Setelah The Fed membiarkan suku bunga acuannya tidak berubah
maka tekanan kepada rupiah diprediksi belum akan usai. Sebaliknya
ketidakpastian dan spekulasi akan berlanjut setidaknya sampai akhir tahun ini.
Keputusan bank sentral Amerika Serikat untuk kembali
mempertahankan suku bunga acuannya membuat ketidakpastian yang telah mengiringi
perekonomian dunia yang terus bergejolak, terus berlangsung. Itu artinya
otoritas kembali harus berhadapan dengan spekulasi untuk waktu yang lebih lama
lagi.
Pada akhir pekan ketiga bulan lalu, The Federal Reserve
membiarkan tingkat suku bunga acuan di level nol yang sudah bertahan hampir 10
tahun. Keputusan itu diambil karena The Fed khawatir perlambatan yang terjadi
di China belakangan ini akan memukul perekonomian Amerika Serikat jika suku
bunga dinaikkan.
Perekonomian AS dua tahun belakangan telah menunjukkan
tanda-tanda pemulihan yang memunculkan perkiraan bahwa The Fed akan mengakhir
rezim suku bunga 0-0,25 persen yang sudah berlak sejak krisis subprime mortgage 2008 lalu.
Apalagi saat ini perekonomian global juga masih gamang
setelah krisis Eropa tidak kunjung usai dan China mendevaluasi mata uangnya.
Dalam laporan AFP, yang dikutip kantor berita Antara, pada referensi
yang jelas untuk gejolak baru-baru ini yang dipicu oleh pelemahan dalam
perekonomian China, The Fed mencatat "sedang memantau perkembangan di luar
negeri," sekalipun bank itu mengatakan bahwa risiko yang dihadapi ekonomi
AS masih "hampir seimbang."
Sebelumnya, Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) menghabiskan
waktu dua hari untuk membahas apakah akan menaikkan suku bunga acuan federal
fund kali pertama dalam lebih dari sembilan tahun, melepaskan diri dari sikap
kebijakan moneter yang sangat longgar sejak krisis keuangan 2008.
Gubernur The Fed, Janet Yellen, mengatakan bahwa keputusan
bank sentral China terkiat devaluasi dan juga krisis pasar saham China menjadi
pertimbangan serius mengapa penundaan kenaikan suku bunga dilakukan. Imbas (spillover) dari permasalahan di China
tersebut akan terus mengancam perekonomian AS.
"Banyak fokus kami pada risiko-risiko seputar China.
Tetapi tidak hanya China, negara-negara berkembang secara lebih umum dan
bagaimana mereka mungkin berimbas pada Amerika Serikat," ujar Yellen dalam
konferensi pers setelah pengumuman suku bunga.
"Kami melihat arus keluar modal yang signifikan dari
negara-negara berkembang, tekanan pada nilai tukar mereka dan kekhawatiran
tentang kinerja mereka ke depan. "Pertanyaannya adalah, apakah ada atau
tidak kemungkinan risiko-risiko perlambatan yang lebih tiba-tiba daripada
perkiraan banyak analis."
Kekhawatiran tersebutlah yang akhirnya mencegah penentu
kebijakan Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) membuat keputusan yang lama
diperkirakan yakni mulai menaikkan suku bunga acuan federal fund dari tingkat
nol, di mana tingkat itu telah berjalan sejak krisis keuangan 2008.
Dalam konferensi pers itu, Yellen juga menekankan bahwa
salah satu dari dua poros (pivot)
penting untuk kebijakan –pasar tenaga kerja– telah menguat, dan lainnya yaitu inflasi, masih
terlalu rendah.
Pernyataan FOMC mengatakan bahwa pengeluaran rumah tangga
dan investasi bisnis telah meningkat pada kecepatan moderat, dan pembangunan
perumahan sedang meningkat, namun ekspor cenderung melemah.
Walau demikian, FOMC mengatakan bahwa ekonomi AS sedang
bergerak mantap pada kecepatan moderat, dengan belanja rumah tangga dan
investasi bisnis mengalami peningkatan, serta konstruksi perumahan tumbuh lebih
cepat, tetapi ekspor masih "lemah".
Salah satu panduan penting untuk kebijakan tersebut,
kekuatan pasar tenaga kerja, menguat sejak pertemuan Juli, kata FOMC, dengan
berkurangnya pengenduran sejak awal tahun ini.
Namun inflasi, masukan utama lain dalam keputusan kebijakan,
telah melemah, meskipun pihaknya menyalahkan itu sebagian kepada "pengaruh
sementara dari penurunan harga energi dan harga impor."
FOMC mengatakan mereka memperkirakan ekonomi AS akan tumbuh
sebesar 2,1 persen pada tahun ini, tetapi menurunkan proyeksi 2016 menjadi 2,3
persen, dari perkiraan 2,5 persen yang dirilis Juni lalu.
Komite juga sedikit menurunkan proyeksi inflasi untuk dua
tahun mendatang, memperkirakan 1,7 persen tahun depan dan 1,9 persen untuk
2017, masih di bawah target kebijakan Fed sebesar 2,0 persen.
Dalam pertemuan FOMC tersebut, dari 17 pejabat The Fed, 13
mengindikasikan mereka mengharapkan kenaikan suku bunga pada akhir tahun ini,
sebagian besar dari mereka menunjuk ke kisaran 0,25 hingga 0,50 persen. Keputusan
kali ini untuk mempertahankan suku bunga pada tingkat nol itu tidak
mengherankan bagi sebagian besar analis.
Memperpanjang
Spekulasi
Akan tetapi, bagi Indonesia, penundaan kenaikan suku bunga
The Fed itu bagai sakit yang pengobatannya selalu ditunda. Menteri Koordinator Perekonomian,
Darmin Nasution, menilai penundaan ini sama saja dengan menunda masalah. Karena
masih timbul spekulasi di pasar keuangan dunia, The Fed akan menaikkan bunga
acuan pada Desember nanti.
Gejolak akan muncul lagi menjelang rapat Federal Open Market
Committee (FOMC) yang akan berlangsung akhir tahun ini.
"Dia (The Fed) tidak naikkan, tidak ada gejolak, tetapi
spekulasi akan datang lagi nanti, menjelang ada lagi rapat dari FOMC,"
jelas Darmin. "Positifnya ya, tidak ada gejolak. Nah, aneh kalau ada gejolak. Tetapi ini menunda persoalan.
Seandainya naik, ada gejolak tapi ada solusi," imbuh Darmin.
Pasca keputusan The Fed itu, nilai tukar bergeming dari
pelemahannya yang sudah berlangsung enam bulan belakangan. Pada akhir pekan
ketiga bulan lalu, nilai tukar rupiah nyaris menyentuh Rp14.500 per dollar AS,
sementara pada kurs tengah Bank Indonesia rupiah berada di level Rp14.470.
Darmin, meski demikian, mengatakan bahwa keputusan mengubah
atau mempertahankan suku bunga merupakan hal yang dilematis bagi perekonomian
AS. Apapun keputusan yang dihasilkan FOMC tetap akan memberikan dampak negatif
dan positif. Tetapi, sambung dia, jika saja diputuskan kenaikan suku bunga
niscaya memang akan timbul gejolak namun akan diserap oleh pasar dalam waktu
yang tidak terlalu lama. Karena pasar keuangan sudah menyiapkan diri terhadap
kenaikan suku bunga yang diperkirakan akan terjadi bulan September lalu.
"Sebenarnya, The Fed itu dia mau naikkan bunga atau
tidak naikkan bunga itu dilematis saja buat dia, termasuk Indonesia. Dia
naikkan, akan ada gejolak sebentar, mungkin gejolak agak besar, habis itu agak
reda, dan sesuaikan diri," ujar Darmin.
Sebaliknya, keputusan mempertahankan suku bunga malah akan
memperpanjang ketidakpastian buat perekonomian dunia dan Indonesia sehingga
akan memperpanjang praktik spekulasi yang sudah merontokkan rupiah setahun
belakangan ini.
Menteri Keuangan Bambang PS Brodjonegoro juga sepakat dengan
penilaian atasannya itu. dia mengatakan bahwa keputusan penundaan kenaikan suku
bunga The Fed akan memperpanjang ketidakpastian bagi investor. Sehinga
memungkinkan gejolak masih akan terus berlanjut sampai waktu yang tidak ditentukan.
"Terlihat memang data AS belum menunjang atau belum
mendukung keputusan mereka untuk menaikkan tingkat bunga, salah satunya laju
inflasi yang dirasa bersifat rentan di AS. Di samping pertumbuhan yang belum
juga menjanjikan," ujar Bambang.
"Dengan itu tetunya kita harus tetap menjaga kondisi
perekonomian kita, karena dengan belum adanya kepastian tingkat bunga tersebut
yang terjadi adalah akan terus terjadi spekulasi antara mata uang dolar dengan
semua mata uang negara dunia khusus mata uang negara emerging market, termasuk
indonesia," kata Bambang.
Pemerintah bersama Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) tetap akan berupaya untuk menjaga stabilitas sektor keuangan dan
perekonomian secara keseluruhan. Ini sudah dimulai dengan berbagai kebijakan
yang diluncurkan beberapa waktu lalu.
"Karena itu pemerintah dan BI serta OJK akan selalu
menjaga stabilitas ekonomi stabilitas sektor keuangan agar bisa melewati
masa-masa yang tidak mudah ini, terutama masa-masa yang penuh ketidapkastian, sambil
melihat arah nantinya AS menentukan kebijakan tingkat bunga," kata Bambang.
Sementara itu, pengamat
mengatakan bahwa nilai tukar rupiah diprediksi masih meneruskan tren pelemahan
karena belum ada sentimen positif baik dari global maupun lokal, setelah BI dan
The Fed membiarkan suku bunganya masing-masing tidak berubah.
“Belum adanya sentimen positif
dari dalam negeri yang dapat dijadikan pegangan, membuat para pelaku pasar
cenderung melakukan aksi jual," kata Kepala Riset dari PT NH Korindo
Securities Indonesia Reza Priyambada.
Reza melanjutkan bahwa pelemahan rupiah masih disebabkan
oleh tekanan kondisi makro ekonomi. Keputusan BI yang menahan suku bunga acuan
juga dirasa tidak bisa memberikan sentimen positif untuk pergerakan Rupiah.
"Karena pasar sudah memprediksi suku bunga BI tetap.
Kita perkirakan BI rate tidak akan berubah sampai akhir tahun. Karena BI sudah
berkurang amunisinya. Kalau BI mau intervensi cadangan devisa kita bisa
berkurang," kata dia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar