Selasa, 19 Januari 2016

Terpuruk di Akhir Tahun

Nilai tukar rupiah melemah menjelang tutup tahun dan akan bertahan sampai awal tahun depan. Kondisi neraca transaksi berjalan yang belum berubah yang disebabkan pola ekspor impor yang relatif tidak seimbang membuat tekanan kepada nilai tuka belum akan berkurang.

Tahun ini nilai tukar rupiah bergerak seperti perosotan yang biasa dimainkan oleh anak-anak. Bergerak mulai dari level yang tinggi, akhirnya berakhir pada level yang lebih rendah. Padahal optimisme di awal tahun terbilang sangat tinggi mengingat kepemimpinan Joko Widodo dan Jusuf Kalla menebar harapan bahwa ekonomi akan lebih baik.
Akan tetapi pada akhirnya semuanya tinggal harapan. Menjelang akhir tahun 2015, nilai tukar rupiah melemah dan menembus 14.000 per dollar AS, level yang dua bulan sebelumnya sudah ditinggalkan. Sejak Agustus tahun ini, rupiah melemah hingga nyaris nyaris menyentuh Rp14.500 per dollar AS, sementara pada kurs tengah Bank Indonesia rupiah berada di level Rp14.470. Di tempat penukaran uang asing, dollar AS bahkan sudah diperdagangkan melampaui level tersebut. Nilai tukar rupiah tersebut hampir menyamai level pelemahan pada saat krisis 17 tahun lalu.
Kini rupiah kembali ke level tersebut dan banyak pihak meramalkan pelemahan itu akan berlanjut hingga awal tahun depan. Bank Indonesia sebagai pengawal nilai tukar RI malahan memberikan petunjuk bahwa nilai tukar kemungkinan belum akan menguat mengingat perkembangan ekspor impor yang belum mendukung dan neraca transaksi berjalan yang masih defisit.
Hampir sepanjang tahun ini angka impor masih lebih tinggi daripada angka ekspor yang terus menekan nilai tukar rupiah karena tingginya permintaan mata uang asing seperti dolar untuk pembayaran. “Selama impor lebih tinggi dari ekspor, nggak mungkin rupiah menguat," kata Agus DW Martowardojo, Gubernur Bank Indonesia.
Malahan angka defisit ini, sudah terjadi sejak tahun 2011 karena ekspor sektor komoditas yang menjadi andalan Indonesia mulai melempem di pasar dunia. Ekspor non migas dalam sepuluh tahun terakhir juga mengalami penurunan dari 162 dollar AS pada 2011 menjadi kurang dari 140 dollar AS tahun ini.
Di sisi lain, impor terus menanjak. Selain karena banyak kegiatan ekspor yang dibiayai impor juga karena tingkat konsumsi masyarakat yang masih cukup tinggi. Meski demikian, nilai impor yang tahun ini diprediksi akan meningkat tajam karena digenjotnya proyek-proyek infrastruktur tidak terjadi.
Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Perekonomian Bobby Hamzar Rafinus mengungkapkan, memasuki akhir tahun, kegiatan pembangunan infrastruktur cenderung lebih kencang. Kinerja impor masih mengalami penurunan dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. “Penurunan impor sudah lebih lambat dibanding sebelumnya. Ada infrastruktur dan manufaktur mulai bergerak dibanding lalu. Bisa jadi, kalaupun surplus, agak tipis," kata Bobby.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), Neraca berdagangan pada Oktober lalu mengalami surplus 1,01 miliar dollar AS. Meski demikian, Indonesia masih menghadapi tantangan defisit mengingat China masih mendominasi perdagangan dengan Indonesia apalagi Negeri Tirai Bambu itu sudah mendevaluasi mata uang yuannya sehingga harga produk-produknya lebih murah.
Hal ini pula yang menyebabkan impor Indonesia dari China membengkak. “Ini satu kondisi yang membuat kita harus meningkatkan daya saing kita. Kalau tidak, nanti defisit neraca dagang kita dengan China makin besar, jikda tidak meningkatkan daya saing dari barang produksi kita," kata Bobby.
Sementara itu, ekonom Bank Pembangunan Singapura atau Development Bank of Singapore (DBS) Gundy Cahyadi mengatakan, neraca perdagangan mengalami surplus karena penurunan impor yang lebih dalam dibandingkan ekspor. Menurut data impor November year on year turun 19,1 persen dan ekspor turun 10,2 persen.

Level Rp14.000

Sekadar mengingat kembali, ketika Presiden Joko Widodo dilantik Oktober 2014 lalu, nilai tukar rupiah masih bertengger di level Rp12.000-an per dollar AS dan kemudian memasuki 2015 angkanya mulai melemah menjadi Rp12.500 per dollar AS. Sejak itu, rupiah tidak lagi perkasa di hadapan dollar AS dan ketika nilainya nyaris menyentuh level Rp14.000 per dollar AS pada September, pemerintah mulai mengeluarkan paket-paket kebijakan untuk menstimulus perekonomian.
Pada awal pekan kedua bulan Desember rupiah melemah hingga kembali menyentuh level Rp 14.111 per dolar AS atau melemah sekitar 0,5 persen dari pekan sebelumnya. Saat itu rupiah diperdagangkan sebesar Rp 14.076 per dollar AS, melemah dibandingkan akhir pekan sebelumnya yang masih sebesar Rp 13.937 per dollar AS.
Gubernur BI Agus Martowardojo mengatakan pelemahan rupiah kali ini akibat dampak kemungkinan kenaikan suku bunga AS pada rapat Komisi Pasar Terbuka Federal AS (FOMC) pada 17 Desember lalu. Mengutip hasil survei terhadap para pelaku pasar, Agus mengungkapkan, 96 persen responden yakin bunga AS akan naik pada itu dan hal itulah yang menyebabkan rupiah terus melemah hingga menembus level 14.000 per dolar AS.
Namun demikian, BI juga mewaspadai dampak kemungkinan dinaikkanya suku bunga AS pada setiap kuartal tahun depan hingga mencapai 1,125 persen. Kemudian, suku bunga AS itu bakal naik terus sampai 2,625 persen pada tahun 2017. “Kenaikan secara gradual ini perlu diwaspadai karena ada kecenderungan dolar AS menguat," kata Agus.
Karena itulah, BI bersikap hati-hati dan konsisten menjaga inflasi sebesar tiga persen tahun ini. Level inflasi tersebut selaras dengan negara-negara ASEAN lainnya. Selain itu, BI berusaha menjaga defisit transaksi berjalan pada posisi yang aman, yakni 2,5 persen sampai tiga persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Salah satu caranya adalah meminta pemerintah terus mengeluarkan paket kebijakan ekonomi untuk meningkatkan kepercayaan pasar.
Tahun depan, tantangan pelemahan nilai tukar tidak berkurang. Menurut Institute for Development of Economics and Finance (Indef), nilai tukar rupiah pada 2016 akan tetap berada di level Rp14.000 per dollar AS. Perkembangan neraca perdagangan menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi nilai tukar.
“Neraca perdagangan memang surplus tetapi disebabkan karena penurunan impor yang lebih cepat dibandingkan ekspor, neraca transaksi jasa dan pendapatan dipastikan negatif,” kata Enny Sri Hartati, Direktur Indef.
Pelemahan nilai tukar juga akan dipengaruhi oleh keputusan Bank Sentral AS yang diprediksi akan menaikkan suku bunganya tahun depan. Perbaikan ekonomi AS pada akhirnya kan mendorong The Fed untuk menaikkan suku bunganya yang sudah ditunda berbulan-bulan.
Selain itu, pelemahan permintaan dari China juga memberikan dampak pada pelemahan rupiah. “Melemahnya ekspor ke China ditambah suku bunga kredit kita yang tinggi akan memicu peningkatan utang luar negeri yang berbunga rendah. Akibatnya, tekanan terhadap rupiah semakin sulit diminimalkan,” kata Enny.
Jadi kemungkinan besar nilai tukar rupiah masih akan meneruskan pelemahan di awal tahun. Akankah kembali menjadi seperti perosotan?








Tidak ada komentar:

Posting Komentar