Selasa, 19 Januari 2016

Sederet Siasat di Masa yang Berat

BPD melawan pelemahan ekonomi dengan tetap mempertahankan kinerja kredit dan mengamankan pendanaan. Selain itu, BPD juga akan mendapatkan sedikit pertolongan dari otoritas.

Krisis memang kerapkali memaksa sebuah perusahaan untuk lebih kreatif, sehingga pasca semua terlewati ia lebih tangguh dari sebelumnya. Kata-kata itu tampaknya sedang menjalani proses pembuktian di saat perekonomian Indonesia melambat dan bank-bank daerah terkena imbasnya.
Sebagai bank yang masuk dalam golongan medioker dalam urusan kekuatan modal, posisi Bank Pembangunan Daerah memang lebih tidak beruntung dalam menghadapi pelemahan ekonomi. Ditambah lagi dalam urusan kebergantungan dengan para pejabat daerah yang menjadi pemegang sahamnya, pengelola BPD ibarat menghadapi dua persoalan sekaligus ketika bank lain hanya menghadapi sebuah saja.
Akan tetapi, itu tidak menghalangi kreativitas pemimpinnya untuk berkelit dari krisis. Kreativitas itu muncul dari Bank Nusa Tenggara Barat. Di saat publik cenderung menganggap BPD selalu menangguk dana murah yang mudah karena menjadi tempat penyimpanan dana-dana pemda, sejatinya kini manajemen BPD juga tengah ketar-ketir soal pendanaan.
Untuk itu, manajemen Bank NTB melaksanakan operasi mencari dana hingga ke luar wilayahnya.
"Bank NTB juga mencoba menghimpun dana pihak ketiga dari luar NTB. Makanya, kami membuka kantor cabang di Surabaya, yang khusus menghimpun DPK (dana pihak ketiga), tidak untuk menyalurkan kredit di daerah itu, tapi untuk memenuhi kebutuhan kredit di NTB," kata Direktur Utama PT Bank NTB Komari Subakir.
Sedikit berbeda dari bank lain, BPD masih bisa menjaga kinerja penyaluran kreditnya pada level di atas rata-rata nasional. Sehingga untuk memenuhi rasio kredit dan pendanaan yang memadai, manajemen terpaksa harus mencarinya hingga ke provinsi lain. Bank NTB sudah membuka Kantor Cabang Surabaya, sejak 1 April 2013 dengan tujuan mempermudah masyarakat NTB yang ada di Jawa Timur, untuk tetap menggunakan layanan Bank NTB.
Bank NTB tetap mengandalkan program kredit usaha rakyat (KUR) terutama untuk membiayai kredit kepada tenaga kerja asal daerah itu yang bekerja di luar negeri. Berdasarkan data pengelola tenaga kerja Indonesia, NTB merupakan salah satu provinsi pemasok tenaga kerja terbesar ke luar negeri sekitar 10 persen dari jumlah total pekerja.
Selain itu, Bank NTB juga akan terus meningkatkan pembiayaan kepada usaha produktif yang merupakan kredit program yang masih berjalan seperti kredit ketahanan pangan dan energi (KKPE), serta kredit infrastruktur yang ada di masing-masing kabupaten/kota se-NTB.
Mencari dana murah seperti yang dilakukan Bank NTB adalah salah strategi untuk menekan biaya dana yang selama ini selalu mengungkung biaya operasional BPD. Sebagaimana dimaklumi, pemda selalu meminta suku bunga khusus (special rate) pada dana-dana yang disimpannya di BPD. Di sisi lain, manajemen tidak kuasa menolak selain karena membutuhkan dana tersebut juga karena pejabat pemda adalah bos mereka.
Meningkatkan dana murah (current account and saving account/ CASA), untuk itu, menjadi tumpuan BPD untuk menyelamatkan kinerjanya sekaligus menjaga perolehan laba pada akhir tahun ini. Kini, dari rata-rata CASA kurang dari separo dari dana pihak ketiga, beberapa BPD sudah bisa membalikkan porsi itu. Salah satunya adalah BPD Daerah Istimewa Yogyakarta.
Meski belum bisa melepaskan kebergantungan pada dana dari pegawai pemda, BPD DIY berhasil meningkatkan CASA hingga hampir menembus 70 persen. Berdasarkan laporan keuangan perseroan pada semester pertama lalu, total dana bank mencapai Rp6,91 triliun, yang mana jumlah CASA mencapai Rp5 triliun dengan komposisi tabungan Rp3,15 triliun dan giro Rp1,85 triliun.
“Saat ini, perseroan sudah tidak bergantung terhadap dana dari pemerintah daerah (Pemda) terkait pendanaan. Pasalnya, saat ini porsi dana pemda yang berada di BPD DIY hanya sekitar 31 persen,” ujar Direktur Utama BPD DIY Bambang Setiawan.

Strategi Kredit
Sementara itu dari sisi penyaluran kredit, BPD juga tak kehilangan akal meskipun roda perekonomian belum berputar secara normal. Bank DKI misalnya. Untuk menyelamatkan kinerja kredit sekaligus menjaga kredit bermasalahnya yang sempat meroket, bank milik pemda DKI itu akan fokus menjalankan strategi penyaluran kredit ke sektor usaha mikro dan kecil serta bisnis linkage.
 “Untuk bisnis linkage, Bank DKI akan masuk ke pembiyaaan BUMD seperti PD Pasar Jaya,” ujar Direktur Utama Bank DKI, Kresno Sediarsi. 
Selama ini, menurut Kresno, yang menggantikan posisi Eko Budiwiyono sejak Juli itu, proporsi kredit ke sektor korporasi masih cukup besar yaitu 32 persen. sementara untuk sektor konsumer sebesar 27 persen dan sisanya sebesar 30 persen adalah masuk kredit ritel.
Bank Jawa Barat Banten atau BJB beda lagi. Bank daerah yang tengah mengkampanyekan menjadi bank nasional itu mengatakan akan memperkuat diri pada hal terkait infrastruktur dan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Hal itu untuk mendukung strategi bank yang akan makin masuk pada layanan-layanan elektronik. “Bank BJB akan fokus meningkatkan kualitas layanan dengan peningkatan e-banking serta cross selling dan intergrated marketing guna mendapatkan market share Dana Pihak Ketiga yang lebih baik. Kami juga akan terus mempertahankan kredit konsumer sebagai captive market Bank BJB,” kata Direktur Utama Bank BJB, Ahmad Irfan.
Dari ujung timur Pulau Jawa, Bank Jatim telah menetapkan niat untuk fokus mengembangkan kredit usaha kecil dan menengah (UKM) yang porsinya masih mini. Menurut Direktur Utama BPD Jatim, Soeroso, potensi UKM di Jatim yang dibidik cukup besar yakni 6,8 juta meningkat dari 4,2 juta pelaku usaha di akhir semester I 2014 lalu.
Selain itu, Bank Jatim akan menggeber kredit sektor ritel, sekaligus akan mulai mengurangi kredit di sektor properti, juga sektor kendaraan untuk merespons pelemahan daya beli masyarakat sekarang ini. Namun demikian bukan berarti bank tersebut akan meninggalkan sama sekali penyaluran kredit di sektor tersebut.
Menurut Soeroso, dalam pembiayaan kendaraan, pihaknya mengincar para bidan dan dokter PNS yang bertugas di seluruh wilayah Jawa Timur. “Mereka dipastikan tetap bisa membayar angsuran tepat waktu, karena sudah mendapat gaji sebagai PNS dan mendapat pemasukan tambahan di luar gaji bulanannya tersebut,” kata dia.
Yang cukup mengagetkan adalah strategi yang dilakukan Bank Jawa Tengah. Untuk menjaga kinerja keuangan dan bisnisnya, manajemen Bank Jateng memutuskan untuk masuk menggarap sektor infrastruktur dengan menggunakan pola kredit sindikasi. Proyek-proyek yang sudah digarapnya antara lain kredit sindikasi proyek jalan tol milik Jasa Marga dan proyek listrik PLN.
BPD Jateng juga turut menyalurkan kredit sindikasi untuk pembangunan tol Cikopo–Palimanan (Cipali). Bank juga membiayai rumahsakit umum daerah yang butuh pendanaan. "Untuk batas maksimum pemberian kredit (BMPK) kredit sindikasi sebesar Rp 400 miliar- Rp 500 miliar, kami masih sanggup," kata Direktur Utama BPD Jateng Supriyatno.
Kredit bank tersebut hingga akhir September 2015 masih tumbuh di atas rata-rata industri. “Kalau industri tumbuh 13 persen sampai 14 persen, kami masih tumbuh 20 persen,” kata Supriyatno.

Dukungan otoritas

Selain upaya dari manajemen, kinerja BPD tampaknya juga akan tertolong dengan adanya kebijakan dari otoritas. Belum lama ini, Asosiasi Bank Pembangunan Daerah (Asbanda) menyatakan, bahwa Otoritas Jasa Keuangan mendukung usulan penurunan dividend payout ratio maksimal 40 persen dari perolehan laba BPD.
Wakil Ketua Umum Asbanda, Hadi Sukrianto mengatakan, bahwa pihak otoritas telah mengumpulkan bankir-bankir BPD dan menyerukan agar meningkatkan kapasitas permodalan melalui laba ditahan.
“Makanya untuk pengembangan BPD ada imbauan dari OJK disampaikan resmi. OJK akan imbau diharapkan dividend payout ratio tidak lebih dari 40 persen (raihan laba bersih),” ucapnya di Jakarta, Rabu, 11 Maret 2015.
Selama ini setoran dividen memang merupakan momok yang cukup ditakutkan manajemen bank karena pemda sebagai pemegang saham acapkali menuntut porsi pembayaran yang besar dari laba yang dihasilkan. BPD dinilai kesulitan untuk mengembangkan bisnis karena porsi laba untuk ditahan menjadi modal menjadi tak terlalu besar.
“Kita rapat dengan OJK, memang rata-rata BPD berikan dividen di atas 70 persen ada yang 80 persen,” kata Hadi.
Selain itu, OJK juga tampaknya akan memberi lampu hijau bagi BPD yang berencana menerbitkan obligasi daerah untuk membiayai proyek-proyek pembangunan di daerah jika hal itu dengan tetap mengedepankan prinsip-prinsip kehati-hatian dan standar governance yang tinggi di masa mendatang.
Ketua Dewan Komisiner OJK, Muliaman D. Hadad mengungkapkan, prinsip-prinsip yang dimaksudkan antara lain dengan memperkuat penerapan pengawasan terintegrasi, menyelaraskan standar laporan keuangan pelaku sektor jasa keuangan, memperkuat good corporate governance kepada pemilik dan menajemen perusahaan.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar