Selasa, 19 Januari 2016

Bongkar Menteri, Pebisnis ‘Wait and See’

Risiko politik yang mungkin paling mengancam adalah soal penggantian menteri atau reshuffle. Pertengahan tahun lalu, Presiden Jokowi sudah melakukannya dan tahun ini tampaknya sasaran utama tertuju pada Kementerian BUMN, Kementerian ESDM. Bagaimana hal ini akan mempengaruhi keputusan bisnis?

Salah satu hambatan nyata bagi kelancaran roda perekonomian dan bisnis adalah kepastian hukum dan aturan. Buat pebisnis, apalagi mereka yang memiliki investasi yang besar dalam menjalankan usahanya, aturan yang pasti dan jelas merupakan tuntutan mereka yang paling utama. Dalam konteks Indonesia, tahun ini, risiko politik itu salah satunya berasal dari pergantian menteri-menteri dalam pemerintahan.
Tahun ini, ditengarai, Presiden Joko Widodo kembali akan mengganti beberapa menterinya demi mengkompromikan pemerintahannya demi mendapatkan dukungan politik lebih besar. spekulasi beberapa menteri yang akan diganti sudah banyak muncul di media, baik media resmi maupun media sosial. Di antara yang paling santer akan diganti adalah Menteri Badan Usaha Milik Negara, Rini Soemarno dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Sudirman Said.
Rini dan Said dinilai banyak menyebabkan kegaduhan di pemerintahan. Rini memang telah lama tidak disukai oleh partai penyokong terbesar pemerintahan Jokowi yaitu PDIP, sementara Said dinilai banyak membuat kisruh terutama ketika menyulut persoalan kontrak Freeport lewat rekaman pembicaraan politisi dengan Bos perusahaan tambang milik AS itu.
“Menteri BUMN Rini Soemarno dan Menteri ESDM Sudirman Said adalah bagian dari episentrum kegaduhan. Apa yang mereka kerjakan tidak sesuai dengan Nawa Cita. Ini yang akan membawa Nawa Cita menjadi dukacita. Apa yang mau dipertahankan?” kata politikus PDIP, Masinton Pasaribu.
Masinton menerangkan, hal itu terjadi karena tidak semua menteri dalam Kabinet Kerja memahami konsep Nawa Cita yang diusung Jokowi. "Kalau dia memahami, Menteri ESDM tidak akan bernegosiasi dengan Freeport untuk perpanjangan kontrak. Kalau dia memahami, Menteri BUMN tidak mengizinkan kontrak pengelolaan peti kemas."
Secara politik pun, lanjut Masinton, Rini tidak memperoleh dukungan dari DPR. Hal itu dibuktikan dengan ditolaknya usulan Penyertaan Modal Negara (PMN) dalam APBN 2016 oleh DPR. Saat itu seluruh fraksi bulat menolak yang bisa diartikan Menteri Rini tidak mendapat dukungan politik.
Sementara itu, Sudirman Said, kata Masinton, sudah kehilangan legitimasi pasca kisruh sang menteri dengan parlemen terkait perpanjangan kontrak Freeport.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Lingkar Madani Ray Rangkuti mengatakan, wacana perombakan Kabinet Kerja yang mencuat beberapa waktu terakhir dinilai tepat untuk meminimalisir dominasi kekuatan parpol tertentu di dalam pemerintahan.
Menurut dia, dengan masuknya partai politik baru ke dalam pemerintahan, maka Presiden Jokowi akan memiliki lebih banyak peluang untuk mengendalikan pemerintahan yang ada. Sebab, jika parpol baru mendapatkan jatah kursi di kabinet, maka parpol yang sebelumnya merasa mendominasi pemerintahan akan berpikir ulang untuk macam-macam ke Jokowi.
"Dengan begitu, Jokowi memiliki banyak pilihan. Kalau bidak satu banyak, merasa dominan, ya tinggal dikurangi wewenangnya dengan memasukkan 'bidak baru'," kata Ray dalam sebuah diskusi di Jakarta.
Tahun lalu Partai Amanat Nasional mengumumkan bergabung dengan pemerintahan yang artinya mengakhiri keberadaan partai tersebut dalam oposisi dalam Koalisi Merah Putih. Dan untuk mengapresiasi dukungan tersebut, Presiden Jokowi tampaknya akan mengakomodir orang-orang PAN untuk masuk dalam kabinet.
Ray yakin Presiden Jokowi akan belajar dari pengalaman perombakan kabinet jilid pertama, terutama, dari aspek politik dan efektivitas kinerja dari setiap kementerian yang ada.
"Jokowi nanti bisa melihat atau test case, ada perlawanan tidak saat reshuffle. Tapi yang jelas, dengan adanya reshuffle jilid dua ini Jokowi tidak memiliki halangan baik secara psikologis maupun politik. Karena itu tadi, pilihan ‘bidaknya’ banyak," kata dia.

Bisnis Wait and See

Tahun lalu, beberapa bulan setelah pemerintahannya berjalan, Presiden Jokowi juga telah mengganti lima menteri dan sekretaris kabinet.Thomas Lembong sebagai Menteri Perdagangan mengantikan Rahmat Gobel, Darmin Nasution sebagai Menteri Kordinator Ekonomi menggantikam Sofyan Djalil, Pramono Anung sebagai Sekertaris Kabinet menggantikan Andi Widjajanto, Luhut Binsar Pandjaitan sebagai Menko Polhukam menggantikan Tedjo Edhi Pudjianto, Rizal Ramli sebagai Menko Kemaritiman menggantikan Indroyono Soesilo dan Sofyan Djalil menjadi Menteri PPN/Kepala Bapennas menggantikan Andrinof Chaniago.
Saat itu, Menteri BUMN ‘selamat’dari reshuffle dan hal itu sempat membuat partai penyokong pemerintah, PDIP, kecewa. Akibat keputusan tersebut, saat itu muncul spekulasi bahwa akan ada perombakan kabinet jilid selanjutnya.
Pergantian menteri, tidak bisa dipungkiri lagi akan berimbas pada perubahan kebijakan dalam kementerian tersebut. Hal itu tentu akan mempengaruhi rencana bisnis pelaku usaha yang sudah disiapkan sebelumnya, bahkan parahnya lagi bisa mengganjal ekspansi bisnisnya. Itulah risiko politik.
Albert Phung, seorang analis dan penulis di Investopedia.com menulis bahwa ada dua jenis risiko politik, risiko makro dan risiko mikro. Risiko makro mengacu pada kejadian atau tindakan merugikan dari sebuah negara atau pemerintahan yang akan mempengaruhi semua perusahaan. Sedangkan risiko mikro mengacu pada tindakan buruk yang hanya akan mempengaruhi sektor industri tertentu atau bisnis. Memang dia sedang mengaitkan risiko politik sebuah negara bagi perusahaan asing, namun tidak salah jika dikaitkan juga dengan pelaku bisnis domestik.
Pada saat reshuflle tahun lalu, beberapa pengusaha mengaku tidak puas dengan keputusan tersebut. Salah satunya adalah Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia. Ismed Hasan Putro, ketua himpunan tersebut mempertanyakan sikap Presiden yang justru mengganti koordinator dan bukan mengganti menteri yang membidangi langsung.
“Pergantian itu jauh dari harapan pelaku pasar kalangan pengusaha dan investor. Kawan-kawan saya dari Korea, Hongkong, Jerman, menanyakan mengapa justru menteri bermasalah yang tampak di permukaan media internasional direspon justru tidak diganti. Yang diganti justru menko sehingga jauh panggang dari api,” kata Ismed.
Tak pelak kebijakan tersebut akhirnya membuat para pelaku usaha bersikap pasif yakni wait and see. Padahal, pasar tidak bisa menunggu terus dan harus ada kestabilan di pemerintahan.
Pergantian menteri di kabinet Jokowi, lanjut dia, tidak memberikan angin segar ke pasar. Pelaku usaha pun akhirnya bertanya-tanya, apakah persoalan ekonomi sebenarnya berada pada menteri yang membidangi, menteri koordinator atau justru di Presiden dan Wakil Presiden.
“Pasar tidak miliki kepastian tentang arah kebijakan Pemerintah terkait tata kelola ekonomi,” kata Ismed.
Perubahan atau pergantian pejabat juga akan berimbas pada melambatnya kebijakan yang seharusnya diambil karena adanya masa transisi dari pejabat baru ke pejabat lama. Hal ini tentu akan berujung pada melambatnya penyerapan anggaran yang sudah disiapkan.
Tahun lalu, transisi pemerintahan Jokowi ditambah dengan transisi kebijakan menteri-menteri yang baru menjabat membuahkan penyerapan anggaran yang lambat. Hingga September 2015, pemerintah hanya mampu menyerap anggaran belanja sebesar 62,9 persen dan anggaran pendapatan baru 56,2 persen. “Rendahnya target penerimaan negara akan menyebabkan pemerintah mengalami shortfall, di sisi lain masalah klasik penyerapan belanja pemerintah belum juga terselesaikan,” kata Direktur Indef, Enny Sri Hartati.
Jadi apakah perombakan menteri yang akan dilakukan pemerintah kali ini akan berimbas kepada pelambatan ekonomi seperti tahun lalu, atau justru sebaliknya? Menarik untuk kita simak.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar