Selasa, 19 Januari 2016

Tut Wuri Handayani

Bisa jadi rakyat memang sejenis makhluk yang bisanya mengeluh. Bisa jadi dari sananya dia hanya diberi sifat pengeluh. Apalagi jika berhadapan dengan yang namanya pemerintah. Oleh karenanya, pemerintah kemudian menjadi tempat mereka meluapkan keluhan.
Pemerintahan sekarang –seperti yang lalu-lalu–juga  tidak steril dari keluhan, kritikan bahkan caci maki. Jadi jangan terlalu percaya diri menganggap bahwa segala keluhan dan kritikan baru marak terjadi kali ini.
Memang harus diakui, jika melihat berjalannya pemerintah sekarang, tidak sulit menemukan para pengeluh, atau pengkritik. Apalagi setelah pengalaman perlombaan menjadi orang nomor satu di pemerintahan yang berlangsung tahun lalu.
Tetapi munculnya keluhan dan kritik dari rakyat, jika mau disimak masak-masak, selalu berdasarkan fakta, meski besar kecilnya masalah bisa diperdebatkan. Karena rakyat terbiasa bersabar dan berdiam, kecuali jika memang benar-benar terpaksa.
Nah, situasi terpaksa itu kemudian muncul ketika di sebagian wilayah Indonesia terutama di Sumatra dan Kalimantan terjadi bencana asap selama berbulan-bulan. dan seketika itu juga muncul banyak pengeluh dan pengkritik pemerintah.
Namun, jika saja, pemerintah segera memenuhi permintaan tersebut, niscaya kritik yang keluar dari mulut dan hati rakyat akan lenyap dengan sendirinya. Jika saja pemerintah segera hadir dan mengenyahkan asap yang terbang dari pembukaan lahan kebun-kebun sawit, niscaya tidak ada ledekan, nyinyiran bahkan ancaman kepada pemerintah.
Malahan, sepantasnya, tanpa adanya kritikan atau keluhan pun, negara semestinya hadir di sana melindungi rakyatnya. Tetapi butuh waktu beberapa bulan rakyat di sana menunggu kehadiran pemerintah. Pemerintah lebih sibuk membalas kritikan dengan balik bertanya, “lalu apa yang bisa dan sudah kamu lakukan?”
Tanpa diminta atau ditanya, sejatinya rakyat sudah cukup melakukan apa yang seharusnya mereka lakukan untuk bertahan hidup. Mereka sudah menjalani hidup yang bertambah sulit seperti sekarang ini, dan seringkali tanpa memikirkan kehadiran negara. Sudah berapa lama rakyat terutama di Riau, bertahan dari paparan asap tanpa pernah tahu kapan bencana itu berakhir.
Rakyat yang mengkritik pemerintah seharusnya dianggap sebagai bagian dari Tut Wuri Handayani sebagaimana semboyan yang dikumandangkan Ki Hajar Dewantara sekitar 93 tahun yang lalu. Arti dari kalimat di atas adalah di belakang memberikan semangat. Jadi, jika seseorang berada di belakang harus memberikan dorongan moral dan semangat kerja. Dorongan yang dimaksud adalah motivasi dan semangat. Dan keluhan serta kritikan dari rakyat, harus ditempatkan seperti itu.

Dalam trilogi semboyan Ki Hajar (ing ngarso sung tulodho, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani), rakyat adalah yang dibelakang, yang mendorong dan memotivasi, sekaligus juga yang sering mengeluh dan mengeluh. Sementara Presiden, pemimpin puncak pemerintahan, adalah yang di depan memberi teladan, memberi inspirasi, dan mendengar aspirasi. Dan juga seharusnya tidak hanya mendengar, tetapi juga segera merespons dan menyelesaikan masalah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar