Selasa, 19 Januari 2016

Di Bawah Lindungan Pemerintah

Pemerintah sudah meluncurkan dua paket kebijakan –dan rencananya akan menyusul satu lagi bulan ini sebagai respons dari pelambatan yang mendera ekonomi Indonesia. Untuk mendukung deretan deregulasi itu, BUMN siap berperan karena pemerintah juga sudah menerbitkan beberapa diskresi.

Bisa jadi pemerintahan sekarang adalah pemerintahan yang tidak beruntung. Meskipun bermodalkan ekspektasi tinggi sejak terpilihnya Joko Widodo sebagai Presiden, namun belum genap setengah tahun berkuasa, pemerintahannya dihadapkan dengan tantangan ekonomi yang berat akibat kebijakan negara lain.
Akibat yang bisa dirasakan hingga saat ini adalah, ekonomi yang melemah yang ditandai dengan pertumbuhan yang melambat, pengangguran yang cenderung meningkat, daya beli yang melorot dan kinerja bisnis yang melempem. Sebagai pelaku ekonomi, badan usaha milik negara (BUMN) tentu juga merasakan imbas dari pelambatan ekonomi itu.
Akan tetapi, posisinya sebagai perusahaan yang dimiliki pemerintah, BUMN memiliki keuntungan tersendiri yaitu memiliki bantalan yang cukup aman dari sisi pendanaan dan peluang bisnis. Sebaliknya, karena posisinya juga, BUMN kerap menjadi alat bagi pemerintah untuk melempangkan tujuan pemerintah.
Maka dari itu ketika Presiden Jokowi mengumumkan paket kebijakan sejak yang pertama hingga yang kedua, tentu harapan pertama agar kebijakan itu berjalan tuntas ada di pundak BUMN. Pada 9 September pemerintah mengeluarkan paket kebijakan ekonomi jilid pertama yang menyasar tiga hal. Pertama, mendorong daya saing industri nasional melalui deregulasi, debirokratisasi, penegakan hukum, dan peningkatan kepastian usaha.
Kedua, mempercepat implementasi proyek strategis nasional dengan menghilangkan aneka hambatan, menyederhanakan izin, mempercepat pengadaan barang serta memperkuat peran kepala daerah untuk mendukung program strategis itu. Dan ketiga, meningkatkan investasi di sektor properti, misalnya dengan mengeluarkan kebijakan untuk pembangunan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah dan membuka peluang investasi di sektor ini sebesar-besarnya.
Sayangnya, kebijakan tersebut dinilai tak menyentuh pada persoalan jangka pendek, seperti ambruknya rupiah yang hingga akhir September bertengger di level 14.600 per dollar AS, terkurasnya cadangan devisa, dan harga saham yang berguguran dengan indeks harga saham gabungan hari kemarin di posisi 4.178.
Pada akhir September, paket jilid kedua diluncurkan dengan kebijakan yang relatif lebih menukik. Salah satunya adalah pemangkasan hingga separonya pajak bunga deposito bagi eksportir yang menyimpan devisa hasil ekspor dalam valuta asing selama sebulan di bank nasional. Pemotongan akan lebih tinggi lagi, tinggal 7,5 persen, jika ditanam tiga bulan, 2,5 persen untuk periode enam bulan, dan nol persen untuk jangka waktu sembilan bulan atau lebih.
Bahkan eksportir mendapat pemangkasan yang lebih besar lagi jika valasnya dikonversikan ke rupiah. Secara berturut dalam periode yang sama, pajak bunga depositonya menjadi 7,5 persen, 5 persen, dan nol persen untuk jangka waktu enam bulan atau lebih. Kebijakan ini diharapkan efektif pada dua minggu ke depan dan membuat rupiah menguat seiring suplai valas yang meningkat.
Kebijakan yang satu ini sudah barang tentu ditujukan untuk memperkuat nilai tukar rupiah.
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menyatakan sedang mempercepat penerbitan peraturan pemerintah yang terkait. Langkah ini juga sebagai upaya membantu Bank Indonesia menstabilkan nilai tukar rupiah. “Dengan koridor yang ada, kami dukung BI untuk jaga stabilitas nilai tukar maka kami beri fasilitas pengurangan pajak bunga deposito,” ujar dia.
Selain fokus pada suplai valas, pemerintah juga mempercepat izin investasi di daerah industri. Rencananya, investor dapat mengantongi izin hanya dalam tiga jam, sangat cepat dari sebelumnya yang perlu sembilan hari. Syaratnya, nilai investasi mesti di atas Rp100 miliar dan menyerap tenaga kerja minimal 1.000 pekerja rumah tangga.

Peluang dan Diskresi
Sejatinya, dari paket-paket kebijakan yang diluncurkan pemerintah, BUMN sebagai perusahaan milik negara tentu bisa memanfaatkan semua itu untuk menyelamatkan kinerjanya. Contoh paling kelihatan adalah ketika pemerintah ingin mendorong sektor infrastruktur dan banyak menggandeng investor dan pemerintah China, maka bank-bank milik negara pun kecipratan ‘rezeki’.
Tiga bank pelat merah yang bulan lalu meneken pinjaman senilai 3 miliar dollar AS atau sekitar Rp 43,4 triliun dari China Development Bank (CDB). Pinjaman itu akan digunakan perbankan untuk pendanaan dalam membiayai proyek-proyek infrastruktur. Di tengah terbatasnya dana kelolaan perbankan dan suntikan modal dari pemerintah, pinjaman dari China ini tentu bisa menjadi solusi pendanaan proyek-proyek infrastruktur dari bank, apalagi hingga sekarang belum ada bank yang khusus didirikan untuk membiayai infrastruktur.
Bahkan pinjaman dari China juga disiapkan untuk BUMN lainnya. Saat berlangsungnya Konferensi Asia Afrika pada April lalu, China juga berkomitmen memberikan utang senilai 50 miliar dollar AS atau mencapai Rp 646,9 triliun. Pinjaman ini berasal dari dua bank besar Cina, yakni CDB dan Industrial and Commercial Bank of China (ICBC). Selain kepada bank, pinjaman sekitar 10 miliar dollar AS dari pinjaman infrastruktur ini akan diberikan kepada PT Perusahaan Listrik Negara (Persero). PLN akan menggunakannya membangun transmisi dan beberapa pembangkit listrik.
Sementara sisanya, akan diberikan kepada sejumlah BUMN, di antaranya PT Aneka Tambang (Persero) Tbk. Untuk membangun smelter. Selain itu kepada BUMN konstruksi untuk pembangunan tol trans-Sumatera, terutama ruas Bakauheni–Terbanggi Besar.
Untuk mendukung peran BUMN, kementerian yang membawahinya juga memberikan diskresi. Tahun ini Menteri BUMN Rini Mariani Soemarno sudah pesimistis bahwa perusahaan-perusahaan negara akan memenuhi target laba yang ditetapkan pemerintah. "Tidak tercapai karena ada beberapa perusahaan yang memiliki pinjaman dalam dolar dan tidak ada lindung nilainya. Contohnya, PT Pertamina di mana harus menghadapi harga minyak dunia yang turun, lalu ada pinjaman dalam dolar sehingga otomatis pendapatannya turun," kata dia.
Pada tahun ini, target laba BUMN dicanangkan sekitar Rp165,405 triliun. Target tersebut menjadi dasar perhitungan dividen dalam APBNP 2015, yakni Rp36,957 triliun. Akan tetapi tampaknya target tersebut tidak akan terpenuhi karena kondisi ekonomi yang melemah. "Laba kemungkinan tidak tecapai dari target (Rp165 triliun) dan besaran yang kemungkinan akan dicapai Rp140 triliun," papar Sekretaris Kementerian BUMN Imam Apriyanto Putro.
Sementara dalam hal setoran dividen, tahun ini, akan melampaui target target. Dalam APBN-P, BUMN diminta menyetor dividen Rp36,957 triliun, dan kata Imam, angkanya di akhir tahun akan mencapai Rp37,323 triliun, dividen bank 8,8 triliun dan non bank 28,43 triliun.
Sementara itu, Tahun depan target setoran dividen dari BUMN akan diturunkan. Target yang semula dipatok Rp 34,164 triliun, diturunkan menjadi Rp31,164 triliun. Menteri BUMN Rini Mariani Soemarno menuturkan untuk menggenjot penerimaan dividen, pemerintah akan mematok dividen senilai Rp3 triliun dari BUMN yang sudah berstatus emiten, dan memiliki rasio utang terhadap ekuitas kecil. "Soal dividen, Rp3 triliun akan difokuskan dari BUMN yang Tbk seperti Telkom," kata Rini di Jakarta, Kamis.
Dia menambahkan, penurunan target dividen pada 2016 juga dilakukan karena pemerintah pesimistis target setoran itu dapat dipenuhi. Dari usulan dividen total Rp 31,164 triliun, Rp 6,944 triliun diantaranya berasal dari BUMN perbankan, dan sisanya Rp 24,219 triliun berasal dari BUMN non perbankan.
Pemerintah juga berencana menyuntikkan dana puluhan triliun kepada 23 BUMN untuk mendukung program pemerintah dalam bidang infrastruktur, kedaulatan energi, kedaulatan pangan, dan program Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan UMKM.
Sementara itu, menurut ekonom dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Latief Adam pemerintah harus menggairahkan kembali sektor riil dan meningkatkan daya beli masyarakat.
Untuk menggairahkan sektor riilkata dia, pemerintah harus mampu mendorong realisasi penyerapan anggaran. Hal ini bukan hanya bisa menciptakan multiplier effect, namun juga akan memberikan sinyal bagi swasta untuk bergerak sehingga bisa menjadi leading pembangunan infrastruktur. Selain itu, pemerintah harus mempertahanakan daya beli masyarakat, terutama daya beli atas produk-produk di luar pangan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar