Perekonomian
Indonesia kembali mendapat tantangan dari kegaduhan politik di dalam negeri
baik yang berasal dari parlemen maupun dari pemerintah. Sementara itu, di
belahan dunia lain kondisinya juga tak kalah menantang terutama dari AS yang
akan menggelar pemilu.
Risiko
politik akan kian mengusik. Kalimat tersebut tidaklah berlebihan ketika
menyaksikan rentetan peristiwa politik tahun lalu. Dimulai pengkriminalan
mantan Ketua Komisi Pemberantasa Korupsi Abraham Samad, hingga polemik kontrak
Freeport yang membuahkan drama majelis etik di parlemen. Pergantian menteri,
pencopotan hingga pengunduran diri pejabat juga ikut menyita perhatian publik.
Bukanlah
sebuah kebetulan jika kegaduhan politik yang terjadi pasca pemilu itu kemudian
berimbas pada makin sulitnya Indonesia keluar dari jeratan pelemahan ekonomi
tahun lalu. Sepanjang triwulan pertama 2015, anggaran belanja negara yang belum
juga cair seperti yang diagendakan membuat pertumbuhan ekonomi terjerembab di
angka 4,7 persen. Dan hingga tutup tahun 2015, diperkirakan angkanya tidak akan
jauh dari angka tersebut.
Tahun
ini gaduh politik tampaknya tidak akan mengendur. Beberapa faktor bisa menjadi
pemicu. Isu pergantian menteri yang kembali mencuat, dampak lanjutan dari
pemilihan kepala daerah langsung Desember lalu, hingga risiko carry over ketidakharmonisan
pemerintahan dan legislatif sejak tahun lalu. Belum lagi fenomena
maju-mundurnya kebijakan pemerintah, yaitu ketika seorang menteri menelurkan
kebijakan lalu beberapa hari kemudian dianulir oleh Presiden.
Bagi
pebisnis, kepastian hukum, aturan atau kebijakan merupakan hal yang tidak bisa
ditawar-tawar. Kegiatan ekonomi bisa melambat bahkan terhambat jika aturan atau
kebijakan mulur-mengkeret seperti
itu.
Ketua
Dewan Pertimbangan Presiden, Sri Adiningsih sudah mengingatkan bahwa
inkonsistensi kebijakan bisa menghambat ekonomi. “Kami ingin supaya jangan
sampai permasalahan hukum atau permasalahan ketidakkonsistenan dalam kebijakan
di dalam koordinasi bisa menghambat pembangunan Indonesia," ujar Sri
Adiningsih.
Pemerintah,
kata ekonom UGM itu, harus memperkuat koordinasi kebijakan ekonomi juga ha-hal
yang terkait meningkatkan pertumbuhan ekonomi ataupun juga bisa membangun
Indonesia ke depan yang lebih baik.
Menurut
Control Risk, sebuah konsultan risiko global independen, risiko politik umumnya
memang meningkat di kawasan Asia termasuk Asia Tenggara dengan masalah korupsi
yang menyeruak di beberapa negara. Khusus di Indonesia, hal itu juga ditambah
dengan risiko pemberlakuan pembatasan dana asing dan permasalahan dengan investasi
asing.
Lembaga
itu juga mengeluarkan peta risiko politik dunia dan menempatkan Indonesia pada
tingkat medium dalam hal risiko politik dan keamanan. Di kawasan ASEAN, tingkat
risiko politik Indonesia masih lebih baik dari Thailand dan Myanmar dan berada
di tingkat yang sama dengan Malaysia, Filipina, Vietnam, Kamboja dan Laos.
Penilaian
risiko politik dari lembaga itu berdasarkan evaluasi kemungkinan aktor politik
negara (pemerintah) atau non-negara secara negatif mempengaruhi operasi bisnis
perusahaan di suatu negara.
Evaluasi
juga menilai sejauh mana negara bersedia dan mampu menjamin kontrak dan sejauh
mana aktor non-negara dapat mengancam kelangsungan hidup kegiatan bisnis.
“Dampak dari risiko politik di perusahaan dapat mencakup kebijakan negatif pemerintah,
ketidakamanan peradilan, peningkatan korupsi, kerusakan reputasi,
pengambilalihan dan nasionalisasi, dan sanksi internasional. Hal itu menilai
sejauh mana stabilitas politik, ekonomi dan kelembagaan dapat meningkatkan atau
mengurangi kemungkinan risiko ini terjadi,” kata lembaga itu.
Sejatinya,
meningkatnya risiko politik Indonesia sudah bisa diprediksi sejak pemilihan
umum 2014 yang menghadirkan hanya dua kandidat yang bertarung. Saat itu,
institusi asuransi global Aon, sudah menempatkan Indonesia dalam daftar lima
negara yang politik dalam negerinya ‘panas’.
Berdasarkan
laporan tersebut, Indonesia dimasukkan ke dalam kelompok negara yang risiko
politiknya masuk kategori medium. Indonesia dinilai menyimpan risiko hukum dan
aturan (legal and regulatory),
gangguan rantai pasokan (supply chain
disruption), dan kekerasan politik (political
violence)
Panas di Dunia
Sejatinya
risiko politik tidak hanya makin menghangat di Indonesia ataupun di Asia. Di
beberapa negara lain, memanasnya politik malah mengancam negara tersebut.
Yunani, misalnya. Setelah memutuskan keluar dari zona Euro, kisruh di Negeri
Seribu Dewa itu tidak lantas selesai karena pemerintahan baru hasil pemilu
tahun lalu akan banyak mendapat tentangan.
Sementara
itu di Inggris yang aka menggelar referendum mengenai keanggotaan mereka di Uni
Eropa tahun ini akan membuat suhu politik di sana menghangat. Banyak pengamat
mengatakan, meski Negeri Ratu Elizabeth itu diprediksi akan tetap bertahan
dalam UE, namun akan ada proses yang dramatis. “Makin sulit keadaan yang
dihadapi UE setahun ke depan, makin dekat Inggris pada ‘Brexit’ (keluarnya
Inggris dari Zona Euro),” kata Redaktur Eksekutif majalah The Economist, Daniel
Franklin.
Amerika
Serikat juga tidak bebas dari risiko politik ketika pemilu akan digelar tahun
ini dan akan mengakhiri kekuasaan Barack Obama yang sudah memimpin dua periode.
Seperti biasanya, pemilu AS selalu memiliki dampak besar pada seluruh dunia,
dan kali ini ada kandidat Donald Trump yang telah menjadi paket kejutan.
Siapapun
yang menjadi pemenangnya yang pasti akan memberikan perubahan signifikan
terutama pada politik luar negeri AS. Beberapa ahli kebijakan luar negeri AS
menilai bahwa pendekatan soft power
Obama telah mendorong saingan AS untuk mengeksploitasi kelemahan yang
dirasakan. Oleh karena itu, siapapun yang menang tampaknya akan menjalankan
kebijakan luar negeri yang lebih kuat untuk mengatasi hal itu tahun depan.
“China dan Rusia melihat bagaimana Obama menolak aksi militer, dan mereka
berdua mengambil keuntungan penuh,” kata Anders Corr, Ketua dari Corr
Analytics, sebuah lembaga riset politik.
Dengan
adanya ancaman dari kondisi politik luar negeri itu, maka makin besarlah
tantangan ekonomi dan bisnis Indonesia pada tahun ini. Jadi, bersiaplah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar