Perpanjangan Kontrak Karya Freeport kembali memunculkan
polemik karena hingga kini perusahaan itu belum menyerahkan rencana divestasi.
Kewajiban divestasi oleh Freeport, kemudian, memunculkan skenario pembelian
saham oleh dua perusahaan negara.
Perjanjian itu sebenarnya baru habis pada tahun 2021, dan
pembahasan kelanjutannya bisa dilakukan menjelang 2019, namun seperti pada
pemerintahan sebelumnya, polemik mengenai perpanjangan kontrak itu sudah ramai.
Freeport-McMoRan Inc, perusahaan penggali tambang dunia itu
sudah menambang sejak tahun 1967 dan selalu menjadi salah satu isu besar di
Tanah Air sejak itu. Perusahaan itu awalnya menambang tembaga dan belakangan
emas di tambang Ertsberg dan tambang Grasberg yang terletak di kawasan Tembaga
Pura, Kabupaten Mimika, Papua.
Hingga akhir pekan ketiga Oktober, seperti dikatakan Kepala
Kantor Staf Kepresidenan, Teten Masduki, pemerintah belum menyetujui ataupun
menolak perpanjangan Kontrak Karya jilid ketiga. Hal itu merespons munculnya
pemberitaan bahwa Indonesia sudah menyetujui perpanjangan kontrak yang baru
habis pada 2021.
“Soal Freeport, Presiden punya sikap cukup jelas. Berdasar
undang-undang, pembahasan perpanjangan baru dilakukan dua tahun sebelum
berakhir pada tahun 2021,” ujar Kepala Staf Presiden Teten Masduki di Istana
Kepresidenan, (20/10). Dari situ juru bicara Presiden itu ingin menegaskan
bahwa pembahasan perpanjangan kontrak seharusnya baru bisa dilakukan pada tahun
2019.
Akan tetapi apa yang dikatakan dikatakan Teten berbeda
dengan yang dinyatakan oleh Freeport sendiri beberapa hari sebelumnya. Bahkan
melalu rilis resminya, seperti dikutip media-media nasional, Freeport dan
Pemerintah Indonesia telah menyepakati operasi jangka panjang dan rencana
investasi perusahaan asal AS itu di Indonesia. Disebutkan pula saat ini,
pemerintah sedang mengembangkan langkah-langkah stimulus ekonomi termasuk di
dalamnya revisi peraturan pertambangan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi
dan membuka lapangan kerja.
Selanjutnya, Freeport menyebutkan dalam rilisnya bahwa
besarnya investasi dan komitmen yang telah dan sedang berlangsung dan telah
memberikan manfaat bagi Indonesia, menjadi sebuah pertimbangan kesepakatan ini,
termasuk meningkatnya nilai royalti, pengolahan dan pemurnian di dalam negeri,
divestasi dan konten lokal.
Presiden Direktur Freeport-McMoRan Inc, James R. Moffett,
mengaku sangat senang dengan jaminan kepastian hukum dan fiskal dari Pemerintah
Indonesia. “Kami berharap melanjutkan kemitraan dan rencana investasi jangka
panjang kami untuk memajukan ekonomi, membuka lapangan pekerjaan, dan
meningkatkan perekonomian di Papua,” kata James.
Tak pelak informasi itu membuat publik geram. Bagaimana
tidak, sesuai dengan aturan yang ada, Freeport seharusnya sudah mulai melakukan
divestasi. Berdasarkan Undang-Undang No. 24 Tahun 2012, perusahaan asing di
pertambangan mineral dan batubara wajib mengurangi saham mereka secara bertahap
setelah lima tahun berproduksi. Dengan demikian pada tahun ke-10, kepemilikan
saham mereka akan dimiliki nasional Indonesia hingga paling sedikit 51 persen.
Soal divestasi, dalam Kontrak Karya tahun 1991, Freeport
sebenarnya sudah diwajibkan mengurangi sahamnya dalam dua tahap. Pertama,
melepas saham ke pihak nasional sebesar 9,36 persen dalam kurun waktu 10 tahun
pertama sejak kontrak karya 1991. Kedua, mulai 2001, Freeport harus melepas
saham masing-masing 2 persen per tahun hingga kepemilikan nasional menjadi 51
persen.
Namun dalam Peraturan Pemerintah Nomor 77 tahun 2014 juga
ditegaskan kembali bahwa Freeport harus melepas sahamnya sebesar 30 persen
karena perusahaan ini memiliki kegiatan pertambangan yang dikategorikan ke
dalam tambang bawah tanah (underground
mining). Saat ini pemerintah sudah memiliki saham sebesar 9,36 persen, itu
artinya manajemen Freeport masih diharuskan melepas sahamnya sebesar 20,64 persen
lagi. Namun pada tahapan kali ini, manajemen akan lebih dulu diwajibkan melepas
sahamnya sebesar 10,64 persen, disusul 10 persen berikutnya pada 5 tahun
mendatang.
Penawaran harga divestasi oleh Freeport seharusnya
diserahkan ke Pemerintah pada 14 Oktober lalu, setelah itu evaluasi harga akan
dilaksanakan 90 hari untuk menentukan kewajaran harga penawaran.
Akan tetapi hingga tulisan ini dibuat (23/10), harga
divestasi itu belum juga diserahkan. Tak kurang dari Menteri Koordinator Bidang
Kemaritiman Rizal Ramli yang geram dan mendorong Presiden untuk melakukan
pencabutan paksa kontrak karya (KK) perusahaan tambang asal
Amerika Serikat itu. Bahkan Rizal menginginkan pemerintah tidak menyediakan
peluang renegosiasi kontrak lanjutan kalau proses divestasi tak juga dimulai.
“Kalau tak cepat turuti, ya sudah mendingan
kita cabut saja kontrak karyanya. Sudah seenaknya, mau divestasi saja
diulur-ulur,” jelas Rizal.
Padahal dengan melakukan divestasi, Rizal menilai hal
tersebut sebagai perlakuan yang adil kepada Indonesia. Apalagi selama ini
Freeport telah membuang limbah sembarangan ke sungai-sungai di Papua dan juga
memberi royalti yang kecil ke negara.
“Kita sudah tak pantas lagi dapat royalti 3,5 persen,
sekarang sudah saatnya dapat royalti 6 hingga 7 persen dari Freeport. Harus fair, apalagi cadangan mineral di sana
terlihat masih cukup banyak,” ujarnya.
Skenario Dibeli BUMN
Sementara itu muncul juga rencana pemerintah mendorong badan
usaha milik negara untuk membeli saham yang dilepas oleh Freeport, jika pemerintah
tidak memiliki dana untuk menyerapnya.
Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said
mengatakan, Freeport Indonesia telah menawarkan sahamnya ke Pemerintah
Indonesia. Sesuai dengan aturan yang ada, saham tersebut diprioritaskan untuk
dibeli pemerintah.
"Pemerintah yang punya domain Menteri Keuangan sama
Menteri BUMN. Karena yang punya uang Menteri Keuangan yang punya saham BUMN.
kami perlu komunikasikan," kata Sudirman.
Sudirman telah mengantungi informasi dari Kementerian
Keuangan, bahwa pemerintah tidak memiliki uang untuk membeli saham tersebut.
Sesuai aturan, jika pemerintah tidak berminat memiliki saham tersebut maka
saham tersebut akan ditawarkan ke Badan Usaha Milik Negara (BUMN). “Kementerian
Keuangan menyatakan bahwa pemerintah tidak punya uang untuk menyerap saham
Freeport Indonesia," tutur Sudirman.
Oleh karena itu, Kementerian BUMN telah menunjuk dua
perusahaan untuk menyiapkan diri dan dana untuk membeli saham Freeport terkait
kewajiban divestasi. Salah satunya adalah PT Aneka Tambang Tbk (Antam).
Manajemen PT Antam mengaku tengah menjajaki sejumlah skenario kredit dari
beberapa institusi keuangan dalam rangka membeli saham PT Freeport Indonesia
yang akan ditawarkan kepada pemerintah.
“Tentu saja kami sangat berminat untuk mengambil divestasi
Freeport tersebut. Kami sudah berdiskusi dengan institusi keuangan lain dan
(mereka) bersedia untuk mendukung kalau Antam mengambil saham tersebut,"
ujar Tedy Badrujaman, Direktur Utama Antam pada Rapat Dengar Pendapat bersama
Komisi VII DPR, bulan lalu.
Tedy mengungkapkan meski sudah melakukan penjajakan kredit
dalam rangka pembiayaan divestasi Freeport, Antam masih lebih dulu menunggu
lampu hijau dari Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno guna
mengeksekusi skenario tersebut. Dalam hal ini, Antam membutuhkan persetujuan
dari pemegang saham yang mayoritas dikuasai pemerintah.
Meski begitu dirinya kembali mengaku sangat siap jika
nantinya Menteri Rini menitahkan manajemen Antam untuk mengambil alih saham
Freeport. "Secara teknis kami siap karena kalau dilihat dari jenis
usahanya, sudah klop. Kalau kembali
ditanyakan soal kesiapan uang kan bisa dari institusi, bisa juga ada (opsi)
tadi bagaimana kalau pemerintah menambah pemasukan," cetus Tedy.
Satu perusahaan lagi yang ditunjuk Kementerian BUMN adalah
PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum). Perusahaan pengolahan aluminium pelat
merah itu bahkan menyatakan jika kas perusahaan sebesar 400 juta dollar AS
dinilai masih kurang, manajemen siap mencarikan dana tambahan untuk saham perusahaan
tambang tersebut.
Namun Direktur Keuangan Inalum Oggy Kosasih menyatakan opsi
BUMN membeli saham Freeport hanya bisa dilakukan jika pemerintah pusat dan
daerah tidak berencana menghabiskan uang negara untuk membeli saham. Untuk
mendapatkan dana tambahan, Oggy mengatakan akan mencari pinjaman sindikasi dari
pihak perbankan. Meski ia mengaku masih belum tahu berapa jumlah uang yang akan
dipinjam. “Jumlah dana yang akan kami siapkan itu masih dikaji oleh konsultan
dengan melihat kemampuan kas internal kami. Saat ini, jumlah kas kami sebesar
400 juta dollar AS, dan itu akan kami jadikan basis untuk melihat berapa jumlah
uang yang bisa kami pinjam," kata dia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar