Pembenahan di perusahaan negara di bidang jasa keuangan
mencuat kembali, yang didengungkan oleh pemerintah baru. Fenomena itu juga
terjadi di belahan dunia lain dan bisa diambil pelajaran.
Sewaktu Dahlan Iskan menjabat Menteri Badan Usaha Milik
Negara, bisa dibilang pembenahan perusahaan negara mencapai puncaknya. Ide-ide
konsolidasi banyak yang terwujudkan, meski masih lebih banyak yang kandas.
Setidaknya ada tiga perusahaan induk yang berhasil dibentuk, yaitu pupuk,
semen, dan perkebunan. Akan tetapi, satu konsolidasi yang belum juga bisa
menjadi kenyataan adalah perbankan.
Pemerintahan saat ini, yang Kementerian BUMN-nya dipimpin
oleh Rini Soemarno, tampaknya akan mencoba lagi mengonsolidasikan bank-bank
pelat merah. Ancaman dari sengitnya persaingan dengan bank swasta dan juga bank
lain di kawasan ASEAN mau tidak mau memaksa pemerintah untuk mendorong
penguatan bank-bank negara.
Keinginan menggabungkan bank-bank negara sudah muncul sejak 2006
tahun lalu, dengan Bank Tabungan Negara, penguasa sektor properti, sebagai
obyeknya. BTN saat itu diincar oleh Bank BNI, bank yang handal di sektor
korporasi, dan juga BRI, pemimpin di sektor pembiayaan mikro. Dalam tahun itu
pula, wacana itu meredup.
Dua tahun setelahnya, drama itu muncul lagi dengan pemeran
utama yang sama, namun dalam tahun itu pula tidak ada kelanjutannya. Meski saat
itu, baik BNI maupun BRI sudah sama-sama menunjukkan keseriusannya ingin
mengakuisisi BTN.
Menteri Rini, mungkin paham bahwa ego masing-masing bank
–terutama yang akan menjadi obyek akuisisi– masih sangat besar. Karena itulah
ide merger atau akuisisi akan mendapat tentangan dari bank yang akan diincar.
Bahkan jika ditambah dengan tentangan dari sisi politik, keinginan itu tampak
akan makin sulit.
Maka dari itu, dia –yang mantan CEO Astra, raksasa otomotif
nasional –menggunakan strategi jalan belakang untuk mewujudkan ide konsolidasi.
Akhir tahun lalu, bank-bank BUMN meluncurkan layanan mesin tarik tunai yang
mengaitkan semua bank yang bebas biaya yang dinamakan
“Link ATM Himbara”.
Untuk tahap awal, konsolidasi akan mencakup 50 jaringan
mesin ATM milik empat BUMN yang tersebar di wilayah Jakarta dan sekitarnya.
Tahun ini, Himbara menargetkan konsolidasi 800 jaringan mesin milik semua
bank-bank BUMN.
Asmawi Syam, Ketua Umum Himbara yang merangkap Direktur
Utama PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) mengatakan, pengelolaan ATM secara
bersama tak hanya dapat menghemat biaya operasional perbankan, tetapi juga
menghemat ongkos transaksi masyarakat pengguna ATM. Bagi bank pelat merah,
konsolidasi ini akan menghemat biaya pengelolaan ATM hingga Rp6,8 triliun per
tahun. Sementara bagi nasabah, operasional ATM Himbara akan memangkas biaya
transaksi ATM sekitar Rp7,3 triliun per tahun.
Sebelumnya, Asmawi juga sempat mengungkapkan bahwa rencana
konsolidasi akan dilakukan bukan dengan cara menggabungkan bank-bank, namun
penyatuan dalam sistem operasional dan bisnis bank seperti dalam layanan ATM.
Achmad Baiquni, Direktur Utama BNI mengatakan, konsolidasi
ATM adalah salah satu tujuan utama sinergi bank BUMN. Namun, tidak berhenti
hanya sampai situ. “Bank BUMN akan melakukan konsolidasi dari bisnis yang lain.
Misal, pembiayaan kredit untuk swasta atau BUMN. Konsolidasi juga akan
berlanjut yakni dalam pengelolaan bisnis hedging
valas,” kata dia.
Dengan demikian, agaknya konsolidasi yang akan terwujud dan berjalan
lancar barulah akan berada dalam tataran kerjasama operasional. Konsolidasi
bank-bank BUMN dalam hal penggabungan menjadi satu entitas bisnis masih akan
membutuhkan waktu yang panjang. Persoalannya bukan saja pada tingkat kesulitan
dan ego sentris masing-masing bank, aturan otoritas baru yang mengatur juga
masih belum rampung.
Tahun lalu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sudah berkali-kali
mengungkapkan niatnya akan menerbitkan Master Plan Jasa Keuangan Indonesia
(MPJKI). Rencana besar ini boleh dibilang sebagai penyempurnaan dari Arsitektur
Perbankan Indonesia yang diluncurkan bank Indonesia lebih dari 10 tahun lalu. OJK
akan mengenalkan konsep baru konsolidasi perbankan, asuransi, multifinance, dan sektor keuangan lain.
Di dalamnya, OJK juga akan mendorong konsolidasi bank BUMN agar bisa meningkatkan efisiensi.
Indonesia masih tertinggal perihal rangking bank-bank
beraset tergemuk di Asia Tenggara. Dari daftar 20 perbankan terbesar di ASEAN
yang dipublikasikan United Nations Conference on Trade and Development
(UNTACD), tampak ada tiga bank singapura, tiga bank asal malaysia dan empat
bank dari thailand yang menempati 10 besar.
Ketiga bank asal Singapura adalah DBS Group, Oversea-Chinese
Banking Corp dan Malayan Banking yang menempati urutan pertama hingga ketiga.
DBS Group memiliki aset sebanyak 332 miliar dollar AS, Oversea-Chinese Banking
Corp memiliki aset 302 miliar dollar AS dan UOB memiliki aset 231 miliar dollar
AS.
Tiga bank dari Malaysia adalah Malayan Banking, dengan aset
182 miliar dollar AS, CIMB Group memiliki aset 118 miliar dollar AS dan Public
Bank beraset 98 miliar dollar AS.
Empat bank dari Thailand adalah Bangkok Bank beraset 83
miliar dollar AS, Krung Thai Bank beraset 83 miliar dollar AS, Siam Commercial
Bank beraset 82 miliar dollar AS, dan Kasikorn Bank beraset 72 miliar dollar
AS.
Hanya ada empat perbankan asal indonesia yang masuk 20 besar
yakni Bank Mandiri diurutan 11, dengan aset 68 miliar dollar AS, BRI mencapai
64 miliar dollar AS, BCA memiliki aset 44 miliar dollar AS, dan BNI yang
memiliki aset 33 miliar dollar AS. Seandainya ketiga bank BUMN disatukan asetnya
juga masih berada di level 165 miliar dollar AS, masuk tiga besar.
Fenomena Dunia
Pembenahan BUMN bukan cuma isu di Indonesia saja. Seperempat
abad terakhir, dunia telah melihat beberapa letupan dari fenomena pembenahan
BUMN baik di negara-negara maju dan berkembang. Pilihan yang paling sering
diambil oleh negara-negara tersebut adalah privatisasi. Menurut catatan The
Economist, majalah ekonomi terkemuka, gelombang privatisasi pertama, yang
dibangun dari pertengahan 1980-an dan mencapai puncaknya pada tahun 2000,
sebagian besar terjadi di Eropa. Awalnya dorongan untuk mengurangi intervensi
negara pada perusahaan-perusahaan pelat merah muncul di Inggris di bawah Perdana
Menteri Margaret Thatcher. Kebijakan itu kemudian segera menyebar ke benua
Eropa. Gerakan itu mencapai puncak kecepatan setelah 1991, ketika Eropa Timur menjual
ribuan BUMN karat. Gelombang kedua datang di pertengahan 2000-an, di saat ekonomi
Eropa berusaha untuk mengumpulkan uang tunai untuk menutup utang-utang yang
membengkak.
Meski demikian, di beberapa negara
Eropa, pemerintahnya masih memiliki saham pada perusahaan-perusahaan yang
diprivatisasi. Perancis, misalnya, masih memiliki saham besar dan kuat di GDF
SUEZ, Renault, Thales dan Orange.
Sementara itu, China yang berubah
menjadi pemain ekonomi dominan dunia juga memiliki pengalaman dalam membenahi
BUMN. Kunci pertama perkembangan perusahaan negara di China karena
pemerintahnya cenderung mempertahankan aset perusahaan negara yang bergerak di
sektor strategis. Hal itu sangat dimungkinkan ketika pertumbuhan ekonomi China
melesat hingga double digit satu
dekade lalu sampai pada 2008.
Sementara untuk perusahaan negara
yang mengalami penurunan keuntungan, khususnya di sektor tempat pasar bersaing
begitu ketat, pemerintah China menerapkan strategi privatisasi. Untuk
privatisasi, China banyak meniru apa yang dilakukan Singapura.
Beberapa tahun lalu, Development Research Centre (DRC),
lembaga think-tank Pemerintah China mulai mereformasi BUMN China yang tidak
efisien. Lembaga itu kemudian menyebut Temasek, perusahaan induk BUMN di
Singapura, sebagai model potensial yang bisa ditiru dalam hal privatisasi. Temasek
adalah perusahaan yang didirikan pada 1974, ketika mewarisi 35 perusahaan dari Kementerian
Keuangan Singapura. Portofolio perdananya termasuk beberapa perusahaan yang
membuat Jurong, sebuah wilayah di Singapura menarik perhatian, termasuk
galangan kapal.
Dalam empat dekade sejak itu, kedua portofolio Temasek itu
telah naik dua kali lipat (sekarang senilai lebih dari 172 miliar dollar AS dan
sebagian besar berada di luar Singapura, hanya 30 persen dari kepemilikannya yang
tetap berada di Singapura. Kepemilikan domestiknya terkonsentrasi di apa yang
disebut Singapura sebagai Government-Linked Companies (GLCs), seperti Singapore
Airlines (dari yang memiliki 56 persen) dan SingTel, perusahaan telekomunikasi
(52 persen).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar