Selasa, 19 Januari 2016

Ancaman Baru Hantu Lama

Pelemahan ekonomi kembali memunculkan kondisi dilematis buat bank pembangunan daerah. Ketakutan pemerintah di daerah dalam menggunakan anggarannya membuat biaya dana bank makin mencekik. Di sisi lain, likuiditas bank daerah sangat membutuhkan dana-dana tersebut.

Ketika sinyal perlambatan ekonomi mulai mencuat pada akhir triwulan pertama tahun ini, banyak pihak yang langsung mengarahkan perhatiannya pada bank-bank nasional, tanpa banyak yang menoleh kepada bank-bank daerah. Padahal, bergerak atau mandeknya perekonomian justru dilihat dari kegiatan-kegiatan ekonomi di daerah.
Oleh karena itu, dampak pelemahan ekonomi yang berlangsung tahun ini akan lebih dirasakan oleh bank-bank daerah. Namun demikian, pertumbuhan yang melambat bukanlah satu-satunya tantangan bagi para pengelola Bank Pembangunan Daerah (BPD) dalam menjalani bisnis tahun ini. Pelemahan ekonomi kembali mengangkat masalah lama yang mengungkung bank-bank daerah selama ini yaitu masih lambannya penggunaan dana-dana anggaran oleh pemimpin pemerintah daerah yang disebabkan prosedur pencairan dana dari pusat yang dinilai berbelit. Tidak hanya itu, pemimpin pemerintah kabupaten selama ini juga dihantui rasa khawatir jika pengguna anggaran dalam melaksanakan proyek yang dimungkinkan bersentuhan dengan hukum.
Beberapa waktu lalu, Menteri Keuangan Bambang P.S Brodjonegoro menyalahkan lambannya pemerintah daerah menyerap anggaran yang kemudian berdampak pada lambatnya pertumbuhan ekonomi. Pada triwulan pertama pertumbuhan ekonomi hanya mencapai 4,71 persen dan triwulan berikutnya hanya 4,68 persen. Pencapaian itu jauh dari target yang ditetapkan pemerintah dalam APBN tahun ini yang sudah direvisi ke bawah yaitu 5,2 persen.
Bambang menyebut ada sekitar Rp 273,5 triliun dana pemerintah daerah yang menganggur tersimpan di bank pembangunan daerah (BPD). Di mana sampai saat ini tersebut masih menganggur dan belum digunakan Pemda untuk menjalankan program pembangunan yang dinilai mampu untuk menstimulus perekonomian daerah. “Jadi kalau ada yang tanya kenapa pertumbuhan ekonomi melambat, salah satunya karena Rp 273,5 triliun dan masih mengendap di bank," ujar Bambang ketika itu.
Bambang menyampaikan, ‎pada Januari 2015, dana pemda di BPD baru Rp169 triliun, Februari meningkat menjadi Rp180 triliun, Maret menjadi Rp 227,7 triliun, April sebesar Rp 253,7 triliun, dan Mei sebesar Rp 255,3 triliun. Makin banyak endapan dana pemda yang tidak dimanfaatkan bank tentunya akan makin membebani bank tersebut.
Kondisi tersebut memang menjadi dilema rutin bagi pengelola BPD di hampir seluruh daerah di Indonesia. Pasalnya, jika pemerintah daerah tidak kunjung menggunakan dana anggaran untuk pembangunan maka akan makin berat beban bagi bank daerah karena biasanya dana-dana yang disimpan BPD itu mendapatkan bunga premium rate. Bahkan, banyak pemerintah daerah yang mengandalkan pendapatan asli daerah dari dana yang ditaruh di BPD dan meminta suku bunga di atas counter rate.
Direksi BPD tentunya tidak bisa berbuat apa-apa karena mereka diangkat oleh pemegang saham yang notabene adalah para pemimpin daerah seperti bupati dan gubernur. Hal itu tentu akan mengimbas pada kinerja keuangan BPD. Setidaknya saja bank-bank daerah akan kehilangan margin karena harus membayar biaya dana (cost of fund) yang lebih besar—sementara perekonomian daerah tak bergerak dan bankir daerah pun melempar kembali ke pasar uang dan ke Sertifikat Bank Indonesia (SBI).
Menurut data dari Bank Indonesia, pendapatan BPD dari bunga karena menempatkan dana di Bank Indonesia terus meningkat secara konsisten dari Rp55 miliar pada Januari hingga lebih dari 10 kali lipatnya pada Agustus sebesar Rp685 miliar.



Jawaban Pemda            
Sementara itu menanggapi Menteri Keuangan yang menyatakan bahwa penyebab ekonomi melambat adalah karena banyaknya dana mengendap di BPD, pemerintah daerah mengatakan bahwa hal itu tidak seluruhnya benar.
Ketua Umum Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) Mardani H. Mamming, mengatakan bahwa lambatnya serapan dana daerah tidak lepas dari prosedur dari pusat yang dinilai berbelit. Tidak hanya itu, pemimpin daerah selama ini juga dihantui rasa khawatir jika pengguna anggaran dalam melaksanakan proyek yang dimungkinkan bersentuhan dengan hukum. “Risiko untuk bersentuhan dengan masalah hukum terkait penggunaan anggaran dari pusat, membuat daerah ragu untuk segera menggunakan dana tersebut,” kata Mardani.
Selain itu, tertahannya dana di bank daerah sebagai akibat penyerapan anggaran yang lambat oleh pemda, juga disebabkan oleh prosedur dan ketentuan perundang-undangan terkait kegiatan atau proyek yang harus melalui proses dan jadwal. “Sehingga penyerapan anggaran baru dapat dilakukan setelah proses dilalui, seperti lelang dan lainnya," ujar Mardani.
Dan yang masih menjadi isu penting buat pejabat daerah adalah ketakutan pengguna anggaran dalam melaksanakan proyek yang dimungkinkan bersentuhan dengan hukum. “Faktor tersebut yang hampir sama dialami oleh daerah dalam penyerapan anggaran yang mengakibatkan dana tertahan di bank daerah dalam waktu yang lama," kata Mardani.
Solusi atas perbedaan pandangan atas mandeknya dana daerah ini, menurut Mardani, perlu adanya evaluasi terkait beberapa peraturan dan proses penyerapan yang lebih sederhana. Sehingga, mempermudah daerah melakukan kegiatan.
“mungkin prosedurnya dipermudah dan juga tentunya yang paling mendasar adalah kenyamanan para PA (pengguna anggaran) dalam bertugas agar tidak terlalu dihantui ketakutan akan permasalahan hukum," kata Mardani.
Meski begitu, semua memang sudah hampir terlambat karena BPD sudah terimbas pelemahan ekonomi. Laba sebelum pajak bank-bank daerah menurut catatan BI, terus melemah sejak awal tahun ini hingga Agustus, dengan pengecualian pada Maret di mana laba meningkat dari Rp12,9 triliun menjadi Rp14,5 triliun. Setelah itu pencapaian labanya terus menurun hingga pada Agustus tinggal Rp11,3 triliun. Hal itu tak pelak membuat tingkat pengembalian aset bank daerah juga menurun, dari Januari yang masih sebesar 3,32 persen menjadi hanya 2,22 persen pada Agustus.
Sementara itu rasio pemberian kredit dan dana pihak ketiga (LDR) juga menunjukan pelambatan dari 83,38 persen pada Januari menjadi 71,89 persen pada Agustus. Hal itu disebabkan kecepatan peningkatan DPK lebih besar dari kecepatan penyaluran kredit, yang kemungkinan dipicu oleh tingginya suku bunga.
Akan tetapi bukan berarti tidak ada solusi untuk mendongkrak kinerja BPD di waktu yang tersisa sebelum tahun ini berakhir. Apalagi pemerintah telah meluncurkan beberapa paket kebijakan yang bisa dimanfaatkan para pelaku ekonomi di daerah untuk mendorong pertumbuhan.
Pemerintah pusat sendiri bahkan terang-terangan meminta dukungan pemerintah daerah untuk menyukseskan sejumlah insentif di berbagai sektor industri dan juga ada paket kebijakan pengurangan pajak.
Paket kebijakan ekonomi jilid IV yang terakhir diluncurkan bahkan menitikberatkan pada insentif yang diberikan pemerintah terkait pengurangan pajak. Kebijakan insentif itu bisa dilakukan oleh pemerintah daerah, asalkan sesuai dengan visi-misi pemerintah.
“Silakan, daerah sangat mungkin memberikan, kan ada pajak daerah, pajak retribusi daerah. Justru yang kami khawatirkan saat ini, pemerintah pusat melakukan deregulasi namun pemda tidak melakukan,” kata Menteri Bambang.
Pasalnya, kata dia, tak sedikit pemerintah daerah yang belum sejalan dengan program deregulasi pemerintah pusat mengenai pengurusan perizinan. Ia menggambarkan mengenai pemangkasan waktu perizinan pada tataran lembaga pemerintah pusat, namun investor terganjal pada tataran pemerintah daerah.
“Tahu-tahu di daerah, Izin Mendirikan Bangunan atau Izin Gangguan (HO) dan segala macam, masih panjang. Daerah harus sinkron dengan pusat, semangatnya harus sama; deregulasi,” tuturnya. Begitu juga dengan masih maraknya pungutan liar. “Pungutan-pungutan yang tidak perlu itu dihapus, karena masih banyak pungutan yang tidak pas.”



Modal BPD Agustus 2015

Modal disetor                                    : 28,209 triliun
Cadangan                                            : 15,374 triliun
L/R tahun lalu                                    : 1,274 triliun
L/R thn berjalan seseudah pajak               : 6,294 triliun
Tambahan modal disetor              : 1,575 triliun
Modal pinjaman                               : 1.004 triliun


Tidak ada komentar:

Posting Komentar