Selasa, 19 Januari 2016

‘Panas’ yang Belum Reda

Perekonomian Indonesia kembali mendapat tantangan dari kegaduhan politik di dalam negeri baik yang berasal dari parlemen maupun dari pemerintah. Sementara itu, di belahan dunia lain kondisinya juga tak kalah menantang terutama dari AS yang akan menggelar pemilu.

Risiko politik akan kian mengusik. Kalimat tersebut tidaklah berlebihan ketika menyaksikan rentetan peristiwa politik tahun lalu. Dimulai pengkriminalan mantan Ketua Komisi Pemberantasa Korupsi Abraham Samad, hingga polemik kontrak Freeport yang membuahkan drama majelis etik di parlemen. Pergantian menteri, pencopotan hingga pengunduran diri pejabat juga ikut menyita perhatian publik.
Bukanlah sebuah kebetulan jika kegaduhan politik yang terjadi pasca pemilu itu kemudian berimbas pada makin sulitnya Indonesia keluar dari jeratan pelemahan ekonomi tahun lalu. Sepanjang triwulan pertama 2015, anggaran belanja negara yang belum juga cair seperti yang diagendakan membuat pertumbuhan ekonomi terjerembab di angka 4,7 persen. Dan hingga tutup tahun 2015, diperkirakan angkanya tidak akan jauh dari angka tersebut.
Tahun ini gaduh politik tampaknya tidak akan mengendur. Beberapa faktor bisa menjadi pemicu. Isu pergantian menteri yang kembali mencuat, dampak lanjutan dari pemilihan kepala daerah langsung Desember lalu, hingga risiko carry over ketidakharmonisan pemerintahan dan legislatif sejak tahun lalu. Belum lagi fenomena maju-mundurnya kebijakan pemerintah, yaitu ketika seorang menteri menelurkan kebijakan lalu beberapa hari kemudian dianulir oleh Presiden.
Bagi pebisnis, kepastian hukum, aturan atau kebijakan merupakan hal yang tidak bisa ditawar-tawar. Kegiatan ekonomi bisa melambat bahkan terhambat jika aturan atau kebijakan mulur-mengkeret seperti itu.
Ketua Dewan Pertimbangan Presiden, Sri Adiningsih sudah mengingatkan bahwa inkonsistensi kebijakan bisa menghambat ekonomi. “Kami ingin supaya jangan sampai permasalahan hukum atau permasalahan ketidakkonsistenan dalam kebijakan di dalam koordinasi bisa menghambat pembangunan Indonesia," ujar Sri Adiningsih.
Pemerintah, kata ekonom UGM itu, harus memperkuat koordinasi kebijakan ekonomi juga ha-hal yang terkait meningkatkan pertumbuhan ekonomi ataupun juga bisa membangun Indonesia ke depan yang lebih baik.
Menurut Control Risk, sebuah konsultan risiko global independen, risiko politik umumnya memang meningkat di kawasan Asia termasuk Asia Tenggara dengan masalah korupsi yang menyeruak di beberapa negara. Khusus di Indonesia, hal itu juga ditambah dengan risiko pemberlakuan pembatasan dana asing dan permasalahan dengan investasi asing.
Lembaga itu juga mengeluarkan peta risiko politik dunia dan menempatkan Indonesia pada tingkat medium dalam hal risiko politik dan keamanan. Di kawasan ASEAN, tingkat risiko politik Indonesia masih lebih baik dari Thailand dan Myanmar dan berada di tingkat yang sama dengan Malaysia, Filipina, Vietnam, Kamboja dan Laos.
Penilaian risiko politik dari lembaga itu berdasarkan evaluasi kemungkinan aktor politik negara (pemerintah) atau non-negara secara negatif mempengaruhi operasi bisnis perusahaan di suatu negara.
Evaluasi juga menilai sejauh mana negara bersedia dan mampu menjamin kontrak dan sejauh mana aktor non-negara dapat mengancam kelangsungan hidup kegiatan bisnis. “Dampak dari risiko politik di perusahaan dapat mencakup kebijakan negatif pemerintah, ketidakamanan peradilan, peningkatan korupsi, kerusakan reputasi, pengambilalihan dan nasionalisasi, dan sanksi internasional. Hal itu menilai sejauh mana stabilitas politik, ekonomi dan kelembagaan dapat meningkatkan atau mengurangi kemungkinan risiko ini terjadi,” kata lembaga itu.
Sejatinya, meningkatnya risiko politik Indonesia sudah bisa diprediksi sejak pemilihan umum 2014 yang menghadirkan hanya dua kandidat yang bertarung. Saat itu, institusi asuransi global Aon, sudah menempatkan Indonesia dalam daftar lima negara yang politik dalam negerinya ‘panas’.
Berdasarkan laporan tersebut, Indonesia dimasukkan ke dalam kelompok negara yang risiko politiknya masuk kategori medium. Indonesia dinilai menyimpan risiko hukum dan aturan (legal and regulatory), gangguan rantai pasokan (supply chain disruption), dan kekerasan politik (political violence)

Panas di Dunia
Sejatinya risiko politik tidak hanya makin menghangat di Indonesia ataupun di Asia. Di beberapa negara lain, memanasnya politik malah mengancam negara tersebut. Yunani, misalnya. Setelah memutuskan keluar dari zona Euro, kisruh di Negeri Seribu Dewa itu tidak lantas selesai karena pemerintahan baru hasil pemilu tahun lalu akan banyak mendapat tentangan.
Sementara itu di Inggris yang aka menggelar referendum mengenai keanggotaan mereka di Uni Eropa tahun ini akan membuat suhu politik di sana menghangat. Banyak pengamat mengatakan, meski Negeri Ratu Elizabeth itu diprediksi akan tetap bertahan dalam UE, namun akan ada proses yang dramatis. “Makin sulit keadaan yang dihadapi UE setahun ke depan, makin dekat Inggris pada ‘Brexit’ (keluarnya Inggris dari Zona Euro),” kata Redaktur Eksekutif majalah The Economist, Daniel Franklin.
Amerika Serikat juga tidak bebas dari risiko politik ketika pemilu akan digelar tahun ini dan akan mengakhiri kekuasaan Barack Obama yang sudah memimpin dua periode. Seperti biasanya, pemilu AS selalu memiliki dampak besar pada seluruh dunia, dan kali ini ada kandidat Donald Trump yang telah menjadi paket kejutan.
Siapapun yang menjadi pemenangnya yang pasti akan memberikan perubahan signifikan terutama pada politik luar negeri AS. Beberapa ahli kebijakan luar negeri AS menilai bahwa pendekatan soft power Obama telah mendorong saingan AS untuk mengeksploitasi kelemahan yang dirasakan. Oleh karena itu, siapapun yang menang tampaknya akan menjalankan kebijakan luar negeri yang lebih kuat untuk mengatasi hal itu tahun depan. “China dan Rusia melihat bagaimana Obama menolak aksi militer, dan mereka berdua mengambil keuntungan penuh,” kata Anders Corr, Ketua dari Corr Analytics, sebuah lembaga riset politik.
Dengan adanya ancaman dari kondisi politik luar negeri itu, maka makin besarlah tantangan ekonomi dan bisnis Indonesia pada tahun ini. Jadi, bersiaplah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar