Perusahaan penjaminan kredit memiliki peran penting untuk
mendorong pembiayaan usaha kecil yang selama ini belum berkembang optimal.
Perlu upaya lebih keras dari pemerintah untuk meningkatkan peran lembaga
penjaminan.
Usaha mikro kecil dan menengah setidaknya sudah sejak 18
tahun lalu dielu-elukan sebagai pelampung tahan uji di segala kondisi ekonomi.
Sifatnya yang lentuk dan cepat beradaptasi dengan perubahan membuatnya memiliki
kemampuan bertahan lebih besar dibanding perusahaan besar, terutama dalam kondisi
ekonomi yang melemah.
Akan tetapi persoalan laten sektor ini yaitu akses
pembiayaan ke lembaga keuangan masih menjadi masalah terbesar yang belum
terpecahkan tuntas hingga kini. Bank masih enggan memberikan dana kepada UMKM
karena terbentur peraturan kaku persyaratan kredit dari otoritas. Padahal, jika
berhitung untung, menyalurkan kredit kepada sektor yang biasanya berisi para
pedagang kecil, pengusaha kerajinan tangan dan lainnya lebih memberikan margin
besar kepada bank.
Selama ini, memang ada pihak ketiga yang menjadi penolong
usaha kecil dalam mendapatkan pinjaman yaitu lembaga penjamin kredit. Lembaga
ini menjadi penjamin bagi dana yang diberikan bank kepada UMKM selayaknya
perusahaan asuransi menggaransi kerugian nasabah.
Namun demikian, peran lembaga penjaminan kredit seperti
Jamkrindo, Askrindo dan beberapa perusahaan penjaminan di daerah masih minim
sehingga nasib UMKM belum bisa berubah banyak sejak dua dekade lalu.
Jamkrindo adalah salah satu perusahaan penjamin kredit bagi
UMKM yang tertua. Berdiri sejak tahun 1970 dengan nama Lembaga Jaminan Kredit
Koperasi, hingga kini Jamkrindo hanya mampu memberikan garansi tak lebih kepada
18 persen pengusaha mikro kecil dan menengah yang berjumlah 57,54 juta.
“Bahkan jika digabung dengan lembaga penjamin yang ada di
daerah, potensi pasar yang bisa digarap tidak lebih dari 20 persennya. Apalagi
sebagian besar Jamkrida baru berdiri beberapa tahun belakangan ini,” kata
Diding S Anwar, Direktur Utama Perum Jamkrindo.
Terdapat 14 perusahaan penjamin kredit di daerah yang
terbentuk pasca pemerintah
mengeluarkan aturan mengenai lembaga penjaminan dan
membentuk Perusahaan Penjaminan Kredit Daerah (PPKD) pada 2008. Aturan itu
dibuat bersamaan dengan program linkage
dan kredit usaha rakyat. Namun demikian, peran dan dampak lembaga tersebut bagi
sektor UMKM masih belum terlihat.
Dibanding dengan Jamkrindo yang sudah berusia 45 tahun,
kinerja keuangan lembaga penjaminan kredit di daerah itu memang masih
semenjana. Hingga November, total volume penjaminan yang dijamin oleh
Jamkrindo mencapai Rp52,2 triliun, atau 67 persen dari target sekitar Rp77
triliun. Adapun sumber realisasi penjaminan tersebut dari komersial korporat
Rp47,5 triliun, dan Kredit Usaha Rakyat (KUR) Rp4,7 triliun.
Sementara itu, imbal jasa penjaminan (IJP) sampai November
tercatat mencapai Rp1,3 triliun, terdiri dari IJP korporat Rp628,28 miliar, dan
IJP KUR korporat Rp691,6 miliar.
“Laba sudah mencapai Rp505,5 miliar. Pencapaian laba tahun
ini minimal sama seperti tahun lalu sekitar Rp820 miliar,” kata Diding.
Tahun ini diperkirakan penjaminan yang dilakukan oleh
seluruh perusahaan yang tergabung dalam Asippindo nilainya mencapai Rp 100
triliun. Jamkrindo sebagai perusahaan dengan modal terbesar menargetkan nilai
penjaminan mencapai Rp 77 triliun, mencakup 4 juta UMKM dan menyerap 5,6 juta
tenaga kerja.
“Di sini kami tidak rebutan kue yang sudah habis. Justru
kami bahu-membahu menggarap potensi pasar yang masih sangat besar dan belum
tergarap seluruhnya,” kata Diding yang juga menjabat Ketua Asosiasi Perusahaan
Penjaminan Indonesia (Asippindo) yang menjadi payung bagi semua lembaga
penjaminan kredit di Indonesia.
UMKM Butuh Penjamin
Pentingnya kehadiran perusahaan penjamin kredit juga
ditegaskan oleh Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan, Muliaman
Darmansyah Hadad.
"Masalah uang bukanlah satu-satunya faktor yang
menghambat pengembangan UMKM. Tetapi uang menjadi faktor yang bisa menentukan
keberlangsungan UMKM," kata Muliaman dalam keterangan tertulis.
Oleh karena itu kehadiran lembaga penjamin mutlak diperlukan
oleh pelaku UMKM untuk bisa berkembang. Hingga kini, hal yang paling dikeluhkan
oleh UMKM adalah sulitnya mendapat kredit dan pendanaan, termasuk akses ke
lembaga keuangan.
Jika masalah ini sudah terpecahkan maka perekonomian Indonesia
akan berkembang lebih pesat terutama pada saat pasar bebas regional ASEAN sudah
di depan mata. Lebih dari 40 persen pasar ASEAN berasal dari Indonesia yang
memiliki 250 juta penduduk, dari 600 juta populasi manusia di Asia Tenggara.
Dengan jumlah populasi yang besar maka akses keuangan juga lebih memungkinkan.
"Kita ingin kepastian bahwa integrasi akan menciptakan
kesejahteraan bagi masyarakat ASEAN. Kesejahteraan menjadi tujuan akhir,
sementara terbentuknya integrasi menjadi alat untuk mencapai kesejahteraan,"
ujarnya.
Regulator sadar betul bahwa UMKM memiliki potensi yang
sangat besar menjadi penolong perekonomian di saat krisis dan pendorong
perekonomian yang bisa mendongkrak pertumbuhan.
Oleh karena itu, otoritas tidak henti-hentinya meyakinkan bank
agar lebih memperhatikan UMKM bahkan sudah diterbitkan aturan yang mewajibkan
bank memiliki portofolio kredit UMKM minimum 20 persen di tahun 2018.
Pada prinsipnya bank akan tetap berpedoman pada pemberian
kredit yang sehat dan pruden seperti yang diminta oleh regulator dan pengawas,
mengacu pada pasar sasaran dan risiko yang dapat dilayani, serta kelayakan
pemberian kredit.
“Jadi sejatinya secara komersial, tanpa ada permintaan dari
pemerintah bila UMKM layak diberi kredit pastilah akan diburu bank. Kenyataan
membuktikan bahwa berdasarkan penelitian Bank Indonesia tahun 2010, ternyata
mayoritas UMKM sudah feasible, namun
belum bankable. Ini yang kemudian menjadi tantangan kita
bersama,” kata pakar manajemen risiko Gayatri Rawit Angreni.
Akan tetapi, dia mengingatkan bahwa keberadaan lembaga
penjamin kredit tidak sepenuhnya akan berdampak positif bila tidak ditangani
secara hati-hati. Terutama bagi bank yang memberikan kredit ke UMKM hanya
sebagai program pemerintah tanpa proses seleksi dan standar analisis kredit. “Tentu
bisa mengarah ke moral hazard, karena
bank menyepelekan dan menutup mata atas proses manajemen risiko UMKM yang belum
bankable dan menyerahkan sepenuhnya
kepada penjamin kredit,” kata Gayatri.
Asal Usul Jamkrindo
Berawal dari melihat kondisi perkembangan
koperasi yang tertinggal dibandingkan dengan dua pelaku ekonomi lainnya (BUMN
dan Swasta), Pemerintah kemudian mendirikan Lembaga Jaminan Kredit Koperasi
(LJKK) pada tahun 1970. Dalam perkembangannya lembaga ini diubah menjadi
Perusahaan Umum Pengembangan Keuangan Koperasi (Perum PKK) pada akhir 1981.
Perum PKK ini terbilang berhasil dalam mengembangkan
koperasi melalui kegiatan Penjaminan Kredit. Untuk itu Pemerintah memperluas
jangkauan pelayanan Perum PKK, tidak hanya terbatas hanya pada koperasi, tetapi
juga meliputi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah melalui PP No. 95 tanggal 7
November Tahun 2000 dan sekaligus mengubah nama Perum PKK menjadi Perusahaan
Umum (Perum) Sarana Pengembangan Usaha (SPU).
Kegiatannya pun diperluas tidak hanya menjamin kredit bank
atau non bank, tetapi juga penjaminan atas pembiayaan sewa guna usaha, anjak
piutang, pembiayaan konsumen dan pembiayaan pola bagi hasil, penjaminan atas
pembelian barang secara angsuran, penjaminan atas transaksi kontrak jasa,
pemberian pinjaman dengan pola bagi hasil, bantuan manajemen dan konsultasi,
penerbitan surety bond dan kegiatan
lain.
Selanjutnya pada Mei 2008, lembaga itu kembali diubah
namanya menjadi Perusahaan Umum (Perum) Jaminan Kredit Indonesia (Perum Jamkrindo).
Perubahan nama perusahaan tersebut terkait dengan perubahan bisnis perusahaan
yang tidak lagi memberikan pinjaman secara langsung kepada UMKMK melalui pola
bagi hasil, tetapi hanya terfokus pada bisnis penjaminan kredit UMKMK.
Pada tahun 2008 juga, Pemerintah menerbitkan Peraturan
Presiden No. 2 tanggal 26 Januari 2008 tentang Lembaga Penjaminan. (Sumber:
Wikipedia).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar