Selasa, 19 Januari 2016

Obat Kuat Nilai Tukar

Penguatan nilai tukar rupiah atas dollar AS yang terjadi sepekan pertama Oktober setelah diluncurkan paket kebijakan pemerintah. Seiring dengan penguatan itu, cadangan devisa yang dikelola Bank Indonesia harus tergerus lebih dari 9 miliar dollar AS.

Sejak pekan pertama Oktober, nilai tukar rupiah mulai menunjukkan tanda-tanda penguatan setelah sebelumnya pemerintah meluncurkan dua paket kebijakan dari tiga yang dijanjikan untuk menangkal pelemahan ekonomi. Pada 9 Oktober rupiah berada di kisaran Rp13.400 an, padahal pada awal Oktober nilainya masih berada di level Rp14.600 per dollar AS.
Tiga paket kebijakan yang dirilis memang memiliki tujuan berbeda-beda. Namun boleh dibilang, baru pada dua kebijakan terakhirlah nilai tukar rupiah baru mau beranjak dari posisi terlemahnya sejak krisis ’98.
Lalu apakah memang penguatan nilai tukar rupiah merupakan imbas dari diluncurkannya paket-paket kebijakan itu? Jika dilihat dari runutan waktunya, jawaban dari pertanyaan di atas adalah iya. Karena begitu paket kebijakan September II dirilis, rupiah mulai menguat.
Akan tetapi jika melihat data cadangan devisa yang dikelola Bank Indonesia, publik bisa melihat penyebab yang lain. Nilai dollar AS yang dikelola bank sentral sebagai cadangan itu pada 9 Oktober berada di posisi 101,7 miliar dollar AS. Padahal nilainya pada akhir Agustus adalah 105,3 miliar dollar AS. Angka itu lebih rendah dibandingkan dengan posisi akhir Juli 2015 yang sebesar 107,6 miliar dollar AS.
Bahkan kalau ditarik lagi ke belakang setahun lalu, cadangan devisa (cadev) pada akhir September 2014 mencapai 111,2 miliar dollar AS. Itu berarti, pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono mewariskan cadangan devisa dengan nilai yang cukup besar yang bisa membiayai impor dan utang luar negeri lebih dari delapan bulan.
Namun demikian pada akhir September tahun ini, nilainya sudah merosot ke angka 101,7 miliar dollar AS. Artinya selama setahun, dana dollar AS kelolaan BI minus 9,5 miliar dollar AS. Bank sentral sendiri mengakui bahwa saat ini cadev sudah terkuras hingga 3,6 miliar dollar AS, di antaranya untuk koreksi nilai rupiah selama Agustus dan September 2015.
Tirta Segara, Direktur Eksekutif BI menjelaskan perkembangan tersebut disebabkan oleh penggunaan cadangan devisa dalam rangka pembayaran utang luar negeri pemerintah dan stabilisasi nilai tukar rupiah.
“Hal tersebut sejalan dengan komitmen Bank Indonesia yang telah dan akan terus berada di pasar untuk melakukan upaya stabilisasi nilai tukar Rupiah sesuai dengan fundamentalnya guna mendukung terjaganya stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan,” kata dia melalui keterangan pers BI.
Dengan perkembangan tersebut, lanjut Tirta, posisi cadangan devisa per akhir September 2015 masih cukup untuk membiayai 7 bulan impor atau 6,8 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri Pemerintah. Posisi cadangan devisa tersebut juga berada di atas standar kecukupan internasional sekitar tiga bulan impor. “Bank Indonesia menilai cadangan devisa tersebut mampu mendukung ketahanan sektor eksternal dan menjaga kesinambungan pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depan,” tutur dia.
Menurut data BI, pada akhir April cadangan devisa 110,867 miliar dolar AS dan pada Mei  senilai 110,771 miliar dolar AS. Sebulan kemudian, angkanya juga anjlok menjadi 108,030 miliar dolar AS. Pada akhir Juli, juga melorot hanya senilai 107,553 miliar dolar AS.
Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara membenarkan penurunan cadangan devisa untuk stabilisasi nilai tukar rupiah. “Tugas BI kan menjaga stabilitas sistem keuangan sehingga penggunaan cadev adalah untuk stabilisasi kurs rupiah.''
Mirza menambahkan, selain itu BI juga melakukan langkah stabilisasi di pasar pasar surat berharga negara (SBN). Menurutnya, upaya ini sangat penting karena pasar SBN selama ini merupakan instrumen penting bagi pemerintah mendanai APBN.
Sementara itu, Kepala Ekonom Bank Rakyat Indonesia (BRI) Anggito Abimanyu menilai upaya Bank Indonesia mengendalikan nilai tukar rupiah dengan menguras cadangan devisa belum optimal. Meski demikian, langkah bank sentral itu dianggap berisiko mengingat jumlah dollar AS di kas BI semakin menipis, apalagi aliran dollar AS ke luar negeri juga masih berlangsung.
"Cadangan devisa memang digunakan untuk menstabilisasi, saya tidak melihat hal itu keliru. Namun saatnya cadangan devisa itu dimanfaatkan secara optimal. Namun efektifnya intervensi itu tidak bisa terukur,” kata Anggito. “Jumlah cadangan devisa Indonesia cukup mengkhawatirkan karena hampir menyentuh batas psikologis 100 miliar dollar AS.”

Diperkuat Dana pinjaman?
Pada Agustus tiga bank pelat merah telah menandatangani kesepakatan untuk meminjam dana sebesar 3 miliar dollar AS dari China Development Bank (CDB). Menurut Deputi Bidang Usaha Jasa Keuangan, Jasa Konstruksi dan Jasa Lain Kementerian BUMN, Gatot Trihargo, perolehan dana itu berarti ada dana masuk 3 miliar dollar ke Indonesia yang akan meningkatkan posisi cadangan devisa Indonesia yang saat ini turun. “Jadi dana masuk 3 miliar dollar AS ke Indonesia menjadi sinyal positif bagi pemerintah supaya menambah cadev," terang dia saat rapat dengar pendapat dengan DPR akhir September.
Di tengah kinerja ekspor yang terus melemah sejak awal tahun ini, pembentukan cadangan devisa lebih banyak berasal dari penerbitan obligasi global pemerintah dan penarikan pinjaman siaga (standby loan) dari lembaga keuangan internasional, bukan karena hasil ekspor.
Sebelumnya, akibat gencarnya intervensi bank sentral pada pasar keuangan untuk memperkuat rupiah, muncul rencana DPR agar BI diaudit secara menyeluruh oleh audit negara. Hal itu kemudian memunculkan polemik di antara otoritas.
Bank Indonesia dicurigai mengambil untung atas pelemahan rupiah. BI pun disinyalir sengaja membiarkan rupiah terdepresiasi. Karena itulah muncul keinginan dari DPR untuk mengaudit khusus terkait kebijakan moneter yang dilakukan Bank Indonesia.
Ketua BPK Harry Azhar Aziz menduga ada kesalahan kebijakan moneter yang membuat rupiah terus terdepresiasi terhadap dolar sehingga diperlukan pemeriksaan lebih lanjut. Audit kebijakan moneter yang dimaksud Harry mencakup keseluruhan kebijakan, termasuk kemungkinan adanya konflik kepentingan dalam pengendalian nilai tukar rupiah. “Apapun yang diminta Komisi XI DPR terkait kebijakan moneter," ujarnya di Gedung BPK, Jakarta, kemarin.
Dia mengatakan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 1999 tentang BI diatur bahwa BPK tidak bisa melakukan audit terhadap kebijakan bank sentral tanpa ada permintaan resmi dari DPR. Menurutnya, selama ini BPK hanya diperkenankan memeriksa anggaran operasional BI.
"Kalau berkaitan dengan policy moneter, UU BI menyatakan itu harus dengan permintaan Komisi XI DPR," ujar Harry.
Dalam ketentuan UU, jelas Harry, BI merupakan lembaga yang bersifat independen sehingga kebijakannya tidak bisa diaudit. Namun, jika sudah ada permintaan resmi dari rakyat yang diwakili oleh DPR, maka BPK diperbolehkan untuk melakukannya. "Sampai sekarang belum ada surat dari DPR. Kami tetap tunggu, apakah DPR serius atau apakah ini keinginan satu-satu," tuturnya.

Dukung Deregulasi
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) baru saja merilis kebijakan untuk mendukung paket deregulasi pemerintah. Salah satu paket kebijakan tersebut adalah relaksasi dalam pengelolaan dan penitipan (trustee) bank dari dana hasil ekspor.
Deputi Komisioner Pengawas Perbankan OJK Mulya Siregar mengatakan, relaksasi baru bagi bank penyelenggara jasa trustee ini, akan membuat dana eksportir yang selama ini disimpan di bank-bank luar negeri bisa disimpan di perbankan dalam negeri.
"Sekarang kan baru 3 bank dalam negeri yang sudah melakukan kegiatan trustee. Dari tiga bank ini saja sudah ada estimasi lebih kurang 11 miliar dollar AS (Rp 162 triliun) terserap dari valuta asing," kata Mulya dalam konferensi pers di kantor OJK, Jakarta.
Menurutnya, paket relaksasi otomatis akan menambah jumlah bank nasional penyelenggara jasa trustee, yang selama ini baru 3 bank umum, menjadi 20 bank umum serta 3 bank Kantor Cabang Bank Asing (KCBA).
Dengan penambahan jumlah bank umum dan KCBA tersebut, pihaknya optimistis dana eksportir yang selama ini diendapkan di bank-bank luar negeri, khususnya di Singapura bisa di simpan di dalam negeri. "Dengan diberikan relaksasi, maka akan tambah bank-bank yang aktif dalam kegiatan trustee ini. Selama ini ekspor tapi dananya di simpan di Singapura, potensi dana masuk sangat besar," ujarnya.
Mulya menyebutkan, ada 4 ketentuan yang diubah dalam paket stimulus tersebut. Pertama adalah persyaratan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) dari sebelumnya minimal 13% selama 18 bulan berturut-turut, menjadi minimal KPMM sesuai profil risiko selama 6 bulan berturut-turut.
Kedua, tingkat kesehatan (risk based bank rating) dari minimal PK 2 pada periode 12 bulan terakhir berturut-turut, dan minimal PK 3 pada periode 6 bulan, diubah menjadi peringkat tingkat kesehatan minimal PK 2 pada periode penilaian terakhir.
Ketiga, adalah penghapusan persyaratan KCBA yang harus berbadan hukum di Indonesia. Saat ini, dengan aturan anyar dari OJK tersebut, baru 3 KCBA yang memenuhi syarat kegiatan trustee.


Naik Turun Cadangan devisa

2000    29,394                                     
2001    28,016                                                     
2002    32,039                                     
2003    36,296                                                     
2004    36,32   
2005    34,724   
2006    42,586   
2007    56,92   
2008    51,639   
2009    66,105   
2010    96,207   
2011    110,123
2012*    110,297
2013*     96,996
2014*    111,973
2015*    101,720

Sumber BI

*Data sampai oktober

Tidak ada komentar:

Posting Komentar