Selasa, 19 Januari 2016

Menyiapkan Milestone Baru

Perbankan syariah mulai bersiap menyambut tahap baru dalam perkembangan bisnisnya. Beragam dukungan otoritas dan pemerintah mulai tahun depan akan bisa mendongkrak peran bank agar mampu menjadi penggerak ekonomi.

Jika membandingkan potensi yang ada dengan realisasi yang tercipta, memang sudah sepatutnya Indonesia bersedih. Apalagi ini soal industri keuangan syariah. Sebagai negara dengan penduduk muslim lebih dari 84 persen, industri keuangan syariah Indonesia masih menjadi mengekor alih-alih menjadi penggerak ekonomi.
Dengan market share yang dalam sepuluh tahun belakangan masih di bawah 5 persen, memang sulit bagi industri keuangan syariah khususnya perbankan untuk menjadi pemain penting dalam perekonomian. Oleh karena itu otoritas telah menyiapkan berbagai langkah agar sektor keuangan syariah bisa menjadi pemain yang diperhitungkan dalam menggerakkan ekonomi nasional.
Langkah yang pertama adalah mendongkrak pangsa pasar perbankan syariah.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sudah menetapkan target pangsa pasar bank syariah dapat mencapai 15 persen dalam empat tahun ke depan dan tahun ini setidaknya bisa menyentuh angka lima persen. Sampai September, berdasarkan data Statistik Perbankan Indonesia aset bank syariah masih berada di angka Rp273,48 triliun, atau berada di kisaran 4,6 persen dibanding total aset perbankan secara keseluruhan.
“Bank syariah penetrasinya masih kecil. Dari 2008, pangsa pasarnya masih 5 persen dibandingkan bank konvensional. Bahkan tren market share menurun dari 4,89 persen di 2013 menjadi 4,67 persen hingga Mei 2015," kata Dhani Gunawan Idat, Direktur Penelitian, Pengembangan, Pengaturan, dan Perizinan Perbankan Syariah OJK.
Pangsa pasar keuangan syariah tentu sangat minim jika dibandingkan dengan konsumen yang mencapai 200 juta orang lebih. Sehingga bisa dipahami jika perbankan syariah belum mampu menjadi penggerak ekonomi.
“Dengan membandingkan dengan pengalaman negara lain, ketika pangsa pasar bank syariah lebih dari 10 persen, baru dapat menjadi penggerak perekonomian. Setidaknya hal ini terlihat di Malaysia dengan pangsa pasar 24 persen,” kata Dhani.
Perbankan syariah di Malaysia sangat mendominasi pasar sukuk di negara jiran itu, bahkan bisa sampai mendikte pasar obligasi syariah di sana. Sementara itu, di Uni Emirat Arab pangsa pasarnya sudah lebih dari 16 persen dengan yang mendominasi pembiayaan sektor properti di negara Timur Tengah itu. 
“Kita ingin industri syariah lebih besar sehingga dapat menjadi penggerak sektor perekonomian nasional. Secara aset dan instrumennya harus lebih didorong agar semakin luas dan dalam. Koordinasi dengan pemerintah harus lebih baik (terutama) untuk penggunaan dana-dana pemerintah ke segmen syariah,” kata Dhani.
OJK –yang mengambil alih fungsi pengawasan dari Bank Indonesia sejak Januari 2014–tentu  menginginkan adanya perubahan signifikan pada industri perbankan syariah ketika berada di bawah mereka. Bahkan otoritas sudah menyiapkan segudang strategi untuk membuat industri syariah menjadi penggerak ekonomi.
Bulan ini OJK akan menerbitkan dua aturan yaitu terkait produk dan aktivitas perbankan syariah dan soal kelembagaan Badan Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS). Beleid soal produk akan memudahkan bank syariah dalam menerbitkan produk-produk. Selain itu, OJK juga akan menerbitkan kodifikasi produk perbankan syariah yang dipercaya akan mendorong kreativitas pelaku industri dalam menciptakan produk.
Saat ini industri perbankan syariah di Indonesia ‘hanya’ memiliki 17 produk, kalah jauh jika dibandingkan dengan Malaysia yang sudah memiliki lebih dari 40 produk. Apalagi jika dibandingkan Qatar, Uni Emirat Arab atau bahkan Pakistan dan Inggris.
“Setelah POJK keluar, nantinya bank syariah akan lebih mudah menerbitkan produk, tinggal lapor saja (ke OJK) jika produknya sudah siap,” kata Dhani.
Soal kelembagaan BPRS, seperti juga BPR konvensional, otoritas diperkirakan akan membuat aturan permodalan yang ketat sebagaimana bank umum dengan menggunakan jumlah modal untuk menentukan jenis kegiatan usaha atau BUKU.

Holding Syariah
Rencana besar lainnya dari OJK untuk mendongkrak pangsa pasar dan juga peran perbankan syariah terhadap ekonomi adalah dengan mendesak lagi konsolidasi bank-bank syariah milik bank negara menjadi sebuah bank umum syariah.
Saat ini, OJK tengah memfinalisasi roadmap holding bank BUMN syariah. Demi mempercepat proses merger,  OJK mengaku melakukan koorodinasi intensif dengan Kementrian BUMN. “Kami sudah beberapa kali menyurati Kementerian BUMN terkait dengan rencana pembentukan BUMN Syariah ini," kata Dhani.
Bahkan rencana menyatukan bank syariah pelat merah ini dimasukkan dalam Road Map Perbankan Syariah Indonesia (2015-2019) yang diterbitkan OJK Juni lalu. Berdasarkan peta jalan itu BNI Syariah, unit usaha syariah BTN, BRI Syariah dan Bank Syariah Mandiri (BSM) harus sudah menjadi bank umum paling lambat 2017. Dan merger tersebut harus diikuti dengan penambahan modal usaha, yang hal itu akan bisa dilakukan dengan penawaran saham perdana (IPO).
Opsi IPO tengah dikoordinasikan dengan regulator yang membidangi pasar modal. Namun, skema merger dan penambahan modal masih menunggu putusan pihak Kementerian BUMN sebagai pemegang saham mayoritas induk usaha bank BUMN syariah.
Permodalan memang masalah genting bagi perbankan syariah karena hingga akhir tahun ini 10 dari 12 bank syariah yang ada memiliki modal inti kurang Rp2 triliun dan tidak ada yang bermodal inti melebihi Rp5 triliun.
Oleh karena itu pekerjaan rumah yang cukup penting bagi OJK adalah mendorong bank syariah khususnya yang sudah jadi Bank Umum Syariah (BUS) untuk meningkatkan permodalannya sehingga bisa masuk dalam kategori BUKU III yang mana sudah memiliki modal lebih dari Rp5 triliun. “Ada enam bank di BUKU II yang sedang berusaha untuk masuk dalam kategori BUKU III. Tahun ini mereka berusaha untuk mencapainya,” kata Dhani.
Saat ini hanya Bank Muamalat dan Bank Syariah Mandiri (BSM) yang mendekati level modal BUKU III, sedangkan sisanya masih berkutat di BUKU II. Bulan lalu, BSM telah masuk dalam BUKU III setelah induknya menyuntikkan modal Rp500 miliar sehingga modal intinya akan menjadi Rp 5,4 triliun dan total ekuitas Rp 5,61 triliun. Dengan tambahan itu juga rasio kecukupan modal (CAR) bank naik menjadi 12,97 persen.
Di sisi lain, BRI juga tengah memperkuat modalnya dengan menanti suntikan dana dari induknya. Sekretaris Perusahaan BRI Syariah Lukita T Prakasa mengatakan, pihaknya terus mempercantik kinerja kendati ada keinginan pemerintah menggabungkan bank pelat merah syariah dalam satu atap. "Kami terus memperkuat modal dan saat ini sedang proses sebagai bank syariah pertama yang melakukan Laku Pandai," kata dia.
Kondisi yang berat tahun ini memang membuat perbankan syariah agak terhuyung-huyung. Menurut Ikhwan Abidin Bashrie, pakar ekonomi syariah dari Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia, hampir semua bank syariah mengalami penurunan kinerja keuangan tak terkecuali dua bank syariah terbesar. “Sebenarnya ini bukan hanya karena pelemahan ekonomi, namun juga dampak dari masalah SDM yang seperti bom waktu,” kata dia.
Menurut Ikhwan SDM syariah yang ada sekarang kebanyakan berasal dari bank-bank konvensional, termasuk dari induknya, terutama pada level manajer. Nah, banyak praktik-praktik konvensional yang tetap melandasi cara kerja mereka di bank syariah meski tidak semua sesuai dengan prinsip syariah.
Selain itu, beberapa bank syariah juga terlampau ekspansif tanpa memperhitungkan kekuatan sendiri dan juga faktor makroekonomi sehingga mengalami kerugian. “Beberapa bank syariah bahkan ketika mengajak saya rapat hanya menyediakan air putih saja sebagai bagian dari efisiensi. Padahal sebelum-sebelumnya menunya lumayan lengkap,” kata Ikhwan.

Sinergi
Sementara itu, untuk meningkatkan peran bank syariah pada perekonomian, otoritas juga menginginkan adanya dukungan dari pemerintah, khususnya Kementerian Keuangan. Hingga saat ini sinergi antara otoritas dan pemerintah dirasa masih kurang yang bisa dilihat dari insentif-insentif dan dukungan kebijakan yang diberikan. “Kami ingin OJK dan Kementerian Keuangan membangun sinergi kasih insentif pajak,” ujar Dhani dari OJK.
Di Malaysia, sambung dia, pemerintahnya memberi dukungan dengan bentuk insentif pajak, tax holiday, riset, dan pengelolaan anggaran belanja negara, hingga kewajiban penyimpanan dana di bank syariah.
Untuk di Indonesia, pemerintah bisa memberikan memberi insentif untuk deposito dengan menurunkan pajaknya dari 20 persen saat ini menjadi 10 persen. Selain itu, insentif pajak lain yang dapat diberikan untuk mendorong pangsa pasar bank syariah adalah insentif pajak untuk spin off, giro, dan produk lainnya.
Selain dengan Kementerian Keuangan, OJK ingin bersinergi dengan Bank Indonesia untuk pembangunan aspek makro dan mikro perbankan syariah. Selanjutnya, sinergi yang ingin dibangun adalah dengan Kementerian BUMN untuk membangun bank BUMN syariah.
Dukungan lain yang diharapkan dapat terwujud adalah pemerintah bisa mewajibkan dana APBD atau APBN untuk dikelola dan ditempatkan di bank syariah, meski saat ini hal itu masih memerlukan kesiapan dari bank syariah. “Kalau (cuma) 20 persen (dana APBN) bank syariah bisa menyerap, kalau mau lebih butuh persiapan lebih lanjut," kata Dhani.
                                                                                                                         


7 Persoalan yang Harus Dituntaskan

  1. Belum selarasnya visi dan kurangnya koordinasi antar pemerintah dan otoritas dalam pengembangan perbankan syariah
  2. Modal yang belum memadai, skala industri yang masih kecil serta efisiensi yang rendah.
  3. Biaya dana yang mahal yang berdampak pada keterbatasan segmen pembiayaan.
  4. Produk yang tidak variatif dan pelayanan yang belum sesuai ekspektasi masyarakat.
  5. Kuantitas dan kualitas SDM yang belum memadai serta TI yang belum mendukung.
  6. Pemahaman dan kesadaran masyarakat yang masih rendah.
  7. Pengaturan dan pengawasan yang belum optimal

(sumber: Roadmap Perbankan Syariah Indonesia, OJK)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar