Pelemahan ekonomi kembali memunculkan kondisi dilematis buat
bank pembangunan daerah. Ketakutan pemerintah di daerah dalam menggunakan
anggarannya membuat biaya dana bank makin mencekik. Di sisi lain, likuiditas
bank daerah sangat membutuhkan dana-dana tersebut.
Ketika sinyal perlambatan ekonomi mulai mencuat pada akhir
triwulan pertama tahun ini, banyak pihak yang langsung mengarahkan perhatiannya
pada bank-bank nasional, tanpa banyak yang menoleh kepada bank-bank daerah. Padahal,
bergerak atau mandeknya perekonomian justru dilihat dari kegiatan-kegiatan
ekonomi di daerah.
Oleh karena itu, dampak pelemahan ekonomi yang berlangsung
tahun ini akan lebih dirasakan oleh bank-bank daerah. Namun demikian,
pertumbuhan yang melambat bukanlah satu-satunya tantangan bagi para pengelola
Bank Pembangunan Daerah (BPD) dalam menjalani bisnis tahun ini. Pelemahan
ekonomi kembali mengangkat masalah lama yang mengungkung bank-bank daerah
selama ini yaitu masih lambannya penggunaan dana-dana anggaran oleh pemimpin
pemerintah daerah yang disebabkan prosedur pencairan dana dari pusat yang
dinilai berbelit. Tidak hanya itu, pemimpin pemerintah kabupaten selama ini
juga dihantui rasa khawatir jika pengguna anggaran dalam melaksanakan proyek
yang dimungkinkan bersentuhan dengan hukum.
Beberapa waktu lalu, Menteri Keuangan Bambang P.S
Brodjonegoro menyalahkan lambannya pemerintah daerah menyerap anggaran yang
kemudian berdampak pada lambatnya pertumbuhan ekonomi. Pada triwulan pertama
pertumbuhan ekonomi hanya mencapai 4,71 persen dan triwulan berikutnya hanya
4,68 persen. Pencapaian itu jauh dari target yang ditetapkan pemerintah dalam
APBN tahun ini yang sudah direvisi ke bawah yaitu 5,2 persen.
Bambang menyebut ada sekitar Rp 273,5 triliun dana pemerintah
daerah yang menganggur tersimpan di bank pembangunan daerah (BPD). Di mana
sampai saat ini tersebut masih menganggur dan belum digunakan Pemda untuk
menjalankan program pembangunan yang dinilai mampu untuk menstimulus
perekonomian daerah. “Jadi kalau ada yang tanya kenapa pertumbuhan ekonomi
melambat, salah satunya karena Rp 273,5 triliun dan masih mengendap di
bank," ujar Bambang ketika itu.
Bambang menyampaikan, pada Januari 2015, dana pemda di BPD
baru Rp169 triliun, Februari meningkat menjadi Rp180 triliun, Maret menjadi Rp
227,7 triliun, April sebesar Rp 253,7 triliun, dan Mei sebesar Rp 255,3
triliun. Makin banyak endapan dana pemda yang tidak dimanfaatkan bank tentunya
akan makin membebani bank tersebut.
Kondisi tersebut memang menjadi dilema rutin bagi pengelola
BPD di hampir seluruh daerah di Indonesia. Pasalnya, jika pemerintah daerah
tidak kunjung menggunakan dana anggaran untuk pembangunan maka akan makin berat
beban bagi bank daerah karena biasanya dana-dana yang disimpan BPD itu
mendapatkan bunga premium rate.
Bahkan, banyak pemerintah daerah yang mengandalkan pendapatan asli daerah dari
dana yang ditaruh di BPD dan meminta suku bunga di atas counter rate.
Direksi BPD tentunya tidak bisa berbuat apa-apa karena
mereka diangkat oleh pemegang saham yang notabene adalah para pemimpin daerah
seperti bupati dan gubernur. Hal itu tentu akan mengimbas pada kinerja keuangan
BPD. Setidaknya saja bank-bank daerah akan kehilangan margin karena harus
membayar biaya dana (cost of fund)
yang lebih besar—sementara perekonomian daerah tak bergerak dan bankir daerah
pun melempar kembali ke pasar uang dan ke Sertifikat Bank Indonesia (SBI).
Menurut data dari Bank Indonesia, pendapatan BPD dari bunga
karena menempatkan dana di Bank Indonesia terus meningkat secara konsisten dari
Rp55 miliar pada Januari hingga lebih dari 10 kali lipatnya pada Agustus
sebesar Rp685 miliar.
Jawaban Pemda
Sementara itu menanggapi Menteri Keuangan yang menyatakan
bahwa penyebab ekonomi melambat adalah karena banyaknya dana mengendap di BPD,
pemerintah daerah mengatakan bahwa hal itu tidak seluruhnya benar.
Ketua Umum Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia
(APKASI) Mardani H. Mamming, mengatakan bahwa lambatnya serapan dana daerah
tidak lepas dari prosedur dari pusat yang dinilai berbelit. Tidak hanya itu,
pemimpin daerah selama ini juga dihantui rasa khawatir jika pengguna anggaran
dalam melaksanakan proyek yang dimungkinkan bersentuhan dengan hukum. “Risiko
untuk bersentuhan dengan masalah hukum terkait penggunaan anggaran dari pusat,
membuat daerah ragu untuk segera menggunakan dana tersebut,” kata Mardani.
Selain itu, tertahannya dana di bank daerah sebagai akibat
penyerapan anggaran yang lambat oleh pemda, juga disebabkan oleh prosedur dan
ketentuan perundang-undangan terkait kegiatan atau proyek yang harus melalui
proses dan jadwal. “Sehingga penyerapan anggaran baru dapat dilakukan setelah
proses dilalui, seperti lelang dan lainnya," ujar Mardani.
Dan yang masih menjadi isu penting buat pejabat daerah
adalah ketakutan pengguna anggaran dalam melaksanakan proyek yang dimungkinkan
bersentuhan dengan hukum. “Faktor tersebut yang hampir sama dialami oleh daerah
dalam penyerapan anggaran yang mengakibatkan dana tertahan di bank daerah dalam
waktu yang lama," kata Mardani.
Solusi atas perbedaan pandangan atas mandeknya dana daerah
ini, menurut Mardani, perlu adanya evaluasi terkait beberapa peraturan dan
proses penyerapan yang lebih sederhana. Sehingga, mempermudah daerah melakukan
kegiatan.
“mungkin prosedurnya dipermudah dan juga tentunya yang
paling mendasar adalah kenyamanan para PA (pengguna anggaran) dalam bertugas
agar tidak terlalu dihantui ketakutan akan permasalahan hukum," kata
Mardani.
Meski begitu, semua memang sudah hampir terlambat karena BPD
sudah terimbas pelemahan ekonomi. Laba sebelum pajak bank-bank daerah menurut
catatan BI, terus melemah sejak awal tahun ini hingga Agustus, dengan
pengecualian pada Maret di mana laba meningkat dari Rp12,9 triliun menjadi
Rp14,5 triliun. Setelah itu pencapaian labanya terus menurun hingga pada
Agustus tinggal Rp11,3 triliun. Hal itu tak pelak membuat tingkat pengembalian
aset bank daerah juga menurun, dari Januari yang masih sebesar 3,32 persen
menjadi hanya 2,22 persen pada Agustus.
Sementara itu rasio pemberian kredit dan dana pihak ketiga
(LDR) juga menunjukan pelambatan dari 83,38 persen pada Januari menjadi 71,89
persen pada Agustus. Hal itu disebabkan kecepatan peningkatan DPK lebih besar
dari kecepatan penyaluran kredit, yang kemungkinan dipicu oleh tingginya suku
bunga.
Akan tetapi bukan berarti tidak ada solusi untuk mendongkrak
kinerja BPD di waktu yang tersisa sebelum tahun ini berakhir. Apalagi
pemerintah telah meluncurkan beberapa paket kebijakan yang bisa dimanfaatkan
para pelaku ekonomi di daerah untuk mendorong pertumbuhan.
Pemerintah pusat sendiri bahkan terang-terangan meminta
dukungan pemerintah daerah untuk menyukseskan sejumlah insentif di berbagai
sektor industri dan juga ada paket kebijakan pengurangan pajak.
Paket kebijakan ekonomi jilid IV yang terakhir diluncurkan
bahkan menitikberatkan pada insentif yang diberikan pemerintah terkait
pengurangan pajak. Kebijakan insentif itu bisa dilakukan oleh pemerintah daerah,
asalkan sesuai dengan visi-misi pemerintah.
“Silakan, daerah sangat mungkin memberikan, kan ada pajak
daerah, pajak retribusi daerah. Justru yang kami khawatirkan saat ini,
pemerintah pusat melakukan deregulasi namun pemda tidak melakukan,” kata
Menteri Bambang.
Pasalnya, kata dia, tak sedikit pemerintah daerah yang belum
sejalan dengan program deregulasi pemerintah pusat mengenai pengurusan
perizinan. Ia menggambarkan mengenai pemangkasan waktu perizinan pada tataran
lembaga pemerintah pusat, namun investor terganjal pada tataran pemerintah
daerah.
“Tahu-tahu di daerah, Izin Mendirikan Bangunan atau Izin
Gangguan (HO) dan segala macam, masih panjang. Daerah harus sinkron dengan
pusat, semangatnya harus sama; deregulasi,” tuturnya. Begitu juga dengan masih
maraknya pungutan liar. “Pungutan-pungutan yang tidak perlu itu dihapus, karena
masih banyak pungutan yang tidak pas.”
Modal BPD Agustus 2015
Modal disetor :
28,209 triliun
Cadangan :
15,374 triliun
L/R tahun lalu :
1,274 triliun
L/R thn berjalan seseudah pajak : 6,294 triliun
Tambahan modal disetor :
1,575 triliun
Modal pinjaman :
1.004 triliun
Tidak ada komentar:
Posting Komentar