Selasa, 19 Januari 2016

Jaminan Lembaga Penjamin Kredit

Perusahaan penjaminan kredit memiliki peran penting untuk mendorong pembiayaan usaha kecil yang selama ini belum berkembang optimal. Perlu upaya lebih keras dari pemerintah untuk meningkatkan peran lembaga penjaminan.
  
Usaha mikro kecil dan menengah setidaknya sudah sejak 18 tahun lalu dielu-elukan sebagai pelampung tahan uji di segala kondisi ekonomi. Sifatnya yang lentuk dan cepat beradaptasi dengan perubahan membuatnya memiliki kemampuan bertahan lebih besar dibanding perusahaan besar, terutama dalam kondisi ekonomi yang melemah.
Akan tetapi persoalan laten sektor ini yaitu akses pembiayaan ke lembaga keuangan masih menjadi masalah terbesar yang belum terpecahkan tuntas hingga kini. Bank masih enggan memberikan dana kepada UMKM karena terbentur peraturan kaku persyaratan kredit dari otoritas. Padahal, jika berhitung untung, menyalurkan kredit kepada sektor yang biasanya berisi para pedagang kecil, pengusaha kerajinan tangan dan lainnya lebih memberikan margin besar kepada bank.
Selama ini, memang ada pihak ketiga yang menjadi penolong usaha kecil dalam mendapatkan pinjaman yaitu lembaga penjamin kredit. Lembaga ini menjadi penjamin bagi dana yang diberikan bank kepada UMKM selayaknya perusahaan asuransi menggaransi kerugian nasabah.
Namun demikian, peran lembaga penjaminan kredit seperti Jamkrindo, Askrindo dan beberapa perusahaan penjaminan di daerah masih minim sehingga nasib UMKM belum bisa berubah banyak sejak dua dekade lalu.
Jamkrindo adalah salah satu perusahaan penjamin kredit bagi UMKM yang tertua. Berdiri sejak tahun 1970 dengan nama Lembaga Jaminan Kredit Koperasi, hingga kini Jamkrindo hanya mampu memberikan garansi tak lebih kepada 18 persen pengusaha mikro kecil dan menengah yang berjumlah 57,54 juta.
“Bahkan jika digabung dengan lembaga penjamin yang ada di daerah, potensi pasar yang bisa digarap tidak lebih dari 20 persennya. Apalagi sebagian besar Jamkrida baru berdiri beberapa tahun belakangan ini,” kata Diding S Anwar, Direktur Utama Perum Jamkrindo.
Terdapat 14 perusahaan penjamin kredit di daerah yang terbentuk pasca pemerintah
mengeluarkan aturan mengenai lembaga penjaminan dan membentuk Perusahaan Penjaminan Kredit Daerah (PPKD) pada 2008. Aturan itu dibuat bersamaan dengan program linkage dan kredit usaha rakyat. Namun demikian, peran dan dampak lembaga tersebut bagi sektor UMKM masih belum terlihat.
Dibanding dengan Jamkrindo yang sudah berusia 45 tahun, kinerja keuangan lembaga penjaminan kredit di daerah itu memang masih semenjana. Hingga November, total volume penjaminan‎ yang dijamin oleh Jamkrindo mencapai Rp52,2 triliun, atau 67 persen dari target sekitar Rp77 triliun. Adapun sumber realisasi penjaminan tersebut dari komersial korporat Rp47,5 triliun, dan Kredit Usaha Rakyat (KUR) Rp4,7 triliun.
Sementara itu, imbal jasa penjaminan (IJP) sampai November tercatat mencapai Rp1,3 triliun, terdiri dari IJP korporat Rp628,28 miliar, dan IJP KUR korporat Rp691,6 miliar.‎
“Laba sudah mencapai Rp505,5 miliar.‎ Pencapaian laba tahun ini minimal sama seperti tahun lalu sekitar Rp820 miliar,” kata Diding.
Tahun ini diperkirakan penjaminan yang dilakukan oleh seluruh perusahaan yang tergabung dalam Asippindo nilainya mencapai Rp 100 triliun. Jamkrindo sebagai perusahaan dengan modal terbesar menargetkan nilai penjaminan mencapai Rp 77 triliun, mencakup 4 juta UMKM dan menyerap 5,6 juta tenaga kerja.
“Di sini kami tidak rebutan kue yang sudah habis. Justru kami bahu-membahu menggarap potensi pasar yang masih sangat besar dan belum tergarap seluruhnya,” kata Diding yang juga menjabat Ketua Asosiasi Perusahaan Penjaminan Indonesia (Asippindo) yang menjadi payung bagi semua lembaga penjaminan kredit di Indonesia.

UMKM Butuh Penjamin

Pentingnya kehadiran perusahaan penjamin kredit juga ditegaskan oleh Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan, Muliaman Darmansyah Hadad.
"Masalah uang bukanlah satu-satunya faktor yang menghambat pengembangan UMKM. Tetapi uang menjadi faktor yang bisa menentukan keberlangsungan UMKM," kata Muliaman dalam keterangan tertulis.
Oleh karena itu kehadiran lembaga penjamin mutlak diperlukan oleh pelaku UMKM untuk bisa berkembang. Hingga kini, hal yang paling dikeluhkan oleh UMKM adalah sulitnya mendapat kredit dan pendanaan, termasuk akses ke lembaga keuangan.
Jika masalah ini sudah terpecahkan maka perekonomian Indonesia akan berkembang lebih pesat terutama pada saat pasar bebas regional ASEAN sudah di depan mata. Lebih dari 40 persen pasar ASEAN berasal dari Indonesia yang memiliki 250 juta penduduk, dari 600 juta populasi manusia di Asia Tenggara. Dengan jumlah populasi yang besar maka akses keuangan juga lebih memungkinkan.
"Kita ingin kepastian bahwa integrasi akan menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat ASEAN. Kesejahteraan menjadi tujuan akhir, sementara terbentuknya integrasi menjadi alat untuk mencapai kesejahteraan," ujarnya.
Regulator sadar betul bahwa UMKM memiliki potensi yang sangat besar menjadi penolong perekonomian di saat krisis dan pendorong perekonomian yang bisa mendongkrak pertumbuhan.
Oleh karena itu, otoritas tidak henti-hentinya meyakinkan bank agar lebih memperhatikan UMKM bahkan sudah diterbitkan aturan yang mewajibkan bank memiliki portofolio kredit UMKM minimum 20 persen di tahun 2018.  
Pada prinsipnya bank akan tetap berpedoman pada pemberian kredit yang sehat dan pruden seperti yang diminta oleh regulator dan pengawas, mengacu pada pasar sasaran dan risiko yang dapat dilayani, serta kelayakan pemberian kredit.
“Jadi sejatinya secara komersial, tanpa ada permintaan dari pemerintah bila UMKM layak diberi kredit pastilah akan diburu bank. Kenyataan membuktikan bahwa berdasarkan penelitian Bank Indonesia tahun 2010, ternyata mayoritas UMKM sudah feasible, namun belum bankable.  Ini yang kemudian menjadi tantangan kita bersama,” kata pakar manajemen risiko Gayatri Rawit Angreni.
Akan tetapi, dia mengingatkan bahwa keberadaan lembaga penjamin kredit tidak sepenuhnya akan berdampak positif bila tidak ditangani secara hati-hati. Terutama bagi bank yang memberikan kredit ke UMKM hanya sebagai program pemerintah tanpa proses seleksi dan standar analisis kredit. “Tentu bisa mengarah ke moral hazard, karena bank menyepelekan dan menutup mata atas proses manajemen risiko UMKM yang belum bankable dan menyerahkan sepenuhnya kepada penjamin kredit,” kata Gayatri.


Asal Usul Jamkrindo
Berawal dari melihat kondisi perkembangan koperasi yang tertinggal dibandingkan dengan dua pelaku ekonomi lainnya (BUMN dan Swasta), Pemerintah kemudian mendirikan Lembaga Jaminan Kredit Koperasi (LJKK) pada tahun 1970. Dalam perkembangannya lembaga ini diubah menjadi Perusahaan Umum Pengembangan Keuangan Koperasi (Perum PKK) pada akhir 1981.
Perum PKK ini terbilang berhasil dalam mengembangkan koperasi melalui kegiatan Penjaminan Kredit. Untuk itu Pemerintah memperluas jangkauan pelayanan Perum PKK, tidak hanya terbatas hanya pada koperasi, tetapi juga meliputi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah melalui PP No. 95 tanggal 7 November Tahun 2000 dan sekaligus mengubah nama Perum PKK menjadi Perusahaan Umum (Perum) Sarana Pengembangan Usaha (SPU).
Kegiatannya pun diperluas tidak hanya menjamin kredit bank atau non bank, tetapi juga penjaminan atas pembiayaan sewa guna usaha, anjak piutang, pembiayaan konsumen dan pembiayaan pola bagi hasil, penjaminan atas pembelian barang secara angsuran, penjaminan atas transaksi kontrak jasa, pemberian pinjaman dengan pola bagi hasil, bantuan manajemen dan konsultasi, penerbitan surety bond dan kegiatan lain.
Selanjutnya pada Mei 2008, lembaga itu kembali diubah namanya menjadi Perusahaan Umum (Perum) Jaminan Kredit Indonesia (Perum Jamkrindo). Perubahan nama perusahaan tersebut terkait dengan perubahan bisnis perusahaan yang tidak lagi memberikan pinjaman secara langsung kepada UMKMK melalui pola bagi hasil, tetapi hanya terfokus pada bisnis penjaminan kredit UMKMK.

Pada tahun 2008 juga, Pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden No. 2 tanggal 26 Januari 2008 tentang Lembaga Penjaminan. (Sumber: Wikipedia).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar