Selasa, 19 Januari 2016

Serangan dari Segala Arah

Pelemahan rupiah yang berlarut-larut karena kebijakan moneter China bisa membawa Indonesia kembali kepada krisis moneter. Namun otoritas moneter dalam negeri yang tak mau mimpi buruk itu terulang menggelar sederet kebijakan.

Tidak bisa dipungkiri, kini banyak orang yang memperkirakan bahwa krisis moneter seperti 18 tahun lalu tampaknya bukan hal yang muskil terjadi dan jauh dari kenyataan untuk Indonesia saat ini. terutama ketika otoritas moneter China tiba-tiba mendevaluasi mata uangnya bulan lalu, yang membuat dunia tersentak, negara maju terkaget-kaget dan emerging market terhenyak.
China telah menurunkan kurs referensi yuan, tiga kali berturut-turut sampai bulan lalu, menjadikan mata uang itu lebih rendah hampir 2 persen di hadapan dollar AS. Para analis menilai langkah tersebut sebagai upaya China mendongkrak ekspor dengan membuat harga barangnya lebih murah di luar negeri dan mendorong reformasi ekonomi untuk menjadi salah satu cadangan mata uang di kelompok Dana Moneter Internasional (IMF).
Berdasarkan data pemerintah China, pada Juli, ekspor negara itu telah menurun 8,3 persen, yang merupakan penurunan terbesar dalam empat bulan terakhir dan jauh lebih buruk dari perkiraan semula. Sementara itu, sejak 2005, China terus berupaya untuk menjadikan yuan sebagai
salah satu mata uang dalam keranjang mata uang cadangan ‘special drawing rights’ (SDR) IMF. Dan devaluasi bulan lalu akan membuat peluang itu lebih terbuka.
Dalam kebijakan reformasi 2005, Tiongkok mengincar untuk menjadikan Yuan masuk dalam mata uang cadangan Dana Moneter Internasional (IMF). Namun kendali atas Yuan menjadi penghalang mata uang itu masuk dalam kelompok yang sekarang dihuni dolar AS, Euro, Poundsterling dan Yen. Langkah Bank Sentral untuk memperbanyak informasi ketika menetapkan nilai harian bisa dianggap sebagai pelonggaran kendali mereka, sehingga bisa lebih memenuhi syarat IMF.
“Penyesuaian yang wajar atas nilai RMB (renminbi/ yuan) bagus untuk ekspor Tiongkok dan juga bagus bagi RMB untuk bisa menjadi bagian SDR. Namun yang paling penting, langkah ini merupakan kemajuan utama dalam nilai tukar RMB sejak 2005 dan merupakan langkah besar bagi nilai jual RMB,” kata Liu Dongmin, Direktur riset keuangan inetrnasional di Chinese Academy of Social Sciences.       
Kebijakan dari China jelas membuat rupiah makin menderita, setelah berbulan-bulan selalu dibuat ketar-ketir oleh ketidakjelasan rencana kenaikan suku bunga Bank Sentral AS (Fed Fund Rate/ FFR). Setelah terperosok di bawah level Rp13.000 per dollar AS sepanjang tahun ini, rupiah akhirnya nyemplung ke level Rp14.000 per dollar AS, pada pekan ketiga Agustus lalu.
Bank Indonesia tampaknya mengikuti alur logika pemerintah dengan tetap ‘menyalahkan’ faktor eksternal atas terdepresiasinya nilai tukar dalam beberapa waktu ke depan. Dalam pengumuman resminya setelah menetapkan suku bunga acuan tak bergerak di level 7,5 persen –mempertahankan posisi selama enam bulan berturut-turut, bank sentral mengatakan pasar keuangan global masih menghadapi risiko tinggi terkait dengan ketidakpastian kenaikan suku bunga acuan AS dan kebijakan penyesuaian nilai tukar yuan.
“Depresiasi nilai tukar rupiah, terutama dipengaruhi oleh sentimen eksternal,” begitu bunyi siaran pers BI. Pada triwulan II 2015, rupiah secara rata-rata melemah sebesar 2,47 persen (dari triwulan ke triwulan) ke level Rp13.131 per dolar AS. Tekanan terhadap rupiah pada triwulan kedua, kata BI, dipengaruhi antisipasi investor atas rencana kenaikkan suku bunga AS (FFR), dan quantitative easing Bank Sentral Eropa (ECB), serta dinamika negosiasi fiskal Yunani.
Sementara itu, dari sisi domestik, tekanan rupiah disebabkan adanya peningkatan permintaan valas untuk pembayaran utang dan dividen sesuai pola musiman pada triwulan kedua. Namun, kata BI tekanan tersebut sempat tertahan oleh sentimen positif terkait kenaikan outlook rating Indonesia oleh S&P dari stable menjadi positif dan meningkatnya surplus neraca perdagangan. “Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa, sejalan dengan reaksi pasar global terhadap keputusan Tiongkok yang melakukan depresiasi mata uang yuan, hampir seluruh mata uang dunia, termasuk rupiah, mengalami tekanan depresiasi,” kata siaran tersebut.“Bank Indonesia telah dan akan terus berada di pasar untuk melakukan upaya stabilisasi nilai tukar rupiah sesuai dengan nilai fundamentalnya.”

Dampak Depresiasi

Secara umum, melemahnya nilai tukar suatu negara sejatinya akan menjadi motor penggerak ekspor, karena barang produksi negara itu akan terhitung lebih murah dibanding negara yang mata uangnya menguat. Seperti China yang melemahkan dengan sengaja mata uangnya, depresiasi rupiah, oleh karena itu seharusnya membuat ekspor Indonesia makin kompetitif.
Akan tetapi harga komoditas yang sedang terjerembap sekarang tampaknya menjadi penghalang besar untuk mencapai keuntungan itu. Sejak 2009, harga-harga komoditas tidak mampu mendongkrak pendapat Indonesia dari ekspor.
Sementara itu, pelemahan nilai tukar juga akan memacu inflasi karena makin mahalnya barang-barang impor. Hal ini tentu menambah tekanan pada mata uang rupiah yang memang selalu gemetar setiap kali ada berita mengenai peningkatan suku bunga dari The Fed.
Di sisi lain, kondisi neraca transaksi berjalan yang masih defisit dan surat utang berdenominasi dollar yang besar akan membuat ekonomi Indonesia makin rentan terhadap pelemahan nilai tukar ini. Bahkan yang lebih mengkhawatirkan, saat ini banyak juga korporasi yang memiliki utang dollar AS, yang berarti seiring pelemahan rupiah beban utang mereka naik. Kondisi inilah yang menjadi penyebab ambruknya ekonomi Indonesia pada 1998.
Pemerintah juga tak kalah ekspansifnya berutang dengan mengedepankan strategi front loading.
Realisasi penarikan utang dari pasar obligasi negara selama kuartal pertama 2015 sebesar Rp 144,39 triliun atau 48,5 persen dari yang ditargetkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP). Sebagai perbandingan realisasi belanja pemerintah selama kurun waktu yang sama tidak sampai 30 persen.
Sepanjang triwulan kedua 2015, defisit transaksi defisit transaksi berjalan tercatat sebesar 4,5 miliar dolar AS (2,1 persen dari PDB), lebih rendah dibandingkan dengan defisit pada triwulan yang sama tahun sebelumnya sebesar 9,6 miliar dolar AS (4,3 persen). Meski begitu, penurunan defisit lebih disebabkan oleh menurunnya impor nonmigas, bukan dari meningkatnya ekspor.

Kebijakan Moneter
BI tentu tidak tinggal diam melihat pelemahan rupiah yang makin dalam. Otoritas moneter pun sudah menggelar setidaknya sederet kebijakan untuk meredam pelemahan nilai tukar. Selain melakukan intervensi di pasar valas untuk mengendalikan volatilitas nilai tukar rupiah dengan menggunakan cadangan devisa, BI juga membeli Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder.
"Kami juga memperkuat pengelolaan likuiditas rupiah melalui Operasi Pasar Terbuka (OPT) guna mengalihkan likuiditas harian tenor yang lebih panjang," kata Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Ekonomi dan Monoter BI, Juda Agung.
Dalam operasi pasar terbuka, BI akan menyerap likuiditas perbankan yang berlebih dan menempatnya pada instrumen yang bersifat jangka panjang. Setidaknya ada 3 langkah yang diambil dalam Operasi Pasar Terbuka. BI akan mengubah mekanisme lelang Reverse Repo (RR) SBN dari variable rate tender menjadi fixed rate tender, kemudian menyesuaikan pricing RR SBN dan memperpanjang tenor dengan menerbitkan RR SBN 3 bulan.
Masih dalam Operasi Pasar Terbuka, BI akan mengubah skema lelang Sertifikat Deposito Bank Indonesia (SDBI) dari variable rate tender menjadi fixed rate tender dan menyesuaikan pricing serta menerbitkan SDBI tenor 6 bulan. "BI kembali menerbitkan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) bertenor 9 bulan dan 12 bulan dengan mekanisme lelang fixed rate tender dan menyesuaikan pricing," ujarnya.
BI jugamenurunkan batas pembelian valas tanpa pembuktian dokumen underlying transaction, dari yang berlaku saat ini 100 ribu dollar AS menjadi 25 ribu dollar AS per nasabah per bulan.
Juda menilai bahwa nilai tukar rupiah atas dolar AS sudah di luar batas kewajaran, melihat pelemahannya saat ini, menggaungkan lagi pernyataan BI bahwa rupiah saat ini di bawah nilai sebenarnya.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar