Selasa, 19 Januari 2016

Kapal Layar


Seorang ekonom menganalogikan ekonomi Indonesia –terkait pelemahan kurs yang saat ini terjadi, sebagai kapal besar yang terombang-ambing di tengah laut dan hanya mengandalkan layar. Ekonomi RI, bergerak sesuai mata angin kebijakan moneter global yang dihembuskan negara lain. Untuk membeli mesin pendorong kapal, di saat nilai tukar anjlok, tentu membutuhkan duit yang besar.
Sejatinya pada saat nilai tukar rupiah menguat di level Rp9.000 per dollar beberapa tahun lalu, pemerintah bisa membeli mesin pendorong kapal, namun tidak dilakukan. Ketika rupiah melorot ke level 14.000-an per dollar AS belakangan semua pihak mengeluh karena harga mesinnya bisa dua kali lebih mahal dibanding sebelumnya. Dan kini, ekonomi kita tetap saja mengandalkan layar yang anginnya berasal dari kebijakan moneter negara lain.
Sejak 2013, angin dari barat selalu menggoyang-goyangkan layar ketika The Federal Rerserve berniat untuk menaikkan suku bunganya sebagai tanda berakhirnya masa krisis AS yang sudah berlangsung sejak 2008. Tahun ini, angin dari timur tiba-tiba datang menghempas ketika bank sentral China mendevaluasikan nilai tukarnya untuk mendongkrak ekspornya. Dan kapal RI kembali hanya pasrah mengikuti arah angin.
Amerika Serikat yang mengaku sebagai negara penganut pasar bebas, pemerintahnya berupaya mendorong perekonomian dengan kebijakan-kebijakannya. Di saat krisis, dan untuk menyelamatkan ekonominya, mereka memompa dana besar-besaran ke pasar keuangan agar aliran darah ke perekonomian tidak terputus.
Jadi jika mereka mendesak pemerintah dan otoritas negara-negara lain di dunia untuk ‘membiarkan’ ekonomi berjalan sesuai gerakan pasar, kita seharusnya tidak benar-benar harus menelannya mentah-mentah.
Kembali ke Indonesia. Mulai dari pemerintahan lalu, muncul ungkapan-ungkapan bahwa pemerintahan dijalankan pakai mode auto pilot. Jika pasar bebas berarti makin sedikit campur tangan negara pada ekonomi makin baik, maka seharusnya Indonesia menjadi negara yang paling mendekati sistem pasar bebas. Dan jika seperti Adam Smith bilang pada 1776, bahwa pasar bebas adalah sarana terbaik mencapai kesejahteraan, seharusnya Indonesia sudah sejahtera, minimal mendekati sejahtera.
Seharusnya kini, pelemahan nilai tukar yang merupakan imbas dari dibebaskannya kurs sesuai dengan kekuatan pasar, dibebaskannya harga bahan bakar minyak sesuai harga pasar, dan lainnya sesuai harga pasar, Indonesia selangkah lebih dekat kepada hidup yang lebih baik.
Kenyataannya, penurunan nilai tukar rupiah akan membuat indikator kesejahteraan masyarakat juga melorot. Karena dengan semakin terdepresiasinya nilai tukar rupiah, maka tingkat daya beli masyarakat juga semakin tertekan. Kenyataannya, setelah harga BBM dilepaskan sesuai mekanisme pasar, rakyat belum tambah sejahtera.
Urusan mendorong pertumbuhan dan menciptakan sejatinya memang bukan urusan pemerintah semata. Akan tetapi alih-alih mengupayakan solusi atas masalah –seperti pelemahan ekonomi dan depresiasi rupiah, pemerintah lebih memilih mencari kambing hitam. Dan yang kerap kali menjadi tumpuan kesalahan pemerintah adalah kondisi eksternal dan juga pemerintahan sebelumnya.
Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Panjaitan mengatakan perlambatan ekonomi yang dialami Indonesia saat ini sudah dimulai sejak tahun 2012. Pada tahun itu, kendali pemerintahan masih di tangan Susilo Bambang Yudhoyono. Dan saat ini katanya, bukan rupiah yang melemah, tapi dolar yang menguat.
Mudah-mudahan dia tidak sedang mencari angin agar perekonomian RI yang mengandalkan layar itu bisa bergerak maju. Atau dia sedang mencicil membeli mesin pendorong?




Tidak ada komentar:

Posting Komentar