Kita harus naik ke bangunan yang lebih tinggi agar kita
dapat melihat keadaan sekitar lebih baik dan lebih luas. Kita harus membuat
sekat-sekat rumah yang tembus pandang agar kita bisa melihat gerak-gerik orang
di dalamnya. Setelah semuanya terlihat jelas, akan mudah untuk membuat rencana
atau skenario untuk memuluskan kepentingan kita.
Dua kondisi itu sepertinya terjadi di Indonesia, setidaknya
itulah dugaan sementara saya. Lihat saja, banyak kegaduhan yang ada di Indonesia
yang kerap kali membuat publik atau masyarakat menjadi alpa dan abai terhadap
masalah besar yang sedang terjadi.
Mari kita tidak usah melihat kegaduhan yang lalu, lihat saja
yang tampak di depan mata kita saat ini. Ketika drama ‘Papa Minta Saham’ menyedot
perhatian publik sedemikian rupa hingga banyak energi tersalurkan ke sana,
masalah utama pun jadi terlupakan. Seharusnya pada Oktober 2015 lalu, Freeport
sudah harus melepas 10,64 persen sahamnya ke pemerintah sesuai dengan komitmen
divestasi. Tetapi karena kegaduhan pada sidang Majelis Kehormatan Dewan, dan
publik kemudian ikut gaduh, hal itu terabaikan.
Freeport, selalu isu besar di negeri ini. Dulu sewaktu Orde
Baru masih memerintah, isu ini memang tak pernah muncul ke publik, sehingga
kita tidak tahu banyak persetujuan yang tidak adil buat negara dan rakyat,
khususnya rakyat Papua. Terima kasih untuk Orde Reformasi yang membuat isu ini
bisa diketahui oleh khalayak banyak. Masyarakat jadi tahu bahwa perjanjian kita
dengan Freeport sejatinya berat sebelah.
Pemerintahan sebelumnya, sejatinya sudah memberikan arah
agar perusahaan yang berpusat di Phoenix, AS itu bisa lebih menguntungkan buat
Indonesia, karena memang begitu seharusnya. Akan tetapi, segelintir orang yang
berada di ‘dataran tinggi’ yang mampu melihat cakrawala dengan lebih lengkap,
sekaligus orang yang bisa melihat Indonesia seperti melihat ke dalam rumah
kaca, tampaknya punya keinginan lain.
Karena lebih banyak informasi yang digenggamnya ditambah
akses ke kekuasaan yang luar biasa, maka segelintir orang itu membuat skenario
yang membuat publik menjadi tidak ‘ngeh’ dan teralihkan dari masalah itu.
Seharusnya, publik memiliki orang-orang yang mengawasi hal-hal inti dari sebuah
permasalahan. Namun saat ini, tampaknya, orang-orang itu malah sibuk untuk
memperhatikan dan berkomentar pada persoalan yang justru menjadi
pengalih-perhatian dari masalah sebenarnya.
Ke depan, kemungkinan besar distraction-scenario seperti ini akan tetap terjadi, terutama yang
terkait uang dan kekuasaan yang besar.
Untuk itu publik mesti lebih cerdas dalam melihat masalah. Setiap
masalah harus ditarik ke belakang hingga sampai pada sumber masalahnya. Dari
situ, kita semua bisa memikirkan cara menyelesaikan masalahnya. Tentunya dengan
tidak menabrak hukum dan aturan yang ada. Setidaknya itulah yang dikatakan
banyak orang bijak.
Dan seharusnya orang bijaklah yang berada di ‘dataran
tinggi’ dengan kemampuan melihat cakrawala yang lebih luas. Dan orang bijaklah
yang dibolehkan melihat rumah kaca bernama Indonesia. Tetapi, apakah mungkin?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar