Selasa, 19 Januari 2016

Gaduh Freeport

Kita harus naik ke bangunan yang lebih tinggi agar kita dapat melihat keadaan sekitar lebih baik dan lebih luas. Kita harus membuat sekat-sekat rumah yang tembus pandang agar kita bisa melihat gerak-gerik orang di dalamnya. Setelah semuanya terlihat jelas, akan mudah untuk membuat rencana atau skenario untuk memuluskan kepentingan kita.
Dua kondisi itu sepertinya terjadi di Indonesia, setidaknya itulah dugaan sementara saya. Lihat saja, banyak kegaduhan yang ada di Indonesia yang kerap kali membuat publik atau masyarakat menjadi alpa dan abai terhadap masalah besar yang sedang terjadi.
Mari kita tidak usah melihat kegaduhan yang lalu, lihat saja yang tampak di depan mata kita saat ini. Ketika drama ‘Papa Minta Saham’ menyedot perhatian publik sedemikian rupa hingga banyak energi tersalurkan ke sana, masalah utama pun jadi terlupakan. Seharusnya pada Oktober 2015 lalu, Freeport sudah harus melepas 10,64 persen sahamnya ke pemerintah sesuai dengan komitmen divestasi. Tetapi karena kegaduhan pada sidang Majelis Kehormatan Dewan, dan publik kemudian ikut gaduh, hal itu terabaikan.
Freeport, selalu isu besar di negeri ini. Dulu sewaktu Orde Baru masih memerintah, isu ini memang tak pernah muncul ke publik, sehingga kita tidak tahu banyak persetujuan yang tidak adil buat negara dan rakyat, khususnya rakyat Papua. Terima kasih untuk Orde Reformasi yang membuat isu ini bisa diketahui oleh khalayak banyak. Masyarakat jadi tahu bahwa perjanjian kita dengan Freeport sejatinya berat sebelah.
Pemerintahan sebelumnya, sejatinya sudah memberikan arah agar perusahaan yang berpusat di Phoenix, AS itu bisa lebih menguntungkan buat Indonesia, karena memang begitu seharusnya. Akan tetapi, segelintir orang yang berada di ‘dataran tinggi’ yang mampu melihat cakrawala dengan lebih lengkap, sekaligus orang yang bisa melihat Indonesia seperti melihat ke dalam rumah kaca, tampaknya punya keinginan lain. 
Karena lebih banyak informasi yang digenggamnya ditambah akses ke kekuasaan yang luar biasa, maka segelintir orang itu membuat skenario yang membuat publik menjadi tidak ‘ngeh’ dan teralihkan dari masalah itu. Seharusnya, publik memiliki orang-orang yang mengawasi hal-hal inti dari sebuah permasalahan. Namun saat ini, tampaknya, orang-orang itu malah sibuk untuk memperhatikan dan berkomentar pada persoalan yang justru menjadi pengalih-perhatian dari masalah sebenarnya.
Ke depan, kemungkinan besar distraction-scenario seperti ini akan tetap terjadi, terutama yang terkait uang dan kekuasaan yang besar.  Untuk itu publik mesti lebih cerdas dalam melihat masalah. Setiap masalah harus ditarik ke belakang hingga sampai pada sumber masalahnya. Dari situ, kita semua bisa memikirkan cara menyelesaikan masalahnya. Tentunya dengan tidak menabrak hukum dan aturan yang ada. Setidaknya itulah yang dikatakan banyak orang bijak.
Dan seharusnya orang bijaklah yang berada di ‘dataran tinggi’ dengan kemampuan melihat cakrawala yang lebih luas. Dan orang bijaklah yang dibolehkan melihat rumah kaca bernama Indonesia. Tetapi, apakah mungkin?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar