Selasa, 19 Januari 2016

Meratakan Jalan Kebangkitan

Pembenahan di perusahaan negara di bidang jasa keuangan mencuat kembali, yang didengungkan oleh pemerintah baru. Fenomena itu juga terjadi di belahan dunia lain dan bisa diambil pelajaran.

Sewaktu Dahlan Iskan menjabat Menteri Badan Usaha Milik Negara, bisa dibilang pembenahan perusahaan negara mencapai puncaknya. Ide-ide konsolidasi banyak yang terwujudkan, meski masih lebih banyak yang kandas. Setidaknya ada tiga perusahaan induk yang berhasil dibentuk, yaitu pupuk, semen, dan perkebunan. Akan tetapi, satu konsolidasi yang belum juga bisa menjadi kenyataan adalah perbankan.
Pemerintahan saat ini, yang Kementerian BUMN-nya dipimpin oleh Rini Soemarno, tampaknya akan mencoba lagi mengonsolidasikan bank-bank pelat merah. Ancaman dari sengitnya persaingan dengan bank swasta dan juga bank lain di kawasan ASEAN mau tidak mau memaksa pemerintah untuk mendorong penguatan bank-bank negara.
Keinginan menggabungkan bank-bank negara sudah muncul sejak 2006 tahun lalu, dengan Bank Tabungan Negara, penguasa sektor properti, sebagai obyeknya. BTN saat itu diincar oleh Bank BNI, bank yang handal di sektor korporasi, dan juga BRI, pemimpin di sektor pembiayaan mikro. Dalam tahun itu pula, wacana itu meredup.
Dua tahun setelahnya, drama itu muncul lagi dengan pemeran utama yang sama, namun dalam tahun itu pula tidak ada kelanjutannya. Meski saat itu, baik BNI maupun BRI sudah sama-sama menunjukkan keseriusannya ingin mengakuisisi BTN.
Menteri Rini, mungkin paham bahwa ego masing-masing bank –terutama yang akan menjadi obyek akuisisi– masih sangat besar. Karena itulah ide merger atau akuisisi akan mendapat tentangan dari bank yang akan diincar. Bahkan jika ditambah dengan tentangan dari sisi politik, keinginan itu tampak akan makin sulit.
Maka dari itu, dia –yang mantan CEO Astra, raksasa otomotif nasional –menggunakan strategi jalan belakang untuk mewujudkan ide konsolidasi. Akhir tahun lalu, bank-bank BUMN meluncurkan layanan mesin tarik tunai yang mengaitkan semua bank yang bebas biaya yang dinamakan
“Link ATM Himbara”.
Untuk tahap awal, konsolidasi akan mencakup 50 jaringan mesin ATM milik empat BUMN yang tersebar di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Tahun ini, Himbara menargetkan konsolidasi 800 jaringan mesin milik semua bank-bank BUMN.
Asmawi Syam, Ketua Umum Himbara yang merangkap Direktur Utama PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) mengatakan, pengelolaan ATM secara bersama tak hanya dapat menghemat biaya operasional perbankan, tetapi juga menghemat ongkos transaksi masyarakat pengguna ATM. Bagi bank pelat merah, konsolidasi ini akan menghemat biaya pengelolaan ATM hingga Rp6,8 triliun per tahun. Sementara bagi nasabah, operasional ATM Himbara akan memangkas biaya transaksi ATM sekitar Rp7,3 triliun per tahun.
Sebelumnya, Asmawi juga sempat mengungkapkan bahwa rencana konsolidasi akan dilakukan bukan dengan cara menggabungkan bank-bank, namun penyatuan dalam sistem operasional dan bisnis bank seperti dalam layanan ATM.
Achmad Baiquni, Direktur Utama BNI mengatakan, konsolidasi ATM adalah salah satu tujuan utama sinergi bank BUMN. Namun, tidak berhenti hanya sampai situ. “Bank BUMN akan melakukan konsolidasi dari bisnis yang lain. Misal, pembiayaan kredit untuk swasta atau BUMN. Konsolidasi juga akan berlanjut yakni dalam pengelolaan bisnis hedging valas,” kata dia.
Dengan demikian, agaknya konsolidasi yang akan terwujud dan berjalan lancar barulah akan berada dalam tataran kerjasama operasional. Konsolidasi bank-bank BUMN dalam hal penggabungan menjadi satu entitas bisnis masih akan membutuhkan waktu yang panjang. Persoalannya bukan saja pada tingkat kesulitan dan ego sentris masing-masing bank, aturan otoritas baru yang mengatur juga masih belum rampung.
Tahun lalu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sudah berkali-kali mengungkapkan niatnya akan menerbitkan Master Plan Jasa Keuangan Indonesia (MPJKI). Rencana besar ini boleh dibilang sebagai penyempurnaan dari Arsitektur Perbankan Indonesia yang diluncurkan bank Indonesia lebih dari 10 tahun lalu. OJK akan mengenalkan konsep baru konsolidasi perbankan, asuransi, multifinance, dan sektor keuangan lain. Di dalamnya, OJK juga akan mendorong konsolidasi bank BUMN agar  bisa meningkatkan efisiensi.
Indonesia masih tertinggal perihal rangking bank-bank beraset tergemuk di Asia Tenggara. Dari daftar 20 perbankan terbesar di ASEAN yang di­publikasikan United Nations Con­ference on Trade and De­velopment (UNTACD), tampak ada tiga bank singapura, tiga bank asal malaysia dan em­pat bank dari thailand yang menempati 10 besar.
Ketiga bank asal Singapura adalah DBS Group, Oversea-Chinese Banking Corp dan Ma­layan Banking yang me­nempati urutan pertama hingga ketiga. DBS Group memiliki aset sebanyak 332 miliar dollar AS, Oversea-Chinese Banking Corp memiliki aset 302 miliar dollar AS dan UOB memiliki aset 231 miliar dollar AS.
Tiga bank dari Malaysia adalah Malayan Banking, dengan aset 182 miliar dollar AS, CIMB Group memiliki aset 118 miliar dollar AS dan Public Bank beraset 98 miliar dollar AS.
Empat bank dari Thailand adalah Bangkok Bank beraset 83 miliar dollar AS, Krung Thai Bank beraset 83 miliar dollar AS, Siam Commercial Bank beraset 82 miliar dollar AS, dan Kasikorn Bank beraset 72 miliar dollar AS.
Hanya ada empat perbankan asal indonesia yang masuk 20 besar yakni Bank Mandiri diurutan 11, dengan aset 68 miliar dollar AS, BRI mencapai 64 miliar dollar AS, BCA memiliki aset 44 miliar dollar AS, dan BNI yang memiliki aset 33 miliar dollar AS. Seandainya ketiga bank BUMN disatukan asetnya juga masih berada di level 165 miliar dollar AS, masuk tiga besar.

Fenomena Dunia
Pembenahan BUMN bukan cuma isu di Indonesia saja. Seperempat abad terakhir, dunia telah melihat beberapa letupan dari fenomena pembenahan BUMN baik di negara-negara maju dan berkembang. Pilihan yang paling sering diambil oleh negara-negara tersebut adalah privatisasi. Menurut catatan The Economist, majalah ekonomi terkemuka, gelombang privatisasi pertama, yang dibangun dari pertengahan 1980-an dan mencapai puncaknya pada tahun 2000, sebagian besar terjadi di Eropa. Awalnya dorongan untuk mengurangi intervensi negara pada perusahaan-perusahaan pelat merah muncul di Inggris di bawah Perdana Menteri Margaret Thatcher. Kebijakan itu kemudian segera menyebar ke benua Eropa. Gerakan itu mencapai puncak kecepatan setelah 1991, ketika Eropa Timur menjual ribuan BUMN karat. Gelombang kedua datang di pertengahan 2000-an, di saat ekonomi Eropa berusaha untuk mengumpulkan uang tunai untuk menutup utang-utang yang membengkak.
Meski demikian, di beberapa negara Eropa, pemerintahnya masih memiliki saham pada perusahaan-perusahaan yang diprivatisasi. Perancis, misalnya, masih memiliki saham besar dan kuat di GDF SUEZ, Renault, Thales dan Orange.
Sementara itu, China yang berubah menjadi pemain ekonomi dominan dunia juga memiliki pengalaman dalam membenahi BUMN. Kunci pertama perkembangan perusahaan negara di China karena pemerintahnya cenderung mempertahankan aset perusahaan negara yang bergerak di sektor strategis. Hal itu sangat dimungkinkan ketika pertumbuhan ekonomi China melesat hingga double digit satu dekade lalu sampai pada 2008.
Sementara untuk perusahaan negara yang mengalami penurunan keuntungan, khususnya di sektor tempat pasar bersaing begitu ketat, pemerintah China menerapkan strategi privatisasi. Untuk privatisasi, China banyak meniru apa yang dilakukan Singapura. 
Beberapa tahun lalu, Development Research Centre (DRC), lembaga think-tank Pemerintah China mulai mereformasi BUMN China yang tidak efisien. Lembaga itu kemudian menyebut Temasek, perusahaan induk BUMN di Singapura, sebagai model potensial yang bisa ditiru dalam hal privatisasi. Temasek adalah perusahaan yang didirikan pada 1974, ketika mewarisi 35 perusahaan dari Kementerian Keuangan Singapura. Portofolio perdananya termasuk beberapa perusahaan yang membuat Jurong, sebuah wilayah di Singapura menarik perhatian, termasuk galangan kapal.
Dalam empat dekade sejak itu, kedua portofolio Temasek itu telah naik dua kali lipat (sekarang senilai lebih dari 172 miliar dollar AS dan sebagian besar berada di luar Singapura, hanya 30 persen dari kepemilikannya yang tetap berada di Singapura. Kepemilikan domestiknya terkonsentrasi di apa yang disebut Singapura sebagai Government-Linked Companies (GLCs), seperti Singapore Airlines (dari yang memiliki 56 persen) dan SingTel, perusahaan telekomunikasi (52 persen).




Tidak ada komentar:

Posting Komentar