Seorang
ekonom menganalogikan ekonomi Indonesia –terkait pelemahan kurs yang saat ini
terjadi, sebagai kapal besar yang terombang-ambing di tengah laut dan hanya
mengandalkan layar. Ekonomi RI, bergerak sesuai mata angin kebijakan moneter
global yang dihembuskan negara lain. Untuk membeli mesin pendorong kapal, di
saat nilai tukar anjlok, tentu membutuhkan duit yang besar.
Sejatinya pada
saat nilai tukar rupiah menguat di level Rp9.000 per dollar beberapa tahun
lalu, pemerintah bisa membeli mesin pendorong kapal, namun tidak dilakukan. Ketika
rupiah melorot ke level 14.000-an per dollar AS belakangan semua pihak mengeluh
karena harga mesinnya bisa dua kali lebih mahal dibanding sebelumnya. Dan kini,
ekonomi kita tetap saja mengandalkan layar yang anginnya berasal dari kebijakan
moneter negara lain.
Sejak 2013,
angin dari barat selalu menggoyang-goyangkan layar ketika The Federal Rerserve
berniat untuk menaikkan suku bunganya sebagai tanda berakhirnya masa krisis AS
yang sudah berlangsung sejak 2008. Tahun ini, angin dari timur tiba-tiba datang
menghempas ketika bank sentral China mendevaluasikan nilai tukarnya untuk
mendongkrak ekspornya. Dan kapal RI kembali hanya pasrah mengikuti arah angin.
Amerika
Serikat yang mengaku sebagai negara penganut pasar bebas, pemerintahnya
berupaya mendorong perekonomian dengan kebijakan-kebijakannya. Di saat krisis,
dan untuk menyelamatkan ekonominya, mereka memompa dana besar-besaran ke pasar
keuangan agar aliran darah ke perekonomian tidak terputus.
Jadi jika
mereka mendesak pemerintah dan otoritas negara-negara lain di dunia untuk
‘membiarkan’ ekonomi berjalan sesuai gerakan pasar, kita seharusnya tidak
benar-benar harus menelannya mentah-mentah.
Kembali ke
Indonesia. Mulai dari pemerintahan lalu, muncul ungkapan-ungkapan bahwa
pemerintahan dijalankan pakai mode auto pilot. Jika pasar bebas berarti makin
sedikit campur tangan negara pada ekonomi makin baik, maka seharusnya Indonesia
menjadi negara yang paling mendekati sistem pasar bebas. Dan jika seperti Adam
Smith bilang pada 1776, bahwa pasar bebas adalah sarana terbaik mencapai
kesejahteraan, seharusnya Indonesia sudah sejahtera, minimal mendekati
sejahtera.
Seharusnya
kini, pelemahan nilai tukar yang merupakan imbas dari dibebaskannya kurs sesuai
dengan kekuatan pasar, dibebaskannya harga bahan bakar minyak sesuai harga
pasar, dan lainnya sesuai harga pasar, Indonesia selangkah lebih dekat kepada
hidup yang lebih baik.
Kenyataannya,
penurunan nilai tukar rupiah akan membuat indikator kesejahteraan masyarakat
juga melorot. Karena dengan semakin terdepresiasinya nilai tukar rupiah, maka
tingkat daya beli masyarakat juga semakin tertekan. Kenyataannya, setelah harga
BBM dilepaskan sesuai mekanisme pasar, rakyat belum tambah sejahtera.
Urusan mendorong
pertumbuhan dan menciptakan sejatinya memang bukan urusan pemerintah semata.
Akan tetapi alih-alih mengupayakan solusi atas masalah –seperti pelemahan
ekonomi dan depresiasi rupiah, pemerintah lebih memilih mencari kambing hitam.
Dan yang kerap kali menjadi tumpuan kesalahan pemerintah adalah kondisi
eksternal dan juga pemerintahan sebelumnya.
Menteri
Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Panjaitan mengatakan
perlambatan ekonomi yang dialami Indonesia saat ini sudah dimulai sejak tahun
2012. Pada tahun itu, kendali pemerintahan masih di tangan Susilo Bambang
Yudhoyono. Dan saat ini katanya, bukan rupiah yang melemah, tapi dolar yang
menguat.
Mudah-mudahan
dia tidak sedang mencari angin agar perekonomian RI yang mengandalkan layar itu
bisa bergerak maju. Atau dia sedang mencicil membeli mesin pendorong?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar