Bisa jadi rakyat memang sejenis makhluk yang bisanya
mengeluh. Bisa jadi dari sananya dia hanya diberi sifat pengeluh. Apalagi jika
berhadapan dengan yang namanya pemerintah. Oleh karenanya, pemerintah kemudian
menjadi tempat mereka meluapkan keluhan.
Pemerintahan sekarang –seperti yang lalu-lalu–juga tidak steril dari keluhan, kritikan bahkan
caci maki. Jadi jangan terlalu percaya diri menganggap bahwa segala keluhan dan
kritikan baru marak terjadi kali ini.
Memang harus diakui, jika melihat berjalannya pemerintah
sekarang, tidak sulit menemukan para pengeluh, atau pengkritik. Apalagi setelah
pengalaman perlombaan menjadi orang nomor satu di pemerintahan yang berlangsung
tahun lalu.
Tetapi munculnya keluhan dan kritik dari rakyat, jika mau
disimak masak-masak, selalu berdasarkan fakta, meski besar kecilnya masalah
bisa diperdebatkan. Karena rakyat terbiasa bersabar dan berdiam, kecuali jika
memang benar-benar terpaksa.
Nah, situasi
terpaksa itu kemudian muncul ketika di sebagian wilayah Indonesia terutama di
Sumatra dan Kalimantan terjadi bencana asap selama berbulan-bulan. dan seketika
itu juga muncul banyak pengeluh dan pengkritik pemerintah.
Namun, jika saja, pemerintah segera memenuhi permintaan tersebut,
niscaya kritik yang keluar dari mulut dan hati rakyat akan lenyap dengan
sendirinya. Jika saja pemerintah segera hadir dan mengenyahkan asap yang
terbang dari pembukaan lahan kebun-kebun sawit, niscaya tidak ada ledekan, nyinyiran bahkan ancaman kepada pemerintah.
Malahan, sepantasnya, tanpa adanya kritikan atau keluhan
pun, negara semestinya hadir di sana melindungi rakyatnya. Tetapi butuh waktu
beberapa bulan rakyat di sana menunggu kehadiran pemerintah. Pemerintah lebih
sibuk membalas kritikan dengan balik bertanya, “lalu apa yang bisa dan sudah
kamu lakukan?”
Tanpa diminta atau ditanya, sejatinya rakyat sudah cukup
melakukan apa yang seharusnya mereka lakukan untuk bertahan hidup. Mereka sudah
menjalani hidup yang bertambah sulit seperti sekarang ini, dan seringkali tanpa
memikirkan kehadiran negara. Sudah berapa lama rakyat terutama di Riau,
bertahan dari paparan asap tanpa pernah tahu kapan bencana itu berakhir.
Rakyat yang mengkritik pemerintah seharusnya dianggap
sebagai bagian dari Tut Wuri Handayani sebagaimana semboyan yang dikumandangkan
Ki Hajar Dewantara sekitar 93 tahun yang lalu. Arti dari kalimat di atas adalah
di belakang memberikan semangat. Jadi, jika seseorang berada di belakang harus
memberikan dorongan moral dan semangat kerja. Dorongan yang dimaksud adalah
motivasi dan semangat. Dan keluhan serta kritikan dari rakyat, harus
ditempatkan seperti itu.
Dalam trilogi semboyan Ki Hajar (ing ngarso sung tulodho, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani),
rakyat adalah yang dibelakang, yang mendorong dan memotivasi, sekaligus juga
yang sering mengeluh dan mengeluh. Sementara Presiden, pemimpin puncak
pemerintahan, adalah yang di depan memberi teladan, memberi inspirasi, dan
mendengar aspirasi. Dan juga seharusnya tidak hanya mendengar, tetapi juga
segera merespons dan menyelesaikan masalah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar