Pelemahan rupiah yang berlarut-larut karena kebijakan
moneter China bisa membawa Indonesia kembali kepada krisis moneter. Namun
otoritas moneter dalam negeri yang tak mau mimpi buruk itu terulang menggelar
sederet kebijakan.
Tidak bisa dipungkiri, kini banyak orang yang memperkirakan
bahwa krisis moneter seperti 18 tahun lalu tampaknya bukan hal yang muskil terjadi
dan jauh dari kenyataan untuk Indonesia saat ini. terutama ketika otoritas
moneter China tiba-tiba mendevaluasi mata uangnya bulan lalu, yang membuat dunia
tersentak, negara maju terkaget-kaget dan emerging
market terhenyak.
China telah menurunkan kurs
referensi yuan, tiga kali berturut-turut sampai bulan lalu, menjadikan mata
uang itu lebih rendah hampir 2 persen di hadapan dollar AS. Para analis menilai
langkah tersebut sebagai upaya China mendongkrak ekspor dengan membuat harga
barangnya lebih murah di luar negeri dan mendorong reformasi ekonomi untuk
menjadi salah satu cadangan mata uang di kelompok Dana Moneter Internasional
(IMF).
Berdasarkan data pemerintah China,
pada Juli, ekspor negara itu telah menurun 8,3 persen, yang merupakan penurunan
terbesar dalam empat bulan terakhir dan jauh lebih buruk dari perkiraan semula.
Sementara itu, sejak 2005, China terus berupaya untuk menjadikan yuan sebagai
salah satu mata uang dalam
keranjang mata uang cadangan ‘special
drawing rights’ (SDR) IMF. Dan devaluasi bulan lalu akan membuat peluang
itu lebih terbuka.
Dalam kebijakan reformasi 2005,
Tiongkok mengincar untuk menjadikan Yuan masuk dalam mata uang cadangan Dana
Moneter Internasional (IMF). Namun kendali atas Yuan menjadi penghalang mata
uang itu masuk dalam kelompok yang sekarang dihuni dolar AS, Euro,
Poundsterling dan Yen. Langkah Bank Sentral untuk memperbanyak informasi ketika
menetapkan nilai harian bisa dianggap sebagai pelonggaran kendali mereka,
sehingga bisa lebih memenuhi syarat IMF.
“Penyesuaian yang wajar atas nilai
RMB (renminbi/ yuan) bagus untuk ekspor Tiongkok dan juga bagus bagi RMB untuk
bisa menjadi bagian SDR. Namun yang paling penting, langkah ini merupakan
kemajuan utama dalam nilai tukar RMB sejak 2005 dan merupakan langkah besar
bagi nilai jual RMB,” kata Liu Dongmin, Direktur riset keuangan inetrnasional
di Chinese Academy of Social Sciences.
Kebijakan dari China jelas membuat
rupiah makin menderita, setelah berbulan-bulan selalu dibuat ketar-ketir oleh
ketidakjelasan rencana kenaikan suku bunga Bank Sentral AS (Fed Fund Rate/
FFR). Setelah terperosok di bawah level Rp13.000 per dollar AS sepanjang tahun
ini, rupiah akhirnya nyemplung ke
level Rp14.000 per dollar AS, pada pekan ketiga Agustus lalu.
Bank Indonesia tampaknya mengikuti
alur logika pemerintah dengan tetap ‘menyalahkan’ faktor eksternal atas
terdepresiasinya nilai tukar dalam beberapa waktu ke depan. Dalam pengumuman
resminya setelah menetapkan suku bunga acuan tak bergerak di level 7,5 persen
–mempertahankan posisi selama enam bulan berturut-turut, bank sentral
mengatakan pasar keuangan global masih menghadapi risiko tinggi terkait dengan
ketidakpastian kenaikan suku bunga acuan AS dan kebijakan penyesuaian nilai
tukar yuan.
“Depresiasi nilai tukar rupiah, terutama dipengaruhi oleh
sentimen eksternal,” begitu bunyi siaran pers BI. Pada triwulan II 2015, rupiah
secara rata-rata melemah sebesar 2,47 persen (dari triwulan ke triwulan) ke
level Rp13.131 per dolar AS. Tekanan terhadap rupiah pada triwulan kedua, kata
BI, dipengaruhi antisipasi investor atas rencana kenaikkan suku bunga AS (FFR),
dan quantitative easing Bank Sentral
Eropa (ECB), serta dinamika negosiasi fiskal Yunani.
Sementara itu, dari sisi domestik, tekanan rupiah disebabkan
adanya peningkatan permintaan valas untuk pembayaran utang dan dividen sesuai
pola musiman pada triwulan kedua. Namun, kata BI tekanan tersebut sempat tertahan
oleh sentimen positif terkait kenaikan outlook
rating Indonesia oleh S&P dari stable menjadi positif dan meningkatnya
surplus neraca perdagangan. “Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa, sejalan
dengan reaksi pasar global terhadap keputusan Tiongkok yang melakukan
depresiasi mata uang yuan, hampir seluruh mata uang dunia, termasuk rupiah,
mengalami tekanan depresiasi,” kata siaran tersebut.“Bank Indonesia telah dan
akan terus berada di pasar untuk melakukan upaya stabilisasi nilai tukar rupiah
sesuai dengan nilai fundamentalnya.”
Dampak Depresiasi
Secara umum, melemahnya nilai tukar suatu negara sejatinya akan
menjadi motor penggerak ekspor, karena barang produksi negara itu akan
terhitung lebih murah dibanding negara yang mata uangnya menguat. Seperti China
yang melemahkan dengan sengaja mata uangnya, depresiasi rupiah, oleh karena itu
seharusnya membuat ekspor Indonesia makin kompetitif.
Akan tetapi harga komoditas yang sedang terjerembap sekarang
tampaknya menjadi penghalang besar untuk mencapai keuntungan itu. Sejak 2009,
harga-harga komoditas tidak mampu mendongkrak pendapat Indonesia dari ekspor.
Sementara itu, pelemahan nilai tukar juga akan memacu
inflasi karena makin mahalnya barang-barang impor. Hal ini tentu menambah
tekanan pada mata uang rupiah yang memang selalu gemetar setiap kali ada berita
mengenai peningkatan suku bunga dari The Fed.
Di sisi lain, kondisi neraca transaksi berjalan yang masih
defisit dan surat utang berdenominasi dollar yang besar akan membuat ekonomi
Indonesia makin rentan terhadap pelemahan nilai tukar ini. Bahkan yang lebih
mengkhawatirkan, saat ini banyak juga korporasi yang memiliki utang dollar AS,
yang berarti seiring pelemahan rupiah beban utang mereka naik. Kondisi inilah
yang menjadi penyebab ambruknya ekonomi Indonesia pada 1998.
Pemerintah juga tak kalah ekspansifnya berutang dengan
mengedepankan strategi front loading.
Realisasi penarikan utang dari pasar obligasi negara selama
kuartal pertama 2015 sebesar Rp 144,39 triliun atau 48,5 persen dari yang
ditargetkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP). Sebagai
perbandingan realisasi belanja pemerintah selama kurun waktu yang sama tidak
sampai 30 persen.
Sepanjang triwulan kedua 2015, defisit transaksi defisit
transaksi berjalan tercatat sebesar 4,5 miliar dolar AS (2,1 persen dari PDB),
lebih rendah dibandingkan dengan defisit pada triwulan yang sama tahun
sebelumnya sebesar 9,6 miliar dolar AS (4,3 persen). Meski begitu, penurunan
defisit lebih disebabkan oleh menurunnya impor nonmigas, bukan dari
meningkatnya ekspor.
Kebijakan Moneter
BI tentu tidak tinggal diam
melihat pelemahan rupiah yang makin dalam. Otoritas moneter pun sudah menggelar
setidaknya sederet kebijakan untuk meredam pelemahan nilai tukar. Selain melakukan
intervensi di pasar valas untuk mengendalikan volatilitas nilai tukar rupiah
dengan menggunakan cadangan devisa, BI juga
membeli Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder.
"Kami juga memperkuat
pengelolaan likuiditas rupiah melalui Operasi Pasar Terbuka (OPT) guna
mengalihkan likuiditas harian tenor yang lebih panjang," kata Direktur
Eksekutif Departemen Kebijakan Ekonomi dan Monoter BI, Juda Agung.
Dalam operasi pasar terbuka, BI
akan menyerap likuiditas perbankan yang berlebih dan menempatnya pada instrumen
yang bersifat jangka panjang. Setidaknya ada 3 langkah yang diambil dalam
Operasi Pasar Terbuka. BI akan mengubah mekanisme lelang Reverse Repo (RR) SBN
dari variable rate tender menjadi fixed rate tender, kemudian menyesuaikan
pricing RR SBN dan memperpanjang tenor dengan menerbitkan RR SBN 3 bulan.
Masih dalam Operasi Pasar Terbuka,
BI akan mengubah skema lelang Sertifikat Deposito Bank Indonesia (SDBI) dari
variable rate tender menjadi fixed rate tender dan menyesuaikan pricing serta
menerbitkan SDBI tenor 6 bulan. "BI kembali menerbitkan Sertifikat Bank
Indonesia (SBI) bertenor 9 bulan dan 12 bulan dengan mekanisme lelang fixed
rate tender dan menyesuaikan pricing," ujarnya.
BI jugamenurunkan batas pembelian
valas tanpa pembuktian dokumen underlying
transaction, dari yang berlaku saat ini 100 ribu dollar AS menjadi 25 ribu
dollar AS per nasabah per bulan.
Juda menilai bahwa nilai tukar
rupiah atas dolar AS sudah di luar batas kewajaran, melihat pelemahannya saat
ini, menggaungkan lagi pernyataan BI bahwa rupiah saat ini di bawah nilai
sebenarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar