BPD melawan pelemahan ekonomi dengan tetap mempertahankan
kinerja kredit dan mengamankan pendanaan. Selain itu, BPD juga akan mendapatkan
sedikit pertolongan dari otoritas.
Krisis memang kerapkali memaksa sebuah perusahaan untuk
lebih kreatif, sehingga pasca semua terlewati ia lebih tangguh dari sebelumnya.
Kata-kata itu tampaknya sedang menjalani proses pembuktian di saat perekonomian
Indonesia melambat dan bank-bank daerah terkena imbasnya.
Sebagai bank yang masuk dalam golongan medioker dalam urusan
kekuatan modal, posisi Bank Pembangunan Daerah memang lebih tidak beruntung
dalam menghadapi pelemahan ekonomi. Ditambah lagi dalam urusan kebergantungan
dengan para pejabat daerah yang menjadi pemegang sahamnya, pengelola BPD ibarat
menghadapi dua persoalan sekaligus ketika bank lain hanya menghadapi sebuah
saja.
Akan tetapi, itu tidak menghalangi kreativitas pemimpinnya
untuk berkelit dari krisis. Kreativitas itu muncul dari Bank Nusa Tenggara
Barat. Di saat publik cenderung menganggap BPD selalu menangguk dana murah yang
mudah karena menjadi tempat penyimpanan dana-dana pemda, sejatinya kini
manajemen BPD juga tengah ketar-ketir soal pendanaan.
Untuk itu, manajemen Bank NTB melaksanakan operasi mencari
dana hingga ke luar wilayahnya.
"Bank NTB juga mencoba menghimpun dana pihak ketiga
dari luar NTB. Makanya, kami membuka kantor cabang di Surabaya, yang khusus
menghimpun DPK (dana pihak ketiga), tidak untuk menyalurkan kredit di daerah
itu, tapi untuk memenuhi kebutuhan kredit di NTB," kata Direktur Utama PT
Bank NTB Komari Subakir.
Sedikit berbeda dari bank lain, BPD masih bisa menjaga
kinerja penyaluran kreditnya pada level di atas rata-rata nasional. Sehingga
untuk memenuhi rasio kredit dan pendanaan yang memadai, manajemen terpaksa
harus mencarinya hingga ke provinsi lain. Bank NTB sudah membuka Kantor Cabang
Surabaya, sejak 1 April 2013 dengan tujuan mempermudah masyarakat NTB yang ada
di Jawa Timur, untuk tetap menggunakan layanan Bank NTB.
Bank NTB tetap mengandalkan program kredit usaha rakyat (KUR)
terutama untuk membiayai kredit kepada tenaga kerja asal daerah itu yang
bekerja di luar negeri. Berdasarkan data pengelola tenaga kerja Indonesia, NTB
merupakan salah satu provinsi pemasok tenaga kerja terbesar ke luar negeri sekitar
10 persen dari jumlah total pekerja.
Selain itu, Bank NTB juga akan terus meningkatkan pembiayaan
kepada usaha produktif yang merupakan kredit program yang masih berjalan
seperti kredit ketahanan pangan dan energi (KKPE), serta kredit infrastruktur
yang ada di masing-masing kabupaten/kota se-NTB.
Mencari dana murah seperti yang dilakukan Bank NTB adalah
salah strategi untuk menekan biaya dana yang selama ini selalu mengungkung
biaya operasional BPD. Sebagaimana dimaklumi, pemda selalu meminta suku bunga
khusus (special rate) pada dana-dana
yang disimpannya di BPD. Di sisi lain, manajemen tidak kuasa menolak selain
karena membutuhkan dana tersebut juga karena pejabat pemda adalah bos mereka.
Meningkatkan dana murah (current
account and saving account/ CASA), untuk itu, menjadi tumpuan BPD untuk
menyelamatkan kinerjanya sekaligus menjaga perolehan laba pada akhir tahun ini.
Kini, dari rata-rata CASA kurang dari separo dari dana pihak ketiga, beberapa
BPD sudah bisa membalikkan porsi itu. Salah satunya adalah BPD Daerah Istimewa
Yogyakarta.
Meski belum bisa melepaskan
kebergantungan pada dana dari pegawai pemda, BPD DIY berhasil meningkatkan CASA
hingga hampir menembus 70 persen. Berdasarkan laporan keuangan perseroan pada
semester pertama lalu, total dana bank mencapai Rp6,91 triliun, yang mana
jumlah CASA mencapai Rp5 triliun dengan komposisi tabungan Rp3,15 triliun dan
giro Rp1,85 triliun.
“Saat ini, perseroan sudah tidak
bergantung terhadap dana dari pemerintah daerah (Pemda) terkait pendanaan.
Pasalnya, saat ini porsi dana pemda yang berada di BPD DIY hanya sekitar 31
persen,” ujar Direktur Utama BPD DIY Bambang Setiawan.
Strategi Kredit
Sementara itu dari sisi penyaluran kredit, BPD juga tak
kehilangan akal meskipun roda perekonomian belum berputar secara normal. Bank
DKI misalnya. Untuk menyelamatkan kinerja kredit sekaligus menjaga kredit
bermasalahnya yang sempat meroket, bank milik pemda DKI itu akan fokus
menjalankan strategi penyaluran kredit ke sektor usaha mikro dan kecil serta
bisnis linkage.
“Untuk bisnis linkage, Bank DKI akan masuk ke
pembiyaaan BUMD seperti PD Pasar Jaya,” ujar Direktur Utama Bank DKI, Kresno
Sediarsi.
Selama ini, menurut Kresno, yang menggantikan posisi Eko
Budiwiyono sejak Juli itu, proporsi kredit ke sektor korporasi masih cukup
besar yaitu 32 persen. sementara untuk sektor konsumer sebesar 27 persen dan
sisanya sebesar 30 persen adalah masuk kredit ritel.
Bank Jawa Barat Banten atau BJB beda lagi. Bank daerah yang
tengah mengkampanyekan menjadi bank nasional itu mengatakan akan memperkuat
diri pada hal terkait infrastruktur dan peningkatan kualitas sumber daya
manusia. Hal itu untuk mendukung strategi bank yang akan makin masuk pada
layanan-layanan elektronik. “Bank BJB akan fokus meningkatkan kualitas layanan
dengan peningkatan e-banking serta cross selling dan intergrated marketing guna mendapatkan market share Dana Pihak Ketiga yang lebih baik. Kami juga akan
terus mempertahankan kredit konsumer sebagai captive market Bank BJB,” kata Direktur Utama Bank BJB, Ahmad Irfan.
Dari ujung timur Pulau Jawa, Bank Jatim telah menetapkan
niat untuk fokus mengembangkan kredit usaha kecil dan menengah (UKM) yang
porsinya masih mini. Menurut Direktur Utama BPD Jatim, Soeroso, potensi UKM di
Jatim yang dibidik cukup besar yakni 6,8 juta meningkat dari 4,2 juta pelaku
usaha di akhir semester I 2014 lalu.
Selain itu, Bank Jatim akan menggeber kredit sektor ritel,
sekaligus akan mulai mengurangi kredit di sektor properti, juga sektor
kendaraan untuk merespons pelemahan daya beli masyarakat sekarang ini. Namun
demikian bukan berarti bank tersebut akan meninggalkan sama sekali penyaluran
kredit di sektor tersebut.
Menurut Soeroso, dalam pembiayaan kendaraan, pihaknya
mengincar para bidan dan dokter PNS yang bertugas di seluruh wilayah Jawa
Timur. “Mereka dipastikan tetap bisa membayar angsuran tepat waktu, karena
sudah mendapat gaji sebagai PNS dan mendapat pemasukan tambahan di luar gaji
bulanannya tersebut,” kata dia.
Yang cukup mengagetkan adalah strategi yang dilakukan Bank
Jawa Tengah. Untuk menjaga kinerja keuangan dan bisnisnya, manajemen Bank
Jateng memutuskan untuk masuk menggarap sektor infrastruktur dengan menggunakan
pola kredit sindikasi. Proyek-proyek yang sudah digarapnya antara lain kredit
sindikasi proyek jalan tol milik Jasa Marga dan proyek listrik PLN.
BPD Jateng juga turut menyalurkan kredit sindikasi untuk
pembangunan tol Cikopo–Palimanan (Cipali). Bank juga membiayai rumahsakit umum
daerah yang butuh pendanaan. "Untuk batas maksimum pemberian kredit (BMPK)
kredit sindikasi sebesar Rp 400 miliar- Rp 500 miliar, kami masih
sanggup," kata Direktur Utama BPD Jateng Supriyatno.
Kredit bank tersebut hingga akhir
September 2015 masih tumbuh di atas rata-rata industri. “Kalau industri tumbuh
13 persen sampai 14 persen, kami masih tumbuh 20 persen,” kata Supriyatno.
Dukungan otoritas
Selain upaya dari manajemen, kinerja BPD tampaknya juga akan
tertolong dengan adanya kebijakan dari otoritas. Belum lama ini, Asosiasi Bank
Pembangunan Daerah (Asbanda) menyatakan, bahwa Otoritas Jasa Keuangan mendukung
usulan penurunan dividend payout ratio maksimal 40 persen dari perolehan laba
BPD.
Wakil Ketua Umum Asbanda, Hadi Sukrianto mengatakan, bahwa
pihak otoritas telah mengumpulkan bankir-bankir BPD dan menyerukan agar
meningkatkan kapasitas permodalan melalui laba ditahan.
“Makanya untuk pengembangan BPD ada imbauan dari OJK
disampaikan resmi. OJK akan imbau diharapkan dividend payout ratio tidak lebih
dari 40 persen (raihan laba bersih),” ucapnya di Jakarta, Rabu, 11 Maret 2015.
Selama ini setoran dividen memang merupakan momok yang cukup
ditakutkan manajemen bank karena pemda sebagai pemegang saham acapkali menuntut
porsi pembayaran yang besar dari laba yang dihasilkan. BPD dinilai kesulitan
untuk mengembangkan bisnis karena porsi laba untuk ditahan menjadi modal menjadi
tak terlalu besar.
“Kita rapat dengan OJK, memang rata-rata BPD berikan dividen
di atas 70 persen ada yang 80 persen,” kata Hadi.
Selain itu, OJK juga tampaknya akan memberi lampu hijau bagi
BPD yang berencana menerbitkan obligasi daerah untuk membiayai proyek-proyek
pembangunan di daerah jika hal itu dengan tetap mengedepankan prinsip-prinsip
kehati-hatian dan standar governance
yang tinggi di masa mendatang.
Ketua Dewan Komisiner OJK, Muliaman D. Hadad mengungkapkan,
prinsip-prinsip yang dimaksudkan antara lain dengan memperkuat penerapan
pengawasan terintegrasi, menyelaraskan standar laporan keuangan pelaku sektor
jasa keuangan, memperkuat good corporate governance kepada pemilik dan
menajemen perusahaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar