Risiko politik yang mungkin paling mengancam adalah soal
penggantian menteri atau reshuffle.
Pertengahan tahun lalu, Presiden Jokowi sudah melakukannya dan tahun ini tampaknya
sasaran utama tertuju pada Kementerian BUMN, Kementerian ESDM. Bagaimana hal
ini akan mempengaruhi keputusan bisnis?
Salah satu hambatan nyata bagi kelancaran roda perekonomian
dan bisnis adalah kepastian hukum dan aturan. Buat pebisnis, apalagi mereka
yang memiliki investasi yang besar dalam menjalankan usahanya, aturan yang
pasti dan jelas merupakan tuntutan mereka yang paling utama. Dalam konteks
Indonesia, tahun ini, risiko politik itu salah satunya berasal dari pergantian
menteri-menteri dalam pemerintahan.
Tahun ini, ditengarai, Presiden Joko Widodo kembali akan
mengganti beberapa menterinya demi mengkompromikan pemerintahannya demi
mendapatkan dukungan politik lebih besar. spekulasi beberapa menteri yang akan
diganti sudah banyak muncul di media, baik media resmi maupun media sosial. Di
antara yang paling santer akan diganti adalah Menteri Badan Usaha Milik Negara,
Rini Soemarno dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Sudirman Said.
Rini dan Said dinilai banyak menyebabkan kegaduhan di
pemerintahan. Rini memang telah lama tidak disukai oleh partai penyokong
terbesar pemerintahan Jokowi yaitu PDIP, sementara Said dinilai banyak membuat
kisruh terutama ketika menyulut persoalan kontrak Freeport lewat rekaman
pembicaraan politisi dengan Bos perusahaan tambang milik AS itu.
“Menteri BUMN Rini Soemarno dan Menteri ESDM Sudirman Said
adalah bagian dari episentrum kegaduhan. Apa yang mereka kerjakan tidak sesuai
dengan Nawa Cita. Ini yang akan membawa Nawa Cita menjadi dukacita. Apa yang
mau dipertahankan?” kata politikus PDIP, Masinton Pasaribu.
Masinton menerangkan, hal itu terjadi karena tidak semua menteri
dalam Kabinet Kerja memahami konsep Nawa Cita yang diusung Jokowi. "Kalau
dia memahami, Menteri ESDM tidak akan bernegosiasi dengan Freeport untuk
perpanjangan kontrak. Kalau dia memahami, Menteri BUMN tidak mengizinkan
kontrak pengelolaan peti kemas."
Secara politik pun, lanjut Masinton, Rini tidak memperoleh
dukungan dari DPR. Hal itu dibuktikan dengan ditolaknya usulan Penyertaan Modal
Negara (PMN) dalam APBN 2016 oleh DPR. Saat itu seluruh fraksi bulat menolak
yang bisa diartikan Menteri Rini tidak mendapat dukungan politik.
Sementara itu, Sudirman Said, kata Masinton, sudah kehilangan
legitimasi pasca kisruh sang menteri dengan parlemen terkait perpanjangan
kontrak Freeport.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Lingkar Madani Ray
Rangkuti mengatakan, wacana perombakan Kabinet Kerja yang mencuat beberapa
waktu terakhir dinilai tepat untuk meminimalisir dominasi kekuatan parpol
tertentu di dalam pemerintahan.
Menurut dia, dengan masuknya partai politik baru ke dalam
pemerintahan, maka Presiden Jokowi akan memiliki lebih banyak peluang untuk
mengendalikan pemerintahan yang ada. Sebab, jika parpol baru mendapatkan jatah
kursi di kabinet, maka parpol yang sebelumnya merasa mendominasi pemerintahan
akan berpikir ulang untuk macam-macam ke Jokowi.
"Dengan begitu, Jokowi memiliki banyak pilihan. Kalau
bidak satu banyak, merasa dominan, ya tinggal dikurangi wewenangnya dengan
memasukkan 'bidak baru'," kata Ray dalam sebuah diskusi di Jakarta.
Tahun lalu Partai Amanat Nasional mengumumkan bergabung
dengan pemerintahan yang artinya mengakhiri keberadaan partai tersebut dalam
oposisi dalam Koalisi Merah Putih. Dan untuk mengapresiasi dukungan tersebut,
Presiden Jokowi tampaknya akan mengakomodir orang-orang PAN untuk masuk dalam
kabinet.
Ray yakin Presiden Jokowi akan belajar dari pengalaman
perombakan kabinet jilid pertama, terutama, dari aspek politik dan efektivitas
kinerja dari setiap kementerian yang ada.
"Jokowi nanti bisa melihat atau test case, ada
perlawanan tidak saat reshuffle. Tapi yang jelas, dengan adanya reshuffle jilid dua ini Jokowi tidak
memiliki halangan baik secara psikologis maupun politik. Karena itu tadi,
pilihan ‘bidaknya’ banyak," kata dia.
Bisnis Wait and See
Tahun lalu, beberapa bulan setelah pemerintahannya berjalan,
Presiden Jokowi juga telah mengganti lima menteri dan sekretaris kabinet.Thomas
Lembong sebagai Menteri Perdagangan mengantikan Rahmat Gobel, Darmin Nasution
sebagai Menteri Kordinator Ekonomi menggantikam Sofyan Djalil, Pramono Anung
sebagai Sekertaris Kabinet menggantikan Andi Widjajanto, Luhut Binsar
Pandjaitan sebagai Menko Polhukam menggantikan Tedjo Edhi Pudjianto, Rizal
Ramli sebagai Menko Kemaritiman menggantikan Indroyono Soesilo dan Sofyan
Djalil menjadi Menteri PPN/Kepala Bapennas menggantikan Andrinof Chaniago.
Saat itu, Menteri BUMN ‘selamat’dari reshuffle dan hal itu sempat membuat partai penyokong pemerintah,
PDIP, kecewa. Akibat keputusan tersebut, saat itu muncul spekulasi bahwa akan
ada perombakan kabinet jilid selanjutnya.
Pergantian menteri, tidak bisa dipungkiri lagi akan berimbas
pada perubahan kebijakan dalam kementerian tersebut. Hal itu tentu akan
mempengaruhi rencana bisnis pelaku usaha yang sudah disiapkan sebelumnya,
bahkan parahnya lagi bisa mengganjal ekspansi bisnisnya. Itulah risiko politik.
Albert Phung, seorang analis dan penulis di Investopedia.com
menulis bahwa ada dua jenis risiko politik, risiko makro dan risiko mikro.
Risiko makro mengacu pada kejadian atau tindakan merugikan dari sebuah negara
atau pemerintahan yang akan mempengaruhi semua perusahaan. Sedangkan risiko
mikro mengacu pada tindakan buruk yang hanya akan mempengaruhi sektor industri
tertentu atau bisnis. Memang dia sedang mengaitkan risiko politik sebuah negara
bagi perusahaan asing, namun tidak salah jika dikaitkan juga dengan pelaku
bisnis domestik.
Pada saat reshuflle
tahun lalu, beberapa pengusaha mengaku tidak puas dengan keputusan tersebut.
Salah satunya adalah Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia. Ismed Hasan Putro, ketua
himpunan tersebut mempertanyakan sikap Presiden yang justru mengganti
koordinator dan bukan mengganti menteri yang membidangi langsung.
“Pergantian itu jauh dari harapan pelaku pasar kalangan
pengusaha dan investor. Kawan-kawan saya dari Korea, Hongkong, Jerman,
menanyakan mengapa justru menteri bermasalah yang tampak di permukaan media
internasional direspon justru tidak diganti. Yang diganti justru menko sehingga
jauh panggang dari api,” kata Ismed.
Tak pelak kebijakan tersebut akhirnya membuat para pelaku
usaha bersikap pasif yakni wait and see.
Padahal, pasar tidak bisa menunggu terus dan harus ada kestabilan di
pemerintahan.
Pergantian menteri di kabinet Jokowi, lanjut dia, tidak
memberikan angin segar ke pasar. Pelaku usaha pun akhirnya bertanya-tanya,
apakah persoalan ekonomi sebenarnya berada pada menteri yang membidangi,
menteri koordinator atau justru di Presiden dan Wakil Presiden.
“Pasar tidak miliki kepastian tentang arah kebijakan
Pemerintah terkait tata kelola ekonomi,” kata Ismed.
Perubahan atau pergantian pejabat juga akan berimbas pada
melambatnya kebijakan yang seharusnya diambil karena adanya masa transisi dari
pejabat baru ke pejabat lama. Hal ini tentu akan berujung pada melambatnya
penyerapan anggaran yang sudah disiapkan.
Tahun lalu, transisi pemerintahan Jokowi ditambah dengan
transisi kebijakan menteri-menteri yang baru menjabat membuahkan penyerapan
anggaran yang lambat. Hingga September 2015, pemerintah hanya mampu menyerap
anggaran belanja sebesar 62,9 persen dan anggaran pendapatan baru 56,2 persen.
“Rendahnya target penerimaan negara akan menyebabkan pemerintah mengalami shortfall, di sisi lain masalah klasik
penyerapan belanja pemerintah belum juga terselesaikan,” kata Direktur Indef,
Enny Sri Hartati.
Jadi apakah perombakan menteri yang akan dilakukan
pemerintah kali ini akan berimbas kepada pelambatan ekonomi seperti tahun lalu,
atau justru sebaliknya? Menarik untuk kita simak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar