastian kebijakan kenaikan suku bunga The Federal Reserve.
Akan tetapi pada 17 November lalu, The Fed akhirnya menaikkan suku bunganya sebesar 0,25 persen yang merupakan kenaikan pertama sejak hampir satu dekade. Hal itu membenarkan pernyataan resmi Janet Yellen, Gubernur The Fed yang pada saat rapat dengan parlemen AS, memberikan sedikit petunjuk bahwa kemungkinan suku bunga akan dinaikkan menjelang akhir 2017.
Langkah The Fed ini tentu akan membuat perkembangan baru di tahun depan, meskipun jika dilihat respons pasar di Indonesia tidak terlalu berlebihan karena kemungkinan sudah mengantisipasinya sejak setahun ini.
Sementara itu, Pengamat Ekonomi dari Universitas Indonesia Rizal E. Halim mengatakan selain ketiga masalah di atas, yang akan menjadi tantangan perekonomian global dan juga akan berpengaruh ke Indonesia adalah masih tertekannya ekonomi Eropa. "(selain) harga minyak dunia, adanya volatilitas harga komoditas, perlambatan ekonomi Tiongkok dan (juga) masih tertekannya ekonomi zona Eropa," kata Rizal.
Berdasarkan pengamatannya, pertumbuhan ekonomi dunia melambat sejak 2010 dengan hanya tumbuh 5,1 persen, kemudian anjlok di tahun 2012 ke level 3,8 persen, turun lagi di tahun 2012 menjadi 3,1 persen, hingga setahun setelahnya menjadi 3 persen. Perekonomian dunia mulai beranjak naik ke 3,4 persen pada 2014 akibat pemulihan negara maju khususnya Amerika Serikat.
Tahun ini, pengajar yang juga Direktur Eksekutif Lingkar Studi Efokus itu mengatakan pada 2015, pertumbuhan ekonomi dunia diperkirakan akan kembali melambat di level 3,0 persen sampai 3,1 persen. Tahun ini ekonomi dunia juga dihadapkan pada risiko geopolitik seperti krisis Timur Tengah, konflik Laut China Selatan, ketegangan di sejumlah perbatasan negara-negara termasuk kasus penembakan pesawat Rusia oleh tentara Turki di perbatasan Turki-Syria.
“Perekonomian global di tahun 2016 akan banyak dipengaruhi oleh rencana kenaikan The Fed rate, perkembangan geopolitik di sejumlah kawasan, volatilitas harga minyak mentah dunia, dan harapan pemulihan ekonomi Tiongkok dan Eropa,” kata Rizal.
Hal itu mempengaruhi ekonomi Indonesia yang diprediksi akan relatif stagnan dengan pertumbuhan ekonomi nasional dikisaran 4,6 persen sampai 4,8 persen. “Perlambatan ekonomi nasional sepanjang 2015 merupakan respon atas dinamika global, tekanan permintaan barang dan jasa dunia, tekanan nilai tukar, dan terus melemahnya daya beli masyarakat," katanya.

Ekspor dan Impor

Tahun ini pertumbuhan ekonomi nasional diprediksi tidak akan melampaui level 4,7 persen yang merupakan laju terendah sejak 2009. Tidak hanya itu, nilai tukar terhadap dollar AS juga sempat menyentuh level terendahnya sejak krisis tahun 1997. Kondisi itu menimbulkan kekhawatiran aliran modal asing akan keluar dengan deras sehingga membawa Indonesia kembali kepada krisis ekonomi.
Kekhawatiran itu tidaklah berlebihan ketika melihat angka perdagangan internasional sepanjang tahun ini. Pertumbuhan ekspor Indonesia terus berfluktuatif dan tergantung kondisi ekonomi global. Ketika perekonomian global melemah maka ekspor pun mengikuti yang akhirnya berimbas kepada pertumbuhan ekonomi nasional.
Dalam lima tahun terakhir ekspor Indonesia terus turun kecuali untuk tahun 2010 dan 2011. “Pertumbuhan ekspor yang tinggi pada 2010 dan 2011 karena diuntungkan oleh tingginya harga komoditas. Setelah harga komoditas mulai anjlok, maka berdampak pada ekspor Indonesia. Penurunan ekspor pada 2015 bisa jadi yang terparah sejak 2009,” kata Enny dari Indef.
Penurunan nilai ekspor sangat terkait dengan melemahnya pasar di beberapa negara tujuan utama. Pada Januari hingga Oktober 2005, ekspor lima negara tujuan utama mengalami penurunan. Ekspor ke China menurun 20,1 persen, ke Singapura menurun 12,6 persen, Jepang turun 9,5 persen, India turun 4,1 persen dan Amerika Serikat turun 2,9 persen.
Tahun depan kondisi eksternal diperkirakan tidak akan banyak berubah. Oleh karena itu pemerintah diminta untuk fokus membereskan masalah yang menghambat ekspor di dalam negeri.
“Pemerintah perlu mengoptimalkan paket kebijakan yang berkaitan dengan upaya mendorong ekspor dan penggunaan bahan baku domestik untuk dapat menekan defisit transaksi berjalan di bawah2 persen dari PDB,” jelas Enny.
Sementara itu ekonom DBS Group Research, Gundy Cahyadi mengatakan, pertumbuhan ekonomi 2016 bisa lebih tinggi jika pemerintah bisa merealisasikan penyerapan anggaran 90 - 95%. Termasuk 80 persen untuk anggaran belanja modal. Bila ini terjadi maka dampak tidak langsung bagi sektor swasta akan lebih besar dari perkiraan.
DBS, dalam laporan tertulisnya, memperkirakan pertumbuhan Indonesia tahun depan akan membaik dan bisa mencapai  5,2 persen. Hal itu  terjadi meski masih ada perlambatan ekonomi Tiongkok dan rencana kenaikan suku bunga Amerika lebih lanjut setelah Desember lalu naik 0,25 persen, tetap akan membawa ketidakpastian terhadap ekonomi global ke depan.



Proyeksi Harga Komoditas
Sumber OECD


Perkembangan Ekspor Indonesia

Tahun
Pertumbuhan
Migas
Non Migas
Total
1991
-1.59
24.95
13.50
1995
7.95
15.13
13.39
2000
46.71
22.85
27.66
2006
10.28
19.81
17.67
2007
4.14
15.61
13.20
2008
31.86
17.26
20.09
2009
-34.70
-9.64
-14.97
2010
47.43
33.08
35.42
2011
47.92
24.88
28.98
2012
-10.85
-5.54
-6.62
2013
-11.75
-2.04
-3.93
2014
-7.0
-2.6
-3.43
2015*
-39.08
-8.77
-14.07

Sumber BPS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar