Selasa, 19 Januari 2016

Babak Tambahan Ketidakpastian

Setelah The Fed membiarkan suku bunga acuannya tidak berubah maka tekanan kepada rupiah diprediksi belum akan usai. Sebaliknya ketidakpastian dan spekulasi akan berlanjut setidaknya sampai akhir tahun ini.

Keputusan bank sentral Amerika Serikat untuk kembali mempertahankan suku bunga acuannya membuat ketidakpastian yang telah mengiringi perekonomian dunia yang terus bergejolak, terus berlangsung. Itu artinya otoritas kembali harus berhadapan dengan spekulasi untuk waktu yang lebih lama lagi.
Pada akhir pekan ketiga bulan lalu, The Federal Reserve membiarkan tingkat suku bunga acuan di level nol yang sudah bertahan hampir 10 tahun. Keputusan itu diambil karena The Fed khawatir perlambatan yang terjadi di China belakangan ini akan memukul perekonomian Amerika Serikat jika suku bunga dinaikkan.
Perekonomian AS dua tahun belakangan telah menunjukkan tanda-tanda pemulihan yang memunculkan perkiraan bahwa The Fed akan mengakhir rezim suku bunga 0-0,25 persen yang sudah berlak sejak krisis subprime mortgage 2008 lalu.
Apalagi saat ini perekonomian global juga masih gamang setelah krisis Eropa tidak kunjung usai dan China mendevaluasi mata uangnya.
Dalam laporan AFP, yang dikutip kantor berita Antara, pada referensi yang jelas untuk gejolak baru-baru ini yang dipicu oleh pelemahan dalam perekonomian China, The Fed mencatat "sedang memantau perkembangan di luar negeri," sekalipun bank itu mengatakan bahwa risiko yang dihadapi ekonomi AS masih "hampir seimbang."
Sebelumnya, Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) menghabiskan waktu dua hari untuk membahas apakah akan menaikkan suku bunga acuan federal fund kali pertama dalam lebih dari sembilan tahun, melepaskan diri dari sikap kebijakan moneter yang sangat longgar sejak krisis keuangan 2008.
Gubernur The Fed, Janet Yellen, mengatakan bahwa keputusan bank sentral China terkiat devaluasi dan juga krisis pasar saham China menjadi pertimbangan serius mengapa penundaan kenaikan suku bunga dilakukan. Imbas (spillover) dari permasalahan di China tersebut akan terus mengancam perekonomian AS.
"Banyak fokus kami pada risiko-risiko seputar China. Tetapi tidak hanya China, negara-negara berkembang secara lebih umum dan bagaimana mereka mungkin berimbas pada Amerika Serikat," ujar Yellen dalam konferensi pers setelah pengumuman suku bunga.
"Kami melihat arus keluar modal yang signifikan dari negara-negara berkembang, tekanan pada nilai tukar mereka dan kekhawatiran tentang kinerja mereka ke depan. "Pertanyaannya adalah, apakah ada atau tidak kemungkinan risiko-risiko perlambatan yang lebih tiba-tiba daripada perkiraan banyak analis."
Kekhawatiran tersebutlah yang akhirnya mencegah penentu kebijakan Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) membuat keputusan yang lama diperkirakan yakni mulai menaikkan suku bunga acuan federal fund dari tingkat nol, di mana tingkat itu telah berjalan sejak krisis keuangan 2008.
Dalam konferensi pers itu, Yellen juga menekankan bahwa salah satu dari dua poros (pivot) penting untuk kebijakan –pasar tenaga kerja– telah  menguat, dan lainnya yaitu inflasi, masih terlalu rendah.
Pernyataan FOMC mengatakan bahwa pengeluaran rumah tangga dan investasi bisnis telah meningkat pada kecepatan moderat, dan pembangunan perumahan sedang meningkat, namun ekspor cenderung melemah.
Walau demikian, FOMC mengatakan bahwa ekonomi AS sedang bergerak mantap pada kecepatan moderat, dengan belanja rumah tangga dan investasi bisnis mengalami peningkatan, serta konstruksi perumahan tumbuh lebih cepat, tetapi ekspor masih "lemah".
Salah satu panduan penting untuk kebijakan tersebut, kekuatan pasar tenaga kerja, menguat sejak pertemuan Juli, kata FOMC, dengan berkurangnya pengenduran sejak awal tahun ini.
Namun inflasi, masukan utama lain dalam keputusan kebijakan, telah melemah, meskipun pihaknya menyalahkan itu sebagian kepada "pengaruh sementara dari penurunan harga energi dan harga impor."
FOMC mengatakan mereka memperkirakan ekonomi AS akan tumbuh sebesar 2,1 persen pada tahun ini, tetapi menurunkan proyeksi 2016 menjadi 2,3 persen, dari perkiraan 2,5 persen yang dirilis Juni lalu.
Komite juga sedikit menurunkan proyeksi inflasi untuk dua tahun mendatang, memperkirakan 1,7 persen tahun depan dan 1,9 persen untuk 2017, masih di bawah target kebijakan Fed sebesar 2,0 persen.
Dalam pertemuan FOMC tersebut, dari 17 pejabat The Fed, 13 mengindikasikan mereka mengharapkan kenaikan suku bunga pada akhir tahun ini, sebagian besar dari mereka menunjuk ke kisaran 0,25 hingga 0,50 persen. Keputusan kali ini untuk mempertahankan suku bunga pada tingkat nol itu tidak mengherankan bagi sebagian besar analis.

Memperpanjang Spekulasi
Akan tetapi, bagi Indonesia, penundaan kenaikan suku bunga The Fed itu bagai sakit yang pengobatannya selalu ditunda. Menteri Koordinator Perekonomian, Darmin Nasution, menilai penundaan ini sama saja dengan menunda masalah. Karena masih timbul spekulasi di pasar keuangan dunia, The Fed akan menaikkan bunga acuan pada Desember nanti.
Gejolak akan muncul lagi menjelang rapat Federal Open Market Committee (FOMC) yang akan berlangsung akhir tahun ini.
"Dia (The Fed) tidak naikkan, tidak ada gejolak, tetapi spekulasi akan datang lagi nanti, menjelang ada lagi rapat dari FOMC," jelas Darmin. "Positifnya ya, tidak ada gejolak. Nah, aneh kalau ada gejolak. Tetapi ini menunda persoalan. Seandainya naik, ada gejolak tapi ada solusi," imbuh Darmin.
Pasca keputusan The Fed itu, nilai tukar bergeming dari pelemahannya yang sudah berlangsung enam bulan belakangan. Pada akhir pekan ketiga bulan lalu, nilai tukar rupiah nyaris menyentuh Rp14.500 per dollar AS, sementara pada kurs tengah Bank Indonesia rupiah berada di level Rp14.470.
Darmin, meski demikian, mengatakan bahwa keputusan mengubah atau mempertahankan suku bunga merupakan hal yang dilematis bagi perekonomian AS. Apapun keputusan yang dihasilkan FOMC tetap akan memberikan dampak negatif dan positif. Tetapi, sambung dia, jika saja diputuskan kenaikan suku bunga niscaya memang akan timbul gejolak namun akan diserap oleh pasar dalam waktu yang tidak terlalu lama. Karena pasar keuangan sudah menyiapkan diri terhadap kenaikan suku bunga yang diperkirakan akan terjadi bulan September lalu.
"Sebenarnya, The Fed itu dia mau naikkan bunga atau tidak naikkan bunga itu dilematis saja buat dia, termasuk Indonesia. Dia naikkan, akan ada gejolak sebentar, mungkin gejolak agak besar, habis itu agak reda, dan sesuaikan diri," ujar Darmin.
Sebaliknya, keputusan mempertahankan suku bunga malah akan memperpanjang ketidakpastian buat perekonomian dunia dan Indonesia sehingga akan memperpanjang praktik spekulasi yang sudah merontokkan rupiah setahun belakangan ini.
Menteri Keuangan Bambang PS Brodjonegoro juga sepakat dengan penilaian atasannya itu. dia mengatakan bahwa keputusan penundaan kenaikan suku bunga The Fed akan memperpanjang ketidakpastian bagi investor. Sehinga memungkinkan gejolak masih akan terus berlanjut sampai waktu yang tidak ditentukan.
"Terlihat memang data AS belum menunjang atau belum mendukung keputusan mereka untuk menaikkan tingkat bunga, salah satunya laju inflasi yang dirasa bersifat rentan di AS. Di samping pertumbuhan yang belum juga menjanjikan," ujar Bambang.
"Dengan itu tetunya kita harus tetap menjaga kondisi perekonomian kita, karena dengan belum adanya kepastian tingkat bunga tersebut yang terjadi adalah akan terus terjadi spekulasi antara mata uang dolar dengan semua mata uang negara dunia khusus mata uang negara emerging market, termasuk indonesia," kata Bambang.              
Pemerintah bersama Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tetap akan berupaya untuk menjaga stabilitas sektor keuangan dan perekonomian secara keseluruhan. Ini sudah dimulai dengan berbagai kebijakan yang diluncurkan beberapa waktu lalu.
"Karena itu pemerintah dan BI serta OJK akan selalu menjaga stabilitas ekonomi stabilitas sektor keuangan agar bisa melewati masa-masa yang tidak mudah ini, terutama masa-masa yang penuh ketidapkastian, sambil melihat arah nantinya AS menentukan kebijakan tingkat bunga," kata Bambang.
Sementara itu, pengamat mengatakan bahwa nilai tukar rupiah diprediksi masih meneruskan tren pelemahan karena belum ada sentimen positif baik dari global maupun lokal, setelah BI dan The Fed membiarkan suku bunganya masing-masing tidak berubah.
“Belum adanya sentimen positif dari dalam negeri yang dapat dijadikan pegangan, membuat para pelaku pasar cenderung melakukan aksi jual," kata Kepala Riset dari PT NH Korindo Securities Indonesia Reza Priyambada.
Reza melanjutkan bahwa pelemahan rupiah masih disebabkan oleh tekanan kondisi makro ekonomi. Keputusan BI yang menahan suku bunga acuan juga dirasa tidak bisa memberikan sentimen positif untuk pergerakan Rupiah.
"Karena pasar sudah memprediksi suku bunga BI tetap. Kita perkirakan BI rate tidak akan berubah sampai akhir tahun. Karena BI sudah berkurang amunisinya. Kalau BI mau intervensi cadangan devisa kita bisa berkurang," kata dia.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar