Selasa, 19 Januari 2016

Freeport Tetap Bikin Repot

Perpanjangan Kontrak Karya Freeport kembali memunculkan polemik karena hingga kini perusahaan itu belum menyerahkan rencana divestasi. Kewajiban divestasi oleh Freeport, kemudian, memunculkan skenario pembelian saham oleh dua perusahaan negara.

Perjanjian itu sebenarnya baru habis pada tahun 2021, dan pembahasan kelanjutannya bisa dilakukan menjelang 2019, namun seperti pada pemerintahan sebelumnya, polemik mengenai perpanjangan kontrak itu sudah ramai.
Freeport-McMoRan Inc, perusahaan penggali tambang dunia itu sudah menambang sejak tahun 1967 dan selalu menjadi salah satu isu besar di Tanah Air sejak itu. Perusahaan itu awalnya menambang tembaga dan belakangan emas di tambang Ertsberg dan tambang Grasberg yang terletak di kawasan Tembaga Pura, Kabupaten Mimika, Papua.
Hingga akhir pekan ketiga Oktober, seperti dikatakan Kepala Kantor Staf Kepresidenan, Teten Masduki, pemerintah belum menyetujui ataupun menolak perpanjangan Kontrak Karya jilid ketiga. Hal itu merespons munculnya pemberitaan bahwa Indonesia sudah menyetujui perpanjangan kontrak yang baru habis pada 2021.
“Soal Freeport, Presiden punya sikap cukup jelas. Berdasar undang-undang, pembahasan perpanjangan baru dilakukan dua tahun sebelum berakhir pada tahun 2021,” ujar Kepala Staf Presiden Teten Masduki di Istana Kepresidenan, (20/10). Dari situ juru bicara Presiden itu ingin menegaskan bahwa pembahasan perpanjangan kontrak seharusnya baru bisa dilakukan pada tahun 2019.
Akan tetapi apa yang dikatakan dikatakan Teten berbeda dengan yang dinyatakan oleh Freeport sendiri beberapa hari sebelumnya. Bahkan melalu rilis resminya, seperti dikutip media-media nasional, Freeport dan Pemerintah Indonesia telah menyepakati operasi jangka panjang dan rencana investasi perusahaan asal AS itu di Indonesia. Disebutkan pula saat ini, pemerintah sedang mengembangkan langkah-langkah stimulus ekonomi termasuk di dalamnya revisi peraturan pertambangan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan membuka lapangan kerja.
Selanjutnya, Freeport menyebutkan dalam rilisnya bahwa besarnya investasi dan komitmen yang telah dan sedang berlangsung dan telah memberikan manfaat bagi Indonesia, menjadi sebuah pertimbangan kesepakatan ini, termasuk meningkatnya nilai royalti, pengolahan dan pemurnian di dalam negeri, divestasi dan konten lokal.
Presiden Direktur Freeport-McMoRan Inc, James R. Moffett, mengaku sangat senang dengan jaminan kepastian hukum dan fiskal dari Pemerintah Indonesia. “Kami berharap melanjutkan kemitraan dan rencana investasi jangka panjang kami untuk memajukan ekonomi, membuka lapangan pekerjaan, dan meningkatkan perekonomian di Papua,” kata James.
Tak pelak informasi itu membuat publik geram. Bagaimana tidak, sesuai dengan aturan yang ada, Freeport seharusnya sudah mulai melakukan divestasi. Berdasarkan Undang-Undang No. 24 Tahun 2012, perusahaan asing di pertambangan mineral dan batubara wajib mengurangi saham mereka secara bertahap setelah lima tahun berproduksi. Dengan demikian pada tahun ke-10, kepemilikan saham mereka akan dimiliki nasional Indonesia hingga paling sedikit 51 persen.
Soal divestasi, dalam Kontrak Karya tahun 1991, Freeport sebenarnya sudah diwajibkan mengurangi sahamnya dalam dua tahap. Pertama, melepas saham ke pihak nasional sebesar 9,36 persen dalam kurun waktu 10 tahun pertama sejak kontrak karya 1991. Kedua, mulai 2001, Freeport harus melepas saham masing-masing 2 persen per tahun hingga kepemilikan nasional menjadi 51 persen.
Namun dalam Peraturan Pemerintah Nomor 77 tahun 2014 juga ditegaskan kembali bahwa Freeport harus melepas sahamnya sebesar 30 persen karena perusahaan ini memiliki kegiatan pertambangan yang dikategorikan ke dalam tambang bawah tanah (underground mining). Saat ini pemerintah sudah memiliki saham sebesar 9,36 persen, itu artinya manajemen Freeport masih diharuskan melepas sahamnya sebesar 20,64 persen lagi. Namun pada tahapan kali ini, manajemen akan lebih dulu diwajibkan melepas sahamnya sebesar 10,64 persen, disusul 10 persen berikutnya pada 5 tahun mendatang.
Penawaran harga divestasi oleh Freeport seharusnya diserahkan ke Pemerintah pada 14 Oktober lalu, setelah itu evaluasi harga akan dilaksanakan 90 hari untuk menentukan kewajaran harga penawaran.
Akan tetapi hingga tulisan ini dibuat (23/10), harga divestasi itu belum juga diserahkan. Tak kurang dari Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli yang geram dan mendorong Presiden untuk melakukan
pencabutan paksa kontrak karya (KK) perusahaan tambang asal Amerika Serikat itu. Bahkan Rizal menginginkan pemerintah tidak menyediakan peluang renegosiasi kontrak lanjutan kalau proses divestasi tak juga dimulai. “Kalau tak cepat turuti, ya sudah mendingan kita cabut saja kontrak karyanya. Sudah seenaknya, mau divestasi saja diulur-ulur,” jelas Rizal.
Padahal dengan melakukan divestasi, Rizal menilai hal tersebut sebagai perlakuan yang adil kepada Indonesia. Apalagi selama ini Freeport telah membuang limbah sembarangan ke sungai-sungai di Papua dan juga memberi royalti yang kecil ke negara.
“Kita sudah tak pantas lagi dapat royalti 3,5 persen, sekarang sudah saatnya dapat royalti 6 hingga 7 persen dari Freeport. Harus fair, apalagi cadangan mineral di sana terlihat masih cukup banyak,” ujarnya.

Skenario Dibeli BUMN
Sementara itu muncul juga rencana pemerintah mendorong badan usaha milik negara untuk membeli saham yang dilepas oleh Freeport, jika pemerintah tidak memiliki dana untuk menyerapnya.
Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said mengatakan, Freeport Indonesia telah menawarkan sahamnya ke Pemerintah Indonesia. Sesuai dengan aturan yang ada, saham tersebut diprioritaskan untuk dibeli pemerintah.
"Pemerintah yang punya domain Menteri Keuangan sama Menteri BUMN. Karena yang punya uang Menteri Keuangan yang punya saham BUMN. kami perlu komunikasikan," kata Sudirman.
Sudirman telah mengantungi informasi dari Kementerian Keuangan, bahwa pemerintah tidak memiliki uang untuk membeli saham tersebut. Sesuai aturan, jika pemerintah tidak berminat memiliki saham tersebut maka saham tersebut akan ditawarkan ke Badan Usaha Milik Negara (BUMN). “Kementerian Keuangan menyatakan bahwa pemerintah tidak punya uang untuk menyerap saham Freeport Indonesia," tutur Sudirman.
Oleh karena itu, Kementerian BUMN telah menunjuk dua perusahaan untuk menyiapkan diri dan dana untuk membeli saham Freeport terkait kewajiban divestasi. Salah satunya adalah PT Aneka Tambang Tbk (Antam). Manajemen PT Antam mengaku tengah menjajaki sejumlah skenario kredit dari beberapa institusi keuangan dalam rangka membeli saham PT Freeport Indonesia yang akan ditawarkan kepada pemerintah.
“Tentu saja kami sangat berminat untuk mengambil divestasi Freeport tersebut. Kami sudah berdiskusi dengan institusi keuangan lain dan (mereka) bersedia untuk mendukung kalau Antam mengambil saham tersebut," ujar Tedy Badrujaman, Direktur Utama Antam pada Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi VII DPR, bulan lalu.
Tedy mengungkapkan meski sudah melakukan penjajakan kredit dalam rangka pembiayaan divestasi Freeport, Antam masih lebih dulu menunggu lampu hijau dari Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno guna mengeksekusi skenario tersebut. Dalam hal ini, Antam membutuhkan persetujuan dari pemegang saham yang mayoritas dikuasai pemerintah.
Meski begitu dirinya kembali mengaku sangat siap jika nantinya Menteri Rini menitahkan manajemen Antam untuk mengambil alih saham Freeport. "Secara teknis kami siap karena kalau dilihat dari jenis usahanya, sudah klop. Kalau kembali ditanyakan soal kesiapan uang kan bisa dari institusi, bisa juga ada (opsi) tadi bagaimana kalau pemerintah menambah pemasukan," cetus Tedy.
Satu perusahaan lagi yang ditunjuk Kementerian BUMN adalah PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum). Perusahaan pengolahan aluminium pelat merah itu bahkan menyatakan jika kas perusahaan sebesar 400 juta dollar AS dinilai masih kurang, manajemen siap mencarikan dana tambahan untuk saham perusahaan tambang tersebut.
Namun Direktur Keuangan Inalum Oggy Kosasih menyatakan opsi BUMN membeli saham Freeport hanya bisa dilakukan jika pemerintah pusat dan daerah tidak berencana menghabiskan uang negara untuk membeli saham. Untuk mendapatkan dana tambahan, Oggy mengatakan akan mencari pinjaman sindikasi dari pihak perbankan. Meski ia mengaku masih belum tahu berapa jumlah uang yang akan dipinjam. “Jumlah dana yang akan kami siapkan itu masih dikaji oleh konsultan dengan melihat kemampuan kas internal kami. Saat ini, jumlah kas kami sebesar 400 juta dollar AS, dan itu akan kami jadikan basis untuk melihat berapa jumlah uang yang bisa kami pinjam," kata dia.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar