Penguatan nilai tukar rupiah atas dollar AS yang terjadi
sepekan pertama Oktober setelah diluncurkan paket kebijakan pemerintah. Seiring
dengan penguatan itu, cadangan devisa yang dikelola Bank Indonesia harus
tergerus lebih dari 9 miliar dollar AS.
Sejak pekan pertama Oktober, nilai tukar rupiah mulai
menunjukkan tanda-tanda penguatan setelah sebelumnya pemerintah meluncurkan dua
paket kebijakan dari tiga yang dijanjikan untuk menangkal pelemahan ekonomi.
Pada 9 Oktober rupiah berada di kisaran Rp13.400 an, padahal pada awal Oktober
nilainya masih berada di level Rp14.600 per dollar AS.
Tiga paket kebijakan yang dirilis memang memiliki tujuan
berbeda-beda. Namun boleh dibilang, baru pada dua kebijakan terakhirlah nilai
tukar rupiah baru mau beranjak dari posisi terlemahnya sejak krisis ’98.
Lalu apakah memang penguatan nilai tukar rupiah merupakan
imbas dari diluncurkannya paket-paket kebijakan itu? Jika dilihat dari runutan
waktunya, jawaban dari pertanyaan di atas adalah iya. Karena begitu paket
kebijakan September II dirilis, rupiah mulai menguat.
Akan tetapi jika melihat data cadangan devisa yang dikelola
Bank Indonesia, publik bisa melihat penyebab yang lain. Nilai dollar AS yang
dikelola bank sentral sebagai cadangan itu pada 9 Oktober berada di posisi
101,7 miliar dollar AS. Padahal nilainya pada akhir Agustus adalah 105,3 miliar
dollar AS. Angka itu lebih rendah dibandingkan dengan posisi akhir Juli 2015
yang sebesar 107,6 miliar dollar AS.
Bahkan kalau ditarik lagi ke belakang setahun lalu, cadangan
devisa (cadev) pada akhir September 2014 mencapai 111,2 miliar dollar AS. Itu
berarti, pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono mewariskan cadangan devisa
dengan nilai yang cukup besar yang bisa membiayai impor dan utang luar negeri
lebih dari delapan bulan.
Namun demikian pada akhir September tahun ini, nilainya
sudah merosot ke angka 101,7 miliar dollar AS. Artinya selama setahun, dana
dollar AS kelolaan BI minus 9,5 miliar dollar AS. Bank sentral sendiri mengakui
bahwa saat ini cadev sudah terkuras hingga 3,6 miliar dollar AS, di antaranya
untuk koreksi nilai rupiah selama Agustus dan September 2015.
Tirta Segara, Direktur Eksekutif BI menjelaskan perkembangan
tersebut disebabkan oleh penggunaan cadangan devisa dalam rangka pembayaran
utang luar negeri pemerintah dan stabilisasi nilai tukar rupiah.
“Hal tersebut sejalan dengan komitmen Bank Indonesia yang
telah dan akan terus berada di pasar untuk melakukan upaya stabilisasi nilai
tukar Rupiah sesuai dengan fundamentalnya guna mendukung terjaganya stabilitas
makroekonomi dan sistem keuangan,” kata dia melalui keterangan pers BI.
Dengan perkembangan tersebut, lanjut Tirta, posisi cadangan
devisa per akhir September 2015 masih cukup untuk membiayai 7 bulan impor atau
6,8 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri Pemerintah. Posisi cadangan
devisa tersebut juga berada di atas standar kecukupan internasional sekitar
tiga bulan impor. “Bank Indonesia menilai cadangan devisa tersebut mampu
mendukung ketahanan sektor eksternal dan menjaga kesinambungan pertumbuhan
ekonomi Indonesia ke depan,” tutur dia.
Menurut data BI, pada akhir April cadangan devisa 110,867
miliar dolar AS dan pada Mei senilai
110,771 miliar dolar AS. Sebulan kemudian, angkanya juga anjlok menjadi 108,030
miliar dolar AS. Pada akhir Juli, juga melorot hanya senilai 107,553 miliar
dolar AS.
Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara membenarkan
penurunan cadangan devisa untuk stabilisasi nilai tukar rupiah. “Tugas BI kan
menjaga stabilitas sistem keuangan sehingga penggunaan cadev adalah untuk
stabilisasi kurs rupiah.''
Mirza menambahkan, selain itu BI juga melakukan langkah
stabilisasi di pasar pasar surat berharga negara (SBN). Menurutnya, upaya ini
sangat penting karena pasar SBN selama ini merupakan instrumen penting bagi
pemerintah mendanai APBN.
Sementara itu, Kepala Ekonom Bank Rakyat Indonesia (BRI)
Anggito Abimanyu menilai upaya Bank Indonesia mengendalikan nilai tukar rupiah
dengan menguras cadangan devisa belum optimal. Meski demikian, langkah bank
sentral itu dianggap berisiko mengingat jumlah dollar AS di kas BI semakin
menipis, apalagi aliran dollar AS ke luar negeri juga masih berlangsung.
"Cadangan devisa memang digunakan untuk menstabilisasi,
saya tidak melihat hal itu keliru. Namun saatnya cadangan devisa itu
dimanfaatkan secara optimal. Namun efektifnya intervensi itu tidak bisa
terukur,” kata Anggito. “Jumlah cadangan devisa Indonesia cukup mengkhawatirkan
karena hampir menyentuh batas psikologis 100 miliar dollar AS.”
Diperkuat Dana
pinjaman?
Pada Agustus tiga bank pelat merah telah menandatangani
kesepakatan untuk meminjam dana sebesar 3 miliar dollar AS dari China
Development Bank (CDB). Menurut Deputi Bidang Usaha Jasa Keuangan, Jasa
Konstruksi dan Jasa Lain Kementerian BUMN, Gatot Trihargo, perolehan dana itu
berarti ada dana masuk 3 miliar dollar ke Indonesia yang akan meningkatkan
posisi cadangan devisa Indonesia yang saat ini turun. “Jadi dana masuk 3 miliar
dollar AS ke Indonesia menjadi sinyal positif bagi pemerintah supaya menambah
cadev," terang dia saat rapat dengar pendapat dengan DPR akhir September.
Di tengah kinerja ekspor yang terus melemah sejak awal tahun
ini, pembentukan cadangan devisa lebih banyak berasal dari penerbitan obligasi
global pemerintah dan penarikan pinjaman siaga (standby loan) dari lembaga keuangan internasional, bukan karena
hasil ekspor.
Sebelumnya, akibat gencarnya intervensi bank sentral pada
pasar keuangan untuk memperkuat rupiah, muncul rencana DPR agar BI diaudit
secara menyeluruh oleh audit negara. Hal itu kemudian memunculkan polemik di
antara otoritas.
Bank Indonesia dicurigai mengambil untung atas pelemahan
rupiah. BI pun disinyalir sengaja membiarkan rupiah terdepresiasi. Karena
itulah muncul keinginan dari DPR untuk mengaudit khusus terkait kebijakan
moneter yang dilakukan Bank Indonesia.
Ketua BPK Harry Azhar Aziz menduga ada kesalahan kebijakan
moneter yang membuat rupiah terus terdepresiasi terhadap dolar sehingga
diperlukan pemeriksaan lebih lanjut. Audit kebijakan moneter yang dimaksud
Harry mencakup keseluruhan kebijakan, termasuk kemungkinan adanya konflik
kepentingan dalam pengendalian nilai tukar rupiah. “Apapun yang diminta Komisi
XI DPR terkait kebijakan moneter," ujarnya di Gedung BPK, Jakarta,
kemarin.
Dia mengatakan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 1999
tentang BI diatur bahwa BPK tidak bisa melakukan audit terhadap kebijakan bank
sentral tanpa ada permintaan resmi dari DPR. Menurutnya, selama ini BPK hanya
diperkenankan memeriksa anggaran operasional BI.
"Kalau berkaitan dengan policy moneter, UU BI
menyatakan itu harus dengan permintaan Komisi XI DPR," ujar Harry.
Dalam ketentuan UU, jelas Harry, BI merupakan lembaga yang
bersifat independen sehingga kebijakannya tidak bisa diaudit. Namun, jika sudah
ada permintaan resmi dari rakyat yang diwakili oleh DPR, maka BPK diperbolehkan
untuk melakukannya. "Sampai sekarang belum ada surat dari DPR. Kami tetap
tunggu, apakah DPR serius atau apakah ini keinginan satu-satu," tuturnya.
Dukung Deregulasi
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) baru saja merilis kebijakan untuk
mendukung paket deregulasi pemerintah. Salah satu paket kebijakan tersebut
adalah relaksasi dalam pengelolaan dan penitipan (trustee) bank dari dana hasil ekspor.
Deputi Komisioner Pengawas Perbankan OJK Mulya Siregar
mengatakan, relaksasi baru bagi bank penyelenggara jasa trustee ini, akan membuat dana eksportir yang selama ini disimpan
di bank-bank luar negeri bisa disimpan di perbankan dalam negeri.
"Sekarang kan baru 3 bank dalam negeri yang sudah
melakukan kegiatan trustee. Dari tiga bank ini saja sudah ada estimasi lebih
kurang 11 miliar dollar AS (Rp 162 triliun) terserap dari valuta asing," kata
Mulya dalam konferensi pers di kantor OJK, Jakarta.
Menurutnya, paket relaksasi otomatis akan menambah jumlah
bank nasional penyelenggara jasa trustee, yang selama ini baru 3 bank umum,
menjadi 20 bank umum serta 3 bank Kantor Cabang Bank Asing (KCBA).
Dengan penambahan jumlah bank umum dan KCBA tersebut,
pihaknya optimistis dana eksportir yang selama ini diendapkan di bank-bank luar
negeri, khususnya di Singapura bisa di simpan di dalam negeri. "Dengan
diberikan relaksasi, maka akan tambah bank-bank yang aktif dalam kegiatan
trustee ini. Selama ini ekspor tapi dananya di simpan di Singapura, potensi
dana masuk sangat besar," ujarnya.
Mulya menyebutkan, ada 4 ketentuan yang diubah dalam paket
stimulus tersebut. Pertama adalah persyaratan Kewajiban Penyediaan Modal
Minimum (KPMM) dari sebelumnya minimal 13% selama 18 bulan berturut-turut,
menjadi minimal KPMM sesuai profil risiko selama 6 bulan berturut-turut.
Kedua, tingkat kesehatan (risk based bank rating) dari
minimal PK 2 pada periode 12 bulan terakhir berturut-turut, dan minimal PK 3
pada periode 6 bulan, diubah menjadi peringkat tingkat kesehatan minimal PK 2
pada periode penilaian terakhir.
Ketiga, adalah penghapusan persyaratan KCBA yang harus
berbadan hukum di Indonesia. Saat ini, dengan aturan anyar dari OJK tersebut,
baru 3 KCBA yang memenuhi syarat kegiatan trustee.
Naik Turun Cadangan
devisa
2000 29,394
2001 28,016
2002 32,039
2003 36,296
2004 36,32
2005 34,724
2006 42,586
2007 56,92
2008 51,639
2009 66,105
2010 96,207
2011 110,123
2012* 110,297
2013* 96,996
2014* 111,973
2015* 101,720
Sumber BI
*Data sampai oktober
Tidak ada komentar:
Posting Komentar