Pemerintah sudah meluncurkan dua paket kebijakan –dan rencananya
akan menyusul satu lagi bulan ini sebagai respons dari pelambatan yang mendera
ekonomi Indonesia. Untuk mendukung deretan deregulasi itu, BUMN siap berperan
karena pemerintah juga sudah menerbitkan beberapa diskresi.
Bisa jadi pemerintahan sekarang adalah pemerintahan yang
tidak beruntung. Meskipun bermodalkan ekspektasi tinggi sejak terpilihnya Joko
Widodo sebagai Presiden, namun belum genap setengah tahun berkuasa,
pemerintahannya dihadapkan dengan tantangan ekonomi yang berat akibat kebijakan
negara lain.
Akibat yang bisa dirasakan hingga saat ini adalah, ekonomi
yang melemah yang ditandai dengan pertumbuhan yang melambat, pengangguran yang
cenderung meningkat, daya beli yang melorot dan kinerja bisnis yang melempem.
Sebagai pelaku ekonomi, badan usaha milik negara (BUMN) tentu juga merasakan
imbas dari pelambatan ekonomi itu.
Akan tetapi, posisinya sebagai perusahaan yang dimiliki
pemerintah, BUMN memiliki keuntungan tersendiri yaitu memiliki bantalan yang
cukup aman dari sisi pendanaan dan peluang bisnis. Sebaliknya, karena posisinya
juga, BUMN kerap menjadi alat bagi pemerintah untuk melempangkan tujuan
pemerintah.
Maka dari itu ketika Presiden Jokowi mengumumkan paket
kebijakan sejak yang pertama hingga yang kedua, tentu harapan pertama agar
kebijakan itu berjalan tuntas ada di pundak BUMN. Pada 9 September pemerintah
mengeluarkan paket kebijakan ekonomi jilid pertama yang menyasar tiga hal. Pertama, mendorong daya saing industri
nasional melalui deregulasi, debirokratisasi, penegakan hukum, dan peningkatan
kepastian usaha.
Kedua, mempercepat
implementasi proyek strategis nasional dengan menghilangkan aneka hambatan,
menyederhanakan izin, mempercepat pengadaan barang serta memperkuat peran
kepala daerah untuk mendukung program strategis itu. Dan ketiga, meningkatkan investasi di sektor properti, misalnya dengan
mengeluarkan kebijakan untuk pembangunan rumah bagi masyarakat berpenghasilan
rendah dan membuka peluang investasi di sektor ini sebesar-besarnya.
Sayangnya, kebijakan tersebut dinilai tak menyentuh pada
persoalan jangka pendek, seperti ambruknya rupiah yang hingga akhir September
bertengger di level 14.600 per dollar AS, terkurasnya cadangan devisa, dan
harga saham yang berguguran dengan indeks harga saham gabungan hari kemarin di
posisi 4.178.
Pada akhir September, paket jilid kedua diluncurkan dengan
kebijakan yang relatif lebih menukik. Salah satunya adalah pemangkasan hingga
separonya pajak bunga deposito bagi eksportir yang menyimpan devisa hasil
ekspor dalam valuta asing selama sebulan di bank nasional. Pemotongan akan
lebih tinggi lagi, tinggal 7,5 persen, jika ditanam tiga bulan, 2,5 persen
untuk periode enam bulan, dan nol persen untuk jangka waktu sembilan bulan atau
lebih.
Bahkan eksportir mendapat pemangkasan yang lebih besar lagi
jika valasnya dikonversikan ke rupiah. Secara berturut dalam periode yang sama,
pajak bunga depositonya menjadi 7,5 persen, 5 persen, dan nol persen untuk
jangka waktu enam bulan atau lebih. Kebijakan ini diharapkan efektif pada dua
minggu ke depan dan membuat rupiah menguat seiring suplai valas yang meningkat.
Kebijakan yang satu ini sudah barang tentu ditujukan untuk
memperkuat nilai tukar rupiah.
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menyatakan sedang
mempercepat penerbitan peraturan pemerintah yang terkait. Langkah ini juga
sebagai upaya membantu Bank Indonesia menstabilkan nilai tukar rupiah. “Dengan
koridor yang ada, kami dukung BI untuk jaga stabilitas nilai tukar maka kami
beri fasilitas pengurangan pajak bunga deposito,” ujar dia.
Selain fokus pada suplai valas, pemerintah juga mempercepat
izin investasi di daerah industri. Rencananya, investor dapat mengantongi izin
hanya dalam tiga jam, sangat cepat dari sebelumnya yang perlu sembilan hari.
Syaratnya, nilai investasi mesti di atas Rp100 miliar dan menyerap tenaga kerja
minimal 1.000 pekerja rumah tangga.
Peluang dan Diskresi
Sejatinya, dari paket-paket kebijakan yang diluncurkan
pemerintah, BUMN sebagai perusahaan milik negara tentu bisa memanfaatkan semua
itu untuk menyelamatkan kinerjanya. Contoh paling kelihatan adalah ketika
pemerintah ingin mendorong sektor infrastruktur dan banyak menggandeng investor
dan pemerintah China, maka bank-bank milik negara pun kecipratan ‘rezeki’.
Tiga bank pelat merah yang bulan lalu meneken pinjaman
senilai 3 miliar dollar AS atau sekitar Rp 43,4 triliun dari China Development
Bank (CDB). Pinjaman itu akan digunakan perbankan untuk pendanaan dalam membiayai
proyek-proyek infrastruktur. Di tengah terbatasnya dana kelolaan perbankan dan
suntikan modal dari pemerintah, pinjaman dari China ini tentu bisa menjadi
solusi pendanaan proyek-proyek infrastruktur dari bank, apalagi hingga sekarang
belum ada bank yang khusus didirikan untuk membiayai infrastruktur.
Bahkan pinjaman dari China juga disiapkan untuk BUMN
lainnya. Saat berlangsungnya Konferensi Asia Afrika pada April lalu, China juga
berkomitmen memberikan utang senilai 50 miliar dollar AS atau mencapai Rp 646,9
triliun. Pinjaman ini berasal dari dua bank besar Cina, yakni CDB dan
Industrial and Commercial Bank of China (ICBC). Selain kepada bank, pinjaman
sekitar 10 miliar dollar AS dari pinjaman infrastruktur ini akan diberikan
kepada PT Perusahaan Listrik Negara (Persero). PLN akan menggunakannya
membangun transmisi dan beberapa pembangkit listrik.
Sementara sisanya, akan diberikan kepada sejumlah BUMN, di
antaranya PT Aneka Tambang (Persero) Tbk. Untuk membangun smelter. Selain itu
kepada BUMN konstruksi untuk pembangunan tol trans-Sumatera, terutama ruas
Bakauheni–Terbanggi Besar.
Untuk mendukung peran BUMN, kementerian yang membawahinya
juga memberikan diskresi. Tahun ini Menteri BUMN Rini Mariani Soemarno sudah
pesimistis bahwa perusahaan-perusahaan negara akan memenuhi target laba yang
ditetapkan pemerintah. "Tidak tercapai karena ada beberapa perusahaan yang
memiliki pinjaman dalam dolar dan tidak ada lindung nilainya. Contohnya, PT
Pertamina di mana harus menghadapi harga minyak dunia yang turun, lalu ada
pinjaman dalam dolar sehingga otomatis pendapatannya turun," kata dia.
Pada tahun ini, target laba BUMN dicanangkan sekitar
Rp165,405 triliun. Target tersebut menjadi dasar perhitungan dividen dalam
APBNP 2015, yakni Rp36,957 triliun. Akan tetapi tampaknya target tersebut tidak
akan terpenuhi karena kondisi ekonomi yang melemah. "Laba kemungkinan
tidak tecapai dari target (Rp165 triliun) dan besaran yang kemungkinan akan
dicapai Rp140 triliun," papar Sekretaris Kementerian BUMN Imam Apriyanto
Putro.
Sementara dalam hal setoran dividen, tahun ini, akan
melampaui target target. Dalam APBN-P, BUMN diminta menyetor dividen Rp36,957
triliun, dan kata Imam, angkanya di akhir tahun akan mencapai Rp37,323 triliun,
dividen bank 8,8 triliun dan non bank 28,43 triliun.
Sementara itu, Tahun depan target setoran dividen dari BUMN
akan diturunkan. Target yang semula dipatok Rp 34,164 triliun, diturunkan
menjadi Rp31,164 triliun. Menteri BUMN Rini Mariani Soemarno menuturkan untuk
menggenjot penerimaan dividen, pemerintah akan mematok dividen senilai Rp3
triliun dari BUMN yang sudah berstatus emiten, dan memiliki rasio utang
terhadap ekuitas kecil. "Soal dividen, Rp3 triliun akan difokuskan dari
BUMN yang Tbk seperti Telkom," kata Rini di Jakarta, Kamis.
Dia menambahkan, penurunan target dividen pada 2016 juga
dilakukan karena pemerintah pesimistis target setoran itu dapat dipenuhi. Dari
usulan dividen total Rp 31,164 triliun, Rp 6,944 triliun diantaranya berasal
dari BUMN perbankan, dan sisanya Rp 24,219 triliun berasal dari BUMN non
perbankan.
Pemerintah juga berencana menyuntikkan dana puluhan triliun
kepada 23 BUMN untuk mendukung program pemerintah dalam bidang infrastruktur, kedaulatan
energi, kedaulatan pangan, dan program Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan UMKM.
Sementara itu, menurut ekonom dari Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI) Latief Adam pemerintah harus menggairahkan kembali sektor riil
dan meningkatkan daya beli masyarakat.
Untuk menggairahkan sektor riilkata dia, pemerintah harus
mampu mendorong realisasi penyerapan anggaran. Hal ini bukan hanya bisa
menciptakan multiplier effect, namun
juga akan memberikan sinyal bagi swasta untuk bergerak sehingga bisa menjadi
leading pembangunan infrastruktur. Selain itu, pemerintah harus mempertahanakan
daya beli masyarakat, terutama daya beli atas produk-produk di luar pangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar